Butuh sepuluh jam jam lebih untuk menuntaskan novel
Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Dialog-dialog cepat sering membuat pembacaan
harus diulang kembali. Dan begitulah, dalam proses yang lambat novel tersebut
akhirnya selesai juga. Sebelumnya, biasanya karya Pram atau roman yang lain
hanya saya baca sekilas dan melompat-lompat. Saya merasa telah menguasai pola
pikirnya dan bisa menyimpulkan plot cerita. Kebanyakan roman yang saya baca
sejak kecil cenderung linier dengan akhir yang terduga.
Tapi ternyata saya salah.
Pram memiliki keliaran yang tidak dapat saya pahami
dengan cara baca melompat-lompat. Di setiap bab selalu ada kejutan yang melawan
pemahaman saya. Dengan semena-mena Pram membuang mitos keris Empu Gandring,
menempatkannya hanya sebagai penjahat yang bersiasat untuk merebut Tumapel. Ia
begitu menguasai istilah-istilah Hinduisme, bahkan melesakkan pula di dalamnya
istilah kejawen yang sebelumnya tidak saya ketahui. Pram dengan keluasan
pemahamannya membuat tragedi Tumapel itu hanya sepiring makanan di hadapannya.
Maka dengan leluasa membuat penggambaran aktor dengan begitu detail. Mencari
jalan paling radikal untuk meloloskan imajinasinya.
Tumapel di tangan Pram berubah menjadi muram dan
berkecamuk. Segalanya begitu penuh teka-teki dan siasat. Semua tokoh cerita
memiliki peranan membangun dan mengaitkan, bahkan Oti si budak perempuan
dilibatkan untuk merampungkan cerita. Sementara Kebo Ijo, Yang Suci, Empu
Gandring, sempurna dijadikan kambing hitam atas perbudakan dan kematian Akuwu
Tunggul Ametung. Penjahat membunuh penjahat.
Menilik gaya bahasa, tentulah roman yang
diselesaikan tahun 1976 itu memiliki jarak dengan pemahaman saya. Tapi sejak
awal saya memang telah mengabaikan bahasa yang tidak lazim dan janggal. Bab
demi bab terus terlewati dengan kecemasan. Bagaimana Sang Dewi
Kebijaksanaan--Ken Dedes--di akhir cerita tidak benar-benar menikmati
kemenangannya. Sang Garuda yang dielu-elukan sebagai titisan Brahma, Ken Arok,
adalah satu-satunya pahlawan. Ia bersama Ken Umang (yang digambarkan sebagai
pasukan wanita bercawat) adalah aktor sesungguhnya yang menikmati kemenangan
tersebut. Sedang Ken Dedes adalah bidak yang hanya digunakan sebagai lambang,
dan tentu saja anak tangga yang menaikkan derajat, untuk mengukuhkan kasta
sudra yang mengalir dalam darah Ken Arok sebagai Akuwu di Tumapel.
Arok yang tak memiliki asal-usul jelas itu memiliki
kecakapan dan kecerdasan luar biasa. Usia dua puluh tahun telah menjadi Wasi,
menguasai bahasa sansekerta lebih baik dari gurunya, Lohgawe. Hal itulah yang
membuat Dedes terpikat. Arok, betapa dia adalah titisan Brahma.
Pram, menurut hemat saya memasukkan perselisihan
kasta juga sekte keagamaan. Ia menarik rentang yang jauh sejak Airlangga
berkuasa. Ia sebagai narator awalnya menggambarkan kesalahan Airlangga yang
telah menganaktirikan penganut Syiwa dan mengagungkan penganut Wisynu. Tapi Di
akhir cerita, melalui mulut Ken Arok, Pram kembali mengangkatnya. Betapapun,
Airlanggalah yang menghapuskan perbudakan. Langkah sama yang ditempuh oleh Ken
Arok. Ia mendapatkan simpati yang demikian besar dari rakyat dan pejuangnya,
sehingga Prameswari yang dijabat oleh Ken Dedes hanya sampai pada puncak
kejatuhan Tumapel. Selepas itu Ken Aroklah yang memegang kendali.
Proses penaklukan yang begitu cepat, bahkan dalam
tempo dua tahun (dalam edisi sejarah) Ken Arok mampu menumbangkan Kediri. Dalam
bingkai penceritaan Pram, dalang yang memberi kekuatan pada Ken Arok adalah para
brahmana. Di samping rakyat dan bekas budak. Maka gelombang yang demikian besar
menyapu Tumapel dalam sehari.
Perselisihan itu didamaikan dengan naiknya Ken Arok
sebagai Akuwu. Semua sekte dan kasta kembali rukun. Arok penganut Syiwa, guru
pertamanya, Tantripala penganut Budha. Sedangkan Ken Umang, istrinya, juga dua
pasang orang tua angkatnya Penganut Wisynu. Dalam diri Ken Arok semua itu
disatukan. Menjadikannya begitu kuat dan tak terlawan. Para Brahmana dengan
sendirinya kembali memiliki peranan penting, setelah sekian lama disingkirkan
dan dibatasi oleh Tunggul Ametung.
Sejarah tentu mengekang seorang Pram untuk menjebol
seluruh pakem yang ada. Ia membuang yang menurutnya tidak perlu dan bersifat
mitos. Yang disuguhkan dalam novel setebal empat ratus halaman lebih itu adalah
intrik perebutan kekuasaan. Setiap tokoh cerita memiliki siasat mereka sendiri,
untuk berkuasa dalam wilayah dan ruang lingkup mereka sendiri. Jadilah ia novel
yang membingungkan sekaligus mencengangkan. Manusia-manusia dengan gambaran
fisik dan watak yang jelas, membuat saya terhanyut selama sepuluh jam lamanya
ke pusaran masa lalu. Masa terjauh sebelum lahirnya kerajaan kokoh bernama
Majapahit. Di akhir pembacaan, saya tidak berani menyimpulkan, yang liar
sebenarnya imajinasi Pram atau imajinasi saya sebagai pembaca?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar