museum

Minggu, 02 Februari 2014

Imajinasi Liar Pram


Butuh sepuluh jam jam lebih untuk menuntaskan novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Dialog-dialog cepat sering membuat pembacaan harus diulang kembali. Dan begitulah, dalam proses yang lambat novel tersebut akhirnya selesai juga. Sebelumnya, biasanya karya Pram atau roman yang lain hanya saya baca sekilas dan melompat-lompat. Saya merasa telah menguasai pola pikirnya dan bisa menyimpulkan plot cerita. Kebanyakan roman yang saya baca sejak kecil cenderung linier dengan akhir yang terduga.
Tapi ternyata saya salah.

Pram memiliki keliaran yang tidak dapat saya pahami dengan cara baca melompat-lompat. Di setiap bab selalu ada kejutan yang melawan pemahaman saya. Dengan semena-mena Pram membuang mitos keris Empu Gandring, menempatkannya hanya sebagai penjahat yang bersiasat untuk merebut Tumapel. Ia begitu menguasai istilah-istilah Hinduisme, bahkan melesakkan pula di dalamnya istilah kejawen yang sebelumnya tidak saya ketahui. Pram dengan keluasan pemahamannya membuat tragedi Tumapel itu hanya sepiring makanan di hadapannya. Maka dengan leluasa membuat penggambaran aktor dengan begitu detail. Mencari jalan paling radikal untuk meloloskan imajinasinya.

Tumapel di tangan Pram berubah menjadi muram dan berkecamuk. Segalanya begitu penuh teka-teki dan siasat. Semua tokoh cerita memiliki peranan membangun dan mengaitkan, bahkan Oti si budak perempuan dilibatkan untuk merampungkan cerita. Sementara Kebo Ijo, Yang Suci, Empu Gandring, sempurna dijadikan kambing hitam atas perbudakan dan kematian Akuwu Tunggul Ametung. Penjahat membunuh penjahat.

Menilik gaya bahasa, tentulah roman yang diselesaikan tahun 1976 itu memiliki jarak dengan pemahaman saya. Tapi sejak awal saya memang telah mengabaikan bahasa yang tidak lazim dan janggal. Bab demi bab terus terlewati dengan kecemasan. Bagaimana Sang Dewi Kebijaksanaan--Ken Dedes--di akhir cerita tidak benar-benar menikmati kemenangannya. Sang Garuda yang dielu-elukan sebagai titisan Brahma, Ken Arok, adalah satu-satunya pahlawan. Ia bersama Ken Umang (yang digambarkan sebagai pasukan wanita bercawat) adalah aktor sesungguhnya yang menikmati kemenangan tersebut. Sedang Ken Dedes adalah bidak yang hanya digunakan sebagai lambang, dan tentu saja anak tangga yang menaikkan derajat, untuk mengukuhkan kasta sudra yang mengalir dalam darah Ken Arok sebagai Akuwu di Tumapel.

Arok yang tak memiliki asal-usul jelas itu memiliki kecakapan dan kecerdasan luar biasa. Usia dua puluh tahun telah menjadi Wasi, menguasai bahasa sansekerta lebih baik dari gurunya, Lohgawe. Hal itulah yang membuat Dedes terpikat. Arok, betapa dia adalah titisan Brahma.

Pram, menurut hemat saya memasukkan perselisihan kasta juga sekte keagamaan. Ia menarik rentang yang jauh sejak Airlangga berkuasa. Ia sebagai narator awalnya menggambarkan kesalahan Airlangga yang telah menganaktirikan penganut Syiwa dan mengagungkan penganut Wisynu. Tapi Di akhir cerita, melalui mulut Ken Arok, Pram kembali mengangkatnya. Betapapun, Airlanggalah yang menghapuskan perbudakan. Langkah sama yang ditempuh oleh Ken Arok. Ia mendapatkan simpati yang demikian besar dari rakyat dan pejuangnya, sehingga Prameswari yang dijabat oleh Ken Dedes hanya sampai pada puncak kejatuhan Tumapel. Selepas itu Ken Aroklah yang memegang kendali.

Proses penaklukan yang begitu cepat, bahkan dalam tempo dua tahun (dalam edisi sejarah) Ken Arok mampu menumbangkan Kediri. Dalam bingkai penceritaan Pram, dalang yang memberi kekuatan pada Ken Arok adalah para brahmana. Di samping rakyat dan bekas budak. Maka gelombang yang demikian besar menyapu Tumapel dalam sehari.

Perselisihan itu didamaikan dengan naiknya Ken Arok sebagai Akuwu. Semua sekte dan kasta kembali rukun. Arok penganut Syiwa, guru pertamanya, Tantripala penganut Budha. Sedangkan Ken Umang, istrinya, juga dua pasang orang tua angkatnya Penganut Wisynu. Dalam diri Ken Arok semua itu disatukan. Menjadikannya begitu kuat dan tak terlawan. Para Brahmana dengan sendirinya kembali memiliki peranan penting, setelah sekian lama disingkirkan dan dibatasi oleh Tunggul Ametung.

Sejarah tentu mengekang seorang Pram untuk menjebol seluruh pakem yang ada. Ia membuang yang menurutnya tidak perlu dan bersifat mitos. Yang disuguhkan dalam novel setebal empat ratus halaman lebih itu adalah intrik perebutan kekuasaan. Setiap tokoh cerita memiliki siasat mereka sendiri, untuk berkuasa dalam wilayah dan ruang lingkup mereka sendiri. Jadilah ia novel yang membingungkan sekaligus mencengangkan. Manusia-manusia dengan gambaran fisik dan watak yang jelas, membuat saya terhanyut selama sepuluh jam lamanya ke pusaran masa lalu. Masa terjauh sebelum lahirnya kerajaan kokoh bernama Majapahit. Di akhir pembacaan, saya tidak berani menyimpulkan, yang liar sebenarnya imajinasi Pram atau imajinasi saya sebagai pembaca?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar