museum

Minggu, 02 Februari 2014

BENCANA KEBUDAYAAN



Kita bisa saja membayangkan tahun 2014 adalah awal baru di tengah tidak jelasnya situasi yang mengepung kita. Selain guyuran hujan dan ancaman banjir yang merata, awal baru dalam banyak hal yang kita bayangkan itu ternyata bergerak maju. Dan kita dipaksa untuk terus menunggu. Mengumpulkan harapan seperti seorang penjudi yang menunggu dadu berhenti berputar. Tapi dadu itu jatuh di ruang hampa. Segalanya masih tetap serba mungkin. Terus bergerak dan tak tertebak.

Kondisi seperti itu kemudian dihubung-hubungkan dengan ramalan yang pada akhirnya akan memunculkan seorang Satria Piningit. Masa Kalabendu akan segera berakhir. Namun yang luput dipahami adalah berapa lama masa-masa sulit itu harus terus dihadapi. Dengan cerdik, ramalan tidak menyebut waktu secara spesifik—dan karena itulah saya tidak mempercayainya—ia tidak mengenal kontinum waktu ala Zeno, atau penisbian waktu sama sekali ala Ibnu Rusyd. Bagi ramalan, waktu ada tapi tidak bergerak sampai seluruh bukti terkumpul.

Sayangnya, jika bukti-bukti itu tidak pernah muncul. Kita tidak berhak apa-apa atasnya. Bahkan untuk sekedar kecewa.

Di tahun baru yang menyimpan bertumpuk-tumpuk harapan itu ternyata menghadirkan berbagai tragedi. Mulai bencana alam, bencana sosial, sampai pada bencana kebudayaan.

Machiavelli yang dicap sebagai manusia busuk, dewa agung para diktator itu jauh-jauh hari memberikan gambaran yang terang mengenai bagaimana power (kekuasaan) itu direbut dan dipertahankan. Bahkan di “Il Principle” itu dinyatakan lebih jauh, perbuatan immoral seperti berbuat keji, menghalalkan segala cara, berkhianat boleh dilakukan karena itu memberikan kekuatan. Dalam politik, hal itu bukan barang baru. Tetapi akan sangat mengejutkan jika hal buruk itu menjangkiti wilayah lain, yang ironisnya wilayah tersebut hendak mengangkat harkat manusia dengan kebermoralan, dengan nilai agungnya. Anak cabang kebudayaan yang bernama kesusasteraan.

Sejarah sastra kita telah mencatat beragam dinamika. Kita berhutang sangat banyak pada orang berpendirian teguh bernama HB. Jassin, yang dalam sebuah konflik berujung permintaan tanggung jawab dulu itu, lebih memilih merahasiakan nama penulis cerpen “Langit Makin Mendung.” Konflik yang berawal dari interpretasi tekstual seperti ini bisa dimaklumi. Dan Jassin paham betul, tugasnya adalah melindungi kebebasan itu. Apa pun resikonya. Maka ia membawa rahasia nama itu sampai mati.

Tetapi, jika pun Jassin masih hidup, sebuah tragedi intelektual yang baru saja menerpa dunia sastra yang dicintainya, boleh jadi tidak akan lagi dibelanya seperti dulu. Peristiwa itu adalah munculnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang disusun oleh orang-orang yang menyebut diri mereka Tim 8. Karena ini bukan lagi soal interpretasi, bukan soal klaim kebenaran, tapi pelanggaran integritas, loyalitas, intelektualitas dalam sastra. 

Kita bisa saja memaklumi jika masuknya seorang oportunis, yang bahkan belum pantas untuk disebut sastrawan itu, menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam buku tersebut karena kesalahan cetak, atau ada sabotase salah seorang juri dalam Tim 8. Tetapi sungguh memalukan ketika melihat fakta, taksonomi paling dasar itupun tidak sanggup mereka terapkan. Orang-orang dalam Tim 8 yang seharusnya lebih dari cukup keilmuannya. 

Misalnya konsep taksonomi Bloom yang membaginya dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, yang kemudian terbagi-bagi lagi dalam beberapa bagian lagi. Atau yang lebih spesifik seperti yang digagas Moody dalam model tingkatan, yaitu informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Ini belum menyoal kesuperlatifan dan keberpengaruhan yang ironisnya memang tidak memiliki batas jelas.

Jadi ini semua menyangkut ketidak-bermaknaan juga. Publik sastra dianggap seperti orang lumpuh yang lantas dengan leluasa dicekoki bubur hambar.

Sejak kritik sastra digulirkan oleh Xenophanes terhadap Hesiodes sekitar 500 SM, di masa kuno itu saja kita diajarkan soal klasifikasi, soal verifikasi, soal taksonomi dasar perihal karya sastra dan sastrawannya. Lantas setelah kelahiran “The Death of the Author” dari tangan Barthes, banyak yang salah kira bahwa sastra benar-benar dibebaskan dari klaim, dari kepemilikan. Seolah-olah pula ia menolak tolok ukur, seperti tiga orang buta yang sedang menerka bentuk gajah. Padahal sejauh apa pun sastra bergerak, ia tidak mungkin menolak konvensi, tolok ukur.

Kemudian di belakang itu hendak dimunculkan solusi naïf, bagaimana kalau buku yang cacat konsep taksonominya itu dilawan dengan buku yang lain?

Secara subyektif, orang boleh mengklaim dirinya seorang sastrawan dengan memunculkan karya kacangan paling tidak bermutu di tengah masyarakat. Ini masih di wilayah klaim. Tetapi jika orang-orang yang memahami kritik sastra (dalam Tim 8 itu) menunjuk “orang luar” sebagai seorang tokoh sastra dalam kategori superlatif, ini jelas telah membelokkan sejarah. Sebuah bencana kebudayaan yang tidak saja mengabaikan moralitas, independensi, integritas, tapi juga konsep logis taksonomi!

Padahal dari sanalah ilmu pengetahuan itu dibangun.

Kebebasan bukan soal, bagaimana menguar ketelanjangan hasrat, bagaimana menerabas konvensi, tapi bagaimana mengarahkan free-will. Determinasi yang jelas dan bertanggung-jawab itulah bentuk konkret manusia yang memiliki budi. Sebagaimana yang ditegaskan Louis Leahy dalam diktumnya, “Freedom is self-determination.” Maka tidak ada alasan “bebas” bagi buku penuh kecurangan itu dari tuntutan tanggung-jawabnya. Baik secara moral atau hukum. Karena ini menyalahi konsep, metode, tolok ukur dalam kritik sastra yang selazimnya.

Tak pelak lagi, orang-orang yang peka, cerdas dan paham peta sastra mengecam buku tersebut dengan baragam tanggapan. Ada yang menganggapnya sekedar lelucon konyol di awal tahun, seperti petualangan Don Quixote yang naif. Ada yang dengan sengit menyebutnya sebagai kado ulang tahun “orang luar” yang menjadi penaja buku tersebut. Ada yang mengambil langkah tegas dengan membuat petisi penolakan, karena ini dinilai sudah menyentuh tahap distorsi sejarah.

Sebagaimana Foucault yang menggaris-bawahi bahwa kekuasaan melahirkan legitimasi pengetahuan. Artinya, power, kekuasaan yang diteorikan oleh Machiavelli itu bisa membelokkan konsep kebenaran. Episteme yang didistribusikan oleh rezim kebenaran akan mendistorsi sejarah. Mereka yang menentukan baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, penting dan tidak penting. Agaknya hal inilah yang tengah mengguncang dunia sastra di awal tahun 2014. Ilmu pengetahun yang seharusnya tidak memihak justru hendak dibelokkan oleh orang yang memiliki power. Dari sana diskontinuitas ala Foucault itu berjalan.

Kita memang layak berkabung. Harapan di tengah ketidak-pastian bergerak makin menjauh. Bencana bertubi-tubi menimpa tanpa ampun. Keentahan menampakkan wujud dadu yang terus berputar dalam ruang hampa. Yang kita hadapi kemudian seperti rintih Chairil, “hidup hanya menunda kekalahan,” ketika menemukan silent majority, banyak yang abai atas tragedi tersebut. Mereka yang memilih abstain padahal hanya ada dua opsi, ya atau tidak.

Bencana kebudayaan ini mengorbankan banyak hal terutama harga diri sastrawan, logika taksonomi, integritas intelektual. Dan Jassin boleh jadi akan menangis, jika mengetahui hal memalukan itu justru mendapatkan persetujuan dari rumahnya. PDS. HB. Jassin, tempat yang sangat dibanggakan dan dihormati oleh sastrawan di seluruh Indonesia.



Kajitow El-kayeni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar