museum

Sabtu, 05 Mei 2012

DUNIA OH DUNIA






Puisi adalah sebuah dunia unik yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dengan begitu bahasa di sini hanya berfungsi sebagai alat penyampaian maksud, sehingga makna yang digunakan dalam puisi adalah makna metaforikal bukan makna literal. Dalam dunia batin seorang penyair ada ruang sunyi khusus yang membuatnya melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda: dunia dan segala yang ada padanya. Manakala kita sadar akan hal ini, maka patutlah kepenyairan itu akan mengerucut dan menyentuh langit yang dijunjung sekaligus yang ditujunya. Termasuk sastra itu sendiri, yang mana tujuannya adalah demi mengangkat kemanusiaan dengan nilai-nilai agung. Ini esensi dari sastra seperti yang didengungkan oleh Rendra itu. Tidak disangkal, telihat di sekitar kita banyak penyair dan sastrawan yang lupa pada esensi tadi dan sibuk mengejar estetika. Banyak manusia-manusia yang dianugrahi ruang khusus tadi menjadi buta arah sehingga disebut oleh Rendra mencipatakan karya yang "Kering." Manusia pada umumnya memang memiliki ruang sunyi ini, bisa dikatakan ia adalah bentuk dari nurani. Tapi khusus pada penyair, ia telah memaksimalkannya sehingga ia menyublim pada puisinya dengan mengambil gambaran dari dunia yang retak itu. Puisi tidak saja isyarat yang terlahir dari perenungan, namun telah melewati berbagai pertimbangan dan memiliki konvensi tersendiri. Maka dari itu, siapa pun dia, apa pun profesinya sebenarnya boleh ambil bagian, dan dengan begitu ia juga menjadi penyair dengan sendirinya.

Yang kemudian menjadi luput adalah kecenderungan untuk mengejar estetika tapi lupa pada esensinya. Keindahan karya sastra memang serupa apel dari sorga yang hendak diraih oleh berjuta sastrawan dan (meminjam istilah Penyair Imron Tohari) penikmat baca. Dengan itu kita hendak menggaris lurus politik selera dan konvensi dalam bersastra. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah estetika bukan satu-satunya apel ranum yang hendak kita lumat dengan pemahaman. Lebih jauh sebelumnya kita mesti mengukur esensi di dalamnya. Kenapa begitu? Penyair dan umumnya sastrawan adalah manusia-manusia khusus yang memiliki anugerah ruang sunyi tadi. Jika esensi ini sampai terlepas maka lesatan dari ruang sunyi tadi akan menjadi karya yang kering seperti maksud Rendra di atas itu. Kering dari ruh yang membuatnya subur dan menumbuhkan berjuta-juta inspirasi bagi orang lain. Kering dari semangat luhur mengangkat kemanusiaan yang sejak awal hendak dikejar oleh orang-orang terdahulu sebelum masehi itu. Seperti yang digariskan oleh Plato atau Aristoteles mengenai tujuan sastra ini.

Maka saat berhadapan dengan puisi pertanyaan pertama yang saya ajukan pada diri saya sendiri adalah mengenai esensi tersebut. Sebuah puisi yang paling cengeng sekalipun adalah sebuah lesatan pandangan batin yang dengannya kata-kata membangun dirinya menjadi sebentuk kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda). Apakah kata-kata itu kait-mengait dengan sendirinya sehingga tiba-tiba muncul dengan ajaib menjadi sesuatu yang agung? Saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu karena puisi bukan bintang jatuh yang semata-mata mengandalkan bim salabim atau kun fa yakun. Tanpa adanya latar belakang dan ruh yang menyeret huruf-huruf berjajar sedemikian rupa itu akan memunculkan sesuatu yang kering dan kosong. Bagaimana bisa mengatakan hal yang tak bernyawa seperti itu indah ketika kita sadar ia hanyalah sebentuk kode-kode bahasa yang terlahir karena proses kloning kata: yakni kata itu mengait dengan kata yang lain dan melupakan tujuan yang menyebabkannya ada.

Tanpa ruh dalam tubuh bahasa, mustahil kata-kata itu memunculkan hisapan. Sebagaimana kita sulit menerima jika Tuhan tidak mengambil tempat padahal mustahil Tuhan memerlukan sesuatu selain dirinya. Jalan damainya adalah: Tuhan meliputi segala sesuatu sebagaimana ruh dalam tubuh bahasa.


Pemandangan Yang Jauh
oleh Eimond Esya pada 08 Agustus 2011 jam 22:53

Seperti pemandangan yang jauh,
Yang bukan dari dunia ini
Aku percaya darah dan waktu mengalir di tempat yang sama

Dan seperti pemandangan yang jauh,
Mata dan tanganku melihat dunia ini
Tidak sebagaimana kau melihatnya
Mata dan tanganku melihatnya dan telah
menerima hadiah-hadiahnya
Sebagai serangan-serangan yang kejam
Menerima dirimu, O, kukatakan padamu,
Alangkah sedihnya

Seperti tak ada yang benar-benar pernah kumiliki
Seperti tak satu keindahan pun,
Tak satu sukacita pun

Kaki-kakiku lemah
Darahku merupakan penakut yang berputar kembali

Merupakan lingkaran pertanyaan

Kenapa kita dikirim ke sini
Menempuh jalan yang salah

Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah


Sebagaimana umumnya penyair yang lain yang menunjukkan ekspresi jiwanya, puisi di atas itu mencerminkan gejolak sama yang sedang dirasakan penyairnya. Gejolak itu membuatnya gelisah dan menumpahkannya melalui medium bahasa. Ia melihat dunia sebagai pemandangan yang jauh, dunia yang tiba-tiba menjadi asing baginya. Dunia yang dirasakannya terbelah, penyair berdiri dalam ruangan sunyinya dan mengembalikan dunia yang terbelah itu ke dalam puisi. Puisi Penyair Eimond ini sebenarnya juga terrefleksi dalam karya-karya penyair yang lain saat meraba dirinya sendiri, saat ia mempertanyakan kemanusiaannya sendiri, saat ia terdampar dalam ruang sunyinya seorang diri, saat ia bernyanyi lirih dengan suara batin tergagap, saat ia menertawakan kesedihan, saat ia memandang dunia yang tiba-tiba menjadi asing. Sebagaimana menengok Pablo Neruda yang tidak yakin dengan keberadaan Tuhan tapi meratap dengan penuh duka:

Oh Bumi, Tunggulah Kami

Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.

Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.


Dalam pemahaman sufistik, mati bukanlah suatu hal yang mengerikan. Ia hanya pintu menuju. Dari laut pulang kembali ke muara. Menuju itu adalah proses untuk mengada dari ada. Entah dengan bentuk seperti apa tapi kematian menjadi bergerak, kematian tidak berhenti. Hidup di sini menjadi asing sebenarnya. Dalam arti ketidakkekalan dalam hidup ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Sartre memaknainya untuk soliter (sunyi) sehingga manusia itu terkutuk untuk bebas. Ini nilai eksistensi menurut Sartre yang lebih penting dari esensi, karena eksistensi lebih dulu ada. Pemikiran semacam ini seharusnya pula yang membuat manusia penyembah logika seperti Pablo mengikutinya. Tapi ternyata tidak. Meski keyakinan Pablo berbeda dengan pemahaman sufistik dan umumnya keyakinan agama di muka bumi, tapi kematian itu ditangkapnya dengan arah yang sama: bahwa kematian itu tidak berhenti, tapi proses menuju.

Sebagai pusat tata surya, matahari dipercaya sebagai pemberi kehidupan. Tanpanya kehidupan tidak akan bertahan lama. Bumi akan membeku jika setahun saja matahari pensiun. Matahari yang oleh orang-orang mesir kuno itu disembah dengan sebutan Ra, menjadi pusat kesadaran Pablo Neruda sebagai pusat untuk menerima rintihannya sebagai manusia. Matahari dijadikan simbol sebagai wajah Tuhan bagi yang beragama. Pablo tidaklah sedang menyembah matahari itu, namun kesadaran akan mati yang tidak berhenti tapi merupakan proses menuju itu diberitakannya di sini. "Kembalikan aku oh, matahari," katanya. Kembali ke mana? Ke muasal sebelum mengada dalam bentuk manusia tentunya. Kepada alam itu sendiri menjadi partikel yang entah bagaimana prosesnya menjadi sel hidup. Itulah nasib yang liar. Sebuah perjalanan tak tentu arah, ketika segalanya baru saja berawal seperti hujan hutan purba. Sewaktu bumi masih begitu remaja. Sewaktu kata purba belum ditemukan karena ia dalam kepurbaan itu. Hujan hutan purba adalah simbol permulaan dari kehidupan. Di sini dikatakan purba, karena kata itu telah dikenal. Dan Pablo ingin naik kembali ke sana dengan membalikkannya.

Hujan di suatu hutan purba adalah awal dalam keyakinan Pablo. Pada awal itulah akhir akan kembali bergerak ke sana. Ini menarik sekali karena secara naluri tanpa kehadiran Tuhan pun manusia memiliki kesadaran akan mati itu. Bahwa ia adalah rangkaian proses. Dan ini sebenarnya sebentuk pertanyaan atas awal itu sendiri. Apakah proses berputar ini sudah ada dan akan terus seperti demikian? Ini pertanyaan sama yang dicari jawabannya oleh ilmuwan. Tapi ilmu pengetahuan buntu dan tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses menuju ini berawal. Namun ada indikasi segala sesuatu yang eksis pasti ada yang memulai. Dalam puisi ini jawaban itu memang tidak ditemukan. Tapi pertanyaan yang sama mengeram di sana. Di tengah kepasrahannya itu Pablo merindukan sesuatu yang tidak didapatnya. Kedamaian tentu saja sebuah utopia yang menarik. Namun sejak manusia bercokol di muka bumi ini, adakah kedamian itu benar-benar terwujud? Tanpa disadarinya, Pablo sedang merasakan sebuah hisapan yang jauh melampaui kekuatannya. Ia menjadi kerdil dan mengakui keberadaan sesuatu yang tak tersentuh nalar, dimana hidup yang tidak mampu diteorikan oleh jutaan ilmuwan itu membuatnya gelagapan mempertanyakannya. Hidup yang mustahil ada dengan sendirinya itu memunculkan serangkaian pertanyaan yang tak habis.

Sesuatu yang entah bagaimana bermula dan berakhir menjadikannya terlihat begitu rapuh. Dan saat itulah kita juga mesti bertanya bukankah kekuatan maha yang menghisap itu merupakan cerminan dari adanya Tuhan? Kekuatan itu pula yang membuat Derrek Walcot dengan rindu lautnya meraba dirinya sendiri:


Rindu Laut

Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.


Dalam puisi ini, Derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. Begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. Benda-benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. Ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. Padahal tidak ada apa-apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. Dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. Kita tidak sedang membicarakan Tuhan di sini. Tapi sunyi itu seolah Tuhan yang bergerak tanpa gerakan, yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. Sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. Ini inti sunyi itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. Atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok Tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. Yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyair Eimon Esya, Pablo neruda, begitu juga dengan penyair-penyair yang lain, yang membuat kita mempertanyakan hal yang sama.

Dari sanalah menurut saya esensi bersastra itu berangkat. Mungkin ia naik ke atas dan menggugat kekuatan maha yang kita kenal dengan Tuhan. Mungkin juga ia meluncur ke bawah dan mempertanyakan kemanusian yang sebenarnya hendak diangkat oleh sastra dengan nilai agungnya itu. Maka tak heran jika Rendra menolak bantuan sembilan milliar pertahun dari Amerika karena ia merasa dibeli(?). Ketika ingat hal itu, apa yang saya nyatakan di atas tadi masih perlu dipertanyakan lagi: akankan esensi yang berangkat dari perabaan penyair atau sastrawan tadi benar-benar meruncing yang menyentuh langit yang dijunjung sekaligus ditujunya? Sekali lagi dengan rendah hati Rendra menolak bantuan tersebut dan dialihkan pada orang lain. Tapi apakah orang-orang atau kelompok yang menerima uang ini akan dikatakan tidak beresensi lagi jika hal itu bermanfaat (meski mungkin hanya untuk golongan dan orang terdekat)?

Saya tidak tahu.

Sikap yang saya ambil adalah ikut bernyanyi sedih seperti Penyair Eimond termasuk juga yang lain, saya ikut menertawakan kesedihan yang terjadi di dunia sastra dengan nyanyian sedih itu.

"Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah"







*) Puisi-puisi diambil dari Facebook dan Horison atas terjemahan Agus R. sarjono dan Nikmah Sarjono

***





Dunia oh dunia, hiks dan haha

Kajitow

SISTEMASI PEMAKNAAN DALAM PUISI


Pendahuluan
Sejak lama kritik sastra hendak mencari jalan yang paling mungkin mendekatkan pada penafsiran yang tepat, jelas dan efesien. Kegiatan kritik sastra yang tercatat pertama kali dilakukan oleh Xenophanes dan Heraclitus yang mengecam Homerus dan Hesiodes (± 500 SM). Hal itu dilakukan karena Homerus dan Hesiodes gemar menceritakan kisah bohong dan tidak senonoh terhadap Dewa-Dewi mereka. Akibatnya Homerus dan Hesiodes dicekal kemudian dilarang mengikuti Olimpiade di Athena. Ini kritik yang mengarah pada penciptanya secara langsung. Kemudian Plato (450 SM) muncul dengan Republic memberikan dasar-dasar orientasi kritik berdasarkan karya. Disusul kemudian oleh banyak pemikiran-pemikiran lain, sehingga akhirnya Post-strukturalisme (1960) memperaktekkan kritik yang mengarah pada pembaca. Dengan dekonstruksi Derrida, mereka membongkar teks kemudian membuat pemaknaan baru atasnya. Saya tidak ingin berpanjang-panjang dalam menyorot perbedaan pandangan strukturalisme dan post-strukturalisme. Yang jelas kedua aliran itu menyumbangkan pemikiran penting dalam hal kebahasaan. Begitu banyak jenis kritik sastra berdasarkan perbedaan sudut pandangnya, terlebih jika itu diambil dari berbagai pendapat kritikus sastra seperti M. H. Abrams, Rene Wellek, Jan van Luxemburg (dkk), Raman Selden, Edward W. Said. Juga termasuk pendapat Rachmat Djoko Pradopo yang membaginya hanya menjadi dua jenis: kritik sastrawan (umum) dan akademik.
Dua jenis kritik seperti yang telah dipisahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo itu tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kritik sastrawan cederung bersifat ekspresif, praktis, nyaman untuk dibaca, tetapi terkadang tidak memiliki dasar pijakan yang jelas jika merunut kode bahasa yang ada. Subyektifitas yang terkadang tidak berakar. Sedangkan kritik akademik terlalu panjang dan bertele-tele. Tanda-tanda terkecil diperhitungkan dengan teliti sehingga terkadang lupa pada substansi yang dibicarakan. Dan bentuk seperti ini tidak nyaman untuk dibaca. Tidak logis menurut saya jika memperhitungkan fonem dan jumlah huruf konsonan atau vokal dalam karya sastra hanya demi memunculkan penafsiran. Kemudian teks disulap menjadi sesuatu yang sakral dan terperhitungkan huruf-perhurufnya. Bukankah hasil akhir dari penafsrian adalah menyingkap makna? Teori, metodologi, aplikasi apa pun sah digunakan sejauh itu berkepentingan dengan pemaknaan. Tapi bukan berarti ia harus dengan langkah tidak logis, yang jika tanpa itu bisa dihasilkan pemaknaan yang sama.
Seperti yang telah dimaklumi, bahasa adalah sistem tanda. Premis ini telah lama dilontarkan oleh Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce dan dikembangkan oleh Roland Barthes dalam semiologinya dengan lebih menyorot pada makna konotasi. Kita tahu bahasa bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, yang bergerak dengan sendirinya, yang berdefinisi dengan sendirinya. Bahasa ada karena ia tuntutan dari komunikasi, ia alat untuk mencapai maksud penggunanya. Maka yang nyata di sini adalah kehendak penggunanya yang menjadi penggerak utama dari kata-kata. Ia memang tidak terwujud dalam bentuk konkret, tapi berkat dirinyalah bahasa ada. Setelah semiotika muncul, tidak ada yang sakral pada teks sastra. Semua yang ada di dalamnya adalah kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda), semua bisa ditafsirkan sesuai kode bahasa tersebut.
Di sini saya sedikit berseberangan dengan pemikiran Heidegger (filsuf yang menulis buku monumental Being and Time) soal bahasa, seperti yang dijelaskan oleh F.Budi Hardiman dalam bukunya mengenai pokok pikiran Heidegger, “Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins), dan manusia bermukim di dalam bahasa.” Pernyataan itu keliru ketika menimbang bahasa bersifat aksidensi. Eksistensi suatu entitas lebih dulu ada dari esensinya (seperti maksud Sartre), baru kemudian dilakukan pengenalan dari entitas itu. Di sinilah kemunculan bahasa dimulai. Ia bukan substansi mutlak atau sebagai entitas murni, karena peran bahasa untuk memberikan identitas, kemudian untuk menyampaikan maksud penggunanya. Manusia tidak hidup dalam bahasa, tapi bahasa yang hidup dalam diri manusia. Bahasa bukan rumah bagi yang ada, tapi yang ada adalah rumah bagi bahasa. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya yang ada. Sebagaimana kita menunjuk nama kuning yang tidak akan ada tanpa wujud warnanya (kuning).
Jalan Simpang Pemaknaan
Ketika bahasa digunakan dalam sistem komunikasi berbeda dari fungsi awalnya, katakanlah sastra, sistem yang dimasuki bahasa ini mengakibatkan jalan simpang pemaknaan. Penafsiran makna terjebak dalam labirin-labirin ambiguitas. Meskipun begitu, tidak ada yang sakral atau transenden di sini saat pembacaan terfokus pada makna, bukan pada sistem-sistem pembentuknya saja, termasuk struktur dasar seperti fonem atau jumlah huruf konsonan dan vokalnya.
Pada awalnya, bahasa bukan sesuatu yang rumit, ia hanya jalan untuk menyampaikan maksud. Tetapi pembagian komponen, pengkelasan bentuk-bentuk yang muncul darinya, membuat kajian bahasa begitu pelik dan seolah berputar-putar. Konvensi yang berusaha ditetapkan tidak kokoh dan terus mengalami perkembangan seiring pergerakan dari bahasa itu sendiri. Hal itu dipersulit dengan munculnya istilah-istilah yang berjejalan. Yang marak berkembangan dalam penafsiran terhadap bahasa dalam sistem khusus ini kemudian hanya intuisi. Kode bahasa yang ada dalam sistem tersebut menghasilkan pemaknaan yang ambigu. Tetapi seseorang harus memilih satu jalur pemaknaan di antara beberapa lainnya, dengan pertimbangan logis berdasarkan kode bahasa.
Menyoal puisi, yang perlu digaris-bawahi adalah prihal petanda yang ada dalam tanda-tanda linguistik. Pananda dalam bentuk fisiknya juga penting untuk memisahkan kandungan petandanya masing-masing. Hal itu sekaligus untuk mewujudkan korelasi pemaknaan. Tapi persoalan inti yang muncul dalam penafsiran adalah petanda tersebut, ia acap kali memunculkan perbedaan sudut pandang yang besar karena tidak dicermati sistem di dalamnya. Dalam kajian makna metaforikal, saya sudah membahas ruang lingkup petanda ini. Tapi di sini yang hendak saya sorot adalah jalur-jalur pemaknaannya, yakni pemaknaan puisi secara utuh. Banyak orang hanya sekedar memanjakan intuisi, menurut saya begini, menurut saya begitu, tapi tidak menyertakan bukti konkret atasnya. Ini adalah bentuk subyektifitas yang tidak berakar. Penghisapan makna yang hanya didasarkan pada poin tertentu tanpa menimbang kode-kode bahasa yang ada dalam puisi. Dan ini bukan pemaknaan menyeluruh. Di sinilah sistem tanda dilupakan. Yang ada hanya penilaian intuitif tanpa dasar pijakan jelas.
Ulasan puisi kemudian hanya sekedar menjadi media orasi subyektifitas, media penumpahan wawasan penafsirnya, media penjejalan diktum-diktum disiplin ilmu lain. Jalur-jalur petanda dalam sistem tanda tadi diabaikan. Pemaknan menjadi kabur dan menjauh dari substansinya, pokok yang muncul bersebab kode bahasa tidak ditafsirkan. Lalu logika dipersalahkan. Puisi kemudian diagungkan dan dikatakan bukan wilayah logika lagi. Sebagai mahluk berpikir, tindakan seperti ini jelas tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Bukankah puisi adalah sebuah sistem komunikasi juga? Bukankah bahasa yang digunakan puisi itu adalah sistem tanda juga? Keterlacuran dalam penafsiran puisi sering muncul karena pengaruh intertekstualitas yang berlebihan, penjejalan diktum filsafat yang kebablasan, penyeretan pandangan psikologi yang kejauhan, pengaruh ilusi how to make it strange yang over. Padahal makna yang bersumber dari kode bahasa tadi malah diabaikan, atau hanya sebagian saja yang diambil sebagai rujukan. Yang banyak berjejal di dalamnya adalah, menurut saya begini, menurut saya begitu. Subyektifitas yang tidak memiliki dasar pijakan.
Di zaman postmodernisme yang tengah merayakan perbedaan atau heterogenitas ini tentu hendak membebaskan segala bentuk penafsiran. Penafsiran pada dasarnya adalah olah subyektifitas, siapapun memahami ini. Karena tidak ada yang benar-benar obyektif apalagi mutlak dalam sastra. Tetapi subyektifitas yang berakar tentu berbeda dari bias pemaksaan intuisi. Setelah lahirnya semiotika, kajian struktural, stilistika, tidak ada yang sakral pada puisi, apalagi mewah dalam arti transenden dan tidak tersentuh pemaknaan logis. Semua kandungan dalam puisi adalah bentuk dari sistem tanda, meskipun mungkin dalam satu penanda terkandung beberapa petanda, tapi ia bukan barang hidup yang bergerak dengan sendirinya. Banyaknya petanda yang muncul itu harus dikaitkan dengan jalur pemaknaan yang terbangun dalam puisi. Makna satu tanda adalah pancaran dari satu titik dengan berbagai jalur yang dimilikinya. Di sini, jalur paling logis menggugurkan jalur lain yang tidak terbangun secara utuh.
Ketika dikembalikan pada kehendak awal, karena yang nyata dalam bahasa kehendak penggunanya, hanya ada dua kemungkinan keterlacuran pemaknaan: 1. Penyair tidak mengarah pada maksud yang spesifik, sehingga ambiguitas pemaknaan tidak memiliki jalur yang selesai. Misalnya ia hendak bermaksud begini, tapi tidak menyertakan kode bahasa yang cukup. 2. Penafsir terlalu memanjakan intuisinya dan mengabaikan kode bahasa. Dalam tubuh puisi terkadang ada gen bebas, ia meloncat sehingga tidak sejalur dengan arah pemaknaan yang terbangun. Hal ini dimungkinkan karena ada dua sebab lagi: a) petanda yang terkandung dalam penanda tidak berkorelasi dengan petanda pada tanda lain. b) penafsir tidak memahami jalur pemaknaan dalam puisi karena ada beberapa petanda dalam satu penanda sehingga membelokkan pembacaan. Jika sebuah puisi tidak memiliki cukup kode bahasa yang melengkapi pemaknaan, di sana ada kesalahan pembentukan. Puisi seperti itu sudah bukan dalam struktur bahasa yang diciptakan untuk berkomunikasi. Ia lempung meleleh yang tidak memiliki bentuk jelas sebagai keramik.
Pada dasarnya sistem pemaknaan dalam puisi memiliki bagian yang berkaitan. Ia adalah bangunan makna yang saling menguatkan. Ia adalah jalur utama meski di tengah jalan mungkin ada persimpangan. Penyimpangan ini muncul karena banyaknya referen yang ditunjukkan oleh simbol dalam puisi. Ketika puisi menghadirkan beberapa jalur penyimpangan seperti ini, maka jalur terkuat adalah jalur yang paling logis karena ia didukung oleh kode bahasa terbanyak. Misalnya di awal penafsiran ada beberapa jalur yang cenderung mengarah pada makna tertentu, tapi di tengah jalan ada kode bahasa yang membuatnya berbelok, sehingga jalur itu terputus dan pemaknaan tidak selesai. Jika memang tidak ada jalur pemaknaan lain (yang didukung oleh bangunan pemaknaan), maka puisi seperti itu telah gagal memberikan petunjuk penafsiran atas dirinya. Puisi gelap (hermetis) yang tidak jelas hendak mengarah ke mana. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya penafsiran tidak bisa dipaksakan. Karena hal itu hanya akan mengungkap sebagian makna, bukan keseluruhannya. Segala upaya intuitif hanya akan menuju pada aporia (yunani: tidak ada jalan keluar) karena puisi telah meloncat dari jalur pemaknaannya.
Sistem Pemaknaan Logis
Dalam apresiasi terbatas (kritik umum) yang hanya mengungkapkan poin-poin penting, hal itu mungkin masih bisa diterima. Penafsiran singkat seperti itu mempertimbangkan waktu dan keadaan. Meskipun dalam keterbatasan itu tetap ada sistem-sistem pemaknaan walau sederhana. Penafsiran atas puisi harus dibedakan dari komentar singkat, meskipun komentar atas puisi adalah sebagian dari apresiasi meski tidak terbangun sempurna. Puisi memiliki struktur, penafsiran atas puisi—yang paling terbatas sekalipun—harus tetap memperhatikan sistem-sistem pemaknaan. Jika ulasan itu ingin disebut sebagai penafsiran logis. Bagaimanapun, sebuah puisi memang cenderung melahirkan penafsiran yang berbeda. Itu sifat alami yang tidak bisa disatukan dalam pandangan universal. Kemunculan perbedaan tafsiran itu bisa disebabkan oleh banyak hal, tetapi yang menjadi pokok persoalan adalah, jika penafsiran yang ada tidak sesuai jalur pemaknaannya. Jalur yang dibentuk oleh sistem makna berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa.
Sistem pemaknaan yang saya maksudkan itu bukan sebagai sistem yang terstruktur step by step, bukan sistem jadi yang bersifat ready for use, tapi ia merupakan unsur-unsur yang berkaitan dalam pemaknaan puisi. Baik dari segi bentuk teks atau yang berkaitan dengan panafsirnya. Dalam prakteknya, unsur-unsur itu tersimpan di berbagai aplikasi kritik sastra yang digunakan. Secara garis besar bisa diwujudkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Proses Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Meminjam istilah Riffattere, pemaknaan terhadap karya sastra biasanya melewati dua tahap pembacaan, heuristik dan hermeneutik. Hasil pembacaan heuristik adalah penafsiran secara kasar berdasarkan makna harafiah dan strategi retoris yang muncul di permukaan. Penafsiran dalam bentuk ini adalah pemaknaan yang mendasar dan apa adanya. Tapi proses ini menjadi kerangka pembacaan yang lebih mendalam, yakni hermeneutik. Ketika puisi dibaca secara detail, jalur-jalur pemaknaan mulai terlihat berdasarkan kode bahasa. Dalam pembacaan hermeneutik inilah penafsiran yang sesungguhnya dilakukan. Meskipun bisa jadi dalam proses pembacaan ini akan muncul kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain. dengan sendirinya penciptaan teks ke dua (penafsiran) akan menempuh satu jalan keluar sebagai penyelesaian.
2. Analisa Struktur Metaforikal
Seperti yang pernah saya bicarakan sebelumnya (pada logika dalam puisi, 1 dan 2), metafor memiliki struktur pembentuk, juga keterkaitan tertentu. Struktur itu (dari segi fisik) adalah, pengias, subyek yang dikiaskan, kerja kias. Ketiga unsur itu harus memiliki keseimbangan bentuk. Misalnya pengiasnya atau subyek yang dikiaskan tidak sebangun, maka akan terjadi kepincangan logika. Seperti sosok maskulin dikiaskan dengan bunga yang identik dengan keindahan dan kelembutan, kecuali penggambaran itu sebagai kata majemuk yang mewakili keumuman, seperti bunga bangsa. Tetapi jika bunga dipaksakan sebagai kiasan dari sosok maskulin, maka antara pengias dan subyek yang dikiaskan tidak memiliki keseimbangan pengimajian. Dari segi intrinsiknya, metafor bertumpu pada, keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi, fungsi metafor tersebut: dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya, keselarasan dengan metafor lain.
Sebuah puisi yang gagal membentuk makna metaforikal karena unsur-unsur pembentuknya tidak seimbang cenderung membuat pemaknaan dipaksakan, karena hanya memperturutkan intuisi penafsir dibandingkan kode bahasa yang ada. Hal ini membuat pemaknaan menjadi kabur dan semata menjadi ajang orasi subyektifitas yang tidak berakar. Jika pembacaan terhenti di tengah jalan hanya karena ada satu struktur metaforikal yang gagal, maka pemaknaan akan ditarik keluar berdasarkan kesimpulan dari kode bahasa mayoritas. Analisa yang tepat pada struktur metaforikal ini akan memperjelas jalur pemaknaan. Sebuah metafor adalah sebuah sistem tanda, meski di dalamnya terkandung banyak petanda. Keseimbangan dan kesebangunan dari metafor itu dengan sendirinya akan mengarah pada pemaknaan yang paling kuat berdasarkan kode bahasa.
3. Sinkronisasi Petanda
Jika dalam satu penanda ada beberapa petanda, seperti keumuman metafor, maka perlu disinkronkan petanda itu dengan ide pokok dalam puisi, sehingga muncul satu petanda yang tersinkronisasi. Baru kemudian dihubungkan dengan petanda dalam penanda di tanda lain. Sinkronisasi petanda ini dimaksukan untuk memunculkan kesebangunan wacana. Puisi sesuai sifatnya yang ambigu memang memunculkan beberapa penafsiran, hal ini karena sistem makna metaforikal yang terlepas dari rumah bahasanya menghendaki makna baru. Seperti yang dimaksudkan Riffattere mengenai ketidak-langsungan ekspresi: perusakan arti (distorting of meaning, penggantian arti (displacing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning). Dengan sinkronisasi ini penafsiran akan berjalan maksimal, meskipun tidak tertutup kemungkinan, tetap akan ada beberapa penafsiran jika ambiguitas itu tetap terbangun berdasarkan kode bahasa sampai akhir pembacaan puisi. Di sinilah sebenarnya peran intuisi penafsir yang sesungguhnya. Ia bekerja sesudah jalur-jalur pemaknaan menampakkan dirinya. Bukan sejak awal menciptakan jalur sendiri tanpa memperhatikan seluruh kode bahasa.
4. Memilih Jalur Pemaknaan yang Terbentuk Dalam Proses Pembacaan
Selepas sinkronisasi tadi, pembacaan akan dihadapkan pada kemunculan jalur-jalur pemaknaan. Di dalam puisi ada beberapa jalur pemaknaan sesuai dengan petanda yang terbaca di setiap penanda dalam tanda linguistik. Kemungkinan itu muncul karena efek ambiguitas didukung oleh kode bahasa yang sama-sama kuat. Bagaimanapun, pada akhirnya hanya akan ada satu pemaknaan, jalur-jalur tersebut akan tereliminasi oleh jalur pemaknaan terkuat. Jalur pemaknaan terlogis berdasarkan petunjuk yang digelar dalam puisi. Subyektifitas memang mungkin menjadi pilihan di sini, tetapi pilihan itu berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa. Bukan pilihan bebas tanpa pertanggung-jawaban logis.
5. Data-data Intertekstualitas yang Mendukung (tapi bukan berlebihan)
Data-data yang mendukung ini adalah selama data-data itu membangun pemaknaan sesuai jalurnya. Jika data yang dimasukkan dari luar kajian terlalu banyak, maka pemaknaan akan melebar dari substansi kebahasaan. Padahal puisi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi, bahasa yang digunakan puisi bukan bahasa bercabang dan berbelit-belit. Ia adalah bahasa praktis yang memungkinkan penafsiran terwujud melalui struktur pembentuknya. Sedangkan bahasa adalah sistem tanda. Kepentingan puisi pada bahasa, sejauh itu memungkinkannya memberikan pengertian dalam jalur yang jelas. Bahasa jika diseret dalam kajian berat, misalnya filsafat bahasa, cenderung berputar-putar dan membutuhkan koneksitas yang sangat lebar. Kajian-kajian di dalamnya tidak memiliki kesimpulan yang selesai. Ia bukan konvensi bulat sebagaimana konvensi yang digunakan dalam bahasa praktis. Tapi di dalamnya merupakan kumpulan premis-premis yang terus diuji sepanjang masa. Padahal di sisi lain, bahasa secara praktis telah ada dan disepakati. Koreksi-koreksi di dalam bahasa secara mendalam untuk menghadirkan konvensi baru yang lebih kuat dari sebelumnya. Dan hal itu tentu membutuhkan ruangan lain, bukan dalam proses kritik sastra.
6. Obyektifitas yang Didasarkan Pada Kode Bahasa
Tidak ada pemaknaan yang benar-benar obyektif, tetapi ada perbedaan besar ketika pembacaan atas makna puisi didasarkan pada kode bahasa yang ada. Bukan hanya didasarkan pada intuisi penafsir. Sesuai sifat alaminya, intuisi berjalan sendiri dan tidak selalu seiring dengan jalur pemaknaan. Hakikatnya penafsir bebas berinterpretasi dan tidak harus sama dengan gagasan penyair. Boleh jadi penyair tidak memberikan kode bahasa yang cukup lengkap. Ia hendak menceritakan sesuatu, tapi tidak didukung oleh petunjuk yang ada dalam puisinya. Di sinilah tarik-menarik itu, penyair sebisa mungkin menghadirkan kode bahasa yang membangun penafsiran. Karena puisi tercipta sebagai bentuk komunikasi. Sedangkan penafsir sedapat mungkin mengikuti petunjuk melalui kode bahasa yang diberikan penyair agar tercipta keterkaitan pemaknaan.
Seorang penyair memang tidak harus memahami teori-teori terkait setudi keilmuan. Upaya yang mesti dilakukan penyair adalah sejauh itu berkaitan dengan penciptaan karya. Di sini hal-hal pokok itu terkandung dalam konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi budaya. Lebih jauh dari itu merupakan bonus, tapi bukan keharusan yang mesti dikejar dan dikuasai. Puisi dari segi proses penciptaan tidak bisa diukur apalagi dituntun. Ia menyoal pengasahan skill yang berkaitan dengan perasaan penyair. Setiap orang tentu memiliki karakteristik berbeda, begitu juga jalur-jalur penuangan ide ke dalam medium bahasa. Sebaliknya, seorang kritikus tidak harus pandai membuat puisi hanya untuk membongkar dan memahami puisi. Wilayah-wilayah tersebut bisa jadi dikuasai sekaligus oleh seseorang, namun bukan keharusan untuk bisa begitu.
7. Fokus Pada Ide Pokok dan Mengabaikan Kode Bahasa yang Mandul
Seorang penafsir adalah pencipta teks ke dua sesudah puisi ada sebagai teks pertama. Di sini terdapat ikatan yang kuat antara teks pertama dan teks ke dua. Maka sebagaimana puisi diciptakan, seorang penafsir harus memperhatikan ide pokok dalam puisi. Ia bukan hanya topik pembicaraan, tapi ia merupakan sulur-sulur tempat kode bahasa bergelayutan. Puisi selalu membuka ruang-ruang pemaknaan baru, itu adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Tetapi keruangan pemaknaan itu tetap harus berdasar pada kode bahasa yang muncul. Sesuai dengan bentuknya, puisi adalah bangunan sistem tanda. Maka pemaknaan mengikut pada sistem tersebut agar ia membentuk opini yang terbangun, berdasar, dan tidak ngawur.
Kesimpulan
Puisi bukanlah teks sakral yang ada begitu saja atau turun dari langit dengan segala keagungannya. Teks itu semata teks yang merupakan sistem tanda, darinya memancar jalur-jalur pemaknaan. Yang dikatakan agung pada puisi adalah kandungan isinya, maksud penyair yang tersimpan dalam balutan diksi dan gaya bahasa. Nilai itu dilihat dari sugesti yang mengarahkan pembaca pada hal-hal baik untuk mengikutinya. Dengan sendirinya, puisi dan umumnya karya sastra hendak mengangkat harkat kemanusiaan dengan pengajaran moral yang lebih tinggi. Permasalahannya, puisi menggunakan makna metaforikal dalam menyampaikan maksud. Sistem kebahasaan yang dimilikinya menghadirkan jeda dalam pemahaman. Pembaca tidak menangkap maksud di dalamnya secara langsung, ia terlebih dahulu harus mencari ide pokok (mirip dengan hipogram versi Riffattere) yang tersembunyi dalam kiasan.
Selaras dengan premis Rachmat Djoko Pradopo yang membagi jenis kritik sastra menjadi dua bagian: kritik umum dan akademik, menghadirkan fakta di lapangan yang membuat dua bentuk itu memiliki perbedaan besar dalam penyajian. Kritik umum lebih bersifat praktis dan hendak mengungkap kelebihan-kelebihan karya sastra. Jenis ini langsung masuk ke dalam pembahasan dan membuang kajian-kajian yang dirasa bertele-tele dan tidak perlu. Bentuk ini memang lebih nyaman untuk dibaca, tetapi banyak apresiasi dalam bentuk ini yang cenderung memanjakan subyektifitas dan meninggalkan pijakan dasar pemaknaan. Dalam ruang dan situasi terbatas, poin-poin penting yang diangkat dalam bentuk praktis tersebut memang lebih pas. Namun bukan berarti ia benar-benar berlepas diri dari dasar-dasar penafsiran sesuai kode bahasa yang ada. Pemaknaan yang tidak berakar justru akan membuat jurang perbedaan dalam penafsiran semakin menjauh.
Melihat kecenderungan dalam kritik sastra, yakni menimbang pendekatan yang efesien dan terarah, pemaknaan terhadap karya sastra (khususnya puisi) harus berjalan pada sistem-sistem tertentu. Hal ini bukan untuk memutlakkan, karena memang tidak ada yang mutlak di sana, tapi demi menghasilkan pembacaan terarah sesuai petunjuknya. Bukan interpretasi yang melenceng dari pokok yang dibicarakan. Subyektifitas yang ada kemudian adalah soal pengambilan sudut pandang, tetapi jalur-jalur pemaknaan yang ditempuh sesuai dengan tanda-tanda linguistik yang terbaca. Jalur-jalur itu selalu sama dan tersistemasi. Karena setiap kata dalam puisi membentuk jaringan pemaknaan antar bagian (hubungan paradigmatik), yang kemudian hal itu akan membentuk struktur makna lebih luas (hubungan sintagmatik). Pembacaan yang baik hendaknya melalui atau menggunakan sistem-sistem pemaknaan, di antaranya: proses pembacaan heuristik dan hermeneutik, analisa struktur metaforikal, sinkronisasi petanda, memilih jalur pemaknaan logis yang terbentuk, data-data intertekstualitas yang mendukung tapi tidak berlebihan, obyektifitas yang didasarkan pada kode bahasa, fokus pada ide pokok dan mengabaikan kode bahasa yang mandul.


Kajitow El-kayeni

Jumat, 23 Maret 2012

MEMBACA PUISI PUTIH: Engkaulah Lelakiku!

Kehidupan adalah sebuah misteri besar, tentu saja. Tapi kehidupan adalah juga pilihan mengenai bagaimana menyikapi hidup itu sendiri. Orang-orang di seluruh penjuru dunia berramai-ramai menyanyikan dunia dengan berbagai cara. Ada yang penuh suka cita, karena mungkin ia sedang bahagia seperti Sapardi Djoko Damono dengan “Aku Ingin”-nya itu. Ada yang penuh canda tawa, karena mungkin ia menangkap kesan humor atau ejekan di sana seperti Remy Silado dengan puisi mbelingnya. Ada yang murung, karena mungkin sedang patah hati seperti Chairil Anwar dengan “Senja di Pelabuhan Kecil”-nya. Ada yang penuh kesedihan, karena mungkin ia mengalami hambatan seperti Dorothea Rosa Herliany dengan puisi feminisnya. Ada yang penuh hikmat, karena mungkin sedang khusuk dalam suasana penghambaan seperti Dimas Arika Miharja dengan “Membaca Pesan Langit”-nya. Ada yang memberontak dengan keras, karena mungkin merasakan ketidakadilan seperti Redra dengan puisi baladanya. Berbagai cara dilakukan manusia untuk merayakan kehidupan. Meskipun pada akhirnya, warna yang beraneka ragam itu akan kembali pada warna dasar: hitam dan putih.

Setiap penyair boleh dan bisa berpindah gaya atau warna, bahkan seringkali setiap penyair bereksperimen untuk menghasilkan temuan dalam puisi. Meskipun pada dasarnya setiap orang memiliki gaya masing-masing yang khas. Hal itu dipengaruhi oleh watak, latar belakang, pengalaman empiris, keluasan ilmu pengetahuan. Di sinilah kesan unik itu berada. Penyair dengan gayanya yang khas akan tampil unik dan sendiri. Wujud dari ke-khas-an itu berhubungan pula dengan kreatifitas mencipta dan menemu. Penyair adalah penemu dan pembaharu bahasa. Kebaruan ini bukan karena ia telah menciptakan bahasa baru, karena bahasa yang dipakai oleh kita sekarang ini juga telah dipakai oleh orang-orang sebelum kita. Kebaruan itu sebenarnya terwujud dengan memunculkan kesan tidak familiar dalam bentuk dan pengucapan. Bisa dengan memotong kata, menggabungnya, atau merubah letak sintaksisnya.

Menarik sekali saat membaca ragam puisi di BPSM ini, begitu banyaknya puisi sehingga sulit memberikan apresiasi memadai untuk setiap puisi yang muncul. Bukan karena puisi-puisi itu tidak bagus, tapi karena keterbatasan waktu untuk menguraikannya satu-persatu. Satu puisi saja sebenarnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membongkarnya dengan detail. Maka bagi saya pribadi, yang membuat puisi terapresiasi atau tidak adalah karena faktor jodoh saja. Meskipun itu juga dipengaruhi oleh keunikan karya tersebut sehingga memunculkan rangsangan untuk membacanya secara teliti.

Seperti puisi Penyair Nabila Dewi Gayatri yang berjudul “Engkaulah Lelakiku!” Puisi ini memiliki cara penyajian yang unik, karena penyair memilih salah satu warna dari dua warna dasar yakni putih.



Engkaulah Lelakiku!
Oleh: Nabila Dewi Gayatri


engkaulah sang gagah perkasa, adam
memadatkan rindu hawa mencengkeram tulang rusuk sebelah
merumahkan angin mengkidungkan kekal asmara
melangitkan wujud kasih mengimani nafas, bersetia!

penampakanmu laksana butiran gerimis memistis kalis kehidupan
menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan
kau benamkan dahsyat cinta di segala cuaca sang maha
di angkasa, halilintar menahan gelegar mengamini doa

aku sendiri seperti puisi yang belum jadi bersidekap sunyi
merayapi bayangmu mengendus jejakmu aku tak mampu
hingga menggemuruh rasa melompati kepala hendak memenggalku
singup kalbu menggaungkan gelap kedalaman, melipat sekarat!

oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan
rebahlah keakuan, kucumbu mesra taqdir keikhlasan

engkaulah lelakiku yang sempurna menjadikan manusiaku sabar
bumi tak bermakna tanpamu, dan untuk apa langit di hiasi
bekas silamu panas meleburku, di debur maqam cintamu
mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah

Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!



Dalam istilah saya, ini puisi putih. Puisi yang selaras dengan pandangan umum mengenai sesuatu yang bisa dikatakan mitos meskipun ada kaitannya dengan religi. Kenapa saya menganggapnya mitos? Karena ketika saya bergerak keluar dan menanggalkan baju yang saya kenakan, maka puisi ini hanya semata mitos bagi saya. Sebagaimana saya membaca puisi yang membawa dewa-dewa Yunani, atau mitos-mitos yang ada dalam agama dan kelompok masyarakat lain. Dapat dianalogikan, di tangan kanan saya ada puisi putih, puisi religi, puisi dengan corak tradisi, puisi yang selaras dengan mitos. Sementara di tangan kiri saya ada puisi hitam atau nyaris hitam, puisi yang menggugat Tuhan, puisi perlawanan, puisi yang kontra mitos. Puisi putih seperti ini memiliki sedikit resiko pertentangan, meskipun juga memiliki banyak saingan sehingga tidak bisa tampil unik. Satu-satunya upaya yang bisa membuat puisi putih terasa segar dan unik adalah dengan memberikan kebaruan padanya.

Adam yang melatari puisi ini saya pandang sebagai Adam mitos. Karena Adam di sana tidak saja mewakili terminologi keislaman. Bahkan Adam itu sendiri merupakan pokok seluruh mitos yang ada di dunia ini. Adam itu juga mewakili seluruh kaum laki-laki, sebagaimana dimaklumi definisinya dalam kamus. Memang adam yang dikehendaki dalam puisi ini bukanlah Nabi Adam. Maka dari itu penyair menulis adam dengan huruf kecil. Ia bukan saja sosok berbeda dari Nabi Adam, bahkan ia bukanlah sebuah nama manusia. Adam yang disebut dalam puisi ini adalah adam sebagai kata benda yang berarti laki-laki. Meskipun, seperti yang saya katakan di atas, adam kata benda itu terbayangi oleh sosok Adam mitos tadi. Maka Adam mitos itu juga yang melatari puisi ini. Artinya sosok laki-laki yang dikehendaki penyairnya itu diserupakan dengan sifat-sifat Nabi Adam sebagai laki-laki pertama.


engkaulah sang gagah perkasa, adam
memadatkan rindu hawa mencengkeram tulang rusuk sebelah
merumahkan angin mengkidungkan kekal asmara
melangitkan wujud kasih mengimani nafas, bersetia!

penampakanmu laksana butiran gerimis memistis kalis kehidupan
menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan
kau benamkan dahsyat cinta di segala cuaca sang maha
di angkasa, halilintar menahan gelegar mengamini doa


Aku lirik dalam puisi ini sedang mengungkapkan kekaguman terhadap sosok adam yang ditemui dalam hidupnya. Tidak jelas dikatakan laki-laki itu siapa. Tapi melihat keumuman yang dikehendaki penyair dengan menuliskan adam tanpa huruf kapital di awalnya, menunjukkan laki-laki itu tidak berhenti pada satu sosok. Laki-laki yang diwakili dengan kata adam itu adalah banyak laki-laki yang berhubungan dekat dengan penyair. Tidak tertutup kemungkinan, adam itu sebagai wakil dari seluruh laki-laki ideal yang dikagumi oleh “aku lirik.” Maka dari itulah aku lirik berkata, “engkaulah sang gagah perkasa, adam.” Ini sifat umum laki-laki, sifat maskulin. Meskipun ada laki-laki yang gerak-geriknya seperti perempuan. Tapi tidak masalah karena gagah perkasa yang dikehendaki itu adalah sifat, bukan sebagai tolok ukur kemaskulinan dengan berotot, kuat, gentle, dan sebagainya. Gagah perkasa itu lebih dekat kepada sifat kesatria seperti mengayomi, melindungi, mengasihi, menghormati, dan seterusnya. Sosok ideal yang demikian istimewa itu memang tidak semua golongan laki-laki. Karena seperti kita tahu, banyak laki-laki yang lupa kelaki-lakiannya. Sehingga bertindak arogan dan semena-mena terhadap wanita, yang jelas lebih lemah secara fisik maupun mental dari laki-laki.

Sifat gagah perkasa tadi membuat perempuan normal manapun akan mabuk kepayang, meskipun kata “memadatkan” di sana lebih dekat kepada makna padat yaitu penuh berjejal-jejal. Tetapi “memadatkan” itu bisa juga berarti membuat madat, yakni mabuk kepayang itu sendiri. Keduanya bermakna sama dan itu terserah pemilihan makna yang mana. Kekaguman aku lirik atas sifat gagah perkasa tadi terus belanjut sehingga dikatakan “merumahkan angin,” yakni membuat keinginan liar menjadi tentram. Angin seperti diketahui selalu bergerak, karena jika berhenti itu bukan angin tapi udara. Maka udara yang bergerak atau angin ini adalah lambang bagi gejolak keinginan liar itu dan di sini dikatakan merumahkan angin, yakni gejolak itu menjadi tentram, tenang, seolah berada di rumah sendiri. Dalam keluarga normal yang bahagia, rumah adalah gambaran dari kebahagiaan. Maka ada istilah rumahku istanaku, karena rumah adalah tempat paling aman dan nyaman. Selain gejolak liar menjadi tentram, kegagahan dan dan keperkasaan tadi membuat perempuan mana pun akan “mengkidungkan kekal asmara.” Artinya karena bahagia, setiap saat yang dirasakan adalah gairah cinta. Sedangkan “melangitkan wujud kasih” berarti membuat rasa kasih sayang menjadi keagungan. Karena langit adalah simbol dari ketinggian dan keagungan. Begitu juga dengan “mengimani nafas,” yakni meyakini seolah-olah seperti keyakinan akan nafas terhadap kehidupan. Tanpa nafas bagimana manusia bisa hidup. Keyakinan seperti itulah untuk menggambarkan “bersetia.” Yakni bersikap setia dengan penuh keyakinan. Bisa jadi kalimat “melangitkan wujud kasih mengimani nafas,” itu sebagai gambaran dari “bersetia” ini. Namun kedua cara pemaknaan tadi juga berujung sama, maka tidak ada masalah di sana.

Keberadaan sosok adam tadi diibaratkan aku lirik seperti gerimis yang menyucikan atau membersihkan kehidupan. Proses pembersihan tadi dikatakan sebagai sesuatu yang gaib yakni berbau mistik karena di luar penalaran manusia. Artinya kehadiran laki-laki bagi aku lirik menghadirkan makna yang begitu besar, sehingga dikatakan berbau gaib karena tak terjangkau nalar. Demikian pula “menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan,” kekaguman yang luar biasa tadi membuat sosok adam begitu hebat dan penting sehingga ia seolah “menghujani” yakni memberi hujan sebagai simbol kesejahteraan, sedang “mengisyaratkan pemberkataan” bermakna mendapatkan kedamaian.

Karena terberkati itu mendatangkan rasa damai pada pihak yang diberkati. Begitulah aku lirik itu mengagumi sosok adam dalam puisi ini, sehingga sampai akhir bait kedua, aku lirik menggambarkan besarnya cinta yang diberikan adam itu sehingga sanggup bertahan di segala cuacaa rtinta dalam segala dinamika kehidupan. Bahkan halilintar yang biasanya menakutkan itu dipandang sebagai pengamin doa mereka berdua. “Menahan gelegar” di sana hanya sebagai kiasan dari anggapan aku lirik terhadap kekuatan cinta adam tadi. Sehingga halilintar yang tidak mungkin bisa ditahan itu seolah menahan gunturnya demi memngamini doa.


aku sendiri seperti puisi yang belum jadi bersidekap sunyi
merayapi bayangmu mengendus jejakmu aku tak mampu
hingga menggemuruh rasa melompati kepala hendak memenggalku
singup kalbu menggaungkan gelap kedalaman, melipat sekarat!

oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan
rebahlah keakuan, kucumbu mesra taqdir keikhlasan


Selanjutnya aku lirik membaca dirinya sendiri. “aku sendiri,” katanya. Maksudnya mengenai diriku sendiri adalah “seperti puisi yang belum jadi.” Dari sini terkandung maksud aku lirik menganggap dirinya selembar kehidupan yang mirip puisi terpenggal. Di mana dalam dirinya ada hal-hal yang belum selesai atau belum lengkap, sesuatu yang belum lengkap itu menghendaki kelengkapan, maka ia mengejarnya dengan “mengendus jejakmu.” Sayangnya aku lirik tidak mampu. Ketidakmampuan itu tentu saja membuatnya risau hingga dikatakan “menggemuruh” karena tuntutan kelengkapan tadi tidak bisa diwujudkannya. Kerisauan yang sedemikian besar terkadang harus dibayar dengan “melompati kepala.” Bisa jadi kepala di sini lambang dari logika. Karena itulah dikatakan rasa atau kerisauan yang menggemuruh tadi seolah hendak memenggal kepalanya. Artinya membuatnya melangkahi akal sehat atau logika tadi. Hal itu membuat hatinya mengalami keremangan. “Singup” itu kemungkinan bahasa Jawa yang berarti keadaan yang remang atau agak gelap. Keadaan remang tadi bahkan berlanjut menjadi gelap sepenuhnya, seperti yang dikatakan penyairnya, “menggaungkan gelap kedalaman.” Hingga diakhiri, “melipat sekarat” yang kurang lebih berarti sebuah gambaran dari kematian.

Ada dua kemungkinan di bait ke tiga ini, (1) penyair sedang menceritakan kesedihan karena seseorang yang disebut sebagai adam itu telah meninggal. Oleh karena itu “aku lirik” tak mampu mengendus jejaknya, karena adam telah berbeda dunia. Kemungkinan lain, (2) aku lirik hanya berretorika. Adam di sana belum benar-benar mati. Ia hanya menggambarakan sebuah upaya untuk memahami tentang wujud adam yang begitu berarti baginya. Sehingga tanpa adam aku lirik seperti puisi yang belum jadi, yakni tidak lengkap. Namun kemungkinan pertama lebih kuat karena didukung oleh bait selanjutnya, “oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan.” Dalam sebuah ziarah mungkin, aku lirik yang tadinya mengalami kerisauan hebat, atu kesedihan yang sangat menjadi tabah karena ingat perjuangan sosok adam semasa hidup. “sabit” di sini kemungkinan di ambil dari bahasa arab, Tsabit yang artinya tetap. Karena jika dimaknai sabit sebagai alat pemotong rumput maknanya tidak berkesinambungan. Jadi sabit disini adalah tetapnya ketabahan aku lirik dalam ziarah itu, akibat ia ingat dengan “gerak” adam semasa hidup. Sehingga akibat ingat bahwa adam yang tadinya hidup sekarang mati itu membuat keakuannya lenyap. Ia menjadi sadar bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Sesudah tabah itulah aku lirik menjadi ikhlas. Hal itu dengan indah dikatakan “kucumbu mesra.” Seseorang yang sedang bercumbu tentu menikmati cumbuan itu. Maka dapat diartikan, rasa ikhlas itu benar-benar dirasakan oleh aku lirik karena kesedihan tadi telah berganti dengan penerimaan atas takdir Tuhan.


engkaulah lelakiku yang sempurna menjadikan manusiaku sabar
bumi tak bermakna tanpamu, dan untuk apa langit di hiasi
bekas silamu panas meleburku, di debur maqam cintamu
mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah

Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!


Sebagaimana sudah jamak diketahui, tidak ada manusia yang sempurna. Kalimat, “engkaulah lelakiku yang sempurna” hanyalah hiperbola untuk menggambarkan kekaguman berlebih aku lirik terhadap adam. Atau bisa jadi “sempurna” itu untuk menerangkan kalimat sesudahnya yakni “menjadikan manusiaku sabar.” Kenapa agak ganjil rasanya kalimat “menjadikan manusiaku” ini? Kalimat ini hanya sekedar retorika, aku lirik jelas adalah seorang manusia. Dengan menjelaskan kemanusiaan itulah aku lirik ingin menekankan hal-hal mendasar pada diri manusia yakni nafsu. Sisi manusia yang cenderung gegabah dan tergesa-gesa ini menjadi sabar akibat peranan adam yang dikatakannya sempurna itu. “dan untuk apa langit di hiasi,” agaknya penyair salah menuliskan kalimat “di hiasi” itu yang seharusnya “dihiasi.” Demikianlah aku lirik itu terus memuja sosok adam yang ideal menurutnya, adam yang sempurna, adam yang sesuai dengan keinginannya. Karena sosok adam yang dibicarakan dalam puisi ini tidak hendak ditujukan pada seseorang yang khusus, maka wajar jika ada ungkapan, “mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah.” Ini biasanya dikhususkan bagi para suami. Setiap pelayanan istri terhadap suami adalah ibadah. Sebagaimana yang telah terkabar dalam hadist masyhur yang bermakna kurang lebih, seandainya umat islam boleh melakukan syirik, maka setiap istri itu harus menyembah suaminya sendiri seperti shalat lima waktu. Tentunya hadist seperti ini bermakna metaforis, artinya tekandung anjuran agar setiap istri itu bisa melayani suaminya dengan baik.

Begitulah aku lirik menganggap adam itu sebagai sosok yang istimewa, sehingga dalam baris terakhir dia berseru, “Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!” Sebuah keyakinan untuk berlaku lebih baik. Baris terakhir ini adalah bentuk doa. Maka seruan “Ya 'Azza Wa Jalla” itu dalam konteks bahasa Arab disebut jumlah du-‘aiyah. “Ya” dikenal sebagai ya nida, yakni ya yang berfungsi untuk menyeru. Hampir sama dengan “wahai” dalam bahasa Indonesia. Ya ‘Azza Wa Jalla bermakna, wahai (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Doa yang diserukan oleh aku lirik ini sebagai efek kesadaran karena kehadiran sosok yang istimewa seperti adam tadi dalam kehidupan aku lirik.

Puisi “Engkaulah Lelakiku!” ini juga merupakan perayaan atas dunia. Terlihat jelas warna yang dipilih penyairnya adalah putih. Sosok adam yang begitu istimewa bagi aku lirik itu merupakan refleksi juga dari sosok Adam mitos, yang menjadi bapak bagi seluruh manusia. Ada yang khas atau unik dalam puisi ini, seperti pilihan diksi dan perlambangan yang sudah dibicarakan di atas. Namun tidak ada kebaruan lain yang disuguhkan, misalnya dalam hal sudut pandang. Karena kebaruan yang bisa dicapai oleh puisi putih hanya berkisar pada diksi dan perlambangan, bisa juga penyair memasukkan suasana berbeda. Tentunya hal demikian berbeda dengan puisi yang berada dalam arah berlawanan, yakni puisi hitam atau nyaris hitam. Jika puisi putih yang disajikan Penyair Nabila Dewi Gayatri selaras dengan pandangan umum atau mitos yang ada, puisi hitam ingin mendobrak itu. Jika satu religius, satunya anti Tuhan atau menggugat Tuhan. Jika satu pro mitos, satunya kontra mitos. Keduanya sama-sama mengisi dalam rentang keseimbangan. Seolah Tuhan itu menjuntaikan Tangan-Nya (boleh dibaca sesuai keyakinan masing-masing) ke dunia ini dan memberikan pilihan seluas-luasnya pada manusia untuk memilih. Pilihan apa pun akan memiliki resiko masing-masing. Membuat puisi putih tentu saja boleh, tapi tidak semua hal bisa diwarnai putih. Terlebih puisi putih cenderung tidak bisa tampil unik karena hanya memuji dan menyanjung. Tugas penyair adalah menyuarakan gemuruh yang ada dalam dunia batinnya, dengan warna apa pun yang dipilihnya itu memang bebas. Namun sebagai corong kemanusiaan, hendaknya penyair tidak boleh berhenti hanya pada tahap bersolek saja.



*****


Kajitow El-kayeni
Esais

Kamis, 22 Maret 2012

NASKAH DRAMA: KI ANGENG SELO DAN PETIR

KI AGENG SELO DAN PETIR


ADEGAN I

(Narasi sebelum drama dimulai) Dusun Selo yang unik dengan kesederhanaannya. Tempat yang dulu hanyalah tanah gersang yang dihuni beberapa kepala keluarga kini telah berubah menjadi ramai. Semua itu berkat pengaruh Ki Ageng Selo yang memiliki kesaktian tinggi. Tersebutlah beberapa muridnya menjadi ksatria yang disegani, termasuk Mas Karebet atau Joko Tingkir. Sebagai seorang guru ilmu kanuragan dan kebatinan yang sakti mandra guna, Ki Ageng tidaklah ingin melebih-lebihkan kemampuannya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, cicit Prabu Brawijaya itu lebih tampak sebagai petani biasa yang tekun menggarap sawahnya. Begitulah kerendahan hati Ki Ageng Selo. Pengaruhnya yang kuat tidak membuatnya lupa diri dan jumawa.
Seperti kebiasaannya setiap hari, Ki Ageng tetap pergi ke sawah meski cuaca sedang tidak bersahabat. Selama berhari-hari hujan terus saja turun diiringi petir dan guruh yang menggila. Aneh sekali prilaku petir itu, biasanya kejadian petir menyambar hanya terjadi sekali pada pohon yang tinggi. Itu pun jarang sekali terjadi. Tapi kali ini tidak hanya di sawah, rumah-rumah penduduk pun ada yang tersambar.

(efek lampu yang menyorot seorang aktor maju ke tengah panggung dan memakai atribut petani lengkap dengan cangkul)

(efek petir dan suara guntur)

Ki Ageng Selo: (Terhenyak dan berhenti mencangkul, tiba-tiba petir dengan cepat menyambarnya.)

(narasi) Orang orang di dusun berhamburan keluar rumah begitu suara gelegar itu berhenti. Mereka segera tahu jika petir itu menyambar seorang yang paling disegani di dusun Selo. Ki Ageng Selo, tokoh sakti yang sendirian di tengah amukan hujan guntur. Tapi bukan Ki Ageng Selo jika hangus tersambar petir. Bahkan di tengah sawah itu dia sedang bergulat mencengkeram petir yang bergerak-gerak menyambar-nyambar dengan hebat. Pakaiannya compang-camping tersengat petir itu. Capingnya telah terpelanting jauh dari kepalanya. Tanah sawah yang menopang tubuhnya membentuk kawah lebar. Pohon-pohon di pematang besar tersibak daunnya. Begitu juga dengan angin yang berkesiur menderu di areal persawahan.
(efek suara petir dan guntur)

Ki Ageng Selo: “La haula wala quwwata illa billah... apa maumu wahai petir? Kenapa kau membuat desa ini kacau!?” (terus mencengkeram petir yang bergolak tak menentu itu. Mantra terus dirapalnya untuk melemahkan petir tersebut.)

(Setelah seluruh daya terkuras, petir itu menjelma seorang kakek tua dengan sorot mata menyala-nyala. Ki Ageng Selo tidak terpengaruh dengan jelmaan itu. Pandangannya menerobos tubuh tua yang sedang dicekal lehernya itu.)

Petir: “Aku diperintah untuk demikian. Bukan urusanmu menanyakannya!” (dengan suara serak dan berat)

Ki Ageng Selo: “Jumawa!” (pandangan melotot, roman merah)

Petir: “Memang apa yang bisa kau lakukan, ha!? Manusia hanya mementingkan dirinya dan tidak mau ingat pada nikmat Tuhannya.” (diam sejenak)

Ki Ageng Selo: “Ada manusia baik dan ada yang jahat. Tidak berarti yang baik harus ikut dihukum bersama yang jahat.”

Petir: “Terserah.”

Ki Ageng Selo: (tampak sedang berpikir) “Baiklah, akan kuserahkan kau ke Demak Bintoro untuk diadili.”

Petir: “Apa!?

Ki Ageng Selo: “Iya, Demak Bintoro.” (tersenyum mengejek petir)

Petir: (tertawa keras) “Bukankah engkau menaruh dendam pada mereka?”

Ki Ageng Selo: “Kau akan segera tahu. Kehadiranmu adalah tanda yang sudah lama aku tunggu.”

Petir: (diam dan memandang Ki Ageng Selo dengan pandangan mata menyala. )


Adegan II


(lampu menyala muncul ki ageng selo, dan beberapa orang dari kesultanan Demak Bintoro)

Prajurit 1: “Kau siapa? Mahluk apa in-ni?” (suaranya gemetar dan ketakutan melihat petir yang telah menjelma menjadi sosok tua yang aneh)

Ki Ageng Selo: “Aku Ki Ngabdurahman dari Selo.” (diam sejenak dan menoleh ke arah sosok tua jelmaan petir) “Ini jelmaan petir yang aku tangkap karena mengacau di dusun Selo.

Prajurit 1: “Kau!?” (mencoba berpikir keras) “Kau yang dulu membunuh banteng dalam pendaftaran prajurit itu ya?” (ketakutan.)

Ki ageng Selo: “Iya.”

Prajurit 1: “Apa kau ingin mengacau di sini?” (panik dan menggenggam erat-erat tombaknya.)

Ki ageng Selo: “Tidak. Sampaikan pada Sultan, Petir ini aku persembahkan sebagai tawanan.”
(beberapa prajurit berbisik-bisik. Prajurit 1 masuk ke dalam kerajaan.)


Adegan III


(lampu kembali menyala, beberapa orang muncul)

Prajurit 1: “Hamba ingin melapor Paduka.”

Sultan Demak: “Ada apa prajurit?”

Prajurit 1: “Di luar ada Ki Ngabdurahman dari Selo. Datang ke Demak untuk mempersembahkan mahluk yang dikatakannya jelmaan dari petir.”

Sultan Demak: (kaget, dia berdiri dari kursi singgasananya. Bergumam) “Inikah pertanda dari permulaan munculnya trah Brawijaya itu? Inikah tanda akan segera berdiri Kerajaan Mataram baru?”

Penasehat 1: “Jangan Takut Kanjeng Sultan. Sebaiknya beliau disambut dengan baik sebagai tamu Sultan. Jika memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa maka itulah yang akan terjadi kelak.”

Sultan Demak: (merenung sejenak. Kemudian menghadap pada penasehat.) “Apakah semua ini akan berakhir sekarang Sunan? Apakah kerajaanku ini akan hancur?”

Penasehat 1: “Tidak Sultan, Ki Ageng Selo hanya membawa bibit Keprabon. Keturunannya kelak yang akan menjadi penguasa tanah jawa.”

Sultan Demak: (kembali duduk di kursi singgasana. Wajahnya lesu.) “Baiklah, kita akan menyambutnya.”


Adegan IV


(lampu menyala. Beberapa orang keluar ruangan menemui ki ageng selo)

Ki ageng Selo: “Maafkan saya Sultan, ini saya bawa tawanan yang mengacau di dusun hamba.”

Sultan Demak: (tersenyum getir, merasa bersalah dan malu melihat kesaktian ki ageng selo.) “Saya meminta maaf pada Ki Ageng karena dulu pernah menolakmu menjadi prajurit di Demak Bintoro. Semoga ini tidak menumbuhkan dendam di antara kita.”

Ki ageng Selo: “Hamba bukan pendedam Kanjeng, beginilah mungkin kehendak Gusti Allah. Hamba bahagia menjadi seorang petani.”

Sultan Demak: “Baiklah, saya akan mengurung petir ini agar tidak mengganggu rakyat.” (diam sejenak, menoleh ke belakang.) “Prajurit, cari orang untuk menggambar wujud petir ini, lalu ukirlah di pintu masuk Masjid Agung untuk mengenang jasa Ki Ageng Selo.”

(petir itu berubah-ubah wujud. Semua orang keheranan. Masuklah nenek tua membawa air dalam kendi dan menyiramkan ke sosok yang berubah-ubah bentuk itu. Kerangkeng meledak. Sosok petir dan nenek tua lenyap.)

(lampu padam)

Selesai.

Senin, 02 Januari 2012

LOGIKA DALAM PUISI I



            Adalah  sebuah rahasia besar mengenai bagaimana manusia itu menghisap bahasa ke dalam dirinya. Bahasa tidak saja sebagai wujud hubungan kausal atas interjeksi, tidak sekedar pendefinisian sesuatu sekaligus pembedaan atasnya. Tetapi bahasa yang mengeram dalam tubuh manusia itu bergerak seiring pergerakan imajinasinya. Sesuai teori interjeksi, ketika manusia mendapatkan pengaruh internal berupa rasa lapar misalnya, ia akan berkata, “Aku lapar.” Ketika ada pengaruh eksternal seperti dipukul, manusia akan berteriak, “Aw!” atau “Ouch!” Bahasa yang dikenali bergerak karena pengaruh dari dalam dan luar diri manusia ini sebenarnya bisa bergerak sendiri. Pengaruh rangsangan itu mungkin tetap ada sebagaimana wejangan ayah saya Loektamadji A. Poerwaka, bahwa bahasa itu aksidensi bukan substansi. Tetapi pengaruh rangsangan itu lebih bersifat menyublim dan bersatu dengan bahasa itu sendiri. Ia tidak menunggu rangsangan tapi bergerak seiring rangsangan itu.

            Saya tidak hendak mengatakan bahwa bahasa bersifat aktif dan bergerak sendiri sebagaimana keyakinan Hudan Hidayat, namun lebih kepada bahasa di sini memiliki gerakan yang unik. Ia tidak saja mempecundangi logika yang mengekangnya, ia bahkan berkelit dari kejaran logika ketika ia telah menubuh pada konvensi lain. Peranan bahasa di sini menjadi bolak-balik. Sekali waktu ia patuh pada konvensi baru yang disetubuhinya itu, sehingga ia mempecundangi logika. Kali lain dia bergerak dinamis bersama logika dan tak terkekang oleh konvensi itu. Konvensi yang disetubuhi bahasa itu adalah konvensi sastra ketika bahasa dijadikannya media, seperti puisi misalnya. Di dalam puisi, bahasa akan mengucur bersama rangsangan internal yaitu ide.

            Banyak orang berkeyakinan jika puisi tidak mungkin terkejar oleh logika bahasa, karena bahasa telah berkelit di sini. Ia bersembunyi di dalam sistem lain yang unik dan otonom. Kenapa bahasa bisa menjadi begitu radikal seolah kacang yang lupa pada kulitnya? Itu karena sistem baru tadi menghendaki gerakan bebas bahasa, sistem itu membiarkan bahasa menari seliar imajinasi yang menyeruak dari dunia ide tadi. Sistem itu dikenal dengan sistem metaforikal. Sistem pemaknaan bahasa secara khusus ketika bahasa dijadikan media oleh puisi. Puisi memang memiliki sistem komunikasi berbeda dibanding komunikasi formal. Meskipun puisi memakai bahasa sebagai struktur dasarnya, tetapi puisi membelokkan sebagian kaidah bahasa itu sehingga dari pembengkokan tadi muncul nilai estetis. Yang kerap kali muncul (sejauh yang dapat saya lacak) adalah anggapan bahwa puisi tidak memakai aturan logis karena ia menggunakan bahasa dengan makna metaforikal bukan bahasa dengan makna literal. Artinya bahasa memang media yang digunakan oleh puisi, tetapi puisi memiliki sistem sendiri yang berbeda dari aturan logis bahasa (logika bahasa). Bahasa terlahir akibat keterusikan seseorang atas sistem fisiologisnya, sehingga awal kata yang terlahir adalah reaksi atas diri yang terusik baik dari dalam atau luar diri (teori interjeksi). Sementara Ernst Cassirer (1874-1945) menambahkan, bahasa adalah upaya manusia dalam mengenali benda-benda di dunia dengan prinsip identitas dan/atau perbedaan.

Saya sadar puisi menggunakan bahasa sebagai media, bukan sebagai upaya representasi atas dunia sebagaimana kehendak bahasa. Puisi adalah upaya kongkretisasi imajinasi estetis, dalam hal ini ia menggunakan benda-benda dalam puisi hanya sebagai simbolisasi. Sedangkan bahasa adalah perwujudan dari interjeksi dan pengenalan benda-benda untuk klasifikasi. Yang menjadi permasalahan adalah, jika logika tidak digunakan sebagai dasar pertimbangan bahasa yang digunakan puisi, lalu dengan apa kita bisa mengukur satu kesatuan metafor dalam satu puisi (atau klausa) itu lebih baik dari kesatuan metafor pada puisi lain? Harus ada standar yang memungkinkannya menjadi tolok ukur penggunaan sistem kebahasaan dalam puisi. Karena tanpa peran logika, berarti puisi tidak memiliki ukuran penalaran dan berarti puisi tidak bisa dipelajari karena ia sebuah sistem yang ngawur. Dan kalau begitu seluruh konvensi yang melahirkan teori-teori itu tidak berakar dan sulit dicarikan titik temu. Dengan sendirinya segala rumusan mengenai puisi runtuh dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan dalam bingkai commonsense.

Maka dari itu logika harus ada dalam puisi. Karena dengannya kita mengambil tolok ukur untuk menilai satu puisi lebih baik daripada puisi lain.

Logika yang merupakan salah satu ilmu dalam filsafat menghendaki proses serta bermuara pada pertimbangan dialektis setiap kali berhadapan dengan permasalahan, sehingga darinya didapati sebuah solusi. Meskipun logika memang bukan hanya milik filsafat saja, ia juga dimiliki disiplin ilmu lain seperti matematika. Logika tidak mengenal salah dan benar, tapi keakuratan dari segi penalaran. Tolok ukur logika didasarkan pada pembenaran paradigmatik (pembenaran yang diterima oleh orang banyak). Sebuah tesis dikombatkan dengan antitesis sehingga terlahir sintesis. Pembenaran itu bukan untuk menilai salah dan benar, karena filsafat hanya mengenal sesat pikir. Artinya pembenaran yang menjauh dari pembenaran paradigmatik dikatakan sesat pikir atau tidak rasional.

Puisi dengan sistem komunikasi uniknya juga memiliki sistem logika sendiri. Logika di sini harus mengikuti proses tertentu karena puisi memiliki sistem kebahasaan berbeda dari komunikasi formal. Sistem itu adalah pemaknaan dari segi metaforikalnya. Mustahil puisi tidak memiliki tolok ukur logis, karena sebagai salah satu unsur sastra, puisi harus memiliki dasar pijakan kemudian diberikan nilai kepadanya. Nilai ini tentu bukan dari segi ukuran, seperti misalnya seseorang yang bersedih, berapa derajat ukuran sedihnya? Seseorang yang sedang bahagia, berapa banyak satuan bahagianya? Itu jelas tidak mungkin karena apa yang bisa dianalisa hanya terkait hal kongkret yang bersifat mungkin, sesuatu yang abstrak tentu hanya bisa dibandingkan untuk memperoleh ukuran titik puncak. Seumpama penyair Chairil Anwar sedang bersedih di “Senja Pelabuhan Kecil,” bagaimana jika dibandingkan dengan kesedihan Pablo Neruda dengan puisi “Malam ini, Dapat Kutulis...” Perbandingan itu untuk mengambil daya hisap yang diciptakan kedua puisi berdasarkan keberhasilan membentuk citraan juga unsur-unsur lainnya. Bukan dari besar ukuran kesedihan yang dirasakan oleh kedua penyairnya.

Untuk itulah puisi harus memiliki sistem logika sendiri, tanpa dasar pijakan itu puisi tidak memiliki integritas. Ia hanya akan menjadi bunga kata-kata milik pemabuk dan pengigau yang tidak memiliki ukuran dalam penilaian. Maka logika yang telah mengikuti sistem komunikasi unik dalam puisi terlebih dahulu harus mengelompokkan bagian-bagian yang menyusun tubuh puisi. Karena struktur metaforikal dalam pemahaman mentah memang tidak terjangkau logika. Seperti ketika menanyakan kadar nilai estetis, kadar tingkatan imanjinasi, kadar perasaan, kadar kedalaman kontemplasi.

Unsur puisi yang sejati atau unsur yang pertama (1) adalah tema, ia tidak dalam bentuk kongkret tapi membutuhkan unsur kongkret untuk mewujudkannya. Ia adalah hal abstrak yang bersembunyi dalam tubuh kongkret yakni bentuk teksnya. Dari tema inilah segala hal berpusat kepadanya. Unsur yang ke dua (2) adalah sistem unik tadi. Puisi menggunakan sarana pengkiasan untuk menyampaikan maksud. Di samping juga perlambangan untuk menyembunyikan subyek yang dikehendaki. Dengan bahasa populer, puisi mengatakan ini tapi menghendaki itu. Kadar kiasan ini pun berbeda-beda dan perlu dibagi terlebih dahulu. Karena dasar pijakan pemaknaan harus terbaca dari tubuh puisi secara utuh. Dari kecenderungan, kadar kiasan pada puisi itu ada yang sedikit, yaitu pada puisi terang atau diafan. Ada yang kadarnya menengah yaitu puisi realis pada umumnya. Ada yang tinggi yaitu pada puisi absurd, abstrak dan surealis. Bentuk kiasan secara mentah tidak bisa dirunut dengan logika, karena ia hanya bayangan dari maksud yang sebenarnya. Struktur pengkiasan ini harus dipisahkan karena terlebih dahulu sebelum logika masuk dan berfungsi sebagai tolok ukur penilain puisi.

Dalam hal ini saya akan fokus pada puisi realis. Ketika seseorang menunjuk sesuatu sebagai kiasan, struktur tubuh kiasan itu harus koheren dan seimbang. Artinya dalam kesatuan struktur sitaksis dan semantiknya, subyek yang mengkiaskan harus memiliki kesamaan jalur dalam pemaknaan yakni seimbang tadi. Bisa dicontohkan seperti kalimat (1), “Seekor burung terbang ke langit. Meski sayapnya patah ia terus meluncur ke langit.” Seekor burung terbang ke langit adalah struktur tubuh bayangan atau pengkias, di sini ia terdiri struktur subyek, predikat dan keterangan. Keadaan burung (yang patah sayapnya) di sini sebenarnya tidak bisa diukur atau tidak bisa dihakimi dengan logika karena ia hanyalah refleksi atau bayangan. Burung itu tidak kongkret meskipun bisa jadi diambil dari proses mimesis yakni meniru burung yang ada. Dalam kalimat itu, burung hanya bayangan dari subyek sebenarnya yakni tubuh pokok (yang dikiaskan). Kiasan itu digunakan sebagai sistem komunikasi unik karena ia berbeda dari keumuman komunikasi yang bersifat formal. Logika harus menyederhanakan kiasan tadi seperti proses matematis sebelum menghasilkan pemahaman, yaitu dengan merujuk pada keadaan subyek sebagai tubuh pokok (dalam puisi utuh). Ketika pembacaan sampai pada kalimat “Meski sayapnya patah ia terus meluncur ke langit,” struktur pengkiasan tidak ada kesinambungan semantik menurut ukuran logis. Burung yang sudah patah sayapnya bagaimana bisa terbang?

Makna metaforis memang tidak mengacu pada logika, tetapi unsur-unsur pembentuknya adalah juga bahasa yang sama, bahasa yang dimengerti oleh manusia. Dengan begitu unsur-unsur pembentuk metafor tersebut juga dikenai hukum bahasa, yaitu logika bahasa. Kita sebut bagian metafor itu sebagai tubuh bayangan sedang tubuh pokok (subyek yang sebenarnya) itu adalah hal logis entah hadir atau tidak di dalam teks. Jadi yang dikehendaki logika dalam puisi adalah keseimbangan pengimajian dalam struktur metafor. Misalnya dalam contoh pertama tadi, “Seekor burung terbang ke langit. Meski sayapnya patah ia tetap meluncur ke langit,” dalam struktur metafor ini, kalimat “seekor burung” menjadi subyek pengkias, sedangkan subyek yang dikiaskan bersembunyi dalam “seekor burung.”

Contoh ke dua (2), “Rembulan pecah di pelataran. Menyentuh tanah dan pepohonan.” Struktur tubuh bayangannya terdiri dari subyek, predikat, dan keterangan. Subyek pengkias dan yang dikiaskan menjadi satu dalam wujud “Rembulan.” Kerja kiasnya yaitu “pecah di pelataran.” Dalam bentuk pemahaman denotatif, rembulan pecah di pelataran itu mustahil diterima nalar. Namun ketika struktur metaforikal tadi dibagi menjadi unsur subyek pengkias, obyek yang dikiaskan, kerja kiasan, hal itu akan bisa dirunut term logikanya. Kata “pecah” dalam kalimat itu bermakna konotatif, ia menjadi logis saat dikembalikan pada pemaknaan lazim, yakni pecah itu bukan pada wujud rembulan sebagai batu. Tapi pecah itu merujuk pada sebagian dari bulan yaitu cahayanya. Maka pecah di sini berarti cahayanya yang melimpah. Bisa juga diartikan cahayanya terang sehingga dikatakan pecah seperti benda yang pecah dan berhamburan. Makna konotatif telah melepaskan pemahaman atas kata menurut keumuman. Makna denotatif bisa disebut sebagai rumah bahasa, sedangkan makna konotatif adalah makna yang telah lepas dari rumah bahasa tadi karena kepentingan kalimat. Dengan kepentingan itu, makna yang dimiliki oleh bentuk konotatif sejalan dengan struktur semantik kalimat.

Di sini saya ingin menyangkal Roland Barthes (1951-1980) yang meyakini bahwa makna konotatif yang disebutnya sebagai operasi ideologi adalah upaya untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif (menindas). Merujuk pada teori awal penemuan bahasa, makna denotatif adalah makna asli, sedang makna konotatif adalah makna penyimpangan sesudah bahasa memberikan pengertian atas sesuatu. Sangat tidak logis jika makna konotatif dijadikan dasar pertimbangan penelaahan sistem tanda. Padahal dia sendiri mengakui makna denotatif adalah makna primer dan makna konotatif adalah sistem siginifikasi tingkat ke dua. Dengan begitu acuan makna konotatif semestinya merujuk pada makna denotatif sebagai makna primer demi pembacaan sistem tanda secara luas. Meskipun keduanya memiliki wilayah pemaknaan masing-masing. Sebagaimana yang diyakininya makna konotatif dengan sebutan “mitos” yang memiliki sistem petanda dan penanda di dalamnya. Makna konotatif yang diyakininya itu hanya berlaku  pada interaksi antara teks bersama pengalaman personal-kultural penggunanya.

Makna denotatif yang dianggapnya tidak penting itu, tidak serta-merta membuat sistem signifikasi kedua (konotatif) tadi bisa berdiri sendiri. Bahkan saya meyakini dari makna denotatif itulah rujukan dalam memaknai pemaknaan lain meskipun itu secara tidak langsung. Konotasi versi Barthes sangat terbatas atau tertutup sehingga tidak bisa digunakan dalam pemaknaan lain. Konotasi Barthes hanya berhubungan dengan kasus tertentu dan tidak bisa dikembangkan dalam kasus lain. Dan penyempitan ini menurut saya adalah tindakan percuma. Dalam makna metaforikal ini juga merupakan pemaknaan tingkat ke dua setelah makna denotasi, tetapi ia tidak berlepas tangan dan berdiri sendiri. Justru dengan membandingkan atau mengembalikan pada makna asli tadi sebuah rumusan logis bisa didapatkan. Makna metaforikal sejajar dengan makna konotasi versi Barthes yang tertutup itu. Tetapi di sini, makna metaforikal terdiri dari kalimat sempurna, bukan dua kata benda seperti “kambing hitam” menurut konotasi Barthes. Atau jikapun Barthes menunjuk kata “pecah” dalam contoh (2) itu sebagai konotasi versinya, maka tidak diperlukan pengalaman personal-kultural seperti yang dikehendaki dalam konotasi “kambing hitam”-nya itu. Dan makna konotasi (dari pembedahan struktur metaforikal) tadi jelas berbeda dari konotasi tertutupnya itu.

Logika dalam puisi mengarah pada keseimbangan struktur metaforikalnya. Contoh awal (1) itu bisa dikatakan metafornya (secara global) tidak logis karena struktur penyusunnya tidak seimbang dilihat dari bingkai commonsense. Dengan kata lain ia meloncat dari jalur pemaknaan dalam kalimat. Contoh yang ke dua (2) itu bisa dikatakan logis dengan cara melepaskan struktur makna kerja kiasnya merujuk pada kepentingan kalimat.




****


Kajitow
Filsuf