museum

Sabtu, 05 Mei 2012

DUNIA OH DUNIA






Puisi adalah sebuah dunia unik yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dengan begitu bahasa di sini hanya berfungsi sebagai alat penyampaian maksud, sehingga makna yang digunakan dalam puisi adalah makna metaforikal bukan makna literal. Dalam dunia batin seorang penyair ada ruang sunyi khusus yang membuatnya melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda: dunia dan segala yang ada padanya. Manakala kita sadar akan hal ini, maka patutlah kepenyairan itu akan mengerucut dan menyentuh langit yang dijunjung sekaligus yang ditujunya. Termasuk sastra itu sendiri, yang mana tujuannya adalah demi mengangkat kemanusiaan dengan nilai-nilai agung. Ini esensi dari sastra seperti yang didengungkan oleh Rendra itu. Tidak disangkal, telihat di sekitar kita banyak penyair dan sastrawan yang lupa pada esensi tadi dan sibuk mengejar estetika. Banyak manusia-manusia yang dianugrahi ruang khusus tadi menjadi buta arah sehingga disebut oleh Rendra mencipatakan karya yang "Kering." Manusia pada umumnya memang memiliki ruang sunyi ini, bisa dikatakan ia adalah bentuk dari nurani. Tapi khusus pada penyair, ia telah memaksimalkannya sehingga ia menyublim pada puisinya dengan mengambil gambaran dari dunia yang retak itu. Puisi tidak saja isyarat yang terlahir dari perenungan, namun telah melewati berbagai pertimbangan dan memiliki konvensi tersendiri. Maka dari itu, siapa pun dia, apa pun profesinya sebenarnya boleh ambil bagian, dan dengan begitu ia juga menjadi penyair dengan sendirinya.

Yang kemudian menjadi luput adalah kecenderungan untuk mengejar estetika tapi lupa pada esensinya. Keindahan karya sastra memang serupa apel dari sorga yang hendak diraih oleh berjuta sastrawan dan (meminjam istilah Penyair Imron Tohari) penikmat baca. Dengan itu kita hendak menggaris lurus politik selera dan konvensi dalam bersastra. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah estetika bukan satu-satunya apel ranum yang hendak kita lumat dengan pemahaman. Lebih jauh sebelumnya kita mesti mengukur esensi di dalamnya. Kenapa begitu? Penyair dan umumnya sastrawan adalah manusia-manusia khusus yang memiliki anugerah ruang sunyi tadi. Jika esensi ini sampai terlepas maka lesatan dari ruang sunyi tadi akan menjadi karya yang kering seperti maksud Rendra di atas itu. Kering dari ruh yang membuatnya subur dan menumbuhkan berjuta-juta inspirasi bagi orang lain. Kering dari semangat luhur mengangkat kemanusiaan yang sejak awal hendak dikejar oleh orang-orang terdahulu sebelum masehi itu. Seperti yang digariskan oleh Plato atau Aristoteles mengenai tujuan sastra ini.

Maka saat berhadapan dengan puisi pertanyaan pertama yang saya ajukan pada diri saya sendiri adalah mengenai esensi tersebut. Sebuah puisi yang paling cengeng sekalipun adalah sebuah lesatan pandangan batin yang dengannya kata-kata membangun dirinya menjadi sebentuk kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda). Apakah kata-kata itu kait-mengait dengan sendirinya sehingga tiba-tiba muncul dengan ajaib menjadi sesuatu yang agung? Saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu karena puisi bukan bintang jatuh yang semata-mata mengandalkan bim salabim atau kun fa yakun. Tanpa adanya latar belakang dan ruh yang menyeret huruf-huruf berjajar sedemikian rupa itu akan memunculkan sesuatu yang kering dan kosong. Bagaimana bisa mengatakan hal yang tak bernyawa seperti itu indah ketika kita sadar ia hanyalah sebentuk kode-kode bahasa yang terlahir karena proses kloning kata: yakni kata itu mengait dengan kata yang lain dan melupakan tujuan yang menyebabkannya ada.

Tanpa ruh dalam tubuh bahasa, mustahil kata-kata itu memunculkan hisapan. Sebagaimana kita sulit menerima jika Tuhan tidak mengambil tempat padahal mustahil Tuhan memerlukan sesuatu selain dirinya. Jalan damainya adalah: Tuhan meliputi segala sesuatu sebagaimana ruh dalam tubuh bahasa.


Pemandangan Yang Jauh
oleh Eimond Esya pada 08 Agustus 2011 jam 22:53

Seperti pemandangan yang jauh,
Yang bukan dari dunia ini
Aku percaya darah dan waktu mengalir di tempat yang sama

Dan seperti pemandangan yang jauh,
Mata dan tanganku melihat dunia ini
Tidak sebagaimana kau melihatnya
Mata dan tanganku melihatnya dan telah
menerima hadiah-hadiahnya
Sebagai serangan-serangan yang kejam
Menerima dirimu, O, kukatakan padamu,
Alangkah sedihnya

Seperti tak ada yang benar-benar pernah kumiliki
Seperti tak satu keindahan pun,
Tak satu sukacita pun

Kaki-kakiku lemah
Darahku merupakan penakut yang berputar kembali

Merupakan lingkaran pertanyaan

Kenapa kita dikirim ke sini
Menempuh jalan yang salah

Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah


Sebagaimana umumnya penyair yang lain yang menunjukkan ekspresi jiwanya, puisi di atas itu mencerminkan gejolak sama yang sedang dirasakan penyairnya. Gejolak itu membuatnya gelisah dan menumpahkannya melalui medium bahasa. Ia melihat dunia sebagai pemandangan yang jauh, dunia yang tiba-tiba menjadi asing baginya. Dunia yang dirasakannya terbelah, penyair berdiri dalam ruangan sunyinya dan mengembalikan dunia yang terbelah itu ke dalam puisi. Puisi Penyair Eimond ini sebenarnya juga terrefleksi dalam karya-karya penyair yang lain saat meraba dirinya sendiri, saat ia mempertanyakan kemanusiaannya sendiri, saat ia terdampar dalam ruang sunyinya seorang diri, saat ia bernyanyi lirih dengan suara batin tergagap, saat ia menertawakan kesedihan, saat ia memandang dunia yang tiba-tiba menjadi asing. Sebagaimana menengok Pablo Neruda yang tidak yakin dengan keberadaan Tuhan tapi meratap dengan penuh duka:

Oh Bumi, Tunggulah Kami

Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.

Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.


Dalam pemahaman sufistik, mati bukanlah suatu hal yang mengerikan. Ia hanya pintu menuju. Dari laut pulang kembali ke muara. Menuju itu adalah proses untuk mengada dari ada. Entah dengan bentuk seperti apa tapi kematian menjadi bergerak, kematian tidak berhenti. Hidup di sini menjadi asing sebenarnya. Dalam arti ketidakkekalan dalam hidup ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Sartre memaknainya untuk soliter (sunyi) sehingga manusia itu terkutuk untuk bebas. Ini nilai eksistensi menurut Sartre yang lebih penting dari esensi, karena eksistensi lebih dulu ada. Pemikiran semacam ini seharusnya pula yang membuat manusia penyembah logika seperti Pablo mengikutinya. Tapi ternyata tidak. Meski keyakinan Pablo berbeda dengan pemahaman sufistik dan umumnya keyakinan agama di muka bumi, tapi kematian itu ditangkapnya dengan arah yang sama: bahwa kematian itu tidak berhenti, tapi proses menuju.

Sebagai pusat tata surya, matahari dipercaya sebagai pemberi kehidupan. Tanpanya kehidupan tidak akan bertahan lama. Bumi akan membeku jika setahun saja matahari pensiun. Matahari yang oleh orang-orang mesir kuno itu disembah dengan sebutan Ra, menjadi pusat kesadaran Pablo Neruda sebagai pusat untuk menerima rintihannya sebagai manusia. Matahari dijadikan simbol sebagai wajah Tuhan bagi yang beragama. Pablo tidaklah sedang menyembah matahari itu, namun kesadaran akan mati yang tidak berhenti tapi merupakan proses menuju itu diberitakannya di sini. "Kembalikan aku oh, matahari," katanya. Kembali ke mana? Ke muasal sebelum mengada dalam bentuk manusia tentunya. Kepada alam itu sendiri menjadi partikel yang entah bagaimana prosesnya menjadi sel hidup. Itulah nasib yang liar. Sebuah perjalanan tak tentu arah, ketika segalanya baru saja berawal seperti hujan hutan purba. Sewaktu bumi masih begitu remaja. Sewaktu kata purba belum ditemukan karena ia dalam kepurbaan itu. Hujan hutan purba adalah simbol permulaan dari kehidupan. Di sini dikatakan purba, karena kata itu telah dikenal. Dan Pablo ingin naik kembali ke sana dengan membalikkannya.

Hujan di suatu hutan purba adalah awal dalam keyakinan Pablo. Pada awal itulah akhir akan kembali bergerak ke sana. Ini menarik sekali karena secara naluri tanpa kehadiran Tuhan pun manusia memiliki kesadaran akan mati itu. Bahwa ia adalah rangkaian proses. Dan ini sebenarnya sebentuk pertanyaan atas awal itu sendiri. Apakah proses berputar ini sudah ada dan akan terus seperti demikian? Ini pertanyaan sama yang dicari jawabannya oleh ilmuwan. Tapi ilmu pengetahuan buntu dan tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses menuju ini berawal. Namun ada indikasi segala sesuatu yang eksis pasti ada yang memulai. Dalam puisi ini jawaban itu memang tidak ditemukan. Tapi pertanyaan yang sama mengeram di sana. Di tengah kepasrahannya itu Pablo merindukan sesuatu yang tidak didapatnya. Kedamaian tentu saja sebuah utopia yang menarik. Namun sejak manusia bercokol di muka bumi ini, adakah kedamian itu benar-benar terwujud? Tanpa disadarinya, Pablo sedang merasakan sebuah hisapan yang jauh melampaui kekuatannya. Ia menjadi kerdil dan mengakui keberadaan sesuatu yang tak tersentuh nalar, dimana hidup yang tidak mampu diteorikan oleh jutaan ilmuwan itu membuatnya gelagapan mempertanyakannya. Hidup yang mustahil ada dengan sendirinya itu memunculkan serangkaian pertanyaan yang tak habis.

Sesuatu yang entah bagaimana bermula dan berakhir menjadikannya terlihat begitu rapuh. Dan saat itulah kita juga mesti bertanya bukankah kekuatan maha yang menghisap itu merupakan cerminan dari adanya Tuhan? Kekuatan itu pula yang membuat Derrek Walcot dengan rindu lautnya meraba dirinya sendiri:


Rindu Laut

Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.


Dalam puisi ini, Derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. Begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. Benda-benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. Ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. Padahal tidak ada apa-apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. Dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. Kita tidak sedang membicarakan Tuhan di sini. Tapi sunyi itu seolah Tuhan yang bergerak tanpa gerakan, yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. Sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. Ini inti sunyi itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. Atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok Tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. Yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyair Eimon Esya, Pablo neruda, begitu juga dengan penyair-penyair yang lain, yang membuat kita mempertanyakan hal yang sama.

Dari sanalah menurut saya esensi bersastra itu berangkat. Mungkin ia naik ke atas dan menggugat kekuatan maha yang kita kenal dengan Tuhan. Mungkin juga ia meluncur ke bawah dan mempertanyakan kemanusian yang sebenarnya hendak diangkat oleh sastra dengan nilai agungnya itu. Maka tak heran jika Rendra menolak bantuan sembilan milliar pertahun dari Amerika karena ia merasa dibeli(?). Ketika ingat hal itu, apa yang saya nyatakan di atas tadi masih perlu dipertanyakan lagi: akankan esensi yang berangkat dari perabaan penyair atau sastrawan tadi benar-benar meruncing yang menyentuh langit yang dijunjung sekaligus ditujunya? Sekali lagi dengan rendah hati Rendra menolak bantuan tersebut dan dialihkan pada orang lain. Tapi apakah orang-orang atau kelompok yang menerima uang ini akan dikatakan tidak beresensi lagi jika hal itu bermanfaat (meski mungkin hanya untuk golongan dan orang terdekat)?

Saya tidak tahu.

Sikap yang saya ambil adalah ikut bernyanyi sedih seperti Penyair Eimond termasuk juga yang lain, saya ikut menertawakan kesedihan yang terjadi di dunia sastra dengan nyanyian sedih itu.

"Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah"







*) Puisi-puisi diambil dari Facebook dan Horison atas terjemahan Agus R. sarjono dan Nikmah Sarjono

***





Dunia oh dunia, hiks dan haha

Kajitow

SISTEMASI PEMAKNAAN DALAM PUISI


Pendahuluan
Sejak lama kritik sastra hendak mencari jalan yang paling mungkin mendekatkan pada penafsiran yang tepat, jelas dan efesien. Kegiatan kritik sastra yang tercatat pertama kali dilakukan oleh Xenophanes dan Heraclitus yang mengecam Homerus dan Hesiodes (± 500 SM). Hal itu dilakukan karena Homerus dan Hesiodes gemar menceritakan kisah bohong dan tidak senonoh terhadap Dewa-Dewi mereka. Akibatnya Homerus dan Hesiodes dicekal kemudian dilarang mengikuti Olimpiade di Athena. Ini kritik yang mengarah pada penciptanya secara langsung. Kemudian Plato (450 SM) muncul dengan Republic memberikan dasar-dasar orientasi kritik berdasarkan karya. Disusul kemudian oleh banyak pemikiran-pemikiran lain, sehingga akhirnya Post-strukturalisme (1960) memperaktekkan kritik yang mengarah pada pembaca. Dengan dekonstruksi Derrida, mereka membongkar teks kemudian membuat pemaknaan baru atasnya. Saya tidak ingin berpanjang-panjang dalam menyorot perbedaan pandangan strukturalisme dan post-strukturalisme. Yang jelas kedua aliran itu menyumbangkan pemikiran penting dalam hal kebahasaan. Begitu banyak jenis kritik sastra berdasarkan perbedaan sudut pandangnya, terlebih jika itu diambil dari berbagai pendapat kritikus sastra seperti M. H. Abrams, Rene Wellek, Jan van Luxemburg (dkk), Raman Selden, Edward W. Said. Juga termasuk pendapat Rachmat Djoko Pradopo yang membaginya hanya menjadi dua jenis: kritik sastrawan (umum) dan akademik.
Dua jenis kritik seperti yang telah dipisahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo itu tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kritik sastrawan cederung bersifat ekspresif, praktis, nyaman untuk dibaca, tetapi terkadang tidak memiliki dasar pijakan yang jelas jika merunut kode bahasa yang ada. Subyektifitas yang terkadang tidak berakar. Sedangkan kritik akademik terlalu panjang dan bertele-tele. Tanda-tanda terkecil diperhitungkan dengan teliti sehingga terkadang lupa pada substansi yang dibicarakan. Dan bentuk seperti ini tidak nyaman untuk dibaca. Tidak logis menurut saya jika memperhitungkan fonem dan jumlah huruf konsonan atau vokal dalam karya sastra hanya demi memunculkan penafsiran. Kemudian teks disulap menjadi sesuatu yang sakral dan terperhitungkan huruf-perhurufnya. Bukankah hasil akhir dari penafsrian adalah menyingkap makna? Teori, metodologi, aplikasi apa pun sah digunakan sejauh itu berkepentingan dengan pemaknaan. Tapi bukan berarti ia harus dengan langkah tidak logis, yang jika tanpa itu bisa dihasilkan pemaknaan yang sama.
Seperti yang telah dimaklumi, bahasa adalah sistem tanda. Premis ini telah lama dilontarkan oleh Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce dan dikembangkan oleh Roland Barthes dalam semiologinya dengan lebih menyorot pada makna konotasi. Kita tahu bahasa bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, yang bergerak dengan sendirinya, yang berdefinisi dengan sendirinya. Bahasa ada karena ia tuntutan dari komunikasi, ia alat untuk mencapai maksud penggunanya. Maka yang nyata di sini adalah kehendak penggunanya yang menjadi penggerak utama dari kata-kata. Ia memang tidak terwujud dalam bentuk konkret, tapi berkat dirinyalah bahasa ada. Setelah semiotika muncul, tidak ada yang sakral pada teks sastra. Semua yang ada di dalamnya adalah kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda), semua bisa ditafsirkan sesuai kode bahasa tersebut.
Di sini saya sedikit berseberangan dengan pemikiran Heidegger (filsuf yang menulis buku monumental Being and Time) soal bahasa, seperti yang dijelaskan oleh F.Budi Hardiman dalam bukunya mengenai pokok pikiran Heidegger, “Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins), dan manusia bermukim di dalam bahasa.” Pernyataan itu keliru ketika menimbang bahasa bersifat aksidensi. Eksistensi suatu entitas lebih dulu ada dari esensinya (seperti maksud Sartre), baru kemudian dilakukan pengenalan dari entitas itu. Di sinilah kemunculan bahasa dimulai. Ia bukan substansi mutlak atau sebagai entitas murni, karena peran bahasa untuk memberikan identitas, kemudian untuk menyampaikan maksud penggunanya. Manusia tidak hidup dalam bahasa, tapi bahasa yang hidup dalam diri manusia. Bahasa bukan rumah bagi yang ada, tapi yang ada adalah rumah bagi bahasa. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya yang ada. Sebagaimana kita menunjuk nama kuning yang tidak akan ada tanpa wujud warnanya (kuning).
Jalan Simpang Pemaknaan
Ketika bahasa digunakan dalam sistem komunikasi berbeda dari fungsi awalnya, katakanlah sastra, sistem yang dimasuki bahasa ini mengakibatkan jalan simpang pemaknaan. Penafsiran makna terjebak dalam labirin-labirin ambiguitas. Meskipun begitu, tidak ada yang sakral atau transenden di sini saat pembacaan terfokus pada makna, bukan pada sistem-sistem pembentuknya saja, termasuk struktur dasar seperti fonem atau jumlah huruf konsonan dan vokalnya.
Pada awalnya, bahasa bukan sesuatu yang rumit, ia hanya jalan untuk menyampaikan maksud. Tetapi pembagian komponen, pengkelasan bentuk-bentuk yang muncul darinya, membuat kajian bahasa begitu pelik dan seolah berputar-putar. Konvensi yang berusaha ditetapkan tidak kokoh dan terus mengalami perkembangan seiring pergerakan dari bahasa itu sendiri. Hal itu dipersulit dengan munculnya istilah-istilah yang berjejalan. Yang marak berkembangan dalam penafsiran terhadap bahasa dalam sistem khusus ini kemudian hanya intuisi. Kode bahasa yang ada dalam sistem tersebut menghasilkan pemaknaan yang ambigu. Tetapi seseorang harus memilih satu jalur pemaknaan di antara beberapa lainnya, dengan pertimbangan logis berdasarkan kode bahasa.
Menyoal puisi, yang perlu digaris-bawahi adalah prihal petanda yang ada dalam tanda-tanda linguistik. Pananda dalam bentuk fisiknya juga penting untuk memisahkan kandungan petandanya masing-masing. Hal itu sekaligus untuk mewujudkan korelasi pemaknaan. Tapi persoalan inti yang muncul dalam penafsiran adalah petanda tersebut, ia acap kali memunculkan perbedaan sudut pandang yang besar karena tidak dicermati sistem di dalamnya. Dalam kajian makna metaforikal, saya sudah membahas ruang lingkup petanda ini. Tapi di sini yang hendak saya sorot adalah jalur-jalur pemaknaannya, yakni pemaknaan puisi secara utuh. Banyak orang hanya sekedar memanjakan intuisi, menurut saya begini, menurut saya begitu, tapi tidak menyertakan bukti konkret atasnya. Ini adalah bentuk subyektifitas yang tidak berakar. Penghisapan makna yang hanya didasarkan pada poin tertentu tanpa menimbang kode-kode bahasa yang ada dalam puisi. Dan ini bukan pemaknaan menyeluruh. Di sinilah sistem tanda dilupakan. Yang ada hanya penilaian intuitif tanpa dasar pijakan jelas.
Ulasan puisi kemudian hanya sekedar menjadi media orasi subyektifitas, media penumpahan wawasan penafsirnya, media penjejalan diktum-diktum disiplin ilmu lain. Jalur-jalur petanda dalam sistem tanda tadi diabaikan. Pemaknan menjadi kabur dan menjauh dari substansinya, pokok yang muncul bersebab kode bahasa tidak ditafsirkan. Lalu logika dipersalahkan. Puisi kemudian diagungkan dan dikatakan bukan wilayah logika lagi. Sebagai mahluk berpikir, tindakan seperti ini jelas tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Bukankah puisi adalah sebuah sistem komunikasi juga? Bukankah bahasa yang digunakan puisi itu adalah sistem tanda juga? Keterlacuran dalam penafsiran puisi sering muncul karena pengaruh intertekstualitas yang berlebihan, penjejalan diktum filsafat yang kebablasan, penyeretan pandangan psikologi yang kejauhan, pengaruh ilusi how to make it strange yang over. Padahal makna yang bersumber dari kode bahasa tadi malah diabaikan, atau hanya sebagian saja yang diambil sebagai rujukan. Yang banyak berjejal di dalamnya adalah, menurut saya begini, menurut saya begitu. Subyektifitas yang tidak memiliki dasar pijakan.
Di zaman postmodernisme yang tengah merayakan perbedaan atau heterogenitas ini tentu hendak membebaskan segala bentuk penafsiran. Penafsiran pada dasarnya adalah olah subyektifitas, siapapun memahami ini. Karena tidak ada yang benar-benar obyektif apalagi mutlak dalam sastra. Tetapi subyektifitas yang berakar tentu berbeda dari bias pemaksaan intuisi. Setelah lahirnya semiotika, kajian struktural, stilistika, tidak ada yang sakral pada puisi, apalagi mewah dalam arti transenden dan tidak tersentuh pemaknaan logis. Semua kandungan dalam puisi adalah bentuk dari sistem tanda, meskipun mungkin dalam satu penanda terkandung beberapa petanda, tapi ia bukan barang hidup yang bergerak dengan sendirinya. Banyaknya petanda yang muncul itu harus dikaitkan dengan jalur pemaknaan yang terbangun dalam puisi. Makna satu tanda adalah pancaran dari satu titik dengan berbagai jalur yang dimilikinya. Di sini, jalur paling logis menggugurkan jalur lain yang tidak terbangun secara utuh.
Ketika dikembalikan pada kehendak awal, karena yang nyata dalam bahasa kehendak penggunanya, hanya ada dua kemungkinan keterlacuran pemaknaan: 1. Penyair tidak mengarah pada maksud yang spesifik, sehingga ambiguitas pemaknaan tidak memiliki jalur yang selesai. Misalnya ia hendak bermaksud begini, tapi tidak menyertakan kode bahasa yang cukup. 2. Penafsir terlalu memanjakan intuisinya dan mengabaikan kode bahasa. Dalam tubuh puisi terkadang ada gen bebas, ia meloncat sehingga tidak sejalur dengan arah pemaknaan yang terbangun. Hal ini dimungkinkan karena ada dua sebab lagi: a) petanda yang terkandung dalam penanda tidak berkorelasi dengan petanda pada tanda lain. b) penafsir tidak memahami jalur pemaknaan dalam puisi karena ada beberapa petanda dalam satu penanda sehingga membelokkan pembacaan. Jika sebuah puisi tidak memiliki cukup kode bahasa yang melengkapi pemaknaan, di sana ada kesalahan pembentukan. Puisi seperti itu sudah bukan dalam struktur bahasa yang diciptakan untuk berkomunikasi. Ia lempung meleleh yang tidak memiliki bentuk jelas sebagai keramik.
Pada dasarnya sistem pemaknaan dalam puisi memiliki bagian yang berkaitan. Ia adalah bangunan makna yang saling menguatkan. Ia adalah jalur utama meski di tengah jalan mungkin ada persimpangan. Penyimpangan ini muncul karena banyaknya referen yang ditunjukkan oleh simbol dalam puisi. Ketika puisi menghadirkan beberapa jalur penyimpangan seperti ini, maka jalur terkuat adalah jalur yang paling logis karena ia didukung oleh kode bahasa terbanyak. Misalnya di awal penafsiran ada beberapa jalur yang cenderung mengarah pada makna tertentu, tapi di tengah jalan ada kode bahasa yang membuatnya berbelok, sehingga jalur itu terputus dan pemaknaan tidak selesai. Jika memang tidak ada jalur pemaknaan lain (yang didukung oleh bangunan pemaknaan), maka puisi seperti itu telah gagal memberikan petunjuk penafsiran atas dirinya. Puisi gelap (hermetis) yang tidak jelas hendak mengarah ke mana. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya penafsiran tidak bisa dipaksakan. Karena hal itu hanya akan mengungkap sebagian makna, bukan keseluruhannya. Segala upaya intuitif hanya akan menuju pada aporia (yunani: tidak ada jalan keluar) karena puisi telah meloncat dari jalur pemaknaannya.
Sistem Pemaknaan Logis
Dalam apresiasi terbatas (kritik umum) yang hanya mengungkapkan poin-poin penting, hal itu mungkin masih bisa diterima. Penafsiran singkat seperti itu mempertimbangkan waktu dan keadaan. Meskipun dalam keterbatasan itu tetap ada sistem-sistem pemaknaan walau sederhana. Penafsiran atas puisi harus dibedakan dari komentar singkat, meskipun komentar atas puisi adalah sebagian dari apresiasi meski tidak terbangun sempurna. Puisi memiliki struktur, penafsiran atas puisi—yang paling terbatas sekalipun—harus tetap memperhatikan sistem-sistem pemaknaan. Jika ulasan itu ingin disebut sebagai penafsiran logis. Bagaimanapun, sebuah puisi memang cenderung melahirkan penafsiran yang berbeda. Itu sifat alami yang tidak bisa disatukan dalam pandangan universal. Kemunculan perbedaan tafsiran itu bisa disebabkan oleh banyak hal, tetapi yang menjadi pokok persoalan adalah, jika penafsiran yang ada tidak sesuai jalur pemaknaannya. Jalur yang dibentuk oleh sistem makna berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa.
Sistem pemaknaan yang saya maksudkan itu bukan sebagai sistem yang terstruktur step by step, bukan sistem jadi yang bersifat ready for use, tapi ia merupakan unsur-unsur yang berkaitan dalam pemaknaan puisi. Baik dari segi bentuk teks atau yang berkaitan dengan panafsirnya. Dalam prakteknya, unsur-unsur itu tersimpan di berbagai aplikasi kritik sastra yang digunakan. Secara garis besar bisa diwujudkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Proses Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Meminjam istilah Riffattere, pemaknaan terhadap karya sastra biasanya melewati dua tahap pembacaan, heuristik dan hermeneutik. Hasil pembacaan heuristik adalah penafsiran secara kasar berdasarkan makna harafiah dan strategi retoris yang muncul di permukaan. Penafsiran dalam bentuk ini adalah pemaknaan yang mendasar dan apa adanya. Tapi proses ini menjadi kerangka pembacaan yang lebih mendalam, yakni hermeneutik. Ketika puisi dibaca secara detail, jalur-jalur pemaknaan mulai terlihat berdasarkan kode bahasa. Dalam pembacaan hermeneutik inilah penafsiran yang sesungguhnya dilakukan. Meskipun bisa jadi dalam proses pembacaan ini akan muncul kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain. dengan sendirinya penciptaan teks ke dua (penafsiran) akan menempuh satu jalan keluar sebagai penyelesaian.
2. Analisa Struktur Metaforikal
Seperti yang pernah saya bicarakan sebelumnya (pada logika dalam puisi, 1 dan 2), metafor memiliki struktur pembentuk, juga keterkaitan tertentu. Struktur itu (dari segi fisik) adalah, pengias, subyek yang dikiaskan, kerja kias. Ketiga unsur itu harus memiliki keseimbangan bentuk. Misalnya pengiasnya atau subyek yang dikiaskan tidak sebangun, maka akan terjadi kepincangan logika. Seperti sosok maskulin dikiaskan dengan bunga yang identik dengan keindahan dan kelembutan, kecuali penggambaran itu sebagai kata majemuk yang mewakili keumuman, seperti bunga bangsa. Tetapi jika bunga dipaksakan sebagai kiasan dari sosok maskulin, maka antara pengias dan subyek yang dikiaskan tidak memiliki keseimbangan pengimajian. Dari segi intrinsiknya, metafor bertumpu pada, keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi, fungsi metafor tersebut: dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya, keselarasan dengan metafor lain.
Sebuah puisi yang gagal membentuk makna metaforikal karena unsur-unsur pembentuknya tidak seimbang cenderung membuat pemaknaan dipaksakan, karena hanya memperturutkan intuisi penafsir dibandingkan kode bahasa yang ada. Hal ini membuat pemaknaan menjadi kabur dan semata menjadi ajang orasi subyektifitas yang tidak berakar. Jika pembacaan terhenti di tengah jalan hanya karena ada satu struktur metaforikal yang gagal, maka pemaknaan akan ditarik keluar berdasarkan kesimpulan dari kode bahasa mayoritas. Analisa yang tepat pada struktur metaforikal ini akan memperjelas jalur pemaknaan. Sebuah metafor adalah sebuah sistem tanda, meski di dalamnya terkandung banyak petanda. Keseimbangan dan kesebangunan dari metafor itu dengan sendirinya akan mengarah pada pemaknaan yang paling kuat berdasarkan kode bahasa.
3. Sinkronisasi Petanda
Jika dalam satu penanda ada beberapa petanda, seperti keumuman metafor, maka perlu disinkronkan petanda itu dengan ide pokok dalam puisi, sehingga muncul satu petanda yang tersinkronisasi. Baru kemudian dihubungkan dengan petanda dalam penanda di tanda lain. Sinkronisasi petanda ini dimaksukan untuk memunculkan kesebangunan wacana. Puisi sesuai sifatnya yang ambigu memang memunculkan beberapa penafsiran, hal ini karena sistem makna metaforikal yang terlepas dari rumah bahasanya menghendaki makna baru. Seperti yang dimaksudkan Riffattere mengenai ketidak-langsungan ekspresi: perusakan arti (distorting of meaning, penggantian arti (displacing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning). Dengan sinkronisasi ini penafsiran akan berjalan maksimal, meskipun tidak tertutup kemungkinan, tetap akan ada beberapa penafsiran jika ambiguitas itu tetap terbangun berdasarkan kode bahasa sampai akhir pembacaan puisi. Di sinilah sebenarnya peran intuisi penafsir yang sesungguhnya. Ia bekerja sesudah jalur-jalur pemaknaan menampakkan dirinya. Bukan sejak awal menciptakan jalur sendiri tanpa memperhatikan seluruh kode bahasa.
4. Memilih Jalur Pemaknaan yang Terbentuk Dalam Proses Pembacaan
Selepas sinkronisasi tadi, pembacaan akan dihadapkan pada kemunculan jalur-jalur pemaknaan. Di dalam puisi ada beberapa jalur pemaknaan sesuai dengan petanda yang terbaca di setiap penanda dalam tanda linguistik. Kemungkinan itu muncul karena efek ambiguitas didukung oleh kode bahasa yang sama-sama kuat. Bagaimanapun, pada akhirnya hanya akan ada satu pemaknaan, jalur-jalur tersebut akan tereliminasi oleh jalur pemaknaan terkuat. Jalur pemaknaan terlogis berdasarkan petunjuk yang digelar dalam puisi. Subyektifitas memang mungkin menjadi pilihan di sini, tetapi pilihan itu berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa. Bukan pilihan bebas tanpa pertanggung-jawaban logis.
5. Data-data Intertekstualitas yang Mendukung (tapi bukan berlebihan)
Data-data yang mendukung ini adalah selama data-data itu membangun pemaknaan sesuai jalurnya. Jika data yang dimasukkan dari luar kajian terlalu banyak, maka pemaknaan akan melebar dari substansi kebahasaan. Padahal puisi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi, bahasa yang digunakan puisi bukan bahasa bercabang dan berbelit-belit. Ia adalah bahasa praktis yang memungkinkan penafsiran terwujud melalui struktur pembentuknya. Sedangkan bahasa adalah sistem tanda. Kepentingan puisi pada bahasa, sejauh itu memungkinkannya memberikan pengertian dalam jalur yang jelas. Bahasa jika diseret dalam kajian berat, misalnya filsafat bahasa, cenderung berputar-putar dan membutuhkan koneksitas yang sangat lebar. Kajian-kajian di dalamnya tidak memiliki kesimpulan yang selesai. Ia bukan konvensi bulat sebagaimana konvensi yang digunakan dalam bahasa praktis. Tapi di dalamnya merupakan kumpulan premis-premis yang terus diuji sepanjang masa. Padahal di sisi lain, bahasa secara praktis telah ada dan disepakati. Koreksi-koreksi di dalam bahasa secara mendalam untuk menghadirkan konvensi baru yang lebih kuat dari sebelumnya. Dan hal itu tentu membutuhkan ruangan lain, bukan dalam proses kritik sastra.
6. Obyektifitas yang Didasarkan Pada Kode Bahasa
Tidak ada pemaknaan yang benar-benar obyektif, tetapi ada perbedaan besar ketika pembacaan atas makna puisi didasarkan pada kode bahasa yang ada. Bukan hanya didasarkan pada intuisi penafsir. Sesuai sifat alaminya, intuisi berjalan sendiri dan tidak selalu seiring dengan jalur pemaknaan. Hakikatnya penafsir bebas berinterpretasi dan tidak harus sama dengan gagasan penyair. Boleh jadi penyair tidak memberikan kode bahasa yang cukup lengkap. Ia hendak menceritakan sesuatu, tapi tidak didukung oleh petunjuk yang ada dalam puisinya. Di sinilah tarik-menarik itu, penyair sebisa mungkin menghadirkan kode bahasa yang membangun penafsiran. Karena puisi tercipta sebagai bentuk komunikasi. Sedangkan penafsir sedapat mungkin mengikuti petunjuk melalui kode bahasa yang diberikan penyair agar tercipta keterkaitan pemaknaan.
Seorang penyair memang tidak harus memahami teori-teori terkait setudi keilmuan. Upaya yang mesti dilakukan penyair adalah sejauh itu berkaitan dengan penciptaan karya. Di sini hal-hal pokok itu terkandung dalam konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi budaya. Lebih jauh dari itu merupakan bonus, tapi bukan keharusan yang mesti dikejar dan dikuasai. Puisi dari segi proses penciptaan tidak bisa diukur apalagi dituntun. Ia menyoal pengasahan skill yang berkaitan dengan perasaan penyair. Setiap orang tentu memiliki karakteristik berbeda, begitu juga jalur-jalur penuangan ide ke dalam medium bahasa. Sebaliknya, seorang kritikus tidak harus pandai membuat puisi hanya untuk membongkar dan memahami puisi. Wilayah-wilayah tersebut bisa jadi dikuasai sekaligus oleh seseorang, namun bukan keharusan untuk bisa begitu.
7. Fokus Pada Ide Pokok dan Mengabaikan Kode Bahasa yang Mandul
Seorang penafsir adalah pencipta teks ke dua sesudah puisi ada sebagai teks pertama. Di sini terdapat ikatan yang kuat antara teks pertama dan teks ke dua. Maka sebagaimana puisi diciptakan, seorang penafsir harus memperhatikan ide pokok dalam puisi. Ia bukan hanya topik pembicaraan, tapi ia merupakan sulur-sulur tempat kode bahasa bergelayutan. Puisi selalu membuka ruang-ruang pemaknaan baru, itu adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Tetapi keruangan pemaknaan itu tetap harus berdasar pada kode bahasa yang muncul. Sesuai dengan bentuknya, puisi adalah bangunan sistem tanda. Maka pemaknaan mengikut pada sistem tersebut agar ia membentuk opini yang terbangun, berdasar, dan tidak ngawur.
Kesimpulan
Puisi bukanlah teks sakral yang ada begitu saja atau turun dari langit dengan segala keagungannya. Teks itu semata teks yang merupakan sistem tanda, darinya memancar jalur-jalur pemaknaan. Yang dikatakan agung pada puisi adalah kandungan isinya, maksud penyair yang tersimpan dalam balutan diksi dan gaya bahasa. Nilai itu dilihat dari sugesti yang mengarahkan pembaca pada hal-hal baik untuk mengikutinya. Dengan sendirinya, puisi dan umumnya karya sastra hendak mengangkat harkat kemanusiaan dengan pengajaran moral yang lebih tinggi. Permasalahannya, puisi menggunakan makna metaforikal dalam menyampaikan maksud. Sistem kebahasaan yang dimilikinya menghadirkan jeda dalam pemahaman. Pembaca tidak menangkap maksud di dalamnya secara langsung, ia terlebih dahulu harus mencari ide pokok (mirip dengan hipogram versi Riffattere) yang tersembunyi dalam kiasan.
Selaras dengan premis Rachmat Djoko Pradopo yang membagi jenis kritik sastra menjadi dua bagian: kritik umum dan akademik, menghadirkan fakta di lapangan yang membuat dua bentuk itu memiliki perbedaan besar dalam penyajian. Kritik umum lebih bersifat praktis dan hendak mengungkap kelebihan-kelebihan karya sastra. Jenis ini langsung masuk ke dalam pembahasan dan membuang kajian-kajian yang dirasa bertele-tele dan tidak perlu. Bentuk ini memang lebih nyaman untuk dibaca, tetapi banyak apresiasi dalam bentuk ini yang cenderung memanjakan subyektifitas dan meninggalkan pijakan dasar pemaknaan. Dalam ruang dan situasi terbatas, poin-poin penting yang diangkat dalam bentuk praktis tersebut memang lebih pas. Namun bukan berarti ia benar-benar berlepas diri dari dasar-dasar penafsiran sesuai kode bahasa yang ada. Pemaknaan yang tidak berakar justru akan membuat jurang perbedaan dalam penafsiran semakin menjauh.
Melihat kecenderungan dalam kritik sastra, yakni menimbang pendekatan yang efesien dan terarah, pemaknaan terhadap karya sastra (khususnya puisi) harus berjalan pada sistem-sistem tertentu. Hal ini bukan untuk memutlakkan, karena memang tidak ada yang mutlak di sana, tapi demi menghasilkan pembacaan terarah sesuai petunjuknya. Bukan interpretasi yang melenceng dari pokok yang dibicarakan. Subyektifitas yang ada kemudian adalah soal pengambilan sudut pandang, tetapi jalur-jalur pemaknaan yang ditempuh sesuai dengan tanda-tanda linguistik yang terbaca. Jalur-jalur itu selalu sama dan tersistemasi. Karena setiap kata dalam puisi membentuk jaringan pemaknaan antar bagian (hubungan paradigmatik), yang kemudian hal itu akan membentuk struktur makna lebih luas (hubungan sintagmatik). Pembacaan yang baik hendaknya melalui atau menggunakan sistem-sistem pemaknaan, di antaranya: proses pembacaan heuristik dan hermeneutik, analisa struktur metaforikal, sinkronisasi petanda, memilih jalur pemaknaan logis yang terbentuk, data-data intertekstualitas yang mendukung tapi tidak berlebihan, obyektifitas yang didasarkan pada kode bahasa, fokus pada ide pokok dan mengabaikan kode bahasa yang mandul.


Kajitow El-kayeni