apa perbedaan puisi dan prosa?
pertanyaan sederhana itu tidak lagi menjadi sederhana lagi saat berhadapan
dengan prosa liris. ia tetaplah prosa tapi memiliki gaya puisi. atau sebaliknya
saat sebuah puisi meminjam nafas prosa. baris baris panjang dengan bahasa
terang membuatnya seolah telah melompat dari bingkai puisi yang umum dikenali.
tapi apakah puisi dan prosa memang tidak lagi memiliki perbedaan? saya kira
setiap karya sastra memiliki tempat tersendiri untuk dikelaskan sesuai
karakternya. puisi dan prosa sebenarnya sama-sama hendak menuturkan sebuah
cerita, perbedaannya tentu dilihat dari gaya penulisannya. identifikasi semacam
ini penting dalam konteks bahasa. akan sangat membingungkan saat kita menunjuk
sesuatu yang tidak kita ketahui nama dan jenisnya.
lalu jika batas itu telah kabur
akankah puisi dan prosa bisa dibedakan lagi? sebenarnya tidak perlu membalik
balik halaman pelajaran sastra untuk membedakan puisi dan prosa. sejauh apa pun
sebuah puisi bergerak selama dia masih berpusar pada struktur dasarnya dengan
sendirinya karya itu jatuh pada puisi. seperti mengenali gaya bahasa
berdasarkan sintaksemantikanya, juga kecenderungan enjambemen yang dengannya
puisi terjeda bahkan dalam imajinasi sekalipun jika sebuah karya dinafaskan
prosa. sebuah prosa yang sederhana sekalipun harus memiliki beberapa ciri yang
membuatnya jatuh dalam kategori prosa, seperti alur, penokohan, dan latar. juga
pengindetifikasian lain yang sudah akrab dikenali. tanpa itu sebuah prosa akan
gagal disebut prosa karena ia tidak memiliki ciri prosa.
kategori suatu karya sastra (juga
termasuk penilaian terhadapnya) itu memang bisa juga dikatakan ia ditentukan
oleh struktur verbal yang otonom dan koherensi interen yang melekat pada
dirinya. sehingga bagian-bagian dari karya itu bisa dianalisa menurut
keseimbangan, koherensi serta kompleksitasnya.
tetapi ada baiknya memang sedikit
menengok a. teeuw yang mengembalikan ulasan terhadap karya sastra berdasarkan
tiga konvensi, yakni: konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. panjang
ini jika hendak mendekati sebuah karya atau melakukan pengulasan terhadapnya
memakai bingkai objective criticism. di mana karya sastra itu merdeka, mandiri,
serta terbebas dari pengaruh sekitarnya. tapi ada baiknya sedikit mengambil
sebagian dari keyakinan a. teew tadi untuk mempertegas pengidentifikasian yang
saya maksudkan. yakni meminjam istilah rene wellek (di antaranya): penilaian
puisi dilihat dari, efoni, irama, gaya, citra dan metafora. sedangkan pada
ragam naratif (termasuk prosa): alur, penokohan dan latar. dari sini jelas
terlihat konvensi bahasa yang membedakan antara puisi dan prosa begitu juga
penilaian terhadap keduanya. boleh jadi memang hak otonom sebuah karya
membebaskanya untuk jatuh pada sisi tertentu sesuai keinginan penciptanya. tapi
konvensi bahasa tetap mengikat agar sebuah karya mudah diidentifikasi. dalam
hal ini tidak ada yang mutlak memang tapi sebuah konvensi itu sangat diperlukan
demi terciptanya kesinambungan pandangan pada satu titik temu.
melihat ciri yang melekat pada tulisan
kawan nu arur ini. dapat dikategorikan ia lebih dekat kepada puisi, meski sah
saja jika penulisnya mengehendaki tulisan tersebut adalah prosa pada awalnya.
jika pun begitu maka dengan sendirinya prosa tadi gagal dikategorikan prosa dan
masuk dalam wilayah puisi. kenapa bisa begitu? jelas saja dengan mengembalikan
kecenderungannya pada ciri puisi sesuai konvensi. dalam hal ini saya agak
serius memposisikan sesuatu sesuai kategorinya, karena itu sangat penting untuk
mengkaji sesuai karakter yang ada padanya. terlebih lagi sangat sulit
menentukan nilai dari sebuah karya itu jika dalam proses indentifikasinya saja
sudah menemui kebuntuan.
banyak puisi dunia yang tidak
mengangkat tema-tema berat. saya juga heran kenapa kesunyian yang saya tangkap
dari puisi bertema sederhana itu begitu kuat membius. seperti kata jean-paul
sartre(?) manusia itu harus hidup seorang diri di alam semesta, dengan begitu
ia menjadi kesepian (soliter). dalam kesunyian itulah manusia mencapai
kebebasan mutlak. maka sunyi itu pula yang terangkat ke dalam puisi mereka,
sunyi yang menghisap pembaca pada kesunyiannya sendiri: untuk soliter tadi. ini
pula yang membedakan penyair dengan kebanyakan orang. bukan karena introvert
atau tidak ya, tapi penyair selalu punya ruang sunyi di dalam hatinya untuk
menangkap sudut yang berbeda terhadap apa pun yang diinderanya. seperti tahun
baru misalnya, orang mungkin hanya akan menangkap gemerlap ramainya peristiwa
itu. tapi penyair selalu menangkap sisi sunyi dari peristiwa tersebut. ia
mengambil posisi berbeda dari kebanyakan orang, bahkan terkadang berlawanan.
puisi ini menurut saya hendak
bermain di ruang yang sama: ruang sunyi tadi. di mana beranda lengang itu
menjadi ajang sekaligus lawan dialektika penyair, meskipun menurut saya ada
yang masih luput di sana. penyair tidak benar benar masuk pada kesunyian yang
dihadapinya. boleh jadi memang kesunyian itu diseret pada pemaknaan lain.
misalnya sunyi yang riang. dalam kesunyian seseorang menjadi merdeka dan dengan
kebebasan itu seseorang mencapai kemutlakan seperti kata sartre tadi. tapi
tidakkah kesunyian itu bertolakbelakang dengan paradigma yang dengan cepat kita
tunjukkan pada orang orang di dalam penjara itu. kesunyian yang mereka hadapi
tidaklah mungkin dikatakan megandung keriangan. ada kalanya memang seorang
manusia itu membutuhkan suasana khusus untuk bersunyi misalnya. tapi tidaklah
bisa diartikan sunyi tadi mengarah pada keriangan, karena riang itu sesuatu
yang bertolak belakang dengan kesunyian dari banyak segi.
seorang penyair memang memiliki
sisi sunyinya, dengan itu ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. meskipun
sisi sunyi di sini dari segi sudut pandang, bukan sunyi dalam arti yang
sebenarnya.
apa yang luput itu akan jelas
saat dilakukan perbandingan dengan puisi yang bermain di ruangan sama itu.
bukan dari segi gaya bahasa yang diusungnya tetapi lebih kepada sunyi yang
hendak dimunculkan oleh kedua puisi. dari sana akan terlihat laju bandul
kesunyian pada kedua puisi memiliki arah yang berbeda. penyair nu arur
berdialektika dengan kesunyian yang dihadapinya: bersama beranda itu. benda
benda di sekitarnya memang bergerak disebabkan kesunyian tadi. tetapi sunyi itu
berhenti pada dirinya si sunyi dan tak hendak menjangkau apa yang bisa
dihadirkan oleh kesunyian tadi terhadap penyairnya. dengan kata lain sunyi itu
baru lapis luarnya belum sampai pada inti di dalam sunyi yang sebenarnya.
Rindu Laut
Oleh: Derek walcott
Sesuatu telah memindahkan kembali
raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang
tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan
intisari
Yang terdengar bagai gemeretak
tanah
di bawah
kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian
mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.
Sesuatu itu telah menggelindingi
bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal
kini.
Menakut-nakuti lemari-lemari
dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang
ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik
oleh yang dicintai.
Tak masuk akal mengharapkan untuk
segera ditempati.
dalam puisi ini derek membawa
kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu
sendiri. begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah
menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. benda benda sama
tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. ia tidaklah mengerti pada
kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang
dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "sesuatu itu telah
menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. padahal tidak ada apa apa di
sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. dari sanalah sesuatu yang
diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. kita tidak sedang
membicarakan tuhan di sini. tapi sunyi itu seolah tuhan yang bergerak tanpa
gerakan. yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya.
sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. ini inti
sunyi yang saya maksud itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair
pada ketakutan akan kematian. atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok tuhan
yang bergerak tanpa gerakan itu. yang dengannya penyair berada dalam kehampaan
sekaligus perasaan asing.
****
kajitow elkayeni
esais
Tidak ada komentar:
Posting Komentar