museum

Minggu, 02 Februari 2014

SISI SUNYI PENYAIR




apa perbedaan puisi dan prosa? pertanyaan sederhana itu tidak lagi menjadi sederhana lagi saat berhadapan dengan prosa liris. ia tetaplah prosa tapi memiliki gaya puisi. atau sebaliknya saat sebuah puisi meminjam nafas prosa. baris baris panjang dengan bahasa terang membuatnya seolah telah melompat dari bingkai puisi yang umum dikenali. tapi apakah puisi dan prosa memang tidak lagi memiliki perbedaan? saya kira setiap karya sastra memiliki tempat tersendiri untuk dikelaskan sesuai karakternya. puisi dan prosa sebenarnya sama-sama hendak menuturkan sebuah cerita, perbedaannya tentu dilihat dari gaya penulisannya. identifikasi semacam ini penting dalam konteks bahasa. akan sangat membingungkan saat kita menunjuk sesuatu yang tidak kita ketahui nama dan jenisnya.

lalu jika batas itu telah kabur akankah puisi dan prosa bisa dibedakan lagi? sebenarnya tidak perlu membalik balik halaman pelajaran sastra untuk membedakan puisi dan prosa. sejauh apa pun sebuah puisi bergerak selama dia masih berpusar pada struktur dasarnya dengan sendirinya karya itu jatuh pada puisi. seperti mengenali gaya bahasa berdasarkan sintaksemantikanya, juga kecenderungan enjambemen yang dengannya puisi terjeda bahkan dalam imajinasi sekalipun jika sebuah karya dinafaskan prosa. sebuah prosa yang sederhana sekalipun harus memiliki beberapa ciri yang membuatnya jatuh dalam kategori prosa, seperti alur, penokohan, dan latar. juga pengindetifikasian lain yang sudah akrab dikenali. tanpa itu sebuah prosa akan gagal disebut prosa karena ia tidak memiliki ciri prosa.

kategori suatu karya sastra (juga termasuk penilaian terhadapnya) itu memang bisa juga dikatakan ia ditentukan oleh struktur verbal yang otonom dan koherensi interen yang melekat pada dirinya. sehingga bagian-bagian dari karya itu bisa dianalisa menurut keseimbangan, koherensi serta kompleksitasnya.

tetapi ada baiknya memang sedikit menengok a. teeuw yang mengembalikan ulasan terhadap karya sastra berdasarkan tiga konvensi, yakni: konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. panjang ini jika hendak mendekati sebuah karya atau melakukan pengulasan terhadapnya memakai bingkai objective criticism. di mana karya sastra itu merdeka, mandiri, serta terbebas dari pengaruh sekitarnya. tapi ada baiknya sedikit mengambil sebagian dari keyakinan a. teew tadi untuk mempertegas pengidentifikasian yang saya maksudkan. yakni meminjam istilah rene wellek (di antaranya): penilaian puisi dilihat dari, efoni, irama, gaya, citra dan metafora. sedangkan pada ragam naratif (termasuk prosa): alur, penokohan dan latar. dari sini jelas terlihat konvensi bahasa yang membedakan antara puisi dan prosa begitu juga penilaian terhadap keduanya. boleh jadi memang hak otonom sebuah karya membebaskanya untuk jatuh pada sisi tertentu sesuai keinginan penciptanya. tapi konvensi bahasa tetap mengikat agar sebuah karya mudah diidentifikasi. dalam hal ini tidak ada yang mutlak memang tapi sebuah konvensi itu sangat diperlukan demi terciptanya kesinambungan pandangan pada satu titik temu.

melihat ciri yang melekat pada tulisan kawan nu arur ini. dapat dikategorikan ia lebih dekat kepada puisi, meski sah saja jika penulisnya mengehendaki tulisan tersebut adalah prosa pada awalnya. jika pun begitu maka dengan sendirinya prosa tadi gagal dikategorikan prosa dan masuk dalam wilayah puisi. kenapa bisa begitu? jelas saja dengan mengembalikan kecenderungannya pada ciri puisi sesuai konvensi. dalam hal ini saya agak serius memposisikan sesuatu sesuai kategorinya, karena itu sangat penting untuk mengkaji sesuai karakter yang ada padanya. terlebih lagi sangat sulit menentukan nilai dari sebuah karya itu jika dalam proses indentifikasinya saja sudah menemui kebuntuan.

banyak puisi dunia yang tidak mengangkat tema-tema berat. saya juga heran kenapa kesunyian yang saya tangkap dari puisi bertema sederhana itu begitu kuat membius. seperti kata jean-paul sartre(?) manusia itu harus hidup seorang diri di alam semesta, dengan begitu ia menjadi kesepian (soliter). dalam kesunyian itulah manusia mencapai kebebasan mutlak. maka sunyi itu pula yang terangkat ke dalam puisi mereka, sunyi yang menghisap pembaca pada kesunyiannya sendiri: untuk soliter tadi. ini pula yang membedakan penyair dengan kebanyakan orang. bukan karena introvert atau tidak ya, tapi penyair selalu punya ruang sunyi di dalam hatinya untuk menangkap sudut yang berbeda terhadap apa pun yang diinderanya. seperti tahun baru misalnya, orang mungkin hanya akan menangkap gemerlap ramainya peristiwa itu. tapi penyair selalu menangkap sisi sunyi dari peristiwa tersebut. ia mengambil posisi berbeda dari kebanyakan orang, bahkan terkadang berlawanan.

puisi ini menurut saya hendak bermain di ruang yang sama: ruang sunyi tadi. di mana beranda lengang itu menjadi ajang sekaligus lawan dialektika penyair, meskipun menurut saya ada yang masih luput di sana. penyair tidak benar benar masuk pada kesunyian yang dihadapinya. boleh jadi memang kesunyian itu diseret pada pemaknaan lain. misalnya sunyi yang riang. dalam kesunyian seseorang menjadi merdeka dan dengan kebebasan itu seseorang mencapai kemutlakan seperti kata sartre tadi. tapi tidakkah kesunyian itu bertolakbelakang dengan paradigma yang dengan cepat kita tunjukkan pada orang orang di dalam penjara itu. kesunyian yang mereka hadapi tidaklah mungkin dikatakan megandung keriangan. ada kalanya memang seorang manusia itu membutuhkan suasana khusus untuk bersunyi misalnya. tapi tidaklah bisa diartikan sunyi tadi mengarah pada keriangan, karena riang itu sesuatu yang bertolak belakang dengan kesunyian dari banyak segi.

seorang penyair memang memiliki sisi sunyinya, dengan itu ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. meskipun sisi sunyi di sini dari segi sudut pandang, bukan sunyi dalam arti yang sebenarnya.

apa yang luput itu akan jelas saat dilakukan perbandingan dengan puisi yang bermain di ruangan sama itu. bukan dari segi gaya bahasa yang diusungnya tetapi lebih kepada sunyi yang hendak dimunculkan oleh kedua puisi. dari sana akan terlihat laju bandul kesunyian pada kedua puisi memiliki arah yang berbeda. penyair nu arur berdialektika dengan kesunyian yang dihadapinya: bersama beranda itu. benda benda di sekitarnya memang bergerak disebabkan kesunyian tadi. tetapi sunyi itu berhenti pada dirinya si sunyi dan tak hendak menjangkau apa yang bisa dihadirkan oleh kesunyian tadi terhadap penyairnya. dengan kata lain sunyi itu baru lapis luarnya belum sampai pada inti di dalam sunyi yang sebenarnya.


Rindu Laut     
Oleh: Derek walcott


           
Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.



dalam puisi ini derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. benda benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. padahal tidak ada apa apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. kita tidak sedang membicarakan tuhan di sini. tapi sunyi itu seolah tuhan yang bergerak tanpa gerakan. yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. ini inti sunyi yang saya maksud itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing.



****



kajitow elkayeni
esais


Tidak ada komentar:

Posting Komentar