museum

Minggu, 02 Februari 2014

MEMBACA SAKSI YANG SEXY DALAM “SAJAK EMAS”





Dalam hidup, yang membuat manusia menyadari eksistensinya adalah adanya masa lalu. Kekinian hakikatnya terus bergerak. Saat seseorang mengatakan “sekarang,” tempo yang dimaksudkannya sebenarnya telah terlewat, dan ia menjadi bagian dari masa lalu. Masa sekarang menjadi absurd karena tempo yang terlewat tadi. Waktu yang dikenali manusia sebenarnya berasal dari pergerakan dan perubahan benda-benda di jagad raya, termasuk cahaya dan energi. Jika seluruh benda sampai bagian terkecilnya (molekul; atom; quark) diam tanpa gerakan, maka waktu itu menjadi tiada. Karena itulah manusia dengan hukum kesadarannya membagi waktu berdasarkan gerakan. Mulai dari hari, minggu, bulan, tahun, abad, milenium, dan seterusnya. Tetapi tempo yang dibagi manusia itu pada dasarnya adalah gerakan juga, sebelum mencapai milenium, harus melewati abad, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit detik, sekon, dan seterusnya. Dalam ukuran itu, tempo menjadi bagian terkecil yang mampu ditangkap oleh kesadaran manusia. Artinya, kekinian pada dasarnya tetap bergerak, atau substansi dari kekinian itu absurd sifatnya, apalagi jika menyoal masa depan.

Maka yang tetap di sana adalah masa lalu. Ia tetap karena berupa jejak yang direkam oleh kesadaran dalam gerakan kekinian itu. Manusia memang tidak bisa hidup di dalamnya, tetapi darinya manusia merumuskan gerakan dalam kekinian dan tempo yang akan datang. Dalam upaya merekam jejak masa lalu itu pula penyair Dimas Arika Mihardja (DAM) menyusun pikiran dan hasil renungannya ke dalam buku antologi puisi “Sajak Emas.”

            Puisi adalah buah pikiran yang padat dan tersusun, manusia selaku mahluk yang berpikir selalu hendak mencatat banyak hal yang dilalui dalam hidupnya ke dalam benda-benda kenangan. Bisa berupa tulisan, potret, video, pernak-pernik, atau tempat dan lokasi tertentu. Puisi juga merupakan alat perekam kejadian, dan ia lebih dari sekedar benda-benda yang telah disebutkan tadi. Struktur yang dimiliki puisi memungkinkan untuk menghadirkan pemaknaan baru atas rekam-jejak tadi. Teks yang tersusun dengan fungsi-fungsi komunikasi unik itu tidak sekedar upaya untuk menceritakan kembali. Ambiguitas pemaknaan ini mungkin sekali menghadirkan kerancuan ketika pembacaan hanya dilihat dari satu sudut pandang. Tetapi ketika puisi dengan makna prismatisnya terus digali dan dibandingkan, ia akan mengayakan makna dari puisi itu sendiri. Dan satu lagi, sesuai sifat bahasa verbal yang dimilikinya, puisi berusaha mengajak pembaca untuk ikut terjun dalam perenungan penyairnya secara langsung. Buah pikiran yang mengeram dalam struktur bahasa itu menghadirkan hisapan, sehingga ia seolah bergerak dan menusuk benak pembaca meski penulisnya telah mati sekalipun.

            Karya sastra lain, katakanlah prosa, memang memiliki sifat-sifat bahasa. Namun dengan tubuh yang cenderung lebar, kekuatan hisapan prosa tidak sekuat puisi. Orang mungkin berulang-ulang membaca cerpen Metamorfosis-nya Kafka, tetapi tidak mungkin orang hendak menghafal cerpen yang sangat panjang itu. Berbeda dengan puisi Chairil Anwar, mulai dari anak SD sampai kakek-kakek fasih melafalkannya. Di sinilah kelebihan dan kekurangan puisi menempatkan posisi puisi ke dalam maqom tersendiri. Orang-orang yang datang kemudian akan membaca dan menafsirkan berdasarkan kode bahasa dan data-data intertekstualitasnya.

            Saya kira kurang tepat jika menyama-ratakan genre dalam sastra. Jikapun ada kesamaan, itu karena medium yang digunakannya sama, yakni semua genre menggunakan medium bahasa. Namun setiap cabang tentu memiliki perbedaan, untuk itulah mereka mempunyai kriteria tersendiri yang membedakan eksistensi mereka dalam dunia sastra. Puisi dan prosa misalnya, keduanya menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud atau pesan. Cara dan sistem komunikasi keduanya menempuh jalan berlainan. Prosa sesuai akar katanya, prosa (latin: terus terang) atau prose (ing: sebenarnya), hendak menyampaikan pesan dengan bahasa yang lugas. Ada bentuk prosa ide misalnya, ia tidak secara runtut membentuk plot, tapi pesan tetap disampaikan melalui deskripsi, penokohan, dan alur penceritaan. Sedangkan puisi memiliki sistem lain. Pada prinsipnya ia juga hendak bercerita, namun melalui pembengkokan bahasa. Puisi lebih sering menggunakan makna konotatif dan kiasan dalam menyebut sesuatu. Puisi juga tidak sibuk membentuk karakter tokoh, bahkan kebanyakan tidak memiliki tokoh secara konkret. Perbedaan yang niscaya itu bukan untuk melebihkan satu jenis dari jenis yang lain, tapi ia adalah kriteria yang dengan sendirinya memiliki penilaian dan tolok ukur yang berbeda. Jika ada kemiripan, hal itu hanya pinjaman sifatnya.

Karakter dan Strategi Retoris

Buku antologi “Sajak Emas (2010)” bukan antologi pertama penyair Dimas Arika Miharja. Buku tersebut terlahir setelah saudara-saudaranya yang lain bersaksi dalam dunia literasi. Sejauh yang mampu saya lacak, dalam antologi bersama , “Riak-riak Batanghari (1988), juga dalam data lain sejak 1985, DAM telah menapakkan kakinya pada dunia kepenyairan. Beberapa antologi sesudahnya juga telah menjadi prasasti sepak-terjang DAM dalam dunia perpuisian Indonesia. Sebagaian besar puisi dalam antologi "Sajak Eams"  itu ditulis sekitar tahun 2010, puisi-puisi lain diambil dari tahun-tahun sebelumnya mulai dari tahun 1993. Membaca “Sajak Emas” adalah menguak sebagian dari karakter yang dimiliki penyairnya. Saat penyairnya bersedih, muncullah diksi-diksi muram. Dari kemuraman itu terlihat bagaimana penyair membawa dirinya. Bagaimana ia memandang kehidupan dari sudut tersebut. Saat penyairnya gusar atau marah muncul pula diksi yang keras. Yang dengan cepat dapat disimpulkan pandangan penyair dalam menyikapi dinamika hidup. Saat penyairnya senang, maka akan ada luapan kebahagiaan.

            Meskipun pada dasarnya setiap penyair tentu memiliki karakter yang menonjol. Misalnya Chairil Anwar yang dengan bengal berseru, “Ini ruang gelanggang kami berperang.” Kenakalan seperti itu seringkali muncul dalam puisinya. Rendra yang berkarakter serius sering memunculkan pandangan tegasnya, seperti yang disebutkannya dalam Sajak Sebatang Lisong, “aku bertanya / tapi pertanyaanku / membentur jidat penyair-penyair salon / yang bersajak tentang anggur dan rembulan.” Sutardji Calzoum Bachri yang radikal membawa kapaknya untuk merubuhkan langit, seperti yang disebutnya, "aku lepaskan segala bahasa / agar kucingku bisa memanggilMu." Sapardi Djoko Damono yang cenderung lembut suka bermain dengan satire dan ironi. Seperti yang dikatakannya dalam “Pokok Kayu” atau “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari.” Dimas Arika Mihardja lebih lekat dengan karakter periang dan humoris. Dalam bahasa saya, hal itu saya sebut dengan keusilan yang positif. Banyak puisi dalam antologi tersebut yang didedikasikan untuk orang lain. Jika Barthes menyebut makna konotasi adalah siginifikasi tataran ke dua, saya menyebut puisi dedikasi ala DAM itu sebagai komunikasi puitikal tingkat ke dua.

Puisi yang berhadapan langsung dengan pembaca adalah komunikasi puitikal tingkat pertama. Pembaca langsung menceburkan diri ke dalam perenungan penyairnya, atau penyair langsung menggelar renungannya di hadapan pembaca. Komunikasi puitikal tingkat ke dua seperti yang ditunjukkan oleh DAM awalnya melesat menuju nama yang menjadi tujuan puisi, baru kemudian ia menyenggol pembaca. Dalam hal ini, pembaca dalam lingkup umum tidak hanya membaca diri penyair, tapi juga koneksitas dengan penyair lain. DAM tidak saja melakukan perenungan ke dalam, ia lebih banyak membaca fenomena yang ditemuinya dalam interaksi sosial. Antologi “Sajak Emas” ini bukan tugu keakuan seperti yang sering dimunculkan di luar sana. Ia tugu egaliter hasil dari perenungan ke dalam dan ke luar penyairnya. Melihat cukup banyak puisi dengan ciri komunikasi puitikal tingkat ke dua dalam antologi itu, tampaknya DAM cukup nyaman dengan cara demikian. Puisi baginya bukan kamar pribadi yang serba privat, bukan sebuah mercusuar tinggi yang tak boleh dimasuki sembarangan orang. Seperti argumen Chairil: yang bukan penyair tidak ambil bagian. DAM membuka ruang yang lebih lebar, sosok-sosok lain turut masuk dan meramaikan puisinya.

Dua ratus puisi yang ada dalam antologi tersebut memuat berbagai peristiwa. Seorang DAM yang menggeluti dua dunia berbeda seolah-olah memunculkan kontradiksi. Sebagai pendidik ia harus memegang teguh konvensi bahasa dan sastra sebagai kiblat bagi anak didiknya. Tapi sebagai penyair, DAM harus bergerak dinamis demi memunculkan kebaruan, meski itu dengan merombak apa yang telah dibakukan. Dua dunia dengan konsentrasi yang berbeda, keduanya sekilas manghadirkan kontradiksi, tapi lebih jauh sebenarnya keduanya saling mengisi selama perbedaan itu tetap berpusar pada porosnya masing-masing. DAM seolah sedang menapakkan kaki kanannya di satu dunia, sementara kaki kirinya menapaki dunia yang lain lagi. Mencermati “Sajak Emas” akan mengingatkan pada kebiasaan Sapardi Djoko Damono dalam Berpuisi. Gaya yang digunakan kedua penyair itu cenderung mengusung diksi sederhana dan tidak hendak tampil mewah. Kesamaan itu sebenarnya hanya dari bentuk luar saja, ketika menukik lebih dalam, keduanya memiliki strategi retoris yang jelas berbeda.

Berikut akan saya ulas beberapa puisi yang mewakili 200 puisi dalam antologi “Sajak Emas” tersebut.

MENGUAK MIMPI, 1

engkau datang serupa bayang
mengeram dalam tilam kelam
kelambu tidur-jagaku
lalu angin nyeret rahasia-mu

engkaulah bayang itu
mengusik tidur-jagaku
tiap waktu luput mengusap wajah-mu
dalam bayang rindu
kuseru cuaca berdebu

engkaulah bayang itu
mengetuk-ngetuk rasa kantuk
lalu dentam rebana bertalu-talu
di hatiku yang merindu

Kota Beradat, 1993-09-23

Puisi pertama ini hendak mengabarkan adanya kelindan rahasia yang sedang disusun dan dijalinkan penyair dalam diksi-diksi yang relatif sederhana. Puisi ini bukan pembiasan dari epos-epos besar, bukan kisah ajaran-ajaran agama yang kaku, tidak juga jalinan pelik diktum filsafat. Yang tercermin dari puisi ini adalah luapan perasaan dari seorang manusia kepada subyek yang dikatakan serupa bayang. Begitu merasuk lebih jauh pada substansi, senyatanya apa yang dieposkan, yang diajarkan, yang didiktatkan sejalan dengan jangkauan perenungan dalam puisi ini. Siapakah sosok yang diserupakan dengan bayang itu? Dengan penafsiran pendek, tentu ia adalah manusia, sosok konkret yang menjadi muara yang konkret pula untuk perasaan aku lirik, yang diwakili oleh kata ganti milik “–ku.” Tetapi tidak haram jika pemaknaan diayunkan lebih jauh melebihi penafsiran awal. Bisa jadi sosok yang sedang dirindukan oleh aku lirik dalam puisi ini adalah sosok yang sepenuhnya rahasia, sosok yang sering disebut sebagai Tuhan.

Yang menjadi pilihan kemudian adalah sudut pandang penyair, bukan sosok yang dimaksudkannya. Karena siapa pun yang ditujunya sama-sama menghadirkan pemaknaan yang terang: bahwa aku lirik sedang terkepung kerinduan.

Puisi “Menguak Mimpi, 1” ini adalah tipikal perenungan ke dalam. Penyair membaca dirinya sendiri kemudian dikucurkan melalui medium bahasa. Di sini dikatakan “menguak mimpi,” yakni mimpi itu seolah tersimpan di dalam bumi atau kerumunan benda-benda lain sehingga harus dikuak, dicabut, ditarik. Seseorang yang sedang “menguak” memiliki kesadaran atas sesuatu yang hendak diambilnya dari dalam. Pengetahuan atas sesuatu yang sedang ditarik itu adalah niscaya. Orang mabuk misalnya, saat ia berhalusinasi dan hendak “menguak” sesuatu tidak memiliki kesadaran ini. Artinya, dia tidak benar-benar menguak dengan diiringi oleh kesadaran. Tetapi mimpi itu juga hasil kerja alam bawah sadar, meskipun dalam mimpi itu juga ada kesadaran. Ketika menyebut mimpi sebagai bentuk ketak-sadaran, maka menguak mimpi bisa jadi sejajar dengan analogi orang mabuk tadi. Namun di sini bahasa telah berbelok. Sebagaimana telah dimaklumi, puisi adalah hasil kerja alam bawah sadar juga. Ia sublimasi dari endapan perasaan penyair. Ketika seseorang membuat puisi, kesadarannya hanya menuntun dari segi fisik, baik tipografi, keselarasan bunyi, kaitan sintaksis dan semantiknya. Tapi dorongan dalam diri, dorongan dari dunia batinlah yang sebenarnya membuat kata-kata terjalin. Tanpa peran kesadaran, pesan yang hendak dikomunikasikan tidak akan terbaca.

Ada penyair yang hanya menuruti dorongan batin semata sehingga melahirkan puisi hermetis (gelap). Puisi yang berisi raungan, racauan, bunyi-bunyi anomatope yang tidak jelas maksudnya. Puisi seperti itu jelas gagal menyampaikan pesan karena tidak diiringi oleh kesadaran. Dapat dikatakan, puisi harus diolah dengan kesadaran meski ia memang berasal dari alam bawah sadar, agar ia dapat dimengerti.

Maka “mimpi” dalam puisi ini tidak semata kembali ke makna harafiahnya sebagai bunga tidur, sebagai hasil kerja alam bawah sadar. Mimpi di sini adalah harapan yang telah mengendap, ia cita-cita terpendam dalam diri penyair. “Menguak Mimpi” berarti hendak menarik cita-cita keluar dari dasar hati, yaitu ke dalam bentuk bahasa. Bisa jadi dinamika hidup telah membuat impian tadi tertutupi hal-hal lain, sehingga ia harus dikuak untuk memunculkannya. Saat membaca tubuh puisi dan mengaitkan dengan judul, akan muncul keterkaitan impian itu dengan sosok kau lirik yang digambarkan serupa bayang.

engkau datang serupa bayang
mengeram dalam tilam kelam
kelambu tidur-jagaku
lalu angin nyeret rahasia-mu

Bait ini memperlihatkan bahwa kehadiran kau lirik itu tidak benar-benar nyata atau konkret. Adanya kau lirik karena diadakan oleh aku lirik. Ia secara an sich tidak terwujud, maka dikatakan, “engkau datang serupa bayang.” Artinya kedatangan itu tidak dari segi fisik. Kedatangan kau lirik itu dalam sebuah momen yang dikiaskan sebagai, “tilam kelam.” Bisa jadi ia adalah penggambaran dari malam, yakni tilam kelam itu sebutan lain atau simbol untuk mewakili malam, yakni dalam keadaan tidur. “tilam” yang berarti kasur hanyalah simbol, yang dikehendaki darinya momen dalam waktu malam, yakni dalam tidur itu sehingga muncullah mimpi. Tilam kelam adalah sebuah dimensi waktu yang dilipat penyair ke dalam puisi. Ketika sampai “kelambu tidur-jagaku,” kuat pembacaan atas dimensi itu bergerak lebih lebar. Ia bukan momen sempit sewaktu subyek berada di atas tilam, tetapi dimensi waktu yang dikehendaki dalam puisi ini mewakili waktu secara keseluruhan.

Kata “kelambu” yang definisi harafiah adalah tirai untuk mencegah nyamuk, di sini telah berbelok dari pengertian itu. Ia menjadi melingkupi atau menjaga. Kelambu di sini bergerak sebagai simbol, makna yang dihasilkannya konotatif sifatnya. Dan untuk ini pernah saya katakan: makna konotatif mengambil sebagian sifat dari makna denotatif. Tentunya ini berbeda dengan premis Roland Barthes yang menghendaki makna konotasi sebagai kesatuan yang berdiri sendiri. Ia memliki petanda dan penanda sendiri. Alhasil, “kelambu” dalam puisi ini memang mengambil sebagian sifat dari makna denotatifnya, yakni berfungsi sebagai penjaga. Meskipun ia meruang lebih lebar ketika bertemu “tidur-jagaku.” Yakni ia memberikan penjagaan atau melingkupi keberadaan aku lirik, baik dalam keadaan tidur maupun jaga. Selanjutnya penyair mengatakan, “lalu angin nyeret rahasia-mu.” Di sini pemaknaan kembali bergerak. Apa yang tadi disimbolkan sebagai kelambu tidak bersifat kekal. Atau ia memang bersifat demikian, tetapi ada sebagian dari diri kau lirik itu yang tetap menjadi rahasia. Dan itulah yang terseret oleh angin. Seperti yang telah dipahami, angin sesuai sifatnya yang senantiasa bergerak (maka dari itu disebut angin) melambangkan ketidak-tetapan. Penyair sengaja memotong diksi "nyeret" dari kata "menyeret" untuk menampilkan kesan tidak familiar.

engkaulah bayang itu
mengusik tidur-jagaku
tiap waktu luput mengusap wajah-mu
dalam bayang rindu
kuseru cuaca berdebu

Pada bait pertama, kedatangan sosok engkau dalam rentang penyerupaan dengan “serupa bayang.” Di bait ke dua ini engkau adalah bayangan itu sendiri. Di sini ada peleburan peran. Dalam kadar penyerupaan, sosok “engkau (atau kehadirannya)” melingkupi bahkan seolah memberi peran penjagaan, meski “angin” di sana mereduksinya pemaknaan itu. Pada bait ke dua ini, ketika kau lirik melewati batas penyerupaan tadi justru dikatakan “mengusik tidur-jagaku.”dengan begitu dihasilkan penafsiran, makna “kelambu” pada bait pertama tadi memang berhenti hanya pada makna melingkupi, bahkan mungkin malah menyekap. Oleh karena itu aku lirik merasa terusik. Baris selanjutnya, yakni “tiap waktu luput mengusap wajah-mu / dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu //” menjelaskan keterusikan tadi. Jadi sebenarnya yang mengusik bukan gambaran kedatangan sosok “engkau” tetapi perasaan rindu aku lirik. Dapat juga dikatakan, momen kehadiran sampai ada keterusikan itu sebenarnya digerakkan oleh diri aku lirik. Adanya sosok engkau karena diadakan, karena keberadaanya diwujudkan berkat dorongan kerinduan aku lirik.

Yang membuat pembacaan getir adalah penggambaran rindu di sana. Seperti yang telah dipahami, rindu serupa rasa sakit dan itu digambarkan penyair dengan, “kuseru cuaca berdebu.” Dari penggambaran ini yang muncul adalah abstraksi dari momen lain, momen imajinatif lanjutan yakni cuaca berdebu. Aku lirik di tengah serangan kerinduan itu seolah sedang menghadapi hujan debu. Dalam pembacaan saya, itu adalah pandangan aku lirik mengenai tipisnya harapan untuk mengobati sakit rindunya. Cuaca berdebu itu bisa juga merupakan penggambaran suasana batin. Keadaan di kedalamannya sana nir kegembiraan. Bukan berarti ia berduka secara spesifik, tapi rindu yang belum atau tidak mendapatkan obat. Rindu yang mengambang dan seolah berjatuhan menjadi bulir-butir kecil yang seolah gambaran debu itu.

Seseorang yang mengalami musibah, misalnya kehilangan, dikatakan berduka. Ini kedukaan yang spesifik. Tetapi rindu debu yang digambarkan penyair itu dalam posisi mengambang. Sakit yang dihasilkannya bisa jadi seimbang atau nyaris sama. Meski begitu masih ada celah di sana, ada kemungkinan lain meski sulit. Karena sulit itulah maka penyair berkata,  “kuseru cuaca berdebu” karena ia merasa seolah ada harapan. Tapi harapan yang dipanggil tanpa sahutan. Harapan yang entah bagaimana mewujudkannya. Ini hampir sama ketika Chairil berseru, “cintaku jauh di pulau.” Dalam hal ini, bukan tidak ada cita-cita untuk merengkuh cinta itu, tapi karena sulitnya jalan yang musti ditempuh. Perbedaannya, Chairil memberikan jeda dalam penggambaran, jeda yang masih menyisakan kemungkinan logis. Sementara DAM tidak memberikan ruang itu. “kuseru cuaca berdebu” mengindikasikan sempitnya dada yang terhimpit oleh perasaan rindu, dan itu membuat aku lirik terusik bahkan di luar wilayah tidurnya. Saya mengatakan tadi, ini bukan penggambaran duka dalam substansi yang spesifik, tapi rasa sakitnya itu saya kira segantangnya.

engkaulah bayang itu
mengetuk-ngetuk rasa kantuk
lalu dentam rebana bertalu-talu
di hatiku yang merindu

Manakala pembacaan sampai pada bait ke tiga, permainan yang selanjutnya terlihat jelas adalah dalam hal repetisi. Strategi retoris ala DAM tidak hendak dengan brutal memporak-porandakan kata sebagaimana Sutardji, atau berhenti dalam bermanis kata dan memfokuskan pada penggambaran ironik seperti Sapardi. Ketika menemukan diksi “bayang” yang diulang beberapa kali dalam puisi, besar kemungkinan kebanyakan pembaca akan terjebak pada stagnasi penggambaran. Padahal kehendak ide dalam penggambaran itu mengehendaki posisi substansi yang berbeda. “bayang” dalam bait pertama eksis dalam bentuknya sendiri, karena posisi penyerupaan. “bayang” dalam bait ke dua, yakni “bayang rindu” adalah kata majemuk, yang dengan mudah bisa dipahami fungsinya memiliki kesatuan semantik dengan “rindu.” Jenis repetisi ini dekat dengan anafora. Yang benar-benar berwujud sebagai repetisi atau dari jenis repetisi utuh yang mungkin tergolong simploke adalah “engkaulah bayang itu” pada bait ke dua dan ke tiga. Kemudian ada juga repetisi anafora atas preposisi “lalu,” yakni pada bait ke pertama, “lalu angin nyeret rahasia-mu” dan bait ke tiga, “lalu dentam rebana bertalu-talu.” Dari segi fisiknya, keduanya memiliki peluang untuk menjadi preposisi dengan makna harafiah; kemudian; lantas.

Ketika membaca lebih cermat, fungsi preposisi di sana berbeda. Diksi “lalu” pada kalimat “lalu angin nyeret rahasia-mu,” kata "lalu" berfungsi sebagai verba meski bisa juga dijadikan preposisi. Dengan fungsi verba maka ia bermakna lewat, yakni angin itu lewat dan menyeret rahasia keberadaan sosok engkau yang sebenarnya memang nir wujud. Sedangkan pada kalimat “lalu dentam rebana bertalu-talu” lebih kuat pada fungsi preposisi. Meskipun jika dilihat dari bingkai repetisi, yakni dari ide perulangannya. Fungsi keduanya hendak bermain sebagai preposisi. Jika begitu, diksi "lalu" pada bait pertama berperan ganda, sebagai preposisi sekaligus bisa sebagai verba.

Bait ketiga ini menjelaskan keseluruhan teka-teki yang dimunculkan pada bait-bait sebelumnya. Jika awalnya sosok engkau itu diserupakan dengan bayang, bait ketiga menguatkan transformasi penggambaran dengan repetisi, “engkaulah bayang itu.” Artinya kehadiran kau lirik hanya dalam imajinasi penyair karena ia nir wujud, yakni berupa bayang. Selanjutnya kalimat “mengetuk-ngetuk rasa kantuk” adalah penjelasan dari repetisi makna atas kata majemuk “tidur-jagaku.”  Aku lirik di sana membuat batasan penggambaran dalam ukuran yang lebih pendek, yakni dalam posisi kantuk itu. Keruangan lebar yang muncul dari penafsiran awal atas “tidur-jagaku” menyempit. Ini adalah penjelasan dari momen sebelumnya yang menjadi lebih spesifik. Aku lirik dalam keadaan mengambang, meski hal ini bisa juga bermakna kias--yakni sebuah lambang dari proses keterusikan. Saat itulah “lalu dentam rebana bertalu-talu” menghadirkan kondisi rindu aku lirik. “di hatiku yang merindu” menutup pembacaan sekaligus menjawab sebagian tekai-teki. Meski ada beberapa teka-teki lain yang justru semakin mengambang.

Diksi “rebana” tidak saja berhenti pada definisi salah satu jenis alat musik, yakni jenis gendang yang pipih. Tapi ia identik dengan budaya keislaman juga. “rebana” membuat kemisteriusan sosok “engkau” tadi tetap berpusar pada pertanyaan, siapakah sebenarnya dia? Bisa jadi ia memang hendak mewakili sosok manusia yang sedang dirindukan oleh aku lirik, tapi bisa juga ia hendak terayun jauh dan menghendaki Tuhan.

Puisi “Menguak Mimpi, 1” berkemungkinan kuat berkaitan dengan “Menguak Mimpi, 2” dari segi ide. Dari sana bisa ditarik pemaknaan, penyair memang tidak menghendaki kerinduan itu berhenti pada sosok manusia, ia adalah wujud kerinduan atas sosok paling misterius yang selalu dicari-cari oleh segenap manusia. DAM dengan sisi religiusitasnya sedang diamuk kerinduan sebagaimana Amir Hamzah dalam “Padamu Jua.” Jika amir Hamzah berkata, “Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai” maka DAM berseru “lalu angin nyeret rahasia-mu.” Jika Amir Hamzah berkata, “Mangsa aku dalam cakarmu,” maka DAM berujar, “dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu.” Kedua penyair dengan latar belakang berbeda sedang bergelut dengan perasaan rindunya. Keduanya memang memiliki gaya yang berlainan, tapi sama-sama sedang menguak impian yang mengusik batin mereka. Tentang hakikat sosok misterius yang dicinta, yang kebenaran dan keberadaannya mesti dikuak layaknya menguak mimpi dan/atau ia adalah mimpi itu sendiri.

Kesaksian Metafisik 

Di bagian lain, DAM lebih dekat menyorot hubungannya dengan Tuhan. Ada beberapa puisi yang membawa kode bahasa jelas, sehingga memunculkan gambaran dari hubungan tersebut dalam DZIKIR, MASJID AGUNG AL-FALLAH, TAHAJUD ILALANG, ANA NUR 00:50, SERENADE RUMAH CINTA, JEMARI ITU, MENJELANG AKHIR RAMADHAN, dan sebagainya. Lambang-lambang yang dibawa masuk ke dalam puisi mencerminkan dengan jelas suasana religiusitas yang diangkat penyairnya. Perenungan semacam ini juga mengindikasikan adanya subyek-subyek yang bergerak, yang membentuk pola pikirnya. Bahwa DAM meski bukan seorang ulama atau tokoh agama, tetapi keagamaan mendasari ruang renungnya. Dari sini ada batas yang jelas, yang membedakan penyair yang bertuhan dan yang tidak. Misalnya kita tunjuk Pablo Neruda, Bertolt Brecth, Nietszche, dan kanon-kanon sastra sayap kiri lain yang juga meratapi hidup penuh ketimpangan dan ketidak-adilan. Ratapan mereka, bahkan terkadang hujatan mereka berada di luar jalur logis meskipun mengatasnamakan logika.

Apa yang digelar dalam ruang sunyi tersebut secara alami sebenarnya dialami oleh setiap manusia, baik yang beragama atau bukan. Misalnya ketika melihat Pablo Neruda berbisik lirih:

Oh Bumi, Tunggulah Kami

Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.

Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.

1964
  
Terlihat bagaimana Pablo merasakan gejolak perasaannya manakala tersudut dalam kesunyian. Ia merenung dan meresapi arti keberadaannya di muka bumi. Sebagai manusia, hal itu menyeretnya terlarut dalam hisapan kekuatan yang tidak dimengertinya. Sebagai orang yang tidak mempercayai Tuhan, Pablo tersadar pada kenyataan, bahwa hidup pasti akan menemu masa akhir. Ia harus bersiap kembali, tapi kembali ke mana? Dalam puisi ini penyair memandang kehidupan sebagai perputaran belaka. “Hujan hutan purba” adalah gambaran dari awal yang menurutnya sebagai muasal kehidupan. Hidup yang dimulai dari mahluk sel kecil yang diselaraskan dengan teori Darwin mengenai Evolusi. Premis ini memang memiliki beberapa kelemahan secara ilmiah, tetapi di masa Pablo, keyakinan pada awal kehidupan itu membuatnya manyandarkan diri untuk kembali ke fase tersebut. Hal itu dikatakannya, “Aku ingin kembali jadi yang belum kualami,” ini menunjukkan pada proses kembali tersebut.

Dalam hal ini saya tidak ingin mengusung antitesis berdasarkan fakta temuan sejarah dan perkembangan teknologi di bidang ilmu pengetahuan. Yang ingin saya tekankan adalah perbedaan sudut pandang kedua penyair mengenai hakikat hidup. Keduanya memberikan kesaksian dari sudut pandang berbeda. Tetapi uniknya, kesadaran itu muncul dalam momen yang sama, momen sunyi saat keduanya melakukan perenungan secara mendalam.

Keberadaan Tuhan yang tak tersentuh logika bukan berarti membuktikan ketiadaannya. Hal itu adalah bukti dari kelemahan logika. Manusia sebagai mahluk yang bisa berpikir memang harus mengedepankan pemikirannya dalam menghadapi banyak hal, tetapi manusia harus sadar batas kemampuan dari logika ini. Banyak hal yang tak terjangkau oleh penalaran, dan itu tidak lantas membuat hal tak terjangkau itu tadi tidak eksis. Di sini DAM dengan kesadaran penuhnya mengakui kehadiran yang tak terjamah logika itu. Kehadiran mistis yang tak terpahami itu. Ia sebagai mahluk yang bercermin pada kelemahan dirinya merasakan dengan hati bahwa ada Kekuatan Maha yang menerangi jalan mahluk dengan cahaya-Nya. Dengan bahasa yang akrab dikenal, Kekuatan Maha itu adalah Tuhan yang diseru dengan berbagai nama dan jalan agama. DAM memberikan kesaksian itu seperti yang digoreskannya dalam puisi berikut ini.

ANA NUR  00:50

ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu

kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku

usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 16 Mei 2010

Sekilas, judul pada puisi ini mirip dengan Bahasa Arab, yakni Ana Nur itu mendekati pemaknaan, akulah cahaya. Tetapi ketika membaca tubuh puisi secara menyeluruh, ternyata yang dikehendaki oleh kalimat itu adalah Bahasa Jawa yang dikolaborasikan dengan bahasa serapan dari Bahasa Arab. Ana Nur 00:50 berarti ada cahaya pada waktu lewat tengah malam. Puisi ini sengaja saya ambil untuk mewakili subyek dasar yang melatari perenungan penyairnya. Sebagian puisi lain membawa kode bahasa yang lebih jelas dan menurut hemat saya sudah cukup menerangkan isinya. Selaras dengan premis Riffaterre (1978:166) yang mengatakan, “pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.” Berhubung kode bahasa dalam beberapa puisi secara eksplisit telah mengarah pada pemaknaan, maka puisi itu telah sampai pada pemahaman umumnya berdasarkan kode bahasanya.

Khusus dalam Ana Nur 00:50 itu memiliki beberapa penyimpanan makna, atau dalam bahasa Riffattere “ketidak-langsungan ekspresi” yang dijelaskan olehnya sebagai penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Keunikan itulah yang membuat saya mendaulatnya sebagai wakil dari puisi-puisi yang bergerak dalam ruangan yang sama. Bukan untuk melebihkan satu puisi dari yang lain, tapi membongkar ambiguitas pemaknaannya.

ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu
  
Subyek dalam puisi ini sedang bermonolog, ia di tengah kelindan perasaan yang beraneka bentuk seolah berdialog dengan sosok lain. Padahal sosok lain yang dihadirkan dalam puisi itu bukan sesuatu yang konkret secara fisik, yakni dengan pengenalan panca indera. Penyair merasakan kehadiran sesuatu dalam hatinya, sesuatu menurut pengenalan hatinya sebagai cahaya. Kita tidak pernah tahu, apakah cahaya yang dikenali hati itu memang cahaya dalam substansi yang sebenarnya. Jika memahami lebih dalam, apa pun yang dikenali oleh hati bukan keadaan yang secara an sich seperti itu. Di titik tertentu misalnya, seseorang dalam kepungan kesunyian, misalnya pada waktu salat malam. Dalam posisi itu dia memejamkan mata dan didapatinya pandang yang sangat luas. Waktu seolah berhenti, dan seseorang sampai pada kulminasi kesunyian di mana tidak didengarnya suara, bahkan detak jantungnya sendiri. Padang luas yang dilihat itu tentu tidak eksis dalam dunia nyata, meski mungkin ia pernah melaluinya atau mengangankan tempat seperti itu. Bentuk-bentuk yang dikenali manusia dalam keadaan seperti itu adalah pengenalan imajinatif. Ia bisa jadi mirip dengan fakta yang ditemui dalam dunia nyata, tapi tidak secara persis, bahkan sebenarnya tidak mungkin sama.

Fakta imajinatif seperti itulah yang sebenarnya dihadapi oleh penyair, meski mungkin yang terekam dalam kata-kata tidak sama persis dengan yang dialaminya. Bisa jadi ia lebih dari itu, tapi bahasa hanya mampu merekam dan mengabarkannya sejauh “ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada.” Puisi ini, sebagaimana umumnya puisi tidak memiliki awalan, ia langsung masuk ke dalam keadaan yang dihadapi penyairnya, ia jatuh ke dalam perenungan, “ada cahaya” katanya. Jika ini dijadikan sebuah awal, maka baris sesudahnya hanya menjelaskan hubungan kausal di sana, yakni “terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau.”

Penyair ketika sampai perenungan terdalamnya memahami bahwa ada kekuatan lain yang dikenalinya sebagai cahaya. Pengenalan ini bisa jadi hanya penggambaran terdekat saja, yakni bukan sebagaimana nur yang bisa dicapai oleh panca indera. Nur atau bentuk yang disaksikan oleh mata batin penyair sebenarnya mungkin sulit untuk digambarkan. Diksi “dada” adalah simbol dari hati, yakni dengan hati itulah penyair menyaksikan, bukan dengan panca inderanya. Dalam momen kesunyian, lewat tengah malam, penyair menemukan kesejatian. Subyek-subyek yang bergerak dalam dirinya melakukan pengenalan, nur itu adalah nur ilahiah. Berbeda dengan Pablo Neruda ketika berhadapan dengan keadaan yang sama, subyek-subyek dalam dirinya mengenali keadaan tersebut sebagai kesadaran insaniah, kesadaran di titik sunyi yang lumrah. DAM mengambil sudut pandang lain, seolah ia berkata, ini nur kesejatian, cahaya petunjuk yang menerangi hati insan. Peraturan sadar dan keyakinan yang dimilikinya menyelaraskan hal itu dengan ayat-ayat yang dipercayainya berasal dari Tuhan.

Kesadaran telah sampai puncaknya, penyair meraba dirinya sendiri. Saat itulah muncul perasaan risau dan galau. Simbol pisau yang hadir untuk mengambil sifat tajam dan kemampuannya dalam memotong sesuatu. Perasaan itu berkat dorongan ayat tadi menghasilkan sayatan layaknya pisau. Yang kemudian mengherankan adalah ketika sayatan itu justru menjadi candu. Dan itu menunjukkan, pisau yang dihadirkan penyair bukan sebagai wakil dari kepedihan atau kengerian. Pisau itu semata mengambil sifat tajamnya saja. Hal itu dikatakan penyair, “o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku.” Efek dari candu tadi menghadirkan atau mengantarkan penyair pada ekstase, “biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu.”

kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku

Di bait ke dua ini, penyair benar-benar telah menggerakkan “nur”  yang dipahaminya tadi sebagai subyek secara utuh. Subyek yang aktif sebagai sosok orang kedua tunggal yang disebutnya “kau.” Degradasi makna atas subyek atau pergerakan posisi subyek memang sudah terjadi di bait awal, tetapi penegasannya dimulai di bait ke dua ini. Hal itu menunjukkan, awal yang dimulai dalam bait pertama itu tidak diam atau ia bukan merupakan titik statis. Sehinga dikatakan, “kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung.” Diksi-diksi yang familiar dalam baris ini berbelok jauh dari pemaknaan familiarnya. “Bercumbu” seperti yang dipahami cenderung jatuh pada makna tabu, yakni makna erotiknya. Padahal bercumbu dalam definisi bahasa diartikan sebagai bersenda gurau dalam kemesraan. Cumbu itu sendiri sebenarnya identik dengan rayuan atau kata-kata manis untuk membujuk yang justru menjauh dari makna erotiknya. Dan pada puisi ini, pengertian itu berbelok lagi menjadi komunikasi dekat aku lirik dengan sosok yang disebutnya kau. Begitu dekatnya maka dikatakan “bercumbu.” Jika dikaitkan dengan kode bahasa yang ada pada bait awal tadi, prosesi komunikasi itu adalah lambang dari peribadatan yang dilakukan oleh aku lirik. Maka hal itu dikatakan “di atas permadani bermotif lampu gantung.” Ini adalah penggambaran dari prosesi ibadah tadi.

Dengan mudah dapat dipahami, jika “bercumbu” hendak dilarikan pada makna erotiknya, maka kasur atau ranjang akan dipilih penyair sebagai latar. Tetapi di sini tidak. Penyair memilih “permadani” sebagai penguat pemaknaan tadi. “Bercumbu” telah berbelok dari pengertian itu, ia bahkan terbebas dari kekangan rumah bahasanya. Hal itu yang kemudian dikuatkan penyair dengan, “serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu.” Komunikasi yang terjalin, yang dikiaskan dengan bercumbu itu bahkan tidak dalam bentuk kata secara konkret. Ia pengertian bahasa secara hakiki, bahasa yang tidak memiliki tubuh kata-kata. Efek dari prosesi tadi disebut “terbang melayang di cerlang cahayamu” karena memang bahasa yang muncul tidak dalam bentuk kata-kata. Penyair telah sampai pada ekstase perenungannya sehingga ia terlarut dan membahasakan perasaannya. Seperti yang dijelaskan, “menarikan jemari melati putih.” Ini hanya bentuk lain dari peribadatan tadi, bisa jadi ia adalah dzikir yang terwujud dalam gerak jemarinya, bisa juga ia adalah kiasan dari perasaan penyair dalam prosesi itu yang hendak diwujudkan dalam bentuk bahasa. Dalam hal ini “melati putih” sebagai simbol kesucian, atau keindahan yang suci untuk menggambarkannya.

Tetapi ketika membaca “o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku” membuat pemaknaan awal lebih kuat, yakni aku lirik di sana melakukan prosesi ibadah lain dengan tarian jemarinya sehingga hal itu membuat hatinya semakin berbunga, bergairah, bahagia. Dan ini tentu saja menguatkan tafsiran pada baris dan bait sebelumnya. Bahwa penyair tidak masuk dalam kesunyian itu tanpa upaya, ia bergerak dan melakukan prosesi peribadatan. Maka cahaya yang disebutnya itu adalah gambaran dari kebahagiaan yang didapatkannya ketika sampai pada perenungan terdalamnya atas kesejatian.

usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!

            Puisi ini sebenarnya memiliki kerangka waktu yang sangat lebar meski hanya berisi tiga bait. Ia tetaplah puisi meski meminjam kerangka waktu prosa, karena di sini bukan alur yang menjelaskan perbuatan tokoh seperti dalam prosa. Kerangka waktu yang dimiliki puisi adalah gerak yang didorong oleh pemaknaan, yakni sebagai penjelasan atas momen yang dihadapi subyek. Jika dua baris awal pada bait pertama adalah pembukaan, baris selanjutnya dan bait ke dua adalah penjabaran ide. Sedangkan pada bait ke tiga ini menjadi penutup sekaligus penguat pemaknaan. Di sini dikatakan, “usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam” untuk menjelaskan selesainya prosesi tadi, bukan efek yang dirasakan penyair. Dan diksi “ranjang” di sini terikat maknanya dengan “malam” karena ia kata majemuk. Berbeda tujuan dengan kehendak ide yang diwakili oleh “permadani” tadi. Artinya, ranjang malam di sini tidak terkait dengan konotasi erotiknya, seperti kata majemuk pisah ranjang misalnya. Ia hendak mewakili sifat dari malam, yakni waktu malam. Atau ranjang di sini bukan sebagai ranjang secara definitif, karena itu jelas berkontradiksi dengan ide pokok dalam puisi.

Hal itulah yang dikuatkan penyair dengan penjelasan, “dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat / mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya / semata cahaya! //.” Karena diksi “bercumbu,” dan “pergumulan” itu hanya kiasan dari prosesi yang dilakukan penyair untuk mendekat pada sosok yang dikenalinya sebagai cahaya. Sehingga kerinduan muncul, dan hal itu dikuatkan dengan repetisi, “hanya cahaya / semata cahaya!” Terang sudah, strategi retoris yang dimunculkan DAM adalah dengan melepaskan kata dari rumah bahasanya. Ia bukan dalam bentuk radikal sebagaimana Sutardji, kata masih dalam konteksnya: memberikan pengertian, tapi ia berbelok pemaknaannya. Diksi yang dipilihnya familiar dengan konotasi tertentu yang berkembang dalam pemahaman khalayak. Namun itu yang dirombaknya. DAM seolah menyentil pembaca dengan kesan familiar itu, namun menghendaki pemaknaan yang berbeda. Dan ini pula yang saya istilahkan dengan keusilan yang positif itu. Penyair, meski dalam tema religi tetap memunculkan ciri khasnya. Ia berdiri sendiri meski gaya sederhana yang diusungnya dibawa juga oleh Sapardi. Perbedaan tampak jelas ketika sampai pada strategi retoris yang dimiliki kedua penyair itu.

            Puisi “Ana Nur 00:50” ini menunjukkan perenungan yang disertai oleh upaya tertentu dalam menghasilkan ekstase bagi penyairnya. Di era Chairil, banyak penyair yang meniru gaya nglambrang-nya untuk mendapatkan ekstase tersebut dalam mencipta puisi. Cara seperti itu dikritik oleh Rendra dalam kumpulan esai “Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an” yang dieditori oleh Budayawan Dwi Klik Santosa. Dalam buku itu Rendra menyebut, “Di antara para pengarang, apalagi di antara para pengarang muda, ada istilah “mencari inspirasi”. Dalam kenyataannya yang dimaksud dengan istilah ini ialah: mereka ngeluyur malam-malam, duduk lama-lama di kedai kopi dan menghabiskan waktunya dengan obrolan-obrolan kosong, ngelayap sepanjang daerah-daerah mesum, dengan pakaian kotor duduk di teras toko di waktu sudah jauh malam, bergerombol dan ngobrol-ngobrol sambil bersandar pada terali jembatan, serta bermacam-macam perbuatan yang aneh-aneh lagi. Kebiasaaan semacam itu akan berkembang dengan subur sebagai warisan dari angkatan ’45, terutama Chairil Anwar.” Upaya yang dilakukann oleh DAM adalah melakukan prosesi tadi, ia bersunyi diri dan melakukan pergumulan batin untuk sampai pada perenungan terdalamnya.

Kita tahu, banyak cara dilakukan penyair dari masa-ke masa untuk menghasilkan perenungan semacam ini. Pablo dengan puisi “Oh Bumi, Tunggulah Kami” tadi juga merupakan perenungan terdalamnya tentang kesejatian hidup, tapi tidak ada prosesi di sana. Dari bentuk teksnya, ia adalah perenungan alami yang bisa dilakukan oleh setiap orang, perenungan yang tanpa upaya. Tentunya gambaran itu berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh pujangga kuno kita yang terlebih dahulu melakukan ritual yang bahkan lebih sulit. Manusia tidak pernah berhenti mencari kebenaran, sekalipun dia tahu ada hal-hal yang berada di luar kemampuan pemahamannya. Spekulasi, ragu-ragu, menolak sekaligus membenarkan adalah sifat dasar manusia. Saya tidak hendak membeda-bedakan penyair dengan paham tertentu, contoh yang saya bawa untuk memperlihatkan perbedaan sudut pandang saja demi memperkaya pemaknaan puisi.

Kesaksian Fenomena Faktual

Di bagian lain, penyair Dimas Arika Mihardja juga mengusung tema-tema sosial dalam puisinya. Suara yang diperdengarkan memang bukan hujatan dan makian kasar, tetapi esensi yang hendak diungkapkan dalam puisinya menunjukkan ada kepekaan terhadap fenomena faktual di sekitarnya. Seperti yang terbaca dalam puisi LUMPUR LAPINDO BRANTAS, TUBA DI DANAU TOBA, MENCARI INDONESIA, KENDURI AIR MATA (hal: 139 dan 199), PILKADA DAN PIL KOPLO, SERATUS HARI KEMATIAN PUISI.

Sesuai dengan amanat dan tujuan sastra, seperti yang ditegaskan Plato dalam Republik, yang mana tujuan sastra itu demi mengangkat harkat kemanusiaan dengan nilai agungnya, DAM menyuarakan ketimpangan yang hadir di sekitarnya. Ketika mencermati sajak-sajak DAM yang bertemakan sosial-politik, terlihat DAM berada di tengah konflik yang berlangsung. “Di tengah” ini adalah posisi sebenarnya bagi seorang penyair. Sebagai corong kemanusiaan, penyair bukan bagian dari sistem politik. Ia adalah sistem lain yang bergerak sendiri.

Politik muncul saat manusia membentuk koloni dan menghendaki sistem untuk mengatur kebutuhan mereka. Politik bisa disamakan dengan kepentingan untuk mengatur, menguasai, dan memerintah. Siapa pun yang terjun di dalamnya tidak akan bisa terlepas dari kepentingan ini. Ironisnya, pihak yang seharusnya terwakili dengan sistem tersebut justru seringkali menjadi penonton saja. Mereka ini seringkali disebut sebagai rakyat. Selama rakyat masih menjadi rakyat biasa, maka ia hanya berperan dalam membangun sistem ini, tapi bukan penggerak sistem tersebut secara aktif. Karena tidak mungkin semua orang memberikan perintah dan kebijakan, maka sistem itu menghendaki kepemimpinan. Di sinilah dualisme itu berawal. Kepentingan bersama ini menjadi kepentingan kelompok atau pribadi, seseorang dengan kapasitas yang dimilikinya berusaha untuk merebut, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Rakyat yang seharusnya menjadi tujuan dari terbentuknya sistem ini justru seringkali menjadi korban kepentingan politik. Dan penyair adalah corong untuk menyuarakan ketimpangan itu. Penyair, sebagaimana rakyat, juga tidak bergerak di dalam sistem itu. Bahkan ia ada di belakang pembangun sistem (baca: rakyat) tadi, penyair bergerak sejauh ia mampu membangkitkan pembangun sistem untuk berpikir dan merenung kemudian melahirkan tindakan.

Komunikasi yang diwujudkan berjalan secara tidak langsung, pembaca harus merenung dan memahami maksud penyair, baru memberikan pertimbangan. Renungan itu bersifat stimulus, gerak selanjutnya adalah respon terhadapnya. Banyak penyair yang dengan tegas mengambil jalan terang, sehingga lahirlah pamflet, balada, puisi orasi, puisi untuk menggerakkan massa. Tapi banyak juga yang tetap menyuarakannya dengan komunikasi puitikal. Substansi yang dikehendaki sama, namun gaya dan cara penyampaiannya berlainan. Puisi terang tidak lantas menjadikannya pro rakyat atau pro kemanusiaan. Saat kita menyebut rakyat, ia bisa menjadi sangat absurd. Tangan-tangan politik yang bergerak tak kasat mata membuat posisi rakyat terbelah. Ketika ada pihak yang berteriak-teriak pro atas kebijakan, ada pihak lain yang berteriak kontra atasnya. Massa bukan jaminan untuk menentukan pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Di sinilah penyair itu harus bijak dan mengambil posisi yang tepat, yakni di tengah tadi. Tolok ukurnya tentu berpulang pada pertimbangan nurani. Benar dan salah diukur dari pertimbangan dialektis yang mewakili kepentingan bersama tadi, bukan sekedar posisi pro dan kontra, bukan berdasarkan jumlah massa.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, sebagian puisi yang termuat dalam buku ini didedikasikan untuk satu atau beberapa orang. Hal itu tentu saja terkait dengan pemikiran penyair lain, atau fenomena yang bersifat umum dan disadari oleh orang banyak. Seperti yang terbaca pada puisi pendek di bagian agak akhir antologi berikut.

KENDURI AIR MATA
: agus r sarjono

duduk merapat membincang negeri
pertiwi diaduk perasaan perasaan sendiri
nyeri enggan berbagi

Agustus, 2010

Pada halaman 139 memang ada puisi berjudul sama. “Kenduri Air Mata,” tapi tanpa sub judul. Tema kedua puisi juga sama, yakni sosial-politik. Puisi berjudul “Kenduri Air Mata” yang saya tampilkan di atas itu tertera pada halam 199 dengan sub judul : agus r sarjono. Menarik saat membaca puisi pendek itu karena banyak hal yang bersembunyi dalam diksi sederhananya. “Kenduri” secara definitif adalah ritual yang dilakukan sekelompok orang dengan diisi doa dan diikuti acara makan bersama. Atau bisa disebut, kenduri adalah perjamuan makan. Pengertian umum ini berbelok ketika kata “kenduri” menerangkan kata “air mata.” Seolah air mata itu adalah hewan ternak yang digunakan dalam selamatan, ia adalah barang kenduri. Dari sini terdapat gambaran bahwa ada pengepungan kedukaan oleh beberapa orang, kenduri di sana sebagai kiasan besarnya duka tadi, sebuah tragedi terjadi sehingga dilakukan kenduri. Makna kenduri berbelok dan disempitkan, sehingga terlepas dari pemaknaan umumnya: ritual yang dilakukan untuk berbagai kepentingan. Ia menyempit semata untuk mewakili kedukaan berjamaah.

Pada sub judul tertera nama Agus R Sarjono, seorang penyair, cerpenis, esais, editor yang cukup familiar dalam dunia sastra Indonesia. Bahkan pada tahun 1994 antologi puisi berjudul “Kenduri Air Mata” dibukukan olehnya. Dari sini dapat ditarik pemahaman, bahwa puisi ini terkait dengan puisi Agus R Sarjono dalam antologinya itu. Atau dengan kata lain, DAM memang sengaja menyenggol Agus R Sarjono dengan puisi ini, karena ada kesepahaman dalam ide pokoknya. Dengan begitu, puisi “Kenduri Air Mata” ini termasuk dalam istilah saya, puisi dengan fungsi komunikasi puitikal tingkat ke dua. Secara langsung atau tidak, pembaca menyadari ada keterkaitan ide antara penyair dengan nama yang dituju oleh puisinya. DAM dan nama yang dituju puisinya terikat dalam satu wilayah perenungan.

Pada dasarnya, penyair memiliki banyak tujuan ketika menyebut atau menempatkan nama seseorang sebagai sub judul. Hal itu secara luas memang tidak menunjukkan pola tertentu. Misalnya Chairil menempatkan nama Sri Ajati dalam puisinya “Senja di Pelabuhan Kecil” yang jelas terbaca sebagai wakil dari tema cinta. Tapi ketika DAM menyebut nama Agus R Sarjono, dengan jelas terbaca tema sosial-politik yang sedang diangkatnya melalui tubuh puisi. Keterkaitan wacana yang saya maksud di atas itu bukan mengenai pola tertentu, tapi mengenai sudut pandang. Dalam puisi ini, keseragaman pandangan itu diawali oleh kedekatakan dua orang penyair, hal itu dicatatkan DAM, “duduk merapat membincang negeri.” Dari kalimat sederhana ini ada beberapa hal pokok yang hendak ditekankan, diksi “duduk merapat” menunjukkan adanya kedekatan sekaligus keseragaman pandangan mengenai ide pokok yang sedang dibicarakan dalam puisi. Ia sekaligus menjadi latar pembicaraan, yakni dalam proses pembicaraan itu dalam keadaan duduk berdekatan. “merapat” di sana memunculkan gambaran yang berbeda dibanding diksi lain, misalnya berdekatan, berdampingan, berjajar. Diksi merapat itu lebih menggambarkan upaya untuk menjadi dekat, erat, lengkap. Seperti kalimat, “perahu itu merapat ke dermaga,” ada gerak yang terbaca di sana yang tidak sama dengan diksi dekat atau bersanding.

“merapat” yang dikehendaki oleh puisi ini bukan hanya dari segi fisik, tapi juga batin. Dua orang yang dikatakan “duduk merapat” itu memiliki pandangan yang sama mengenai perkara yang berkaitan dengan “negeri.” Kalimat ini memang dalam bentuk padat karena ia dalam struktur puisi pendek. Padahal teks lanjutannya bisa jadi sangat panjang. Seandainya kalimat-kalimat yang disembunyikan itu ditulis kurang lebih akan terbaca, “dua sahabat karib di suatu pertemuan, duduk berdekatan. Mereka berdua memiliki keseragaman pandangan mengenai fenomena yang terjadi di negeri mereka, yakni indonesia. Permasalahan yang cenderung berputar-putar dan tidak pernah selesai dengan tuntas sehingga memunculkan kedukaan bersama.” Kalimat-kalimat sebagai teks lanjutan itu tentu tidak mungkin dimunculkan seluruhnya, karena struktur puisi pendek yang menghendaki efesiensi maksimal. Dalam puisi pendek, kata menolak kata lain yang tidak diperlukan. Prinsip ini berbeda dari puisi panjang, dimana satu kata dengan kata lain saling tarik-menarik karena tuntutan pemaknaan.

Misalnya diksi “membincang” itu bahkan menolak afiksasi seperti akhiran “–kan” atau sisipan “–per,” karena kata dalam puisi ini menghendaki pemadatan secara maksimal. Sehingga ia menolak kata bahkan imbuhan yang mungkin melengkapinya. Efesiensi secara maksimal ini sering disalah-gunakan oleh penyair sehingga membuang hampir semua kode bahasa dalam puisinya. Seperti puisi Sutardji yang berjudul “Luka” yang hanya berisi anomatope sebagai tubuh puisi, yakni “ha ha”. Atau bahkan ada penyair kontemporer yang mencoba membuat puisi tunggal, yang hanya mempunyai satu kata sebagai wakil judul sekaligus tubuh puisi. Saya kira puisi seperti itu hanyalah upaya kenyentrikan yang berlebihan. Dilihat dari logika pemaknaan, hal itu nonsense sifatnya. Puisi seperti itu dengan sendirinya jatuh sebagai puisi gelap yang minim kode bahasa. Puisi gagal dalam menjembatani terpahaminya ide pokok kepada pembaca melalui pemaknaan yang logis. Sepadat apa pun, sebuah puisi tentu terikat pada hal-hal pokok yang tidak logis jika ditabrak dengan licentia poetica. Hal-hal pokok itu adalah apa pun yang terkait dengan kode bahasa, apa pun yang menjadi petunjuk dalam pemaknaannya sesuai konvensi yang  berlaku. Penyimpangan hanya mungkin dilakukan sejauh itu untuk memberikan kesegaran dan kebaruan, bukan menghilangkan dengan radikal seluruh kode bahasa yang ada.

Seperti yang ditunjukkan oleh diksi “membincang” ini, dalam konteks bahasa formal hal itu tentu tidak dibenarkan karena mengandung ambiguitas, sehingga menyalahi tujuan komunikasi formal. Tetapi dalam bingkai puisi, justru yang ambigu, yang taksa, yang melahirkan banyak pemaknaanlah yang dikejar. Padahal tanpa tambahan afiksasi tadi makna kesalingan bercakap-cakap telah dimengerti. Bukan karena kode bahasa “membincang” itu, tapi karena teks lanjutan yang tersimpan di dalamnya. Teks lanjutan itu atau makna atas teks lanjutan itu muncul karena dorongan ide pokok dalam puisi, yang jika tidak ada justru tidak logis dilihat dari pemaknaannya. Artinya, teks lanjutan tadi memang tidak eksis dalam bentuk fisik, tapi ia mengeram di dalamnya karena kebutuhan pemaknaan logis.

Begitu juga dengan diksi “negeri,” seolah kata itu adalah plat merah pada kendaraan bermotor. Dengan cepat dapat dipahami, ia hendak mewakili permasalahan negara yang didiami oleh kedua penyair. Padahal menurut kode bahasa, secara definitif “negeri” itu bersifat umum dan bisa berarti negeri manapun. Ia dekat dengan bahasa melayu, nagari yang berarti wilayah, tanah, distrik, pemerintah, dsb. Tetapi negeri adalah kata konkret, dengan jelas ia menggambarkan keterkaitan dengan teks lain yang tidak disebutkan dalam puisi. Sesuai dengan ide pokok puisi, diksi “negeri” itu tidak menghendaki substansi kenegeriannya, tapi permasalahan yang ada dalam negeri tersebut. Pemaknaan seperti itu muncul ketika kata “negeri” berkaitan dengan judulnya, yaitu “Kenduri Air Mata.” Dengan adanya permasalahan itulah dikatakan ada kenduri di sana, yakni beramai-ramai menyantap kedukaan yang diwakili oleh air mata.

Dalam baris selanjutnya penyair berkata, “pertiwi diaduk perasaan perasaan sendiri.” Baris ini menguatkan pemaknaan sebelumnya. Diksi “pertiwi” juga merupakan kata plat merah. Dengan cepat dapat dipahami ia hendak mewakili definisi sebuah negara kepulauan yang disebut indonesia, meskipun secara harafiah ia diartikan sebagai tanah, bumi, tanah tumpah darah.  Atau jika mencermati lebih dalam dari studi filologinya, “pertiwi” dari bahasa sanskerta pṛthivī, yang merupakan dewi dalam agama Hindu, atau Ibu Bumi. Dalam sebutan lain, Dhra, Dharti, Dhrthri, yang berarti “memegang semuanya.” Pengertian seperti ini tidak berlaku sepenuhnya dalam puisi, sebagian sifat memang diambil, tapi makna kata “pertiwi” telah berbelok sesuai kehendak kata konkret darinya. Kehadiran kata pertiwi dalam baris ke dua menguatkan pemaknaan negeri tadi. Artinya kedua orang yang bersembunyi dalam kalimat pengganti subyek “perasaan sendiri” itu sedang diamuk kecamuk perasaan yang beraneka bentuk, untuk itulah dikatakan “diaduk.”

Ketika pembacaan sampai pada baris ke tiga, “nyeri enggan berbagi,” menghadirkan akhir perbincangan yang cukup mengejutkan. Substansi perbincangan itu memang tidak disebutkan, tapi teks lanjutan yang tersimpan jelas terbaca. Seperti halnya melongok ke luar jendela. Puisi ini kecil seperti ukuran jendela itu, tapi darinya terlihat gambaran yang luas. Dari jendela itu mungkin akan terlihat langit yang jauh, ladang luas yang gersang, bocah kurus yang sedang bersedih duduk di bawah pohon berdaun ranggas. Dari jendela yang kecil itu terbaca kesedihan yang luas dan dalam. Namun kenapa dikatakan, “nyeri enggan berbagi?” Kembali seperti melihat jendela tadi, kita tak dapat berteriak pada gembala kurus yang sedang bersedih di bawah pohon yang meranggas daunnya. Ia terlalu jauh. Kita tak bisa mengingatkannya ada badai besar yang sedang mengejarnya. Kita merasakan nyeri atas itu, padahal tangan kanan kita tengah memeluk anak dan tangan kiri kita sedang menggandeng istri. Kita tak bisa mengabarkan badai itu, karena kita pun sedang diserangnya. Begitulah puisi ini hendak mengabarkan kepedihan yang tak terkata. Penyair bahkan enggan membagi nyeri yang dirasakannya. Ia menelan sendiri pahit kenyataan itu, kengerian itu, kenyerian itu, karena berteriak pun percuma.

Puisi “Kenduri Air Mata” ini, sesuai istilah saya adalah bentuk komunikasi puitikal tingkat ke dua. Pertama kali ia melesat menuju nama yang menjadi tujuan puisi, yaitu Agus R Sarjono yang juga seorang penyair, cerpenis, esais, editor. Kemudian ia mengarah pada pembaca, yang menghubungkan keterkaitan dua penyair dari segi ide pokoknya. Dalam struktur pendeknya, puisi ini melakukan efesiensi maksimal sehingga membuang kata bahkan afiksasi yang tidak diperlukan. Tetapi kata-kata yang ditolak dari segi fisik itu muncul dalam bentuk teks lanjutan bersebab kaitan logis pemaknaan. Yang terbaca darinya adalah gambaran kedukaan untuk mewakili fenomena sosial-politik yang terjadi. Substansi permasalahan itu sengaja disimpan, yang tergambar darinya adalah duka tak terkata. Ia ada dan tinggal dalam perenungan-perenungan penyairnya, yang bahkan enggan untuk dibaginya. Meskipun sebenarnya hal itu telah sampai dalam pemahaman tanpa diucapkan.

Penutup

            Saya kira kesimpulan secara garis besar yang bisa diambil dari antologi “Sajak Emas” adalah mengenai kesaksian penyairnya dalam menjalani kehidupan. Puisi-puisi yang dihadirkan dalam antologi tersebut adalah upaya rekam-jejak. Karena satu-satunya yang dimiliki oleh manusia itu sebenarnya adalah masa lalu, seperti yang saya katakan sebelumnya. Maka dari itu penyair menyimpan kesaksian itu dalam puisinya yang merupakan tempat perenungan kembali. Ada beberapa hal yang akan luput dalam pembacaan heuristik karena strategi retoris yang diterapkan penyair dalam puisinya. Pembaca mungkin akan terkecoh oleh kesederhanaan diksi sehingga muncul anggapan yang familiar, biasa, jauh dari kesan eksentrik. Padahal jika masuk pada tahap pembacaan hermeneutik, dalam diksi-diksi sederhana itu sebenarnya terkandung perangkap estetik. Setiap penyair memiliki cara yang khas untuk menyihir pembaca, termasuk upaya defamiliarisasi teks. Dalam kesederhanaan atau kefamiliaran diksi yang diusung oleh DAM ada beberapa hal yang sebenarnya keluar dari bentuk familiar, seperti upaya DAM dalam merombak pemaknaan. Penyair memang tidak hendak membebaskan kata sebagaimana Sutardji, tetapi ia membelokkan pemaknaan kata. Diksi yang umumnya dipahami sebagai konotasi tertentu dibengkokkan. Sehingga yang muncul adalah makna baru yang bersumber dari sebagaian sifat definisi lama.

            Perlu dicatat, dalam prakteknya hanya ada dua jenis puisi jika dilihat dari penyampaiannya, yakni puisi meja dan puisi panggung. Puisi dengan diksi sederhana, dengan rima akhir yang disertai repetisi akan lebih mudah diterima audiens, tetapi kurang menghanyutkan dalam pembacaan hermeneutik. Maka dari itu puisi humor, puisi mbeling, puisi balada dengan tubuh panjang lebih bisa menghibur dibanding puisi yang memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam pengucapan. Sebaliknya puisi dengan diksi-diksi tidak familiar, yang fokus utamanya aspek semantik atau penampilan visual yang eksentrik cenderung lebih sulit diterima pemahaman audiens. Puisi menjadi asing dan sulit dicerna dalam momen cepat, apalagi di atas panggung puisi bukan dibaca oleh penikmat tapi didengar. Maka puisi absurd, puisi prismatis, puisi gelap, puisi pendek, lebih cocok untuk direnungkan dan diamati kata-per-kata.

            Melihat fakta tersebut, seluruh aspek dalam puisi seperti rima akhir, repetisi, kata kongkret yang klise dan berlebihan tidak bisa dikatakan melemahkan puisi saat menimbang ruang penyampaiannya. Saya kira fakta tersebut yang juga mempengaruhi puisi DAM. Di satu sisi puisinya bercirikan diksi sederhana, dengan pola repetisi dan penggunaan rima akhir yang sama atau mirip. Begitu juga dengan kata-kata kloningan berdasarkan kemiripan fonem. Di sisi lain DAM tetap memperhatikan hisapan pemaknaan dalam ruang dan waktu penikmatan yang berbeda. Maka dari itu penyair mengatakan hendak menggulirkan konsepsi estetis yang disebutnya sebagai “saksi yang sexy.” Puisi menurut penyair bukan sekedar indah dari bentuk fisik atau luarnya, tapi juga memperhatikan bentuk dalaman yakni maknanya. Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun, konsep-konsep yang ditemukan oleh DAM diramu sedemikian rupa demi memunculkan puisi yang mewakili dua ruang pembacaan sekaligus: meja dan panggung.

            Lalu apakah konsepsi estetis yang hendak digulirkannya dalam “Sajak Emas” adalah sebuah wacana yang bersifat fenomenal, monumental, spektakuler, best seller? Lebih awal DAM telah menggaris-bawahi dalam pengantarnya dengan sebuah fakta di lapangan, sebuah bentuk kesadaran atas pengalamannya sesudah sekian lama malang-melintang di dunia perpuisian Indonesia, yang dikatakannya, “Saya amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat ‘proyek rugi’ secara finasial, tetapi ‘proyek besar’ bagi kemanusiaan.”




Kajitow El-kayeni

Redaktur BPSM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar