museum

Selasa, 20 Mei 2014

MENGHIDUPKAN KEBUDAYAAN MATI




Kebudayaan seringkali diartikan sebagai  sesuatu yang telah terjadi, selesai, dan bahkan mati. Jika demikian halnya, maka museum tak lebih hanyalah sebuah kuburan. Ia hanyalah kebudayaan yang mati.

Tetapi anggapan umum ini tentunya keliru, ketika memahami kebudayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bersatunya manusia dengan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan. Ia bagai garam dalam masakan, meresap secara berimbang. Maka sebagai rumah peradaban, keberadaan museum seharusnya juga tak terpisahkan. Manusia yang membangun dan mendiaminya sebagai tempat untuk berlindung dari mudah lapuknya ingatan. Dalam Culture-determinism, yang digagas oleh Bronislaw Malinowski disebutkan bahwa, segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan mereka sendiri. Maka dengan demikian, masyarakatlah yang harus bergerak dan berbenah, jika kebudayaan lampau mulai terancam oleh alienasi.

Ironisnya, tempat penting yang diniatkan sebagai sumber informasi bagi pendidikan dan seni ini kurang mendapatkan perhatian. Jarak ini tercipta karena banyak hal, di antaranya kurangnya rasa memiliki. Museum dijadikan liyan, bukan bagian yang membentuk diri subyek. Ketika sampai pada kenyataan ini, keadaan harus segera dikembalikan sebagaimana mestinya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang, namun dengan pemahaman dan orientasi perbaikan yang benar, hal itu bisa diwujudkan.

Dalam sebuah dialog yang diadakan di Museum Nasional dengan pembicara Edi Haryono, Mohamad Sobari (tidak hadir) dan dimoderatori oleh Dwi Klik Santosa, sempat digulirkan sebuah pembahasan dengan tema, Bagaimana mencintai museum kita? Sebagai pembicara, Edi Haryono memberikan tiga jawaban, yaitu: Pertama: memanfaatkan rasa ingin tahu yang dimiliki semua orang, dari kanak-kanak hingga kakek-nenek. Kedua: menyadari kebutuhan menempa diri, sebagai bekal pokok dalam persaingan hidup. Ketiga: merenung, sebagai proses melahirkan perkembangan hidup yang terhindar dari mekanisme pasar.

Selaras dengan tujuan itu, jika mengingat kesimpulan J.J Hoenigman, menyoal kebudayaan, semestinya ada tiga hal yang saling berkaitan, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Dari tiga poin yang diajukan oleh Hoenigman ini, problem kurang perhatian yang dialami museum itu bisa dicarikan jalan keluar sesuai ruang-lingkupnya. Hal itu bisa dipahami sebagai berikut:

Pertama soal Gagasan, ia meliputi kumpulan ide, nilai-nilai, peraturan, norma. Sesuatu yang tinggal dalam ingatan kolektif masyarakat. Dari hal abstrak ini akan terlahir suatu rumusan dalam bentuk tulisan, maka kebudayaan dalam bentuk ide tadi akan terlahir sebagai sebuah informasi yang baru dan lebih kokoh. Ingatan, cara terkuno dalam menyimpan kebudayaan dalam bentuk ide, sering kali membelokkan beberapa hal. Ia tercampuri oleh desakan simpanan data yang lain sehingga terkadang bias. Manusia menempuh beberapa cara agar nilai-nilai itu, praturan itu, kumpulan ide itu, tidak terkikis oleh waktu. Di antaranya adalah dengan tulisan tadi, atau cara yang lebih tua yaitu dengan menuturkannya secara turun temurun secara lisan.

Dongeng disinyalir sebagai salah satu cara efektif untuk merawat ingatan kolektif itu. Dengan cara didongengkan, sebuah nilai-nilai luhur hasil rumusan orang-orang terdahulu bisa diajarkan pada orang kemudian. Masa lalu itu akan terjaga dengan baik. Untuk beberapa hal, ia memang dilambungkan, dilebihkan, dibesar-besarkan, sesuai logika dongeng. Tetapi kebaikan nilai-nilai itu mengendap dan tetap.

Untuk menghidupkan kembali museum bisa dilakukan dari tataran ide ini. Kebudayaan mati harus dihidupkan kembali dengan cara dibarukan lagi. Para kreator dimunculkan, rumusan pembelajaran dihadirkan. Ide-ide segar yang memuat cerita-cerita bernilai pengajaran kebudayaan lampau harus ditumbuhkan dan ditularkan pada generasi penerus. Kelak, merekalah yang akan memunculkan ide-ide segar serupa agar kebudayaan lampau senantiasa dekat, menyatu, dan seirama dengan kekinian serta hari esok.

Sedangkan yang ke dua aktifitas, ia mencakup tindakan, interaksi, tata kelakuan. Sesuatu yang sifatnya konkret dan bisa didokumentasikan. Ini juga menyangkut tradisi yang dilakukan secara rutin oleh masyarakat. Untuk menunjang berlangsungnya tradisi ini, kreatifitas sangat dibutuhkan. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu membentuk pola dan dengan sendirinya akan membentuk tradisi. Namun, tradisi ini juga terdesak kebiasaan-kebiasaan baru, yang kebanyakan belum teruji. Asimilasi budaya membutuhkan waktu dan proses alami. Dalam alam informasi serba cepat, banyak yang mengalami kejutan kebudayaan sehingga teralienasi dari kebudayaannya sendiri.

Orang-orang harus dibangunkan dari keterlenaan, dari pengaruh budaya serba instan dengan menghadirkan karya cipta. Secara nyata dan hadir, mereka bisa ikut berpartisipasi, menyokong, menguatkan. Dalam kebersamaan itu, pemberdayaan secara konkret kebudayaan mati menemu bentuknya. Ia akan hidup bersama gerak-cipta para pelakunya.

Saya kira tidak perlu bicara muluk-muluk soal pencerahan universal. Sebuah karya nyata sesederhana apa pun bentuknya adalah sumbangan besar bagi kebudayaan. Hal-hal besar harus dimulai dengan yang kecil juga, dari yang paling sederhana, diri sendiri misalnya. Di masa lalu, Borobudur, Prambanan, Cetho, situs Majapahit, bolehlah menjadi kebanggaan, tapi kemegahan itu tidak boleh berhenti di sana. Kreator harus kembali dimunculkan, kemegahan baru harus kembali dilahirkan.

Kemudian yang terakhir dalam konsep itu adalah artefak, ia adalah wujud kebudayaan secara fisik. Artefak adalah kebudayaan mati yang sebenarnya. Ia obyek yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ada peranan subyek. Museum berada dalam wilayah ini. Ia tempat untuk melindungi budaya material itu dari kerusakan dan tindakan ilegal.

Dua konsep sebelumnya tidak akan lengkap tanpa ada dukungan dari museum selaku rumah pradaban. Museum memang perlu untuk dipercantik dari segi fisik, menempatkan benda-benda bersejarah dalam tempat yang terlindungi, bukan dibiarkan terserak di tempat terbuka layaknya barang tak berharga. Membuat suasana nyaman, indah, menyenangkan. Tapi yang lebih penting dari itu, menghidupkan jiwa militan bagi para pengurusnya.

Dalam gerusan modernitas dan cara pandang yang melampaui kenyataan (hiperrealitas), barangkali museum dan instansi bagian data lain bukanlah sebuah tempat ideal yang bisa dibandingkan secara prestise dengan kemegahan bank, istana negara, gedung-gedung pemerintahan yang canggih, perniagaan besar yang mewah. Keminderan semacam ini harus dihilangkan. Museum adalah tempat terhormat yang melampaui batas materiil dan nilai visual yang dangkal. Pengurus dan pegawainya adalah orang-orang penting yang berjiwa patriot, yang berkerja dengan berlandaskan kecintaan luar biasa.

Kritikan terhadap museum bukan hal baru. Banyak orang yang dengan mudah menyalahkan. Kritikan semacam itu memang penting, ia bentuk lain dari perhatian yang nantinya menguatkan, memperbaiki, menjaga. Tapi juga harus jujur diakui, dibutuhkan orang-orang ulet, berdedikasi dan tanpa pamrih untuk melakukannya. Di banyak museum, kesederhanaan pengurusnya membuktikan hal itu. Bahkan ada beberapa yang rela berkorban secara pribadi baik moril maupun materiil atas nama kecintaan pada rumah peradaban tersebut. Menjadikan diri bagian darinya, menyatu lahir-batin.


Mengingat hal itu, patut direnungkan kembali hakikat kecintaan itu. Jika seluruh elemen dari konsep tadi, mulai dari tataran ide, aktifitas, artefak, dapat dibangun lagi, kebudayaan mati akan hidup kembali. Dan ini membutuhkan suara bulat dari seluruh elemen bangsa untuk bersatu, berbudaya dengan segenap rasa cinta.



Kajitow Elkayeni