museum

Minggu, 04 Desember 2011

LICENTIA POETICA: JALAN BELAH DUA


LICENTIA POETICA: JALAN BELAH DUA



Seringkali licentia poetika dijadikan tembok sakral yang tidak boleh ditembus oleh pihak mana pun. Sama halnya keyakinan ilmuwan yang dulu meyakini atom adalah bagian terkecil yang tak terbagi lagi. Dan keyakinan itu ternyata salah.

***


Sebuah kalimat keramat yang seolah menjelma Tembok Raksasa Cina sudah sejak lama menghadirkan pro dan kontra. Kalimat yang dianggap transenden sehingga menutup kemungkinan adanya gugatan. Kalimat yang terrefleksi dari hak prerogatif sastrawan (khususnya penyair) yang menjadikannya imun terhadap tuntutan apa pun. Kalimat itu adalah Licentia Poetika.

Dulu, sejak pertama kali mendengar istilah tersebut, saya pribadi tidak berkehendak menelusuri jejak-jejak historisnya. Saya juga tidak tertarik untuk menelaah definisi lengkapnya. Saya abai karena saya sadar pada licentia poetika terdapat ruang abu-abu yang saling tarik-menarik. Tetapi (meski bisa disebut terlambat) fenomena-fenomena yang berkembang dalam ranah sastra mengantarkan saya pada ketiadaan pilihan kecuali untuk mempelajarinya lebih lanjut meski tidak secara mendalam. Bersebab, tarik-menarik yang ditimbulkan licentia poetika ini menjadi kian rancu dan salah kaprah jika tidak segera dibatasi pemahamannya. Dari pihak sastrawan, atau sebut saja penyair sebagai penemu dan pembaharu bahasa, licentia poetika merupakan alat untuk menggali temuan-temuan bahasa. Ia merupakan timba untuk menarik sebanyak mungkin kebaruan agar bahasa terhindar dari stagnasi. Tetapi di pihak lain ada golongan yang bertugas mencatat dan mengkiblatkan bahasa sebagai tolok ukur atau tempat rujukan. Kedua pihak ini seringkali menemukan jalan buntu ketika berupaya mencari kesepahaman.

Apa hakikat sebenarnya dari licentia poetika itu?

Berbagai pendapat muncul dari pakar bahasa. Mereka mencoba menafsiri dari kecenderungan yang mendinamika dalam ranah sastra. Meskipun di luar itu sebenarnya masih terbuka ruang lebar untuk mendefinisikannya kembali dari sifat dan keumumannya untuk menggenapkan pendapat tadi.

Begitu bebasnya licentia poetika bergerak sehingga tanpa batasan apa pun yang menghalanginya. Setelah menembus dinding konvensi sastra, licentia poetika menerabas pula konvensi bahasa (kaidah bahasa). Hal ini sangat kontras dan tentu saja memunculkan pertanyaan, apakah tidak ada jalan damai dari jalan belah dua tadi? Jika memang tidak ada, mungkinkah jalan belah dua tadi berjalan beriringan? Yakni sebuah wilayah yang memungkinkan bagi keduanya saling mengisi? Dua hal bertentangan jelas tidak dapat didamaikan, namun dari titik tengah kedua hal tadi bisa saling menunjang dan melengkapi. Misalnya seperti atas dan bawah, keduanya saling terkait pada peristiwa jatuh atau naik. Timur dan barat, keduanya saling terhubung pada pergerakan horizontal. Hitam dan putih, keduanya saling mengisi dalam kadar kohesi sehingga muncullah warna lain di pertengahannya. begitulah seterusnya, dua hal bertentangan jelas tidak mungkin disatukan namun bisa saling terhubung dan menunjang.

Dalam hal kebebasan sastrawan untuk menyimpang (licentia poetika) dan pembakuan bahasa oleh pihak lain (pemerintah, pendidikan formal-nonformal, pihak ketiga), lebih jauh bisa disimpulkan sebagai berikut: sastrawan dengan licentia poetikanya sebenarnya berada selangkah di depan pengkiblatan bahasa. Kemudian gejala yang ditimbulkannya itu dicatat dan dipelajari yang mungkin bisa dirumuskan kebakuan darinya. Seperti dimaklumi bahasa terus mengalami pergerakan, dan pengkiblatan bukan dimaksudkan sebagai pembatas karena itu mustahil dan tak mungkin berhasil. Sesuai sifat alaminya manusia selalu menuntut kebaruan, termasuk dalam bahasa. Tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang kekal dengan kebakuan sejak pertama kali muncul.

Sebagai contoh bisa kita tunjuk Bahasa Indonesia. Dalam sejarah pergerakan bahasa nasional itu selalu ada kebaruan. Misalnya dulu dalam bahasa indonesia kata plastik tidak ada, setelah ditemukan plastik kata itu muncul dari hasil serapan kata plastic yang kemudian diikuti kata turunan misalnya bedah plastik, dan sebagainya. Atau dalam contoh Bahasa Arab, kata misykah dulu tidak ada sebelum Quran turun, karena ia bukanlah dari Bahasa Arab. Tetapi kemudian kata misykahdisebutkan dalam Al-quran hasil dari serapan bahasa Persia (Prancis?). Begitu juga bahasa-bahasa lain yang terus bergerak seiring pergerakan manusia itu sendiri.

Tetapi kemudian timbul pertanyaan, jika bahasa terus bergerak, atau jika sastrawan bebas bergerak dengan licentia poetikanya, lalu apa gunanya pembakuan bahasa dilakukan? Ini adalah hubungan aksi-reaksi. Pergerakan bahasa akan tetap berlanjut, tugas pencatatan dan pembakuan juga akan terus bergerak mengikutinya. Di sini yang menjadi permasalahan bukan pihak mana yang salah, tetapi sejauh mana kedua pergerakan itu bisa dipertanggung-jawabkan secara logis.

Sastrawan tentu akan terus meramu dan menemukan kebaruan. Sejauh langkah mereka itu memiliki dasar, hal itu masih bisa dimaklumi sebagai ruang kebebasan. Misalnya dalam puisi berjenis sonet, sejak awal sonet terus mengalami perubahan. Sonet diyakini berkembang pada abad ke-11 kemudian memperoleh bentuknya yang sempurna pada abad ke-13. Dikenallah sonet Petrarcha (Italia), Elizabeth (Shakespeare), dan seterusnya. Tetapi hal itu pun terus bergerak dan berubah. Seperti dikenal di Indonesia sonet di masa pujangga baru (Chairil) sudah mulai bergeser dari sonet barat misalnya pada puisi Chairil berjudul "Kepada Pelukis Affandi" yang memiliki urutan pembaitan terbalik 4-4-3-3. Hal itu terus bergerak dan berubah seperti pada angkatan 66, Sapardi Djoko Damono dengan sonet yang hanya terdiri dari satu bait saja dengan pola repetisi, seperti Sonet: x.

Contoh lain misalnya penggunaan tanda baca (kaidah bahasa). Sejak Bahasa Indonesia muncul seiring pergerakan kemerdekaannya, pengidentifikasian dan pembakuan terhadapnya terus dilakukan. Dulu dikenal ejaan lama, kemudian digantikan ejaan baru yang disempurnakan (EYD), dan itu terus disempurnakan dengan memasukkan bahasa serapan dan temuan-temuan baru dalam bahasa. Tanda baca dalam EYD disepakati untuk menunjukkan struktur suatu tulisan, artinya agar tulisan itu menjadi lebih mudah dan lebih jelas dipahami. Setiap tanda baca itu memiliki fungsi serta tujuan. Jika sastrawan menghilangkan tanda baca ini, rujukan paling logis mengenai perbuatan itu adalah mereka mengembalikannya pada bentuk asli bahasa sebelum diberi tanda baca. Seperti tanda hubung (-) tanda ini ada dengan tujuan untuk menghubungkan penggalan kata, kata ulang, rentang nilai. Tanpa tanda itu, kata atau kalimat masih bisa dikenali dan dipahami meski muncul kesulitan karena penghilangannya. Dan jika penghilngan tanda baca semacam ini demi untuk mendapatkan nilai estetis tertentu masih bisa dilacak dan dimaklumi yang kemudian bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Dalam hal ini sastrawan mendapatkan kebebasannya dengan mengembalikan bahasa ke bentuk aslinya demi nilai estetis. Pergerakan semacam ini masih bisa dipetakan serta dimaklumi secara logis, meskipun pihak pembakuan bahasa tidak akan menyetujuinya karena tujuan pengkiblatan bahasa menerang-jelaskannya demi tolok ukur pembelajaran.

Tetapi yang kemudian menjadi rancu adalah jika keleluasaan ini bergerak terlalu jauh. Misalnya seorang penyair seperti Sutardji yang menggoyang seluruh konvensi keumuman bersastra dengan mengembalikan konsep berpuisi pada mantra. Tindakan "menyeberang" semacam ini sebenarnya masih bisa dimaklumi sebagai licentia poetika asalkan masih bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Namun jika kata yang disebutnya tidak mengantarkan pengertian itu kemudian dilepaskan sebebas-bebasnya, lalu untuk apa puisi dibuat? Bukankah karya satra, bahkan gejala bahasa dalam karya sastra itu untuk dimengerti, lalu dikaji, dan bukan mustahil kelak dibakukan. Jika kata sudah tidak mengantarkan pengertian maka hal itu sudah tidak logis dan merupakan licentia poetika yang kebablasan. Untuk pergerakan semacam ini, terang saja tidak akan mendapatkan pemakluman dari pihak pembakuan bahasa, karena hal itu tidak logis dan tidak berdasar.

Konvensi sastra masih berkemungkinan untuk berubah seperti sonet yang saya sebut di atas tadi, begitu juga dengan pengkapitalan huruf di awal baris puisi. Tetapi konvensi bahasa cenderung memiliki aturan yang ketat karena ia bertanggung-jawab secara logis atas eksistensi bahasa. Jika sebuah karya sastra bergerak bebas menerabas konvensi bersastra, besar kemungkinan itu demi kebaruan. Tetapi jika karya sastra menjebol konvensi bahasa, sangat sulit dipertanggung-jawabkan secara logis jika alasanya licentia poetika.

Di sinilah jalan belah dua dari licentia poetika itu, ia memiliki ruang gerak sejauh itu bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional. Ketika seseorang melampau batas ini, maka tindakannya itu bukan lagi dalam kategori licentia poetika berdasar. Dan di era yang sudah semaju ini (pengkerdilan bahasa nasional di tengah arus globalisasi), saya rasa tidak bijak jika kita mengorbankan bahasa hanya demi sebuah gejala yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara logis. Saya tahu dalam ilmu-pasti saja tidak ada hal yang logis, sebagaimana satu tambah satu sama-dengan dua yang secara logis hal itu sebenarnya mustahil karena kita tahu satu kuadrat tidak mungkin dua, atau tidak mungkin mencari akar angka dua. Tetapi sebuah konvensi harus ditentukan demi terwujudnya titik temu dalam pembelajaran. Perdebatan seperti itu tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak diakhiri dengan kesepakatan: satu tambah satu (harus) sama-dengan dua. Begitulah konvensi dalam bahasa juga ditempuh demi eksistensi bahasa itu sendiri



****



Kajitow


Tidak ada komentar:

Posting Komentar