museum

Rabu, 28 Desember 2011

BAHASA PUISI BAHASA MISTERI

BAHASA PUISI BAHASA MISTERI


          Saat kita membalik-balik kitab suci dan merenungi baris-baris indahnya, kita seolah sedang berhadapan dengan sebuah pertanyaan; kenapa Tuhan menyimpan misteri makna dalam kata-kata itu? Bisa saja Tuhan menyebutkan sesuatu dengan jelas tanpa perlu kata-kata sulit dan tidak familiar, bisa saja Tuhan membagi-bagi hukum-Nya itu sebagaimana undang-undang manusia (yang terperinci dan jelas), bisa saja Tuhan memudahkan bahasa kitab suci-Nya bagi seluruh manusia yang berpendidikan atau bukan. Tapi sekali lagi Tuhan seolah-olah sedang bermain-main dengan misteri-Nya. Dengan kata lain, Tuhan sedang mengajari kita sebuah keindahan permainan misteri bahasa.

            “Dan janganlah kalian berdua mendekati Pohon ini..”

            Pohon apakah yang diharamkan kepada Adam dan Hawa di tempat yang tidak ada keharaman sedikit pun itu? Kenapa ada batasan, padahal surga adalah tempat kenikmatan yang seharusnya memang tidak ada pelarangan di sana. Misteri itu tidak saja berhenti pada Pohon yang dikehendaki di sana, tapi juga pelarangan untuk mendekatinya. Kita berramai-ramai menamakan pohon itu Khuldi, padahal yang memberikan nama tersebut adalah iblis saat membujuk keduanya. Pohon apa pun itu tetaplah menjadi sesuatu yang misterius sebagaimana perintah menjauhinya.

            Saya tidak berani menyamakan kitab suci dengan puisi, meskipun telah sama kita ketahui bahasa puitis kitab suci. Dengan logika sederhana saja dapat kita pisahkan keduanya, karena kitab suci adalah kalam Tuhan yang sempurna dalam segala hal. Apa yang termaktub di sana itu melewati segala zaman dan logika. Namun di sini saya ingin memandang kata-kata pada keduanya sama; rangkaian huruf-huruf yang tersusun dan memainkan misteri indahnya.

            Tidak bisa kita pungkiri bahwa puisi memang memiliki berbagai wajah. Ada yang berbahasa terang dan jelas, ada yang rapat tersembunyi. Yang terang dan jelas bukan berarti tidak menyembunyikan misteri, yang rapat tersembunyi itu bukan berarti tidak bisa dimengerti. Keduanya memiliki ruang berbeda tapi memiliki kandungan misteri yang sama.

            Menarik saat saya membaca dua buah puisi (yang menurut saya) bertema sama. Bukan tentang gelap dan terangnya yang hendak saya tunjukkan di sini, tapi kesamaan misteri yang tersimpan padanya lah yang membuat saya mengutipnya. Dan saya rasa misteri itu memang ada dalam setiap puisi; sebuah dimensi baru yang dibuat oleh seorang penyair; hamparan dimensi bahasa yang berasal dari gejolak dalam dirinya. Di mana kita tidak bisa main tunjuk begini dan begitu, melainkan hanya bisa meraba dan merasakan tekstur bahasanya.

Semenanjung
Oleh: Seamus Heaney

Manakala tak ada yang bisa kau ucapkan, berkendaralah santai
Pada suatu hari menyusur semenanjung.
Langit menjulang di atas galangan
Terhampar tak berbatas hingga kau tak bakal sampai.

Namun lintasi saja, meski tak bakal kau temu selain bentangan.
Pada senja, cakrawala turun mereguk pantai dan bukit,
Ladang usai terbajak melulur dinding terlabur kapur
Dan kaupun kembali dalam gelap. Kini kenangkan

Bibir pantai-pantai yang kilau dan bayang pohonan
Bergoyang, di mana hempasan ombak tercabik menjadi serpihan kain
Burung bangau mencangkung di atas kaki-kaki mereka
Pulau-pulau mengayuh diri ke dalam kabut.

Dan kembalilah pulang, masih tanpa sesuatu terucap
Kecuali bahwa kini dapat kau maknai seluruh panorama
Dengan begitu: benda-benda dijumpa bersih dalam rupa sempurna
Air dan tanah begitu lengkap.

            Terlihat jelas Seamus menampakkan gambaran “semenanjung” dengan apa adanya dalam puisinya. Tapi bukan berarti hanya berhenti di situ saja apa yang hendak dikejar barisan kata-kata tersebut. Nyatalah Seamus sedang bermain-main dengan misteri “semenanjung” yang digambarkannya dengan jelas itu.

            Kita adalah sosok yang telah terlewati di masa lalu. Bila sedetik sebelum detik ini adalah masa lalu, maka setiap kita adalah bangkai masa lalu yang berjalan. Tanpa masa lalu seseorang itu tidak ada artinya. Tanpa kenangan, tidak beda antara kita dengan mahluk yang tidak berpikir. Apa yang sedang ditunjukkan Seamus sebenarnya tidak jauh-jauh dari; bahwa itu berpulang kepada dirinya. Memang siapa pun bisa menjadi sosok “kau” di sana, tapi tidak menutup kemungkinan itu hanyalah pantulan sosok pada cermin saja. Seamus masa kini sedang menengok dirinya di masa lalu, manakala dia sedang melihat atau sedang membayangkan “semenanjung.”

            Kenangan itu terayun dan membawa kembali apa yang telah terlewati sebelumnya. Memberikan sebuah dorongan dari dalam bilik jiwa untuk menumpahkan kata-kata. Apa yang mendorong seseorang untuk membahasakan perasaannya itu sebenarnya tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa. Kata-kata yang terlahir darinya hanyalah serupa hasil ledakan, bukan muasal mesiu dan percikan zarah apinya. Saat kita membaca sebuah puisi, sebenarnya kita sedang memasuki dimensi baru bernama bahasa. Bukan menjumpai benda-benda sebagaimana ia adanya. Dari dimensi inilah seorang pembaca mendaur-ulang informasi. Selanjutnya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pembuat dimensi tersebut.

            Begitulah Seamus dengan gambaran jelasnya, berbeda dengan Derek yang bersembunyi dalam bayangan puisinya. Derek menyimpan misteri puisinya dengan rapat dalam barisan kata-kata. Dia membuat rindu lautnya itu menari dan hidup.

Rindu Laut     
Oleh: Derek walcott


                   
Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.



            Padahal sebenarnya kedua puisi di atas itu sama-sama menggambarkan sebuah lukisan masa lalu, sebuah peristiwa yang seolah-olah kembali hidup dan nyata di masa kini. Hanya saja Seamus lebih senang membiarkan gambaran “semenanjungnya” nyata tapi diam, sedangkan Derek membuat “rindu lautnya” itu hidup dan bergerak. Sebenarnya bukan pada “semenanjung” atau “laut” itu pokok yang hendak dipanjat oleh keduanya, melainkan dua hal itu hanyalah pintu masuk dari rumah di mana sebuah misteri tinggal di dalamnya.

            Misteri apa yang tersimpan dari resah-muram yang dibawa oleh dua puisi di atas itu?

            Kita tidak pernah benar-benar bisa menebak apa yang disimpan di dalamnya, karena pada prinsipnya kita hanya membaca jejak yang terrekam dalam sebuah puisi, kita masuk ke dalam sebuah dunia yang dibentuk oleh penyair. Bukan menjadi sosok yang merasakan dan mengalaminya. Tapi setidaknya dari dunia itu kita bisa tahu bahwa kenangan telah menyeret seseorang untuk kembali hidup dan menghidupkan masa lalunya. Itulah yang sedang ditunjukkan kedua puisi di atas itu. Sebuah perjalanan antar dimensi yang membuat seseorang terlempar pada sudut kesadaran tentang keberadaan benda-benda di sekitarnya. Hidup yang misterius dan dipenuhi keresahan telah mengajarkan seseorang seperti Seamus dan Derek untuk meraba dirinya sendiri. Meledakkan dorongan-dorongan dari dasar jiwanya menjadi sebentuk bahasa, yang mengantarkan orang lain untuk ikut merasakan apa yang mereka berdua rasakan ketika berhadapan dengan masa lalu mereka.

            Resah-muram itu seperti panggilan sesuatu yang seolah-olah jauh tak terbahasakan. Atau sebaliknya ada yang begitu dekat dan terus memburu, namun mungkin untuk kembali hilang bersama ketidakperdulian kita atas raungan hati kita sendiri.

            Berramai-ramai orang di luar sana hendak melogikakan misteri bahasa ini. Mencatat gejala dan merumuskannya menjadi berbagai teori. Mungkin dari struktur, kita bisa mengangguk setuju, tetapi jika itu berhubungan dengan “mengejar kemutlakan” maka sungguh sia-sia upaya menegakkan benang basah itu.

Menurut saya di sinilah keindahan misteri bahasa. Tidak ada kemutlakan yang membuatnya terbatasi. Kita bebas menafsiri semampu dan semau kita, namun misteri di dalamnya tetaplah sebuah misteri indah yang tak benar-benar mampu ditakwilkan. Dan itu akan semakin menarik saat ia tetap menjadi sebuah misteri yang mengundang “tualang.” Misteri makna yang dikemas rapi dalam barisan kata-kata, sebagaimana permainan bahasa cantik Tuhan dalam kitab suci, “dan janganlah kalian berdua mendekati Pohon ini..”

******





*) Sajak-sajak di atas diterjemahkan oleh: Agus R. Sarjono & Nikmah Sarjono


Kajitow elkayeni
Filsuf, tinggal di kota kecil bernama Purwodadi
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar