museum

Sabtu, 03 Desember 2011

MEMBACA FENOMENA PUISI KACANGAN

MEMBACA FENOMENA PUISI KACANGAN








Apakah Puisi Kacangan itu?

         Kacangan dari kata dasar kacang, kita tahu itu. Tapi apakah secara semiotis kacangan memiliki arti hampir sama dengan kacang? Jika kemudian dia dihubungkan dengan puisi, apa maksudnya?

          Tidak perlu mengusut lebih jauh dari arti kacangan, karena yang saya kehendaki dari istilah kacangan itu adalah sesuatu yang tidak memiliki arti lebih dari camilan. Seperti halnya telah dimaklumi dari kacang, ia tidaklah mengenyangkan bila dibandingkan dengan nasi, mie, atau roti. Meskipun bisa saja jika mengkonsumsinya dalam jumlah banyak akan sama mengenyangkan, tapi itu tidak wajar dilihat dari kebiasaan umum. Puisi Kacangan memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dari kacangan yang saya maksudkan tadi. Puisi Kacangan tidaklah memberikan nilai secara “kenyang,” ia ada hanya sebagai bukti sejarah bahwa ada puisi-puisi gagal tersebut dalam dunia literasi. Ia juga sebagai pembanding adanya puisi yang lebih berhasil dari puisi yang kacangan tadi.

           Banyak orang mendakwa dirinya sebagai seorang penyair dalam arti telah sejajar dengan orang-orang yang benar-benar bergelut dengan bahasa sehingga mampu memunculkan ekspresi dunia batinnya secara total. Sebut saja Chairil, Sutardji, Rendra, Amir Hamzah, Sapardi, Gunawan Mohamad, dan sebagainya. Namun dunia batin yang mereka cuatkan tidak diolah dengan serius dan dengan sepenuh hati sehingga yang muncul adalah sesuatu yang patah, sesuatu yang kehilangan gravitasi, sesuatu yang kering, sesuatu yang terpelecat dari tujuannya, sesuatu yang gagal terlahir sempurna, sesuatu yang tidak mengenyangkan.

           Seseorang, misalnya ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang berlebihan kemudian ia menulis puisi. Atau seseorang pekerja yang sibuk dan mencari pelarian dunia baru dengan menulis puisi. Seseorang yang menulis hanya karena hobi, sebagai upaya terapi, atau sekedar ingin disebut penyair. Mereka tidaklah mungkin sejajar dengan Sang Binatang Jalang yang hidup semata demi dan untuk puisi, Sutardji dengan Kapaknya yang meradang-menerjang tanpa perduli kecenderungan umum berpuisi, Sang Burung Merak Rendra yang kokoh berpegang pada esensi bersastranya sehingga membencongkan semua penyair yang suka “bersolek,” atau penyair lain yang sungguh-sungguh berjibaku menangis dan meratap dalam dunia yang mereka cintai. Kedua golongan tadi tidak mungkin menghasilkan karya sastra yang sama bobotnya.

           Banyak orang berkumpul siang-malam menggelar simposium, seminar, diskusi, pertemuan-pertemuan yang mengatasnamakan sastra. Mereka bernyanyi, tertawa, menangis, terharu, lalu masing-masing pulang dengan sebuah ilusi kesastrawanan semu. Apa yang mereka hasilkan tidak benar-benar mereka hayati. Dari kriteria estetis, indah mungkin karya yang terlahir dari hingar-bingar kesastrawanan semu tadi, tapi tidak mengandung nilai yang mengenyangkan. Kering dan tidak memiliki gravitasi yang bersifat monumental.

        Tidak disalahkan jika beberapa orang bertemu lalu memperbincangkan sastra. Tapi bukan berarti dengan berkumpul, makan, minum, tertawa, berfoto ria itu sudah menjadikan mereka sastrawan yang pantas menepuk dada, “kamilah sastrawan termutakhir.” Pertemuan-pertemuan semacam itu sekedar studi banding dan merupakan perekat komunitas besar sesama pecinta sastra, yang kemudian melahirkan dorongan untuk berbuat atau menciptakan sesuatu. Tapi banyak yang salah menilai jika dari pertemuan semacam itu seorang sastrawan sejati akan terlahir. Mungkin pertemuan-pertemuan tersebut memang bisa melahirkan sastrawan, tapi sastrawan palsu yang muncul dari gemerlap pameran penjualan buku dan perasaan wah terhadap diri sendiri.
Seorang ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang berlebih, atau seorang pekerja yang sibuk menghendaki dunia baru sebagai pelarian, seorang yang hobi menulis, seorang yang menjadikan menulis sebagai terapi tidaklah mungkin melahirkan sesuatu yang benar-benar bergizi dan mengenyangkan jika mereka tidak total bergelut dalam karyanya. Sastra bukan sekedar tulisan, bukan sekedar pamer komunitas, bukan sekedar kasih unjuk ekspresi seni di You-Tube. Tetapi ia merupakan dunia tersendiri yang diperjuangkan oleh para penghuninya dengan bersusah payah berjibaku secara total.

Seperti diketahui, tujuan sastra itu sendiri demi mengangkat harkat kemanusiaan dengan nilai agungnya. Beberapa orang yang bertemu dan membincangkan sastra tidak akan sampai pada esensi ini karena laku bersastra adalah merupakan perenungan yang mendalam mengenai kehidupan. Hal itu mustahil didapatkan secara instan, bahkan esensi bersastra ini pun tidak terdapat di bangku pendidikan sastra formal. Apatah lagi sekedar menulis sesuatu yang “kacangan” kemudian merasa wah dan menganggap diri sebagai sastrawan.

Setiap orang berhak menjadi sastrawan, bahkan HB. Jassin sang Paus Sastra Indonesia sekalipun tidak berhak membabtis seseorang menjadi sastrawan atau menolaknya. Karena sastrawan terlahir dengan sendirinya. Seorang sastrawan dikenali dari karyanya, dalam hal ini pemerhati sastra katakanlah kritikus sastra melakukan kajian mengenai karya satra dan laku bersastra dari sastrawan kemudian memberikan penilaian terhadapnya. Di sinilah peran seorang seperti HB. Jassin itu, meskipun kelahiran seorang sastrawan tadi sebenarnya muncul dengan sendirinya baru kemudian dicatat oleh sejarah literasi melalui karyanya. Artinya kemunculan karya itu di dasari oleh laku bersastra dengan segenap esensinya tanpa ada seorang pun yang berhak membabtis atau menolaknya menjadi sastrawan. Ini adalah fungsi-fungsi yang sebenarnya berjalan dengan alami. Sebuah karya sastra memerlukan pembanding sehingga bisa dinyatakan berhasil atau gagal sesuai perbandingan tadi. Di sini seorang kritikus sastra mengambil peranan penting dalam menghakimi karya sastra sehingga layak dikonsumsi khalayak karena ia bergizi dan mengenyangkan. Baru bisa dikatakan pencipta karya satra tadi adalah seorang sastrawan.

Pada dasarnya setiap orang yang menulis karya sastra bisa disebut sebagai sastrawan. Hal itu tidak menyalahi definisi sastrawan secara bahasa. Tetapi kecenderungan mengklaim secara bahasa tadi akan memunculkan praduga yang dangkal mengenai hakikat sebenarnya dari gelar sastrawan. Seorang satrawan tidak membutuhkan gelar bagi dirinya untuk disebut sastrawan, tapi posisi tersebut diberikan sebagai penghargaan atas totalitasnya dalam berkarya. Hal ini sama halnya dengan seorang muslim yang bershalawat untuk Nabinya, padahal Nabi tadi tidak butuh dimohonkan keampunan atas dosa-dosanya karena telah diampuni semua perbuatan yang telah dan akan dilakukannya. Begitu juga dengan umat kristiani yang memuji Yesus Kristus sedemikian tingginya padahal Yesus sendiri tidak perlu dipuji karena dengan sendirinya sudah agung. Tetapi hal itu tetap dilakukan karena pentingnya posisi tadi. Shalawat yang dibacakan seorang muslim akan kembali pada dirinya, pujian yang ditunjukkan oleh umat kristiani akan berpulang pada diri mereka juga. Dalam bershalawat itu timbul hubungan kausal, dalam pujian itu memunculkan cinta kasih.

Begitulah gelar sastrawan diberikan kepada pemiliknya. Bukan karena pemiliknya ingin disebut demikian tapi karena keharusan pemposisian di samping sebagai hubungan kausal. Seperti keharusan aksidensi nama terhadap benda substansialnya.

Maka seorang sastrawan sejati itu tidak saja menulis, tapi benar-benar menjiwai apa yang ditulisnya. Jika seseorang yang memiliki waktu luang atau yang sibuk bekerja butuh pelarian dengan membuat Puisi Kacangan kemudian menyebut dirinya penyair, itu sudah menyalahi kewenangan. Dia bisa disebut begitu jika sudah bersungguh-sungguh bergelut dalam dunia barunya tersebut. Tentu saja hal itu bisa dilihat dari hasil ciptaannya. Sesuatu yang bergizi dan mengenyangkan akan tumbuh dari kesungguhan menanamnya. Maka dari itu laku bersastra ini mutlak dilakukan sesorang sebelum mengklaim dirinya sebagai seorang sastrawan.

Hal ini adalah sebuah dorongan bagi siapa pun untuk tidak setengah-setengah dalam bersastra. Dibutuhkan totalitas dan penjiwaan dalam berkarya. Secara bahasa, setiap orang sah untuk disebut sastrawan, setiap orang berhak disebut penyair, tetapi sebutan semacam ini akan melukai sastrawan yang sebenarnya: sastrawan sejati yang telah besusah payah bergelut dengan bahasa. Lalu bagaimana bisa dikatakan seseorang total dalam berkarya? Apakah jika sebuah karya yang dikatakan kacangan tadi tidak layak ditulis dan dipublikasikan? Segala sesuatu membutuhkan proses. Tidak ada yang salah jika menulis sesuatu yang cengeng atau kacangan dan mempublikasikannya. Tidak ada yang salah dengan menyebut diri penyair atau sastrawan meski tidak memiliki esensi dalam laku sastranya. Semua itu wajar dan bahkan harus dilakukan sebagai langkah awal menapak dalam dunia sastra. Yang disayangkan adalah kecenderungan mengklaim tadi membutakan padangan dari makna hakiki dari gelar sastrawan tadi. Seseorang berhenti hanya pada tahap awal ini dan malas untuk melangkah lebih jauh. Yang akhirnya menjamurlah Puisi-Puisi Kacangan yang terlahir prematur, kering, patah, dan tidak mengenyangkan.

Jika praduga dangkal terhadap definisi sastrawan ini terus digaungkan di jejaring sosial, koran, majalah sastra, simposium, seminar, diskusi sastra, pertemuan hihi dan haha, agaknya saya memang harus setuju dengan ucapan Saut Situmorang, “So much for Indonesian literrary criticism!”



****






Kajitow Elkayeni


Dia yang berseru seperti pendahulunya, “Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang tiada beriak!”





6 komentar:

  1. kalau wedhus kacangan, bagaimana definisinya mas Kaji? :)

    BalasHapus
  2. kacang tak elok dikonsumsi dengan banyak karena kandungan asid urik yang tinggi. esai yang bagus mas bro. salam sastra.:)

    BalasHapus
  3. iya, tidak baik bagi kesehatan mas Ibnu hehe salam.

    BalasHapus