museum

Senin, 19 Mei 2014

MUSEUM DAN KITA








Bung Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani menegaskan pentingnya kaitan masa lalu dan kekinian. Disebutkan bahwa mitos sekalipun memiliki andil yang sangat penting dalam membentuk jiwa sebuah bangsa. Ini menarik, mengingat mitos itu adalah bagian dari peradaban masa lalu. Sebuah pesan yang dikemas rapi dengan rangkaian cerita yang, kadang tidak masuk akal. Karena melompati batas nalar itulah sebuah mitos selalu berada selangkah di depan kekinian. Di Yunani dulu, dari fantasi itulah orang-orang mulai berpikir dan membentuk peradaban.

Ia memang berasal dari masa lalu, tapi ia selalu mendahului pemahaman kekinian.

Museum hakikatnya juga memiliki peran yang sama, ia menyimpan pesan-pesan masa lalu itu melalui bukti kongkret berupa kebudayaan material. Bahkan, dengan sendirinya, mitos dan unsur-unsur pelengkap kebudayaan lainnya turut serta di dalamnya. Kebudayaan material itu tentu saja mendatangkan berbagai tafsir ketika ia dikaitkan dengan mitos. Tetapi selalu ada jalur logika sejarah untuk membatasinya.

Seperti yang dikatakan Bung Hatta tadi, bahwa Yunani memulai peradaban dari lompatan fantasi, yang dipinjamnya dari istilah Windelband. “Filosofi sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu keadaan atau hal yang nyata”. Maka sudah barang tentu negara-negara maju juga memiliki kaitan erat dengan kebudayaan lampau. Eropa dan Amerika masa kini adalah bentuk baru dari Romawi Kuno. Sedangkan Romawi sendiri mengambil contoh dari Yunani Kuno. Berbekal budaya masa lalu itu, mereka memiliki modal yang lebih unggul. Maka dengan tambahan kerja keras dan iklim perpolitikan yang kondusif, jadilah mereka yang terdepan dalam soal kemajuan.

Ada dorongan dari dalam yang menumbuhkan semangat dan kebanggaan untuk berkarya cipta. Kebudayaan masa lalu itu menjadi roh dari tubuh-tubuh budaya kemudian. Dari sanalah kemudian dikenal sebuah pemahaman yang disebut Modernisme. Manusia tak pernah cukup untuk membentuk sebuah dunia ideal dan mereka terus bergerak dengan berbagai cara. Memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliknya untuk maju dan gemilang.

Meskipun kemudian muncul pula kajian Postmodernisme di belakangnya. Kemajuan yang dimotori oleh paham modernisme itu mengalami kebuntuan. Manusia modern di negara maju terjangkiti alienasi. Mereka berubah menjadi makhluk mekanis yang dipacu oleh waktu. Diktum Descartes, I think therefore I am (aku berpikir maka aku ada) ditambah dengan positivisme August Comte lambat-laun mengakibatkan ketimpangan dan manusia  terserang patologi modernisme.

Oleh sebab itu muncullah gerakan Postmodernisme, suatu kritik yang diajukan untuk mendekonstruksi keteledoran Modernisme, yang tidak lagi menggubris tradisi dan agama. Akibat kritik itu, perhatian Eropa dan Amerika berbalik. Mereka kembali menelaah pemikiran, tradisi dan kebudayaan Timur. Tujuan mereka jelas, ingin mendapatkan obat untuk membebaskan dari pengaruh buruk Modernisme. Barat yang identik dengan kemajuan mulai belajar kembali pada Timur. Taoisme, Budhisme, dan tradisi pemikiran Timur lain digali kembali.

Ini tentunya mencengangkan, sebab, dalam dunia Timur, kebudayaan dan tradisi dianggap tertinggal, tak bermutu, dan kuno. Dengan sangat terlambat bangsa Timur beramai-ramai mengejar ketinggalan dari modernitas Barat, mengejar sebuah ilusi, yang jika meminjam bahasa Lyotard disebut sebagai kematian narasi besar. Ilusi Modernisme yang telah jelas gagal dan mengalami kebuntuan. Cita-cita Modernisme yang hendak mengejar pencerahan (aufklarung) universal dengan tulang punggung pemikiran dan kemajuan teknologi mengalami ketimpangan.

Terciptalah dunia ikon, masyarakat mekanis yang melampaui kenyataan (hiperreality). Padahal pemikiran Barat terkini justru sedang mempelajari ketimuran. Sebuah ironi getir. Mengingat hal itu kita patut bersedih. Ketidak-pedulian pada kebudayaan luhur itu akibat kedunguan yang sangat. Museum sebagai sumber pengetahuan masa lalu dibiarkan sepi. Masyarakat lebih tertarik hingar-bingar modernitas. Mereka terjebak oleh keseakanan kemajuan dunia Barat. Sebuah kesemuan yang justru sudah hendak mereka ubah dan tinggalkan.

Di persimpangan inilah kita kebingungan.

Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan masa lalu. Seperti yang telah dipahami, apa yang telah melayang dan tak terpegang itu bersifat rapuh. Baik ia berupa ingatan, atau benda-benda kebudayaan material. Usia membuatnya bergeser dari satu bentuk ke bentuk yang berbeda. Istilah susut, lapuk, tua menjadi begitu akrab. Ia yang secara psikis menekan perasaan kita menjadi takut, cemas, dan mungkin ragu-ragu. Mengingat sesuatu yang mula-mula ada (being) menjadi diketahui sekedar pernah ada (known). Di sinilah waktu yang tak memiliki wujud itu terasa begitu perkasa. Pelan-pelan ia menghisap segala hal, membuatnya susut, lapuk dan tua.

Tetapi keberadaan museum tidak untuk menakut-nakuti atau mengingatkan pada ketiadaan. Justru ia ingin mengembalikan yang telah terenggut itu, yang usang dan terlupa itu, pada subyek yang memiliki kaitan dengan masa lalu. Dari sanalah pemahaman tentang jati diri itu berawal.

Yang membikin jeri hakikatnya bukan soal ketiadaan, kelapukan yang niscaya itu, melainkan hakikat ada. Dan seperti yang telah dipahami, hakikat adalah esensi, isi, muatan di dalam. Sesuatu yang tak tergeletak begitu saja, melainkan harus dicari, digali, ditemukan. Tapi agaknya memang tak banyak yang membuka diri, mengingat belenggu yang dihadapi manusia beraneka bentuk. Keseharian yang padat, tuntutan kebutuhan, kesadaran badani (mekanis), mengekang kesadaran sejati. Dalam Bhagawadgita, hal itu disebut kemelekatan. Unsur badan tebelenggu dengan perasaan jeri sehingga unsur rohani (athma) ikut terkekang. Ada tapi tak mengenali diri sendiri, diam laksana batu.

Museum awalnya dikenal sebagai kuil, dari kata mouseion (yunani). Sebagaimana kuil, ia bukan saja tempat untuk mengingat, tapi juga memuja dewa-dewi. Pengertian ini bergeser. Museum bukanlah pemberhalaan sebagaimana tuduhan yang diberikan oleh kelompok tertentu. Karena memang tidak ada yang mesti dipuja di sana. Yang didapati di sana (pada umumnya museum) adalah batu dan tengkorak berdebu, dan tentu saja bau masa lalu. Dan seperti yang dicatat oleh ensiklopedia, di Indonesia, pengertian museum berangkat dari Bataviasch Genootschap van Kusten en Wattenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia). Sebuah lembaga kebudayaan yang menjadi cikal bakal Museum Nasional seperti yang dikenal sekarang ini. Institusi tetap yang bersifat tidak mencari keuntungan serta terbuka untuk umum, sebagaimana definisi yang diberikan oleh organisasi permuseuman internasional, ICOM (International Council of Museum).

Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan kita secara menyeluruh. Manusia yang acap alpa. Dari yang rapuh dan tak terpegang itu hendak dikukuhkan dengan bukti yang tidak saja dikenali ada, tapi benar-benar ada. Museum itu diam. Ia hanya benda mati yang berjajar. Kitalah yang bergerak dan menghidupkannya.

Karena ia berhubungan dengan masa lalu, museum tidak lantas dijadikan tempat sembunyi. Seperti slogan orang malas yang gemar mengagungkan leluhurnya tanpa bisa berbuat banyak. Kebesaran masa lalu yang mengubur kreatifitas. Naif rasanya jika kebudayaan material yang berusia ratusan tahun itu mesti dibandingkan dengan bangunan modern di tempat lain. Masa lalu yang gemilang itu adalah contoh, bukan akhir pencapaian.

Agaknya, hal ini yang mungkin mendasari pemikiran atas terwujudnya museum untuk pertama kali. Kita butuh tempat untuk mengingat kembali. Sebagai perwakilan dari banyak situs bersejarah yang tak mungkin kita datangi dalam tempo satu hari. Di sana, museum itu berfungsi sebagai miniatur sekaligus penjaga. Waktu tidak mungkin ditundukkan, sebagaimana diktum Ibnu Rusyd, waktu itu hakikatnya tiada, kitalah yang sebenarnya menciptakannya, membilangkannya. Sesuatu yang tidak eksis, mustahil pula ditundukkan. Hal itu dengan ironis disebut Sapardi dalam sajaknya, “..Yang fana hanya waktu. Kita abadi.” Tanpa manusia, atau sesuatu yang memiliki kesadaran, waktu juga tidak eksis.

Di sinilah pentingnya berpegang teguh pada kebudayaan. Apa yang terlepas dari pandangan kekinian tidak serta-merta punah. Manusia memiliki cara-cara tertentu untuk memanggil ingatan. Merekam baik-baik nilai-nilai luhur pemikiran dalam bentuk kebudayaan material, tradisi, dan perayaan. Dalam hal ini, museum adalah ibu. Ia menampung yang tercecer, merawat dan menjaganya dari kerusakan. Menguatkan pemahaman bagi orang-orang yang ingin mengenali jati diri.

Sama halnya Sapardi yang hendak mengingatkan dengan ironi yang getir itu, museum hendak menunda kelapukan yang niscaya. Di sana kita bisa bercermin tentang kedirian, kelebihan dan kekurangan. Mencintai museum tidak mesti dilakukan dengan cara-cara yang lebay dan mahal. Bisa dimulai dari hal yang sederhana, misalnya dengan sesekali mengunjunginya, menjaga kedekatan agar ia tidak asing bahkan aneh dengan turut memperkenalkan pada generasi masa depan. Atau setidaknya mengingat tanggal 18 Mei, hari kelahiran manusia dan peradabannya, hari museum sedunia.




Kajitow Elkayeni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar