Ia memang berasal dari masa lalu, tapi ia selalu mendahului
pemahaman kekinian.
Museum hakikatnya juga memiliki peran yang sama, ia
menyimpan pesan-pesan masa lalu itu melalui bukti kongkret berupa kebudayaan
material. Bahkan, dengan sendirinya, mitos dan unsur-unsur pelengkap kebudayaan
lainnya turut serta di dalamnya. Kebudayaan material itu tentu saja
mendatangkan berbagai tafsir ketika ia dikaitkan dengan mitos. Tetapi selalu
ada jalur logika sejarah untuk membatasinya.
Seperti yang dikatakan Bung Hatta tadi, bahwa Yunani
memulai peradaban dari lompatan fantasi, yang dipinjamnya dari istilah
Windelband. “Filosofi sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang
sesuatu keadaan atau hal yang nyata”. Maka sudah barang tentu negara-negara
maju juga memiliki kaitan erat dengan kebudayaan lampau. Eropa dan Amerika masa
kini adalah bentuk baru dari Romawi Kuno. Sedangkan Romawi sendiri mengambil
contoh dari Yunani Kuno. Berbekal budaya masa lalu itu, mereka memiliki modal yang
lebih unggul. Maka dengan tambahan kerja keras dan iklim perpolitikan yang
kondusif, jadilah mereka yang terdepan dalam soal kemajuan.
Ada dorongan dari dalam yang menumbuhkan semangat dan
kebanggaan untuk berkarya cipta. Kebudayaan masa lalu itu menjadi roh dari
tubuh-tubuh budaya kemudian. Dari sanalah kemudian dikenal sebuah pemahaman
yang disebut Modernisme. Manusia tak pernah cukup untuk membentuk sebuah dunia
ideal dan mereka terus bergerak dengan berbagai cara. Memanfaatkan seluruh
potensi yang dimiliknya untuk maju dan gemilang.
Meskipun kemudian muncul pula kajian Postmodernisme di
belakangnya. Kemajuan yang dimotori oleh paham modernisme itu mengalami
kebuntuan. Manusia modern di negara maju terjangkiti alienasi. Mereka berubah
menjadi makhluk mekanis yang dipacu oleh waktu. Diktum Descartes, I think
therefore I am (aku berpikir maka aku ada) ditambah dengan positivisme August
Comte lambat-laun mengakibatkan ketimpangan dan manusia terserang patologi modernisme.
Oleh sebab itu muncullah gerakan Postmodernisme, suatu
kritik yang diajukan untuk mendekonstruksi keteledoran Modernisme, yang tidak
lagi menggubris tradisi dan agama. Akibat kritik itu, perhatian Eropa dan
Amerika berbalik. Mereka kembali menelaah pemikiran, tradisi dan kebudayaan Timur.
Tujuan mereka jelas, ingin mendapatkan obat untuk membebaskan dari pengaruh
buruk Modernisme. Barat yang identik dengan kemajuan mulai belajar kembali pada
Timur. Taoisme, Budhisme, dan tradisi pemikiran Timur lain digali kembali.
Ini tentunya mencengangkan, sebab, dalam dunia Timur,
kebudayaan dan tradisi dianggap tertinggal, tak bermutu, dan kuno. Dengan
sangat terlambat bangsa Timur beramai-ramai mengejar ketinggalan dari modernitas Barat,
mengejar sebuah ilusi, yang jika meminjam bahasa Lyotard disebut sebagai
kematian narasi besar. Ilusi Modernisme yang telah jelas gagal dan mengalami
kebuntuan. Cita-cita Modernisme yang hendak mengejar pencerahan (aufklarung)
universal dengan tulang punggung pemikiran dan kemajuan teknologi mengalami
ketimpangan.
Terciptalah dunia ikon, masyarakat mekanis yang melampaui
kenyataan (hiperreality). Padahal pemikiran Barat terkini justru sedang
mempelajari ketimuran. Sebuah ironi getir. Mengingat hal itu kita patut
bersedih. Ketidak-pedulian pada kebudayaan luhur itu akibat kedunguan yang
sangat. Museum sebagai sumber pengetahuan masa lalu dibiarkan sepi. Masyarakat
lebih tertarik hingar-bingar modernitas. Mereka terjebak oleh keseakanan
kemajuan dunia Barat. Sebuah kesemuan yang justru sudah hendak mereka ubah dan
tinggalkan.
Di persimpangan inilah kita kebingungan.
Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan masa
lalu. Seperti yang telah dipahami, apa yang telah melayang dan tak terpegang
itu bersifat rapuh. Baik ia berupa ingatan, atau benda-benda kebudayaan
material. Usia membuatnya bergeser dari satu bentuk ke bentuk yang berbeda.
Istilah susut, lapuk, tua menjadi begitu akrab. Ia yang secara psikis menekan
perasaan kita menjadi takut, cemas, dan mungkin ragu-ragu. Mengingat sesuatu
yang mula-mula ada (being) menjadi diketahui sekedar pernah ada (known). Di
sinilah waktu yang tak memiliki wujud itu terasa begitu perkasa. Pelan-pelan ia
menghisap segala hal, membuatnya susut, lapuk dan tua.
Tetapi keberadaan museum tidak untuk menakut-nakuti atau
mengingatkan pada ketiadaan. Justru ia ingin mengembalikan yang telah terenggut
itu, yang usang dan terlupa itu, pada subyek yang memiliki kaitan dengan masa
lalu. Dari sanalah pemahaman tentang jati diri itu berawal.
Yang membikin jeri hakikatnya bukan soal ketiadaan, kelapukan
yang niscaya itu, melainkan hakikat ada. Dan seperti yang telah dipahami,
hakikat adalah esensi, isi, muatan di dalam. Sesuatu yang tak tergeletak begitu
saja, melainkan harus dicari, digali, ditemukan. Tapi agaknya memang tak banyak
yang membuka diri, mengingat belenggu yang dihadapi manusia beraneka bentuk.
Keseharian yang padat, tuntutan kebutuhan, kesadaran badani (mekanis),
mengekang kesadaran sejati. Dalam Bhagawadgita, hal itu disebut kemelekatan.
Unsur badan tebelenggu dengan perasaan jeri sehingga unsur rohani (athma) ikut
terkekang. Ada tapi tak mengenali diri sendiri, diam laksana batu.
Museum awalnya dikenal sebagai kuil, dari kata mouseion
(yunani). Sebagaimana kuil, ia bukan saja tempat untuk mengingat, tapi juga
memuja dewa-dewi. Pengertian ini bergeser. Museum bukanlah pemberhalaan
sebagaimana tuduhan yang diberikan oleh kelompok tertentu. Karena memang tidak
ada yang mesti dipuja di sana. Yang didapati di sana (pada umumnya museum)
adalah batu dan tengkorak berdebu, dan tentu saja bau masa lalu. Dan seperti
yang dicatat oleh ensiklopedia, di Indonesia, pengertian museum berangkat dari
Bataviasch Genootschap van Kusten en Wattenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu
Batavia). Sebuah lembaga kebudayaan yang menjadi cikal bakal Museum Nasional seperti
yang dikenal sekarang ini. Institusi tetap yang bersifat tidak mencari
keuntungan serta terbuka untuk umum, sebagaimana definisi yang diberikan oleh
organisasi permuseuman internasional, ICOM (International Council of Museum).
Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan kita
secara menyeluruh. Manusia yang acap alpa. Dari yang rapuh dan tak terpegang
itu hendak dikukuhkan dengan bukti yang tidak saja dikenali ada, tapi
benar-benar ada. Museum itu diam. Ia hanya benda mati yang berjajar. Kitalah
yang bergerak dan menghidupkannya.
Karena ia berhubungan dengan masa lalu, museum tidak lantas
dijadikan tempat sembunyi. Seperti slogan orang malas yang gemar mengagungkan
leluhurnya tanpa bisa berbuat banyak. Kebesaran masa lalu yang mengubur
kreatifitas. Naif rasanya jika kebudayaan material yang berusia ratusan tahun
itu mesti dibandingkan dengan bangunan modern di tempat lain. Masa lalu yang
gemilang itu adalah contoh, bukan akhir pencapaian.
Agaknya, hal ini yang mungkin mendasari pemikiran atas
terwujudnya museum untuk pertama kali. Kita butuh tempat untuk mengingat
kembali. Sebagai perwakilan dari banyak situs bersejarah yang tak mungkin kita
datangi dalam tempo satu hari. Di sana, museum itu berfungsi sebagai miniatur sekaligus
penjaga. Waktu tidak mungkin ditundukkan, sebagaimana diktum Ibnu Rusyd, waktu
itu hakikatnya tiada, kitalah yang sebenarnya menciptakannya, membilangkannya.
Sesuatu yang tidak eksis, mustahil pula ditundukkan. Hal itu dengan ironis
disebut Sapardi dalam sajaknya, “..Yang fana hanya waktu. Kita abadi.” Tanpa
manusia, atau sesuatu yang memiliki kesadaran, waktu juga tidak eksis.
Di sinilah pentingnya berpegang teguh pada kebudayaan. Apa
yang terlepas dari pandangan kekinian tidak serta-merta punah. Manusia memiliki
cara-cara tertentu untuk memanggil ingatan. Merekam baik-baik nilai-nilai luhur
pemikiran dalam bentuk kebudayaan material, tradisi, dan perayaan. Dalam hal
ini, museum adalah ibu. Ia menampung yang tercecer, merawat dan menjaganya dari
kerusakan. Menguatkan pemahaman bagi orang-orang yang ingin mengenali jati
diri.
Sama halnya Sapardi yang hendak mengingatkan dengan ironi
yang getir itu, museum hendak menunda kelapukan yang niscaya. Di sana kita bisa
bercermin tentang kedirian, kelebihan dan kekurangan. Mencintai museum tidak
mesti dilakukan dengan cara-cara yang lebay dan mahal. Bisa dimulai dari hal
yang sederhana, misalnya dengan sesekali mengunjunginya, menjaga kedekatan agar
ia tidak asing bahkan aneh dengan turut memperkenalkan pada generasi masa
depan. Atau setidaknya mengingat tanggal 18 Mei, hari kelahiran manusia dan
peradabannya, hari museum sedunia.
Kajitow Elkayeni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar