museum

Jumat, 23 Maret 2012

MEMBACA PUISI PUTIH: Engkaulah Lelakiku!

Kehidupan adalah sebuah misteri besar, tentu saja. Tapi kehidupan adalah juga pilihan mengenai bagaimana menyikapi hidup itu sendiri. Orang-orang di seluruh penjuru dunia berramai-ramai menyanyikan dunia dengan berbagai cara. Ada yang penuh suka cita, karena mungkin ia sedang bahagia seperti Sapardi Djoko Damono dengan “Aku Ingin”-nya itu. Ada yang penuh canda tawa, karena mungkin ia menangkap kesan humor atau ejekan di sana seperti Remy Silado dengan puisi mbelingnya. Ada yang murung, karena mungkin sedang patah hati seperti Chairil Anwar dengan “Senja di Pelabuhan Kecil”-nya. Ada yang penuh kesedihan, karena mungkin ia mengalami hambatan seperti Dorothea Rosa Herliany dengan puisi feminisnya. Ada yang penuh hikmat, karena mungkin sedang khusuk dalam suasana penghambaan seperti Dimas Arika Miharja dengan “Membaca Pesan Langit”-nya. Ada yang memberontak dengan keras, karena mungkin merasakan ketidakadilan seperti Redra dengan puisi baladanya. Berbagai cara dilakukan manusia untuk merayakan kehidupan. Meskipun pada akhirnya, warna yang beraneka ragam itu akan kembali pada warna dasar: hitam dan putih.

Setiap penyair boleh dan bisa berpindah gaya atau warna, bahkan seringkali setiap penyair bereksperimen untuk menghasilkan temuan dalam puisi. Meskipun pada dasarnya setiap orang memiliki gaya masing-masing yang khas. Hal itu dipengaruhi oleh watak, latar belakang, pengalaman empiris, keluasan ilmu pengetahuan. Di sinilah kesan unik itu berada. Penyair dengan gayanya yang khas akan tampil unik dan sendiri. Wujud dari ke-khas-an itu berhubungan pula dengan kreatifitas mencipta dan menemu. Penyair adalah penemu dan pembaharu bahasa. Kebaruan ini bukan karena ia telah menciptakan bahasa baru, karena bahasa yang dipakai oleh kita sekarang ini juga telah dipakai oleh orang-orang sebelum kita. Kebaruan itu sebenarnya terwujud dengan memunculkan kesan tidak familiar dalam bentuk dan pengucapan. Bisa dengan memotong kata, menggabungnya, atau merubah letak sintaksisnya.

Menarik sekali saat membaca ragam puisi di BPSM ini, begitu banyaknya puisi sehingga sulit memberikan apresiasi memadai untuk setiap puisi yang muncul. Bukan karena puisi-puisi itu tidak bagus, tapi karena keterbatasan waktu untuk menguraikannya satu-persatu. Satu puisi saja sebenarnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membongkarnya dengan detail. Maka bagi saya pribadi, yang membuat puisi terapresiasi atau tidak adalah karena faktor jodoh saja. Meskipun itu juga dipengaruhi oleh keunikan karya tersebut sehingga memunculkan rangsangan untuk membacanya secara teliti.

Seperti puisi Penyair Nabila Dewi Gayatri yang berjudul “Engkaulah Lelakiku!” Puisi ini memiliki cara penyajian yang unik, karena penyair memilih salah satu warna dari dua warna dasar yakni putih.



Engkaulah Lelakiku!
Oleh: Nabila Dewi Gayatri


engkaulah sang gagah perkasa, adam
memadatkan rindu hawa mencengkeram tulang rusuk sebelah
merumahkan angin mengkidungkan kekal asmara
melangitkan wujud kasih mengimani nafas, bersetia!

penampakanmu laksana butiran gerimis memistis kalis kehidupan
menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan
kau benamkan dahsyat cinta di segala cuaca sang maha
di angkasa, halilintar menahan gelegar mengamini doa

aku sendiri seperti puisi yang belum jadi bersidekap sunyi
merayapi bayangmu mengendus jejakmu aku tak mampu
hingga menggemuruh rasa melompati kepala hendak memenggalku
singup kalbu menggaungkan gelap kedalaman, melipat sekarat!

oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan
rebahlah keakuan, kucumbu mesra taqdir keikhlasan

engkaulah lelakiku yang sempurna menjadikan manusiaku sabar
bumi tak bermakna tanpamu, dan untuk apa langit di hiasi
bekas silamu panas meleburku, di debur maqam cintamu
mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah

Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!



Dalam istilah saya, ini puisi putih. Puisi yang selaras dengan pandangan umum mengenai sesuatu yang bisa dikatakan mitos meskipun ada kaitannya dengan religi. Kenapa saya menganggapnya mitos? Karena ketika saya bergerak keluar dan menanggalkan baju yang saya kenakan, maka puisi ini hanya semata mitos bagi saya. Sebagaimana saya membaca puisi yang membawa dewa-dewa Yunani, atau mitos-mitos yang ada dalam agama dan kelompok masyarakat lain. Dapat dianalogikan, di tangan kanan saya ada puisi putih, puisi religi, puisi dengan corak tradisi, puisi yang selaras dengan mitos. Sementara di tangan kiri saya ada puisi hitam atau nyaris hitam, puisi yang menggugat Tuhan, puisi perlawanan, puisi yang kontra mitos. Puisi putih seperti ini memiliki sedikit resiko pertentangan, meskipun juga memiliki banyak saingan sehingga tidak bisa tampil unik. Satu-satunya upaya yang bisa membuat puisi putih terasa segar dan unik adalah dengan memberikan kebaruan padanya.

Adam yang melatari puisi ini saya pandang sebagai Adam mitos. Karena Adam di sana tidak saja mewakili terminologi keislaman. Bahkan Adam itu sendiri merupakan pokok seluruh mitos yang ada di dunia ini. Adam itu juga mewakili seluruh kaum laki-laki, sebagaimana dimaklumi definisinya dalam kamus. Memang adam yang dikehendaki dalam puisi ini bukanlah Nabi Adam. Maka dari itu penyair menulis adam dengan huruf kecil. Ia bukan saja sosok berbeda dari Nabi Adam, bahkan ia bukanlah sebuah nama manusia. Adam yang disebut dalam puisi ini adalah adam sebagai kata benda yang berarti laki-laki. Meskipun, seperti yang saya katakan di atas, adam kata benda itu terbayangi oleh sosok Adam mitos tadi. Maka Adam mitos itu juga yang melatari puisi ini. Artinya sosok laki-laki yang dikehendaki penyairnya itu diserupakan dengan sifat-sifat Nabi Adam sebagai laki-laki pertama.


engkaulah sang gagah perkasa, adam
memadatkan rindu hawa mencengkeram tulang rusuk sebelah
merumahkan angin mengkidungkan kekal asmara
melangitkan wujud kasih mengimani nafas, bersetia!

penampakanmu laksana butiran gerimis memistis kalis kehidupan
menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan
kau benamkan dahsyat cinta di segala cuaca sang maha
di angkasa, halilintar menahan gelegar mengamini doa


Aku lirik dalam puisi ini sedang mengungkapkan kekaguman terhadap sosok adam yang ditemui dalam hidupnya. Tidak jelas dikatakan laki-laki itu siapa. Tapi melihat keumuman yang dikehendaki penyair dengan menuliskan adam tanpa huruf kapital di awalnya, menunjukkan laki-laki itu tidak berhenti pada satu sosok. Laki-laki yang diwakili dengan kata adam itu adalah banyak laki-laki yang berhubungan dekat dengan penyair. Tidak tertutup kemungkinan, adam itu sebagai wakil dari seluruh laki-laki ideal yang dikagumi oleh “aku lirik.” Maka dari itulah aku lirik berkata, “engkaulah sang gagah perkasa, adam.” Ini sifat umum laki-laki, sifat maskulin. Meskipun ada laki-laki yang gerak-geriknya seperti perempuan. Tapi tidak masalah karena gagah perkasa yang dikehendaki itu adalah sifat, bukan sebagai tolok ukur kemaskulinan dengan berotot, kuat, gentle, dan sebagainya. Gagah perkasa itu lebih dekat kepada sifat kesatria seperti mengayomi, melindungi, mengasihi, menghormati, dan seterusnya. Sosok ideal yang demikian istimewa itu memang tidak semua golongan laki-laki. Karena seperti kita tahu, banyak laki-laki yang lupa kelaki-lakiannya. Sehingga bertindak arogan dan semena-mena terhadap wanita, yang jelas lebih lemah secara fisik maupun mental dari laki-laki.

Sifat gagah perkasa tadi membuat perempuan normal manapun akan mabuk kepayang, meskipun kata “memadatkan” di sana lebih dekat kepada makna padat yaitu penuh berjejal-jejal. Tetapi “memadatkan” itu bisa juga berarti membuat madat, yakni mabuk kepayang itu sendiri. Keduanya bermakna sama dan itu terserah pemilihan makna yang mana. Kekaguman aku lirik atas sifat gagah perkasa tadi terus belanjut sehingga dikatakan “merumahkan angin,” yakni membuat keinginan liar menjadi tentram. Angin seperti diketahui selalu bergerak, karena jika berhenti itu bukan angin tapi udara. Maka udara yang bergerak atau angin ini adalah lambang bagi gejolak keinginan liar itu dan di sini dikatakan merumahkan angin, yakni gejolak itu menjadi tentram, tenang, seolah berada di rumah sendiri. Dalam keluarga normal yang bahagia, rumah adalah gambaran dari kebahagiaan. Maka ada istilah rumahku istanaku, karena rumah adalah tempat paling aman dan nyaman. Selain gejolak liar menjadi tentram, kegagahan dan dan keperkasaan tadi membuat perempuan mana pun akan “mengkidungkan kekal asmara.” Artinya karena bahagia, setiap saat yang dirasakan adalah gairah cinta. Sedangkan “melangitkan wujud kasih” berarti membuat rasa kasih sayang menjadi keagungan. Karena langit adalah simbol dari ketinggian dan keagungan. Begitu juga dengan “mengimani nafas,” yakni meyakini seolah-olah seperti keyakinan akan nafas terhadap kehidupan. Tanpa nafas bagimana manusia bisa hidup. Keyakinan seperti itulah untuk menggambarkan “bersetia.” Yakni bersikap setia dengan penuh keyakinan. Bisa jadi kalimat “melangitkan wujud kasih mengimani nafas,” itu sebagai gambaran dari “bersetia” ini. Namun kedua cara pemaknaan tadi juga berujung sama, maka tidak ada masalah di sana.

Keberadaan sosok adam tadi diibaratkan aku lirik seperti gerimis yang menyucikan atau membersihkan kehidupan. Proses pembersihan tadi dikatakan sebagai sesuatu yang gaib yakni berbau mistik karena di luar penalaran manusia. Artinya kehadiran laki-laki bagi aku lirik menghadirkan makna yang begitu besar, sehingga dikatakan berbau gaib karena tak terjangkau nalar. Demikian pula “menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan,” kekaguman yang luar biasa tadi membuat sosok adam begitu hebat dan penting sehingga ia seolah “menghujani” yakni memberi hujan sebagai simbol kesejahteraan, sedang “mengisyaratkan pemberkataan” bermakna mendapatkan kedamaian.

Karena terberkati itu mendatangkan rasa damai pada pihak yang diberkati. Begitulah aku lirik itu mengagumi sosok adam dalam puisi ini, sehingga sampai akhir bait kedua, aku lirik menggambarkan besarnya cinta yang diberikan adam itu sehingga sanggup bertahan di segala cuacaa rtinta dalam segala dinamika kehidupan. Bahkan halilintar yang biasanya menakutkan itu dipandang sebagai pengamin doa mereka berdua. “Menahan gelegar” di sana hanya sebagai kiasan dari anggapan aku lirik terhadap kekuatan cinta adam tadi. Sehingga halilintar yang tidak mungkin bisa ditahan itu seolah menahan gunturnya demi memngamini doa.


aku sendiri seperti puisi yang belum jadi bersidekap sunyi
merayapi bayangmu mengendus jejakmu aku tak mampu
hingga menggemuruh rasa melompati kepala hendak memenggalku
singup kalbu menggaungkan gelap kedalaman, melipat sekarat!

oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan
rebahlah keakuan, kucumbu mesra taqdir keikhlasan


Selanjutnya aku lirik membaca dirinya sendiri. “aku sendiri,” katanya. Maksudnya mengenai diriku sendiri adalah “seperti puisi yang belum jadi.” Dari sini terkandung maksud aku lirik menganggap dirinya selembar kehidupan yang mirip puisi terpenggal. Di mana dalam dirinya ada hal-hal yang belum selesai atau belum lengkap, sesuatu yang belum lengkap itu menghendaki kelengkapan, maka ia mengejarnya dengan “mengendus jejakmu.” Sayangnya aku lirik tidak mampu. Ketidakmampuan itu tentu saja membuatnya risau hingga dikatakan “menggemuruh” karena tuntutan kelengkapan tadi tidak bisa diwujudkannya. Kerisauan yang sedemikian besar terkadang harus dibayar dengan “melompati kepala.” Bisa jadi kepala di sini lambang dari logika. Karena itulah dikatakan rasa atau kerisauan yang menggemuruh tadi seolah hendak memenggal kepalanya. Artinya membuatnya melangkahi akal sehat atau logika tadi. Hal itu membuat hatinya mengalami keremangan. “Singup” itu kemungkinan bahasa Jawa yang berarti keadaan yang remang atau agak gelap. Keadaan remang tadi bahkan berlanjut menjadi gelap sepenuhnya, seperti yang dikatakan penyairnya, “menggaungkan gelap kedalaman.” Hingga diakhiri, “melipat sekarat” yang kurang lebih berarti sebuah gambaran dari kematian.

Ada dua kemungkinan di bait ke tiga ini, (1) penyair sedang menceritakan kesedihan karena seseorang yang disebut sebagai adam itu telah meninggal. Oleh karena itu “aku lirik” tak mampu mengendus jejaknya, karena adam telah berbeda dunia. Kemungkinan lain, (2) aku lirik hanya berretorika. Adam di sana belum benar-benar mati. Ia hanya menggambarakan sebuah upaya untuk memahami tentang wujud adam yang begitu berarti baginya. Sehingga tanpa adam aku lirik seperti puisi yang belum jadi, yakni tidak lengkap. Namun kemungkinan pertama lebih kuat karena didukung oleh bait selanjutnya, “oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan.” Dalam sebuah ziarah mungkin, aku lirik yang tadinya mengalami kerisauan hebat, atu kesedihan yang sangat menjadi tabah karena ingat perjuangan sosok adam semasa hidup. “sabit” di sini kemungkinan di ambil dari bahasa arab, Tsabit yang artinya tetap. Karena jika dimaknai sabit sebagai alat pemotong rumput maknanya tidak berkesinambungan. Jadi sabit disini adalah tetapnya ketabahan aku lirik dalam ziarah itu, akibat ia ingat dengan “gerak” adam semasa hidup. Sehingga akibat ingat bahwa adam yang tadinya hidup sekarang mati itu membuat keakuannya lenyap. Ia menjadi sadar bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Sesudah tabah itulah aku lirik menjadi ikhlas. Hal itu dengan indah dikatakan “kucumbu mesra.” Seseorang yang sedang bercumbu tentu menikmati cumbuan itu. Maka dapat diartikan, rasa ikhlas itu benar-benar dirasakan oleh aku lirik karena kesedihan tadi telah berganti dengan penerimaan atas takdir Tuhan.


engkaulah lelakiku yang sempurna menjadikan manusiaku sabar
bumi tak bermakna tanpamu, dan untuk apa langit di hiasi
bekas silamu panas meleburku, di debur maqam cintamu
mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah

Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!


Sebagaimana sudah jamak diketahui, tidak ada manusia yang sempurna. Kalimat, “engkaulah lelakiku yang sempurna” hanyalah hiperbola untuk menggambarkan kekaguman berlebih aku lirik terhadap adam. Atau bisa jadi “sempurna” itu untuk menerangkan kalimat sesudahnya yakni “menjadikan manusiaku sabar.” Kenapa agak ganjil rasanya kalimat “menjadikan manusiaku” ini? Kalimat ini hanya sekedar retorika, aku lirik jelas adalah seorang manusia. Dengan menjelaskan kemanusiaan itulah aku lirik ingin menekankan hal-hal mendasar pada diri manusia yakni nafsu. Sisi manusia yang cenderung gegabah dan tergesa-gesa ini menjadi sabar akibat peranan adam yang dikatakannya sempurna itu. “dan untuk apa langit di hiasi,” agaknya penyair salah menuliskan kalimat “di hiasi” itu yang seharusnya “dihiasi.” Demikianlah aku lirik itu terus memuja sosok adam yang ideal menurutnya, adam yang sempurna, adam yang sesuai dengan keinginannya. Karena sosok adam yang dibicarakan dalam puisi ini tidak hendak ditujukan pada seseorang yang khusus, maka wajar jika ada ungkapan, “mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah.” Ini biasanya dikhususkan bagi para suami. Setiap pelayanan istri terhadap suami adalah ibadah. Sebagaimana yang telah terkabar dalam hadist masyhur yang bermakna kurang lebih, seandainya umat islam boleh melakukan syirik, maka setiap istri itu harus menyembah suaminya sendiri seperti shalat lima waktu. Tentunya hadist seperti ini bermakna metaforis, artinya tekandung anjuran agar setiap istri itu bisa melayani suaminya dengan baik.

Begitulah aku lirik menganggap adam itu sebagai sosok yang istimewa, sehingga dalam baris terakhir dia berseru, “Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!” Sebuah keyakinan untuk berlaku lebih baik. Baris terakhir ini adalah bentuk doa. Maka seruan “Ya 'Azza Wa Jalla” itu dalam konteks bahasa Arab disebut jumlah du-‘aiyah. “Ya” dikenal sebagai ya nida, yakni ya yang berfungsi untuk menyeru. Hampir sama dengan “wahai” dalam bahasa Indonesia. Ya ‘Azza Wa Jalla bermakna, wahai (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Doa yang diserukan oleh aku lirik ini sebagai efek kesadaran karena kehadiran sosok yang istimewa seperti adam tadi dalam kehidupan aku lirik.

Puisi “Engkaulah Lelakiku!” ini juga merupakan perayaan atas dunia. Terlihat jelas warna yang dipilih penyairnya adalah putih. Sosok adam yang begitu istimewa bagi aku lirik itu merupakan refleksi juga dari sosok Adam mitos, yang menjadi bapak bagi seluruh manusia. Ada yang khas atau unik dalam puisi ini, seperti pilihan diksi dan perlambangan yang sudah dibicarakan di atas. Namun tidak ada kebaruan lain yang disuguhkan, misalnya dalam hal sudut pandang. Karena kebaruan yang bisa dicapai oleh puisi putih hanya berkisar pada diksi dan perlambangan, bisa juga penyair memasukkan suasana berbeda. Tentunya hal demikian berbeda dengan puisi yang berada dalam arah berlawanan, yakni puisi hitam atau nyaris hitam. Jika puisi putih yang disajikan Penyair Nabila Dewi Gayatri selaras dengan pandangan umum atau mitos yang ada, puisi hitam ingin mendobrak itu. Jika satu religius, satunya anti Tuhan atau menggugat Tuhan. Jika satu pro mitos, satunya kontra mitos. Keduanya sama-sama mengisi dalam rentang keseimbangan. Seolah Tuhan itu menjuntaikan Tangan-Nya (boleh dibaca sesuai keyakinan masing-masing) ke dunia ini dan memberikan pilihan seluas-luasnya pada manusia untuk memilih. Pilihan apa pun akan memiliki resiko masing-masing. Membuat puisi putih tentu saja boleh, tapi tidak semua hal bisa diwarnai putih. Terlebih puisi putih cenderung tidak bisa tampil unik karena hanya memuji dan menyanjung. Tugas penyair adalah menyuarakan gemuruh yang ada dalam dunia batinnya, dengan warna apa pun yang dipilihnya itu memang bebas. Namun sebagai corong kemanusiaan, hendaknya penyair tidak boleh berhenti hanya pada tahap bersolek saja.



*****


Kajitow El-kayeni
Esais

Kamis, 22 Maret 2012

NASKAH DRAMA: KI ANGENG SELO DAN PETIR

KI AGENG SELO DAN PETIR


ADEGAN I

(Narasi sebelum drama dimulai) Dusun Selo yang unik dengan kesederhanaannya. Tempat yang dulu hanyalah tanah gersang yang dihuni beberapa kepala keluarga kini telah berubah menjadi ramai. Semua itu berkat pengaruh Ki Ageng Selo yang memiliki kesaktian tinggi. Tersebutlah beberapa muridnya menjadi ksatria yang disegani, termasuk Mas Karebet atau Joko Tingkir. Sebagai seorang guru ilmu kanuragan dan kebatinan yang sakti mandra guna, Ki Ageng tidaklah ingin melebih-lebihkan kemampuannya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, cicit Prabu Brawijaya itu lebih tampak sebagai petani biasa yang tekun menggarap sawahnya. Begitulah kerendahan hati Ki Ageng Selo. Pengaruhnya yang kuat tidak membuatnya lupa diri dan jumawa.
Seperti kebiasaannya setiap hari, Ki Ageng tetap pergi ke sawah meski cuaca sedang tidak bersahabat. Selama berhari-hari hujan terus saja turun diiringi petir dan guruh yang menggila. Aneh sekali prilaku petir itu, biasanya kejadian petir menyambar hanya terjadi sekali pada pohon yang tinggi. Itu pun jarang sekali terjadi. Tapi kali ini tidak hanya di sawah, rumah-rumah penduduk pun ada yang tersambar.

(efek lampu yang menyorot seorang aktor maju ke tengah panggung dan memakai atribut petani lengkap dengan cangkul)

(efek petir dan suara guntur)

Ki Ageng Selo: (Terhenyak dan berhenti mencangkul, tiba-tiba petir dengan cepat menyambarnya.)

(narasi) Orang orang di dusun berhamburan keluar rumah begitu suara gelegar itu berhenti. Mereka segera tahu jika petir itu menyambar seorang yang paling disegani di dusun Selo. Ki Ageng Selo, tokoh sakti yang sendirian di tengah amukan hujan guntur. Tapi bukan Ki Ageng Selo jika hangus tersambar petir. Bahkan di tengah sawah itu dia sedang bergulat mencengkeram petir yang bergerak-gerak menyambar-nyambar dengan hebat. Pakaiannya compang-camping tersengat petir itu. Capingnya telah terpelanting jauh dari kepalanya. Tanah sawah yang menopang tubuhnya membentuk kawah lebar. Pohon-pohon di pematang besar tersibak daunnya. Begitu juga dengan angin yang berkesiur menderu di areal persawahan.
(efek suara petir dan guntur)

Ki Ageng Selo: “La haula wala quwwata illa billah... apa maumu wahai petir? Kenapa kau membuat desa ini kacau!?” (terus mencengkeram petir yang bergolak tak menentu itu. Mantra terus dirapalnya untuk melemahkan petir tersebut.)

(Setelah seluruh daya terkuras, petir itu menjelma seorang kakek tua dengan sorot mata menyala-nyala. Ki Ageng Selo tidak terpengaruh dengan jelmaan itu. Pandangannya menerobos tubuh tua yang sedang dicekal lehernya itu.)

Petir: “Aku diperintah untuk demikian. Bukan urusanmu menanyakannya!” (dengan suara serak dan berat)

Ki Ageng Selo: “Jumawa!” (pandangan melotot, roman merah)

Petir: “Memang apa yang bisa kau lakukan, ha!? Manusia hanya mementingkan dirinya dan tidak mau ingat pada nikmat Tuhannya.” (diam sejenak)

Ki Ageng Selo: “Ada manusia baik dan ada yang jahat. Tidak berarti yang baik harus ikut dihukum bersama yang jahat.”

Petir: “Terserah.”

Ki Ageng Selo: (tampak sedang berpikir) “Baiklah, akan kuserahkan kau ke Demak Bintoro untuk diadili.”

Petir: “Apa!?

Ki Ageng Selo: “Iya, Demak Bintoro.” (tersenyum mengejek petir)

Petir: (tertawa keras) “Bukankah engkau menaruh dendam pada mereka?”

Ki Ageng Selo: “Kau akan segera tahu. Kehadiranmu adalah tanda yang sudah lama aku tunggu.”

Petir: (diam dan memandang Ki Ageng Selo dengan pandangan mata menyala. )


Adegan II


(lampu menyala muncul ki ageng selo, dan beberapa orang dari kesultanan Demak Bintoro)

Prajurit 1: “Kau siapa? Mahluk apa in-ni?” (suaranya gemetar dan ketakutan melihat petir yang telah menjelma menjadi sosok tua yang aneh)

Ki Ageng Selo: “Aku Ki Ngabdurahman dari Selo.” (diam sejenak dan menoleh ke arah sosok tua jelmaan petir) “Ini jelmaan petir yang aku tangkap karena mengacau di dusun Selo.

Prajurit 1: “Kau!?” (mencoba berpikir keras) “Kau yang dulu membunuh banteng dalam pendaftaran prajurit itu ya?” (ketakutan.)

Ki ageng Selo: “Iya.”

Prajurit 1: “Apa kau ingin mengacau di sini?” (panik dan menggenggam erat-erat tombaknya.)

Ki ageng Selo: “Tidak. Sampaikan pada Sultan, Petir ini aku persembahkan sebagai tawanan.”
(beberapa prajurit berbisik-bisik. Prajurit 1 masuk ke dalam kerajaan.)


Adegan III


(lampu kembali menyala, beberapa orang muncul)

Prajurit 1: “Hamba ingin melapor Paduka.”

Sultan Demak: “Ada apa prajurit?”

Prajurit 1: “Di luar ada Ki Ngabdurahman dari Selo. Datang ke Demak untuk mempersembahkan mahluk yang dikatakannya jelmaan dari petir.”

Sultan Demak: (kaget, dia berdiri dari kursi singgasananya. Bergumam) “Inikah pertanda dari permulaan munculnya trah Brawijaya itu? Inikah tanda akan segera berdiri Kerajaan Mataram baru?”

Penasehat 1: “Jangan Takut Kanjeng Sultan. Sebaiknya beliau disambut dengan baik sebagai tamu Sultan. Jika memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa maka itulah yang akan terjadi kelak.”

Sultan Demak: (merenung sejenak. Kemudian menghadap pada penasehat.) “Apakah semua ini akan berakhir sekarang Sunan? Apakah kerajaanku ini akan hancur?”

Penasehat 1: “Tidak Sultan, Ki Ageng Selo hanya membawa bibit Keprabon. Keturunannya kelak yang akan menjadi penguasa tanah jawa.”

Sultan Demak: (kembali duduk di kursi singgasana. Wajahnya lesu.) “Baiklah, kita akan menyambutnya.”


Adegan IV


(lampu menyala. Beberapa orang keluar ruangan menemui ki ageng selo)

Ki ageng Selo: “Maafkan saya Sultan, ini saya bawa tawanan yang mengacau di dusun hamba.”

Sultan Demak: (tersenyum getir, merasa bersalah dan malu melihat kesaktian ki ageng selo.) “Saya meminta maaf pada Ki Ageng karena dulu pernah menolakmu menjadi prajurit di Demak Bintoro. Semoga ini tidak menumbuhkan dendam di antara kita.”

Ki ageng Selo: “Hamba bukan pendedam Kanjeng, beginilah mungkin kehendak Gusti Allah. Hamba bahagia menjadi seorang petani.”

Sultan Demak: “Baiklah, saya akan mengurung petir ini agar tidak mengganggu rakyat.” (diam sejenak, menoleh ke belakang.) “Prajurit, cari orang untuk menggambar wujud petir ini, lalu ukirlah di pintu masuk Masjid Agung untuk mengenang jasa Ki Ageng Selo.”

(petir itu berubah-ubah wujud. Semua orang keheranan. Masuklah nenek tua membawa air dalam kendi dan menyiramkan ke sosok yang berubah-ubah bentuk itu. Kerangkeng meledak. Sosok petir dan nenek tua lenyap.)

(lampu padam)

Selesai.