museum

Minggu, 02 Februari 2014

ANALISIS ATAS ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH

Esais Suko Rahadi


ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH

PADAMU JUA

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku

(NS, 1959:5)

Sajak ini merupakan monolog si aku dengan kekasihnya. PARAFRASEnya adalah sebagai berikut:

Segala cinta si aku (kepada kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang sebagai halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya yang lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata "pulang" (bait 1 br 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari pengembaraan mencari cinta yang lain. Padahal di rumah kekasih lamanya tetap menunggunya.

Kekasih yang lama itu sesungguhnya sangat menarik bagaikan lilin yang menyala gemerlapan, dapat menerangi hati si aku, seperti halnya pelita di jendela memberi penerangan penerangan di malam yang gelap, juga sebagai tanda bahwa di rumahnya ada penerangan. Dengan kesabaran dan kesetiaan ia memanggil si aku. Si aku pun pulang.

..........
.........

Secara semiotik, secara sistem ketandaan, hubungan antara aku dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan antara kekasih, antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tandatanda hubungan itu berupa katakata yang mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf kecil), cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa, dll. Sebab itu, secara struktural, ketika si aku mempunyai kekasih baru, maka "si dara di balik tirai" itu cemburu dan ganas (bait 5) dan sebagai seekor singa memangsa si aku dengan cakarnya untuk permainan. Maksudnya, supaya si aku hanya menyintai dirinya saja. Dengan demikian, cinta si aku kepada kekasih barunya "habis kikis" (bait 1) dan si aku kembali kepadanya seperti semula. Tentu saja si aku marah dan jengkel "nanar aku gila sasar." Walau demikian, si aku kembali juga cintanya kepada kekasihnya yang serupa dara di balik tirai itu (bait 6) yang masih menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.

......
......
nyontek.com



***** 



Kajitow Elkayeni


 ANALISIS ATAS ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH


Menarik sekali saat membaca teks ke dua dari teks pertama puisi Amir Hamzah. Teks ke dua itu adalah analisis esais suko rahadi yang menggunakan dasar premis pertama: pemaknaan secara umum. Dengan peremis ini sebuah puisi dicarikan jalan paling terang dalam pemaknaannya. Sehingga siapa pun bisa mengambil rujukan secara logis kepadanya.

Penafsiran atas sebuah puisi tidaklah menghentikan munculnya penafsiran-penafsiran lain. bahkan dari satu penafsiran bisa jadi mendukung penafsiran sesudahnya. Seperti yang telah disebutkan oleh esais suko rahadi di atas, secara struktural dan semiotis puisi Padamu Jua ini memberikan sebuah arah pemaknaan secara jelas. Teks puisi itu telah melahirkan teks pemaknaan pertama dengan semantik struktural, yang kemudian dari analisis itu melahirkan teks pemaknaan ke dua (analisis kedua atas analisis pertama) yang sedang saya upayakan ini. teks pemaknaan pertama berdasarkan pada kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda) selazimnya, kode-kode bahasa itu mengayunkan dirinya pada sebuah pemahaman yang umum dan mudah ditangkap dengan logis.

Seperti yang saya katakan tadi, seluruh bangunan pemaknaan secara struktural dan semiotis di atas itu bertumpu pada premis awal yaitu; pemaknaan secara umum; monolog aku lirik terhadap seseorang yang dianggapnya kekasih. Kode-kode bahasa itu pun terayun pada arah yang dituju sesuai premis awal ini. "Segala cinta si aku (kepada kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang sebagai halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya yang lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata "pulang" (bait 1 br 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari pengembaraan mencari cinta yang lain. Padahal di rumah kekasih lamanya tetap menunggunya."

Begitu juga dengan pemaknaan berikutnya, sistem tersebut menggiring pembacaan atas teks puisi amir hamzah ini. "Secara semiotik, secara sistem ketandaan, hubungan antara aku dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan antara kekasih, antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tandatanda hubungan itu berupa katakata yang mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf kecil), cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa, dll"

Analisis berdasarkan premis awal ini akan saya kembangkan menjadi analisis kedua. Dengan kata lain, analisis yang di dasarkan atas analisis pertama.

Setelah memahami analisis pertama, kita akan memindahkan premis awal tadi pada premis ke dua: kekasih yang sedang dibicarakan pada puisi itu adalah perwakilan dari sesuatu yang agung. Analisis awal tentu akan mencegahnya dengan beberapa alasan penulisan kata ganti pesona orang ke dua tunggal diawali dengan huruf kecil. Sesuai kaidah nama yang mewakili Tuhan harus dikapitalkan. Tetapi ketika kita menggunakan licentia poetika di sini, dimana penyair telah menerabas aturan itu, bisakah kekasih yang dikehendaki amir hamzah itu adalah perwakilan dari sosok agung bernama Tuhan? Jika bisa, apa buktinya?

Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Dari metafora di atas terdpat dua asumsi. Aku lirik sedang menyerupakan kau lirik dengan “dara”  yang berarti seorang perempuan, ini asumsi pertama. Nsmun ini tidak logis karena kekasih itu adalah seorang perempuan (manusia) juga, maka penggambaran ini terlalu berlebihan bahkan boros. Bisa jadi memang begitu karena amir hamzah terpeleset atau menghendaki pemaknaan lain secara pribadi. Asumsi ke dua, metafor itu sebagai lambang dari sosok yang agung tadi. Aku lirik sedang membayangkannya sebagai seorang “dara” yang malu-malu di balik tirai. Mengintai dengan penuh cinta kasih serta memendam kerinduan yang mendalam.

Begitulah premis ke dua ini bertumpu pada premis pertama, bukan untuk mencari pembenaran tetapi untuk meluaskan pandangan terhadap puisi padamu jua amir hamzah ini.

Setelah sampai pada pemahaman ini, analisis berlanjut dan keluar dari bingkai teks. Yakni dasar ulasan ditumpukan pada diri penyairnya. Karena penyair adalah seorang muslim, maka penafsiran ini disesuaikan terminologi keislaman. Bukan untuk memihak, tetapi demi menyorot kehendak penyair yang seorang muslim itu terhadap puisinya.

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Aku lirik di tengah kesadaran puncaknya memahami bahwa cinta kepada selain Tuhan akan musnah. Perjalanan hidup mengajarkan kepada aku lirik untuk kehilangan apa pun yang dicintainya di dunia. Waktu mengikis kesejatian cinta dengan ajal. Waktu membuat setiap manusia harus melepaskan kekasihnya betapapun dia mencintainya. Kesadaran akan hal inilah yang membuat aku lirik meratapinya, sesudah “terkikis” dan “hilang terbang” itu dia sadar hanya ada satu cinta sejati yaitu cinta pertamanya. Cinta yang tidak mengenal waktu. Cinta yang kekal tak berkesudahan. “Seperti dahulu,” katanya. Dulu sebelum ada jagad raya maksudnya, Dulu saat hanya ada ruh dan dunia belum tercipta dalam alam musyahadah. Dulu saat Tuhan berseru, "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" “Bala syahidnaa, (iya benar, kami telah angkat saksi: atas itu)” jawab para ruh dengan takzim.

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Dalam pandangan aku lirik, Tuhan diumpamakan pelita. Sebuah lampu yang terang sehingga dikatakannya kemerlap. Kemudian aku lirik menyederhankan perumpamaan itu dengan pemahaman manusia, kandil kemerlap itu seolah pelita jendela yang memberikan suluh di malam gelap. Di sini terjadi perubahan perumpamaan. Awalnya aku lirik mengumpakan Tuhan seperti “kandil kemerlap” dalam Quran disebut “kamisykatin huwa mishbah...” (seperti misykah, di dalam misykah itu ada sebuah lampu) Ini mengindikasikan pemaknaan tentang sebuah suluh yang bercahaya terang bernderang. Tetapi kemudian perumpamaan ini diserupakan dengan logika umum. Sehingga terbangun dalam imajinasi seolah pelita jendela di malam gelap. Pelita sebagaimana umumnya pelita yang dikenali, kecil mungkin cahayanya, begoyang mungkin nyalanya karena tiupan angin. Yang dikehendaki penyair di sini pengumpamaan logis, sekaligus sebagai isyarat bahwa yang hendak ditunjuk itu manfaat pelita tadi, bukan ukurannya. Seperti itulah Tuhan dalam pandangan penyair. Tuhan yang menerangi dalam kegelapan.

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
rindu rupa

Baris pertama dalam bait itu memiliki dua penafsiran. Penafsiran pertama, Satu kekasihku (keksihku hanya satu) Aku manusia... Penafsiran ke dua, Satu kekasihku (ada satu hal wahai kekasihku) Aku manusia... Opsi pertama lemah, karena tidak sebangun dengan baris selanjutnya. Artinya baris pertama menjadi terpotong dari pemahaman baris ke dua. Maka pilihan yang tersisa adalah penafsiran ke dua “Satu (hal) kekasihku, aku (ini) manusia (yang) rindu rasa, rindu rupa.”

Di mana engkau
Rupa tiada
suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Bait ini menunjukkan sifat yang dimiliki kekasih “aku lirik” itu. Kekasih yang tak pernah dijumpainya muka bertemu muka. “Rupa tiada,” kata aku lirik. Maksudnya Dia ada tapi tak pernah disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sedangkan “suara sayup” dengan huruf kecil menunjukkan sambungan baris sebelumnya yang sengaja dipotong untuk memberikan penekanan. Makna “suara sayup” ini bukan dari arti semiotis tapi menurut pemahaman aku lirik saat berkomunikasi kepada kekasihnya yang agung itu dengan hatinya. Maka baris selanjutnya disebutkan, “Hanya kata merangkai hati” demi menguatkan pemahaman “suara sayup” tadi.

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Kemudian aku lirik menggambarkan besarnya kecintaan yang dimiliki Tuhan. Ini lebih dalam memahami hakikat sinta yang pernah dilalui penyairnya. Cinta terhebat yang dipenuhi rasa cemburu. Aku lirik sedang melakukan penyerahan yang sempurna kepada kekasihnya. Dalam kecemburuan itu aku lirik menganggap Tuhan itu pencemburu dan ganas. Ungkapan “Mangsa aku dalam cakarmu” merupakan simbol dari penyerahan yang sempurna itu. Apa pun hasilnya, cinta yang besarlah yang mendasarinya. Mangsa aku, katanya. Tidak ada lagi rasa takut di sana padahal sudah digambarkan sebelumnya begitu menyeramkan, “Mangsa aku dalam cakarmu.” Sedangkan “Bertukar tangkap dengan lepas” adalah sebuah kiasan dari upaya aku lirik untuk mendapatkan cinta itu. Apa yang diharapkannya bertukar menjadi sebuah pelepasan. Tuhan yang dikejarnya tetaplah menjadi sebuah misteri tak terpecahkan. Ini mengakibatkan aku lirik semakin memburunya. Hal itu semakin membuatnya menggila.

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Cinta buta yang sedemikian hebat sehingga mengakibatkan fatalitas. Kemanapun dia pergi rasa sayang berulang pada kekasihnya. Setiap detik yang berlalu hanya dipnuhi rasa rindu, engkau pelik menarik ingin, katanya. Rindu itu sedemikian hebat sehingga kemisteriusan Tuhan terus menarik keinginannya untuk mendekat. Serupa keinginan melihat “dara” di balik tirai. Dara yang pemalu dan misterius. Ini hanya penggambaran atas rindu aku lirik. Bukan berarti menyerupakan secara langsung antara Tuhan dengan gambaran seorang dara di balik tirai.

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mata hari-bukan kawanku

Di tengah kegilaannya itu aku lirik akhirnya memahami bahwa rasa kasih yang dikehendaki Tuhan itu kasih yang sunyi. Sendiri dalam kerahasiaan. Tanpa ingin tercampuri pengakuan apalagi percampuran cinta pada yang lain. Sunyi yang dipahaminya atas kasih Tuhan itu juga menyebabkan aku lirik terdampar dalam kesunyiannya. Saat yang dinantinya untuk dapat bertemu dengan kekasihnya tidak juga datang, kematian itu tidak juga hadir menjemputnya. Padahal dengan getir dia berkata lirih, “Lalu waktu-bukan giliranku.” Lalu di sini bermakna lewat –waktu yang terlewat, aku lirik dalam kegelisahannya terus berupaya mencari dan menunggu sehingga dia soliter dengan dirinya saja, seperti kata Sartre. Dia merasakan kesunyian yang sangat, sendiri saja di dunia ini. Di baris terakhir dia berkata lirih, “Mata hari-bukan kawanku.” Aku lirik menjadi merasa soliter sehingga apa pun tidak bisa menemaninya mengusir kerinduan. Ungkapan bahwa “Matahari-bukan kawanku” berarti apa pun sudah tidak menarik baginya selain ingin bertemu kekasihnya itu. Dia merasa sunyi karena kasih Tuhan yang diyakininya juga sebentuk kesunyian. “Kasihmu sunyi,” katanya.

Puisi ini sebuah keradikalan berpikir, sebuah sudut pandang berani dalam menyikapi hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhan. Seorang Amir Hamzah menganggap cinta Tuhan itu cinta yang dipenuhi kecemburuan, cinta yang tidak boleh dicampuri cinta lain. Sehinga ia menganggapnya sebagai sesuatu yang buas, yang mencabik-cabik dengan cakarnya. Meskipun begitu, cinta yang agung itu lebih indah baginya dari apa pun. Sehinga muncul penyerahan, “Mangsa aku dalam cakarmu.”

Sejauh apa pun puisi ini bergerak, sudut pandang yang terciota tadi hanyalah anggapan penyair kepada Tuhan. Bukan memaknai tuhan secara hakiki. Ini hubungan personal yang tak terjangkau oleh hukum mana pun. Sama halnya ketika Nietsze berteriak, “Tuhan telah mati,” itu hanya dalam pandangan penyair. Kemuakan Nietsze atas kehidupan yang dipenuhi kepalsuan membuatnya berteriak demikian. Ia seolah hendak menggugat Tuhan, padahal bukan Tuhan yang diserangnya. Tapi tuhan-tuhan kecil yang berjalan di muka bumi, organisasi-organisasi keagamaan yang membawa nama Tuhan untuk menghisap darah pengikutnya, seolah vampir yang “menghantu-hantu” sampai ke gubuk kecil tempat nenek uzur tinggal. Inilah yang banyak membuat pikiran radikal muncul yang kemudian membuat mereka enggan mengakui keberadaan Tuhan.

Apa yang sedang diratapi oleh Amir Hamzah ini bisa juga dimisalkan Chairil saat berhadapan dengan perasaan aneh yang tak dimengertinya. Sebuah ungkapan dari pemahamannya atas eksistensi Tuhan.

Di Masjid

Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila

Seperti Amir Hamzah, Cahiril pun memiliki sudut pandang yang radikal. Tuhan itu seperti teman sepermainan, atau seperti seorang musuh. “Ini ruang / gelanggang kami berperang,” katanya. Sebuah kebenggalan yang didasari gejolak tak menentu dalam hatinya, seperti yang disebutnya, “Kamipun bermuka-muka / seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada.” Ini sebenarnya bukan sebuah pembangkangan, hanya sebuah ungkapan untuk menunjukkan bagaimana sudut pandanganya terhadap Tuhan. Begitu dekat, karib, dan seperti teman sepermainan yang sedang bergurau.

Begitulah penyair itu memiliki ruang sunyi mereka. Sebuah daerah personal yang tak tersentuh hukum manapun. Tuhan tetaplah sebagaimana Dia. Tapi penyair mengambil sudut pandang berbeda dari keumuman untuk menunjukkan: defini apa pun tentang Tuhan tidak bisa mengungkap hakikat dari Tuhan yang sebenarnya. Dia tetap misterius dan sunyi. Seperti kata Amir Hamzah:

Di mana engkau
Rupa tiada
suara sayup
Hanya kata merangkai hati


*) tulisan ini dikerjakan dalam tempo cepat, harap maklum atas segala kekurangan.


Kajitow


Esais adalah temannya mas suko rahadi yang suka udud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar