Esais
Suko Rahadi
ANALISIS
STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku
(NS, 1959:5)
Sajak ini merupakan
monolog si aku dengan kekasihnya. PARAFRASEnya adalah sebagai berikut:
Segala cinta si aku
(kepada kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang
sebagai halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya
yang lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata
"pulang" (bait 1 br 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari
pengembaraan mencari cinta yang lain. Padahal di rumah kekasih lamanya tetap
menunggunya.
Kekasih yang lama itu
sesungguhnya sangat menarik bagaikan lilin yang menyala gemerlapan, dapat
menerangi hati si aku, seperti halnya pelita di jendela memberi penerangan
penerangan di malam yang gelap, juga sebagai tanda bahwa di rumahnya ada
penerangan. Dengan kesabaran dan kesetiaan ia memanggil si aku. Si aku pun
pulang.
..........
.........
Secara semiotik, secara
sistem ketandaan, hubungan antara aku dengan engkau dalam sajak ini digambarkan
sebagai hubungan antara kekasih, antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tandatanda hubungan
itu berupa katakata yang mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf
kecil), cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku,
rindu rasa, rindu rupa, dll. Sebab itu, secara struktural, ketika si aku
mempunyai kekasih baru, maka "si dara di balik tirai" itu cemburu dan
ganas (bait 5) dan sebagai seekor singa memangsa si aku dengan cakarnya untuk
permainan. Maksudnya, supaya si aku hanya menyintai dirinya saja. Dengan
demikian, cinta si aku kepada kekasih barunya "habis kikis" (bait 1)
dan si aku kembali kepadanya seperti semula. Tentu saja si aku marah dan
jengkel "nanar aku gila sasar." Walau demikian, si aku kembali juga
cintanya kepada kekasihnya yang serupa dara di balik tirai itu (bait 6) yang
masih menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.
......
......
nyontek.com
*****
Kajitow
Elkayeni
ANALISIS ATAS ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH
Menarik sekali saat
membaca teks ke dua dari teks pertama puisi Amir Hamzah. Teks ke dua itu adalah
analisis esais suko rahadi yang menggunakan dasar premis pertama: pemaknaan
secara umum. Dengan peremis ini sebuah puisi dicarikan jalan paling terang
dalam pemaknaannya. Sehingga siapa pun bisa mengambil rujukan secara logis
kepadanya.
Penafsiran atas sebuah
puisi tidaklah menghentikan munculnya penafsiran-penafsiran lain. bahkan dari
satu penafsiran bisa jadi mendukung penafsiran sesudahnya. Seperti yang telah
disebutkan oleh esais suko rahadi di atas, secara struktural dan semiotis puisi
Padamu Jua ini memberikan sebuah arah pemaknaan secara jelas. Teks puisi itu
telah melahirkan teks pemaknaan pertama dengan semantik struktural, yang
kemudian dari analisis itu melahirkan teks pemaknaan ke dua (analisis kedua
atas analisis pertama) yang sedang saya upayakan ini. teks pemaknaan pertama
berdasarkan pada kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda)
selazimnya, kode-kode bahasa itu mengayunkan dirinya pada sebuah pemahaman yang
umum dan mudah ditangkap dengan logis.
Seperti yang saya
katakan tadi, seluruh bangunan pemaknaan secara struktural dan semiotis di atas
itu bertumpu pada premis awal yaitu; pemaknaan secara umum; monolog aku lirik
terhadap seseorang yang dianggapnya kekasih. Kode-kode bahasa itu pun terayun
pada arah yang dituju sesuai premis awal ini. "Segala cinta si aku (kepada
kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang sebagai
halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya yang
lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata
"pulang" (bait 1 br 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari
pengembaraan mencari cinta yang lain. Padahal di rumah kekasih lamanya tetap
menunggunya."
Begitu juga dengan
pemaknaan berikutnya, sistem tersebut menggiring pembacaan atas teks puisi amir
hamzah ini. "Secara semiotik, secara sistem ketandaan, hubungan antara aku
dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan antara kekasih,
antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tandatanda hubungan itu berupa katakata yang
mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf kecil), cintaku, padamu,
kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa,
dll"
Analisis berdasarkan
premis awal ini akan saya kembangkan menjadi analisis kedua. Dengan kata lain,
analisis yang di dasarkan atas analisis pertama.
Setelah memahami
analisis pertama, kita akan memindahkan premis awal tadi pada premis ke dua:
kekasih yang sedang dibicarakan pada puisi itu adalah perwakilan dari sesuatu
yang agung. Analisis awal tentu akan mencegahnya dengan beberapa alasan
penulisan kata ganti pesona orang ke dua tunggal diawali dengan huruf kecil. Sesuai
kaidah nama yang mewakili Tuhan harus dikapitalkan. Tetapi ketika kita
menggunakan licentia poetika di sini, dimana penyair telah menerabas aturan itu,
bisakah kekasih yang dikehendaki amir hamzah itu adalah perwakilan dari sosok
agung bernama Tuhan? Jika bisa, apa buktinya?
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Dari metafora di atas
terdpat dua asumsi. Aku lirik sedang menyerupakan kau lirik dengan “dara” yang berarti seorang perempuan, ini asumsi
pertama. Nsmun ini tidak logis karena kekasih itu adalah seorang perempuan
(manusia) juga, maka penggambaran ini terlalu berlebihan bahkan boros. Bisa
jadi memang begitu karena amir hamzah terpeleset atau menghendaki pemaknaan
lain secara pribadi. Asumsi ke dua, metafor itu sebagai lambang dari sosok yang
agung tadi. Aku lirik sedang membayangkannya sebagai seorang “dara” yang
malu-malu di balik tirai. Mengintai dengan penuh cinta kasih serta memendam
kerinduan yang mendalam.
Begitulah premis ke dua
ini bertumpu pada premis pertama, bukan untuk mencari pembenaran tetapi untuk
meluaskan pandangan terhadap puisi padamu jua amir hamzah ini.
Setelah sampai pada
pemahaman ini, analisis berlanjut dan keluar dari bingkai teks. Yakni dasar
ulasan ditumpukan pada diri penyairnya. Karena penyair adalah seorang muslim,
maka penafsiran ini disesuaikan terminologi keislaman. Bukan untuk memihak,
tetapi demi menyorot kehendak penyair yang seorang muslim itu terhadap puisinya.
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Aku lirik di tengah
kesadaran puncaknya memahami bahwa cinta kepada selain Tuhan akan musnah. Perjalanan
hidup mengajarkan kepada aku lirik untuk kehilangan apa pun yang dicintainya di
dunia. Waktu mengikis kesejatian cinta dengan ajal. Waktu membuat setiap
manusia harus melepaskan kekasihnya betapapun dia mencintainya. Kesadaran akan
hal inilah yang membuat aku lirik meratapinya, sesudah “terkikis” dan “hilang
terbang” itu dia sadar hanya ada satu cinta sejati yaitu cinta pertamanya. Cinta
yang tidak mengenal waktu. Cinta yang kekal tak berkesudahan. “Seperti dahulu,”
katanya. Dulu sebelum ada jagad raya maksudnya, Dulu saat hanya ada ruh dan
dunia belum tercipta dalam alam musyahadah. Dulu saat Tuhan berseru,
"Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" “Bala
syahidnaa, (iya benar, kami telah angkat saksi: atas itu)” jawab para ruh
dengan takzim.
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Dalam pandangan aku
lirik, Tuhan diumpamakan pelita. Sebuah lampu yang terang sehingga dikatakannya
kemerlap. Kemudian aku lirik menyederhankan perumpamaan itu dengan pemahaman
manusia, kandil kemerlap itu seolah pelita jendela yang memberikan suluh di
malam gelap. Di sini terjadi perubahan perumpamaan. Awalnya aku lirik
mengumpakan Tuhan seperti “kandil kemerlap” dalam Quran disebut “kamisykatin huwa mishbah...” (seperti
misykah, di dalam misykah itu ada sebuah lampu) Ini mengindikasikan pemaknaan
tentang sebuah suluh yang bercahaya terang bernderang. Tetapi kemudian
perumpamaan ini diserupakan dengan logika umum. Sehingga terbangun dalam
imajinasi seolah pelita jendela di malam gelap. Pelita sebagaimana umumnya
pelita yang dikenali, kecil mungkin cahayanya, begoyang mungkin nyalanya karena
tiupan angin. Yang dikehendaki penyair di sini pengumpamaan logis, sekaligus
sebagai isyarat bahwa yang hendak ditunjuk itu manfaat pelita tadi, bukan
ukurannya. Seperti itulah Tuhan dalam pandangan penyair. Tuhan yang menerangi
dalam kegelapan.
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
rindu rupa
Baris pertama dalam
bait itu memiliki dua penafsiran. Penafsiran pertama, Satu kekasihku (keksihku hanya
satu) Aku manusia... Penafsiran ke dua, Satu kekasihku (ada satu hal wahai
kekasihku) Aku manusia... Opsi pertama lemah, karena tidak sebangun dengan
baris selanjutnya. Artinya baris pertama menjadi terpotong dari pemahaman baris
ke dua. Maka pilihan yang tersisa adalah penafsiran ke dua “Satu (hal)
kekasihku, aku (ini) manusia (yang) rindu rasa, rindu rupa.”
Di mana engkau
Rupa tiada
suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Bait ini menunjukkan
sifat yang dimiliki kekasih “aku lirik” itu. Kekasih yang tak pernah
dijumpainya muka bertemu muka. “Rupa tiada,” kata aku lirik. Maksudnya Dia ada
tapi tak pernah disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sedangkan “suara
sayup” dengan huruf kecil menunjukkan sambungan baris sebelumnya yang sengaja
dipotong untuk memberikan penekanan. Makna “suara sayup” ini bukan dari arti
semiotis tapi menurut pemahaman aku lirik saat berkomunikasi kepada kekasihnya
yang agung itu dengan hatinya. Maka baris selanjutnya disebutkan, “Hanya kata
merangkai hati” demi menguatkan pemahaman “suara sayup” tadi.
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Kemudian aku lirik
menggambarkan besarnya kecintaan yang dimiliki Tuhan. Ini lebih dalam memahami
hakikat sinta yang pernah dilalui penyairnya. Cinta terhebat yang dipenuhi rasa
cemburu. Aku lirik sedang melakukan penyerahan yang sempurna kepada kekasihnya.
Dalam kecemburuan itu aku lirik menganggap Tuhan itu pencemburu dan ganas. Ungkapan
“Mangsa aku dalam cakarmu” merupakan simbol dari penyerahan yang sempurna itu.
Apa pun hasilnya, cinta yang besarlah yang mendasarinya. Mangsa aku, katanya. Tidak
ada lagi rasa takut di sana padahal sudah digambarkan sebelumnya begitu
menyeramkan, “Mangsa aku dalam cakarmu.” Sedangkan “Bertukar tangkap dengan lepas”
adalah sebuah kiasan dari upaya aku lirik untuk mendapatkan cinta itu. Apa yang
diharapkannya bertukar menjadi sebuah pelepasan. Tuhan yang dikejarnya tetaplah
menjadi sebuah misteri tak terpecahkan. Ini mengakibatkan aku lirik semakin memburunya.
Hal itu semakin membuatnya menggila.
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Cinta buta yang
sedemikian hebat sehingga mengakibatkan fatalitas. Kemanapun dia pergi rasa
sayang berulang pada kekasihnya. Setiap detik yang berlalu hanya dipnuhi rasa
rindu, engkau pelik menarik ingin, katanya. Rindu itu sedemikian hebat sehingga
kemisteriusan Tuhan terus menarik keinginannya untuk mendekat. Serupa keinginan
melihat “dara” di balik tirai. Dara yang pemalu dan misterius. Ini hanya
penggambaran atas rindu aku lirik. Bukan berarti menyerupakan secara langsung
antara Tuhan dengan gambaran seorang dara di balik tirai.
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mata hari-bukan kawanku
Di tengah kegilaannya
itu aku lirik akhirnya memahami bahwa rasa kasih yang dikehendaki Tuhan itu
kasih yang sunyi. Sendiri dalam kerahasiaan. Tanpa ingin tercampuri pengakuan
apalagi percampuran cinta pada yang lain. Sunyi yang dipahaminya atas kasih
Tuhan itu juga menyebabkan aku lirik terdampar dalam kesunyiannya. Saat yang
dinantinya untuk dapat bertemu dengan kekasihnya tidak juga datang, kematian
itu tidak juga hadir menjemputnya. Padahal dengan getir dia berkata lirih,
“Lalu waktu-bukan giliranku.” Lalu di sini bermakna lewat –waktu yang terlewat,
aku lirik dalam kegelisahannya terus berupaya mencari dan menunggu sehingga dia
soliter dengan dirinya saja, seperti kata Sartre. Dia merasakan kesunyian yang
sangat, sendiri saja di dunia ini. Di baris terakhir dia berkata lirih, “Mata
hari-bukan kawanku.” Aku lirik menjadi merasa soliter sehingga apa pun tidak
bisa menemaninya mengusir kerinduan. Ungkapan bahwa “Matahari-bukan kawanku”
berarti apa pun sudah tidak menarik baginya selain ingin bertemu kekasihnya
itu. Dia merasa sunyi karena kasih Tuhan yang diyakininya juga sebentuk
kesunyian. “Kasihmu sunyi,” katanya.
Puisi ini sebuah
keradikalan berpikir, sebuah sudut pandang berani dalam menyikapi hubungan
vertikal antara hamba dengan Tuhan. Seorang Amir Hamzah menganggap cinta Tuhan
itu cinta yang dipenuhi kecemburuan, cinta yang tidak boleh dicampuri cinta
lain. Sehinga ia menganggapnya sebagai sesuatu yang buas, yang mencabik-cabik
dengan cakarnya. Meskipun begitu, cinta yang agung itu lebih indah baginya dari
apa pun. Sehinga muncul penyerahan, “Mangsa aku dalam cakarmu.”
Sejauh apa pun puisi
ini bergerak, sudut pandang yang terciota tadi hanyalah anggapan penyair kepada
Tuhan. Bukan memaknai tuhan secara hakiki. Ini hubungan personal yang tak
terjangkau oleh hukum mana pun. Sama halnya ketika Nietsze berteriak, “Tuhan
telah mati,” itu hanya dalam pandangan penyair. Kemuakan Nietsze atas kehidupan
yang dipenuhi kepalsuan membuatnya berteriak demikian. Ia seolah hendak
menggugat Tuhan, padahal bukan Tuhan yang diserangnya. Tapi tuhan-tuhan kecil
yang berjalan di muka bumi, organisasi-organisasi keagamaan yang membawa nama
Tuhan untuk menghisap darah pengikutnya, seolah vampir yang “menghantu-hantu”
sampai ke gubuk kecil tempat nenek uzur tinggal. Inilah yang banyak membuat
pikiran radikal muncul yang kemudian membuat mereka enggan mengakui keberadaan
Tuhan.
Apa yang sedang
diratapi oleh Amir Hamzah ini bisa juga dimisalkan Chairil saat berhadapan
dengan perasaan aneh yang tak dimengertinya. Sebuah ungkapan dari pemahamannya
atas eksistensi Tuhan.
Di Masjid
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila
Seperti Amir Hamzah,
Cahiril pun memiliki sudut pandang yang radikal. Tuhan itu seperti teman
sepermainan, atau seperti seorang musuh. “Ini ruang / gelanggang kami
berperang,” katanya. Sebuah kebenggalan yang didasari gejolak tak menentu dalam
hatinya, seperti yang disebutnya, “Kamipun bermuka-muka / seterusnya ia
bernyala-nyala dalam dada.” Ini sebenarnya bukan sebuah pembangkangan, hanya
sebuah ungkapan untuk menunjukkan bagaimana sudut pandanganya terhadap Tuhan.
Begitu dekat, karib, dan seperti teman sepermainan yang sedang bergurau.
Begitulah penyair itu
memiliki ruang sunyi mereka. Sebuah daerah personal yang tak tersentuh hukum
manapun. Tuhan tetaplah sebagaimana Dia. Tapi penyair mengambil sudut pandang
berbeda dari keumuman untuk menunjukkan: defini apa pun tentang Tuhan tidak
bisa mengungkap hakikat dari Tuhan yang sebenarnya. Dia tetap misterius dan
sunyi. Seperti kata Amir Hamzah:
Di mana engkau
Rupa tiada
suara sayup
Hanya kata merangkai hati
*) tulisan ini dikerjakan dalam tempo cepat, harap
maklum atas segala kekurangan.
Kajitow
Esais adalah temannya mas suko rahadi yang suka
udud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar