museum

Minggu, 02 Februari 2014

SINTESIS ATAS TESIS RIFFATERE: KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI



            Ancang-ancang

Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi. Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak, berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga melengkapi.

Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang tergeletak.

Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang membentuk hal itu, yakni:

1.      Penggantian arti (displacing of meaning)

Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.

2.      Penyimpangan atau perusakan arti (distorting of meaning)

Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang terwujud dalam puisi adalah  hasil dari perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu, dia tidak menyebut secara definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut Riffattere ini dikarenakan tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi dan nonsense.

3.      Penciptaan arti (creating of meaning)

Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta, seperti yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homoloque dan tipografi.

Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global. Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai kepentingan kalimat.

Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).

Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya: penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).
                                                                                                     
1.      Penggabungan Arti (consolidating of meaning)

Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti tesis Roland Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagian sifat dari makna denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna konotatif dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam komunikasi formal, makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala Barthes. Ia memiliki arti tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural penuturnya. Konotatif formal terbentuk karena pengiasan yang berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika seseorang mengatakan “kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk kambing hitam itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu secara tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul darinya. Meskipun sebenarnya ada cara lain, penggalian makna konotatif formal bisa dikembalikan pada sebagian sifat denotatifnya. Hal itu mempertimbangkan makna denotatif sebagai makna primer. Sebelum manusia mengenal makna skunder, secara logis ia menggunakan makna primer untuk berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda, keperluan retorika, maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal sastra, makna skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih tinggi dibanding makna primer.

Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah sebuah definisi bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus, meski mungkin bukan dia pelakunya. Dilihat dari segi aplikasi logisnya, kambing hitam cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini memungkinkannya untuk berdiri sebagai the other, liyan, ia adalah sosok khusus yang dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga mengandung pengertian sebagai konotasi dari warna hitam yang sering dijadikan oposit dari simbolisasi warna putih. Lalu kenapa kambing? Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda hitam? Atau ayam hitam? Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan semakin membuat kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan. Tetapi berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka pemaknaan dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya, bukan sebagai perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu juga dengan “kuda hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal ini terkait juga dengan sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan. Untuk menghasilkan pengertian secara lengkap tentu ia merujuk pada studi filologi dan kesepakatan sosial-kulturalnya, dan itu adalah langkah yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan sampel dengan ribuan variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa generasi untuk sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah kebahasaan. Dan ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk menghadirkan bukti-bukti empiris kelak.

Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di sini adalah penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang lebih lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif hanya satu bagian dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk karena penggabungan arti dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang meloncat dari kekosongan, yang ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi makna konotatif tercipta karena pembelokan dari makna denotatifnya. Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski tidak jelas lagi. Dari situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.

Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif interpretasi (interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif. Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan tanda baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang bermakna denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif karena dibelokkan oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak mungkin berdiri sendiri. Maka biasanya dalam konotasi formal (di luar puisi) makna ini terbentuk lebih dari satu kata, minimal ia adalah kata majemuk, seperti kambing hitam, panjang tangan, kuda hitam, besar mulut, lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau kalimat konotatif sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk denotatif, maka kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan kalimat saja, ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa berdiri sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya. Artinya, ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga bangsa, bunga bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat, (1) “Bunga Bank itu disiram setiap hari sehingga terlihat segar (maksudnya bunga di taman sebuah bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik peminjamnya (bunga sebagai makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh pertama terlihat janggal karena makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna denotatif.

Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu berawal. Kata secara individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu bertemu kata yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya adalah karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah) tapi ia memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan arti di sini seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak bisa mengatakan tidak ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan secangkir gula dalam air teh. Gula itu meresap sehingga tidak perlu disebutkan lagi sebagai secangkir gula dalam air teh. Namun ia juga tidak bisa disangkal jika ada di dalam teh tersebut meski dikatakan secangkir teh. Begitulah makna konotatif itu terbentuk karena peleburan makna denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya sehingga tidak terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik tolak pembelokan arti.

2.      Percabangan Arti (affiliating of meaning)

Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (distorting of meaning) mengenai ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable). Tetapi di sana tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana ambiguitas itu menghasilkan makna ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada penyimpangan arti, bukan khusus pada percabangan arti yang saya maksud. Makna ganda yang dimaksudkan Riffattere adalah hasil penyimpangan dari makna seharusnya secara definitif. Di sini, percabangan arti adalah hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud Riffattere tersebut. Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan lebih dari satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak benar-benar merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang dikiaskan tidak sejajar dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang dihasilkan bercabang pula sesuai subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini pemaknaan secara menyeluruh akan bergantung pada ide pokok atau jalur yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut. Jika dalam puisi ada kalimat konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang jelas, maka di sanalah percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah sesuai jalur yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan subyek-subyek berbeda.

Ada jenis kata yang secara definitif memang mengandung beberapa pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami melahirkan makna ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti “mampu,” dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati, kata itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata bisa dijadikan kata benda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja, misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti mampu atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti ini sebenarnya tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai satu kata tanpa kaitan dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari pengertian karena makna ganda tadi meniadakan satu dengan lainnya ketika tidak ada kepentingan kalimat. Dalam bahasa praktis, definisi harus diberikan pada kata dengan makna ganda seperti ini, tapi hal itu tidak logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata dengan makna ganda tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna saat ia berdiri sendiri.

Dalam puisi, makna ganda tersebut tidak terbentuk secara alami sebagaimana kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena kepentingan-kepentingan kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat ini bisa terjadi begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi dalam bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang berbeda.

3.      Konkretisasi Arti (concreting of meaning)

Jika kata pembentuk makna konotasi adalah kata konkret, misalnya kata salju, maka makna yang dihasilkan oleh diksi tersebut selalu membawa sifat denotatifnya secara konkret pula. Yaitu sifat-sifat yang diambil dari definisi atau kesepakatan penafsiran dari makna konotatif yang dihasilkannya seperti dingin, beku, putih, asing, ketiadaan harapan. Makna seperti ini tidak rusak, berganti, atau tercipta yang baru seperti tesis Riffattere. Tapi ia adalah makna konotatif yang bersifat opresif seperti makna denotatif. Ia bermakna tetap meski digabungkan sebagai kata majemuk atau bertemu subyek yang lain. Salju sebagai kata konkret itu selalu membawa identitasnya ke manapun ia berada.

Mungkin sekali menjadikan salju sebagai gambaran sebaliknya, misalnya dengan membelokkan sudut pandang. Tetapi puisi dengan watak yang dimilikinya memanfaatkan piranti bahasa secara maksimal. Kata bahkan tanda baca didaya-gunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu tidak saja dari bentuk makna konotatif atau denotatif, kata yang muncul pertama kali sebagai identifikasi entitas di dunia juga menjadi perlambangan konkret ketika difungsikan dalam komunikasi. Ia bukan sistem fisik atau mental dari kata, tapi kesan yang dimiliki kata tersebut. Ia bukan nilai arti secara deskriptif atau metaforis, namun keberhubungan sistem-sistem arti tadi. Dan kata jenis ini menjadi penggerak dari pemaknan sehingga

4.      Keberlangsungan Arti yang Terus-menerus (enduring of meaning: continually)

Pada pola-pola khusus, misalnya puisi pendek yang cenderung padat dan berkadar efesiensi maksimal, makna yang dihasilkan tidak berhenti pada kehendak penciptaan teks ke dua (penafsiran). Minimnya kode bahasa membuat pemaknaan tidak akan pernah final jika hanya didasarkan makna asli dari kode bahasa yang ada itu. Maka kata-kata yang padat itu selalu membutuhkan teks lanjutan yang tidak eksis dalam bentuk fisik dalam puisi. Ia adalah serupa bola bekel yang terus bergerak dalam mesin pengocok.

Pada puisi panjang, kode bahasa memaksa pemaknaan untuk tunduk pada jalur-jalur pemaknaan yang terbentuk. Penafsir hanya tinggal memilih satu jalur paling logis yang didukung oleh kode bahasa terbanyak. Sedangkan puisi pendek tidak memiliki hall itu. Keterkaitan penafsiran pada puisi pendek hanya bergantung pada petunjuk-petunjuk pokok. Misalnya puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya memiliki satu baris kalimat sebagai tubuh puisi, “Bulan di atas kuburan.” Pemaknaan paling mungkin atas puisi itu adalah mengaitkan judul dengan sebaris kalimat sebagai tubuh puisi. Di sini yang berkorelasi bukan makna yang secara an sich berasal dari kode bahasa, tapi kontradiksi suasana yang dibangun dalam puisi. “Malam lebaran” identik dengan luapan perasaan bahagia, malam pesta, malam kemenangan. Tetapi suasana yang dibentuk itu kontras dengan “bulan di atas kuburan” yang memunculkan susana sedih, takut, sepi, kehilangan, ketiadaaan harapan. Kontradiksi ini yang paling mungkin menghasilkan pemaknaan, tapi bukan yang paling pasti karena ketiadaan dukungan kode bahasa yang lain.

Hal demikianlah yang membuat pemaknaan dalam puisi pendek tidak pernah final. Ia terus mengalirkan pemaknaan secara berkekalan. Itu disebabkan karena beberapa hal: 1. Minimnya kode bahasa sehingga terus membuka celah-celah pemaknaan. 2. Ketergantungan pemaknaan atas masuknya data-data intertekstualitas. 3. Tidak adanya ikatan yang jelas antara satu penanda dengan penanda lain. 4. Subyektifitas penafsir tidak memiliki patokan terstruktur dalam pemaknaan.

Kesimpulan

Premis di atas itu sekilas mirip dengan tesis Riffattere, basis analisa yang sama memungkinkan premis-premis tersebut berseluk-beluk. Namun fokus pembicaraan antara dua premis itu sebenarnya tidak sama. Secara garis besar ketidaklangsungan ekspresi yang muncul dalam karya sastra, khususnya puisi memang sudah disebutkan dengan tiga premis Riffattere, hanya saja ada bagian-bagian lain yang tidak disoroti dengan detail. Artinya, premis itu tidak mengupas habis dalam setiap model yang ada. Sintesis yang dihasilkan atas pertemuan dua tesis di atas terbuka kemungkinan untuk terus berkembang. Fenomena yang terjadi dalam puisi tidak memiliki titik akhir. Selalu ada gejala-gejala baru, temuan-temuan baru yang membuat orientasi terhadap puisi mengalami pergerakan. Seperti halnya kejadian secara umum dinamika hidup di dunia ini memang tidak berhenti pada satu titik. Selalu ada kebaruan-kebaruan lain yang muncul seiring bergesernya jaman.

Fakta yang paling pokok dalam puisi adalah mengenai adanya pembelokan pemaknaan yang disebut Riffattere sebagai ketidaklangsungan ekspresi. Puisi menempuh jalur berbeda dibanding komunikasi formal, hal ini diistilahkan dengan menyebut ini menghendaki itu. Sistesis yang terwujud ini bukan berasal dari penyangkalan mutlak. Dari segi proses pengamatan dan pengambilan sudut pandang memang ada perbedaan prinsip, yakni ada perbedaan pandangan mengenai proses munculnya makna konotasi dalam puisi. Konotasi yang ada dalam puisi menurut Riffattere memerlukan peran interpretator, sebagaimana keyakinan Charles Sanders Peirce mengenai semiotika secara umum. Keberadaan makna itu tidak nyata kecuali diciptakan dengan interpretasi. Menurut saya, makna itu secara an sich sudah ada di dalamnya. Ia terbentuk sedemikian rupa karena kata berdekatan dengan kata yang lain, penanda berhubungan dengan penanda yang lain. Makna itu muncul karena kehendak kepentingan kalimat dan ide pokok dalam puisi. Peran interpretator adalah membuka selubungnya, menguak yang terpendam di dalamnya, tetapi ia telah ada dan interpretator hanya menemukan yang tergeletak di sana, bukan sedang menciptakannya dari kekosongan.

*****

Kajitow El-kayeni
Filsuf, tinggal di pinggiran Jakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar