Ancang-ancang
Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah
sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi.
Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak,
berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas perpaduan beberapa
hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari
beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang
saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga
terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah
selaras sehingga melengkapi.
Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran.
Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil
pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman
kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada
pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan
temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung
berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian
rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu
cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa
ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan
kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat
begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang
tergeletak.
Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam
artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah
digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang
sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland
Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda
(Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan
premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis
yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra.
Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa
menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang
telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin
penting yang membentuk hal itu, yakni:
1.
Penggantian arti (displacing of meaning)
Unsur atau sebab yang menghasilkan
ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer
(denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di
sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan berdiri bersama, bukan
eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti.
Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya
penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.
2.
Penyimpangan atau perusakan arti (distorting of meaning)
Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang
terwujud dalam puisi adalah hasil dari
perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan
pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut,
dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh
kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya
sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu, dia tidak menyebut secara
definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada
penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut
Riffattere ini dikarenakan tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi dan
nonsense.
3.
Penciptaan arti (creating of meaning)
Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab
penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu
tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere
memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna
itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan
makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta, seperti yang
dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homoloque dan tipografi.
Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi
yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri
sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang
dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya,
penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan
oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan
kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah
terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi
merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil
makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global.
Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya.
Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran
interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk
sesuai kepentingan kalimat.
Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak
menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil
akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai
proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam
puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi
formal). Makna itu ada secara an sich
di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu
pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi
di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung
sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).
Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis
lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam
puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni
membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses
terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya:
penggabungan arti (consolidating of
meaning), percabangan arti (affiliating
of meaning), konkretisasi arti (concreting
of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).
1. Penggabungan Arti (consolidating of meaning)
Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti
tesis Roland Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagian sifat dari makna
denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna konotatif
dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam komunikasi formal,
makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala Barthes. Ia memiliki arti
tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural penuturnya. Konotatif formal
terbentuk karena pengiasan yang berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika
seseorang mengatakan “kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk
kambing hitam itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali
digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu secara
tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul darinya. Meskipun sebenarnya
ada cara lain, penggalian makna konotatif formal bisa dikembalikan pada
sebagian sifat denotatifnya. Hal itu mempertimbangkan makna denotatif sebagai
makna primer. Sebelum manusia mengenal makna skunder, secara logis ia
menggunakan makna primer untuk berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan
tertentu, seperti memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda,
keperluan retorika, maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal
sastra, makna skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih
tinggi dibanding makna primer.
Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah
sebuah definisi bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus, meski
mungkin bukan dia pelakunya. Dilihat dari segi aplikasi logisnya, kambing hitam
cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini memungkinkannya untuk
berdiri sebagai the other, liyan, ia adalah sosok khusus yang
dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga mengandung pengertian sebagai
konotasi dari warna hitam yang sering dijadikan oposit dari simbolisasi warna
putih. Lalu kenapa kambing? Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda
hitam? Atau ayam hitam? Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan
semakin membuat kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan.
Tetapi berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna
konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka pemaknaan
dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya, bukan sebagai
perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu juga dengan “kuda
hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal ini terkait juga dengan
sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan. Untuk menghasilkan pengertian secara
lengkap tentu ia merujuk pada studi filologi dan kesepakatan sosial-kulturalnya,
dan itu adalah langkah yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan
sampel dengan ribuan variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa
generasi untuk sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah
kebahasaan. Dan ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk
menghadirkan bukti-bukti empiris kelak.
Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di
sini adalah penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena
kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang lebih
lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif hanya satu bagian
dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk karena penggabungan arti
dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang meloncat dari kekosongan, yang
ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi makna konotatif tercipta karena
pembelokan dari makna denotatifnya. Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski
tidak jelas lagi. Dari situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.
Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif
interpretasi (interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika
dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif.
Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan tanda
baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang bermakna
denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif karena dibelokkan
oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak mungkin berdiri sendiri. Maka
biasanya dalam konotasi formal (di luar puisi) makna ini terbentuk lebih dari
satu kata, minimal ia adalah kata majemuk, seperti kambing hitam, panjang
tangan, kuda hitam, besar mulut, lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau
kalimat konotatif sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk
denotatif, maka kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan
kalimat saja, ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa
berdiri sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata
atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid
meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya. Artinya,
ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga bangsa, bunga
bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat, (1) “Bunga Bank itu
disiram setiap hari sehingga terlihat segar (maksudnya bunga di taman sebuah
bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik
peminjamnya (bunga sebagai makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh
pertama terlihat janggal karena makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang
solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna
denotatif.
Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu
berawal. Kata secara individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu
bertemu kata yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya
adalah karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di
sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah) tapi ia
memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan arti di sini
seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak bisa mengatakan tidak
ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan secangkir gula dalam air teh.
Gula itu meresap sehingga tidak perlu disebutkan lagi sebagai secangkir gula
dalam air teh. Namun ia juga tidak bisa disangkal jika ada di dalam teh
tersebut meski dikatakan secangkir teh. Begitulah makna konotatif itu terbentuk
karena peleburan makna denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya
sehingga tidak terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik
tolak pembelokan arti.
2. Percabangan Arti (affiliating of meaning)
Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (distorting of meaning) mengenai
ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable). Tetapi di sana
tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana ambiguitas itu menghasilkan makna
ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada penyimpangan arti, bukan
khusus pada percabangan arti yang saya maksud. Makna ganda yang dimaksudkan
Riffattere adalah hasil penyimpangan dari makna seharusnya secara definitif. Di
sini, percabangan arti adalah hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud
Riffattere tersebut. Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan
lebih dari satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak
dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak benar-benar
merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang dikiaskan tidak sejajar
dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang dihasilkan bercabang pula sesuai
subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini pemaknaan secara menyeluruh akan
bergantung pada ide pokok atau jalur yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut.
Jika dalam puisi ada kalimat konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang
jelas, maka di sanalah percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah
sesuai jalur yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan
subyek-subyek berbeda.
Ada jenis kata yang secara definitif memang
mengandung beberapa pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami
melahirkan makna ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti
“mampu,” dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati,
kata itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata
bisa dijadikan kata benda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia
bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja,
misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti mampu
atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti ini sebenarnya
tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai satu kata tanpa kaitan
dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari pengertian karena makna ganda tadi
meniadakan satu dengan lainnya ketika tidak ada kepentingan kalimat. Dalam
bahasa praktis, definisi harus diberikan pada kata dengan makna ganda seperti
ini, tapi hal itu tidak logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata
dengan makna ganda tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna
saat ia berdiri sendiri.
Dalam puisi, makna ganda tersebut tidak terbentuk
secara alami sebagaimana kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena
kepentingan-kepentingan kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat
ini bisa terjadi begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi
dalam bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang
berbeda.
3. Konkretisasi Arti (concreting of meaning)
Jika kata pembentuk makna konotasi adalah kata
konkret, misalnya kata salju, maka makna yang dihasilkan oleh diksi tersebut
selalu membawa sifat denotatifnya secara konkret pula. Yaitu sifat-sifat yang
diambil dari definisi atau kesepakatan penafsiran dari makna konotatif yang
dihasilkannya seperti dingin, beku, putih, asing, ketiadaan harapan. Makna seperti
ini tidak rusak, berganti, atau tercipta yang baru seperti tesis Riffattere.
Tapi ia adalah makna konotatif yang bersifat opresif seperti makna denotatif.
Ia bermakna tetap meski digabungkan sebagai kata majemuk atau bertemu subyek
yang lain. Salju sebagai kata konkret itu selalu membawa identitasnya ke
manapun ia berada.
Mungkin sekali menjadikan salju sebagai gambaran
sebaliknya, misalnya dengan membelokkan sudut pandang. Tetapi puisi dengan
watak yang dimilikinya memanfaatkan piranti bahasa secara maksimal. Kata bahkan
tanda baca didaya-gunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu tidak saja dari
bentuk makna konotatif atau denotatif, kata yang muncul pertama kali sebagai
identifikasi entitas di dunia juga menjadi perlambangan konkret ketika
difungsikan dalam komunikasi. Ia bukan sistem fisik atau mental dari kata, tapi
kesan yang dimiliki kata tersebut. Ia bukan nilai arti secara deskriptif atau
metaforis, namun keberhubungan sistem-sistem arti tadi. Dan kata jenis ini
menjadi penggerak dari pemaknan sehingga
4. Keberlangsungan Arti yang
Terus-menerus (enduring of meaning: continually)
Pada pola-pola khusus, misalnya puisi pendek yang
cenderung padat dan berkadar efesiensi maksimal, makna yang dihasilkan tidak
berhenti pada kehendak penciptaan teks ke dua (penafsiran). Minimnya kode
bahasa membuat pemaknaan tidak akan pernah final jika hanya didasarkan makna
asli dari kode bahasa yang ada itu. Maka kata-kata yang padat itu selalu
membutuhkan teks lanjutan yang tidak eksis dalam bentuk fisik dalam puisi. Ia
adalah serupa bola bekel yang terus bergerak dalam mesin pengocok.
Pada puisi panjang, kode bahasa memaksa pemaknaan
untuk tunduk pada jalur-jalur pemaknaan yang terbentuk. Penafsir hanya tinggal
memilih satu jalur paling logis yang didukung oleh kode bahasa terbanyak.
Sedangkan puisi pendek tidak memiliki hall itu. Keterkaitan penafsiran pada
puisi pendek hanya bergantung pada petunjuk-petunjuk pokok. Misalnya puisi
Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya memiliki satu baris
kalimat sebagai tubuh puisi, “Bulan di atas kuburan.” Pemaknaan paling mungkin
atas puisi itu adalah mengaitkan judul dengan sebaris kalimat sebagai tubuh
puisi. Di sini yang berkorelasi bukan makna yang secara an sich berasal dari
kode bahasa, tapi kontradiksi suasana yang dibangun dalam puisi. “Malam lebaran”
identik dengan luapan perasaan bahagia, malam pesta, malam kemenangan. Tetapi
suasana yang dibentuk itu kontras dengan “bulan di atas kuburan” yang
memunculkan susana sedih, takut, sepi, kehilangan, ketiadaaan harapan.
Kontradiksi ini yang paling mungkin menghasilkan pemaknaan, tapi bukan yang
paling pasti karena ketiadaan dukungan kode bahasa yang lain.
Hal demikianlah yang membuat pemaknaan dalam puisi
pendek tidak pernah final. Ia terus mengalirkan pemaknaan secara berkekalan.
Itu disebabkan karena beberapa hal: 1. Minimnya kode bahasa sehingga terus
membuka celah-celah pemaknaan. 2. Ketergantungan pemaknaan atas masuknya
data-data intertekstualitas. 3. Tidak adanya ikatan yang jelas antara satu
penanda dengan penanda lain. 4. Subyektifitas penafsir tidak memiliki patokan
terstruktur dalam pemaknaan.
Kesimpulan
Premis di atas itu sekilas mirip dengan tesis
Riffattere, basis analisa yang sama memungkinkan premis-premis tersebut
berseluk-beluk. Namun fokus pembicaraan antara dua premis itu sebenarnya tidak
sama. Secara garis besar ketidaklangsungan ekspresi yang muncul dalam karya
sastra, khususnya puisi memang sudah disebutkan dengan tiga premis Riffattere,
hanya saja ada bagian-bagian lain yang tidak disoroti dengan detail. Artinya,
premis itu tidak mengupas habis dalam setiap model yang ada. Sintesis yang
dihasilkan atas pertemuan dua tesis di atas terbuka kemungkinan untuk terus
berkembang. Fenomena yang terjadi dalam puisi tidak memiliki titik akhir.
Selalu ada gejala-gejala baru, temuan-temuan baru yang membuat orientasi
terhadap puisi mengalami pergerakan. Seperti halnya kejadian secara umum
dinamika hidup di dunia ini memang tidak berhenti pada satu titik. Selalu ada
kebaruan-kebaruan lain yang muncul seiring bergesernya jaman.
Fakta yang paling pokok dalam puisi adalah mengenai
adanya pembelokan pemaknaan yang disebut Riffattere sebagai ketidaklangsungan
ekspresi. Puisi menempuh jalur berbeda dibanding komunikasi formal, hal ini
diistilahkan dengan menyebut ini menghendaki itu. Sistesis yang terwujud ini
bukan berasal dari penyangkalan mutlak. Dari segi proses pengamatan dan
pengambilan sudut pandang memang ada perbedaan prinsip, yakni ada perbedaan
pandangan mengenai proses munculnya makna konotasi dalam puisi. Konotasi yang
ada dalam puisi menurut Riffattere memerlukan peran interpretator, sebagaimana
keyakinan Charles Sanders Peirce mengenai semiotika secara umum. Keberadaan
makna itu tidak nyata kecuali diciptakan dengan interpretasi. Menurut saya,
makna itu secara an sich sudah ada di
dalamnya. Ia terbentuk sedemikian rupa karena kata berdekatan dengan kata yang
lain, penanda berhubungan dengan penanda yang lain. Makna itu muncul karena
kehendak kepentingan kalimat dan ide pokok dalam puisi. Peran interpretator
adalah membuka selubungnya, menguak yang terpendam di dalamnya, tetapi ia telah
ada dan interpretator hanya menemukan yang tergeletak di sana, bukan sedang menciptakannya
dari kekosongan.
*****
Kajitow El-kayeni
Filsuf,
tinggal di pinggiran Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar