(Makna
Metaforikal Dari Segi Nilai Intrinsiknya)
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, puisi
memiliki peraturan sendiri dalam hal kebahasaan. Kata yang terbentuk dalam
dunia ide tidak dapat dikendalikan. Ia memang mengait dengan sendirinya seperti
cetak biru yang direspon oleh pikiran. Maka yang bisa dianalisa dari puisi
adalah bentuk teks tadi. Proses sebelum menjadi puisi itu tidak dapat dijangkau
oleh penalaran atau sistem-sistem teori. Di sinilah kerja penyair dipertanyakan
kemandiriannya. Proses dari dunia ide itu tidak bisa dituntun, jika pun ada
teori-teori tertentu itu berdasarkan teks sesudah puisi berwujud. Atau
teori-teori itu berdasarkan pengalaman seseorang dalam menulis puisi, padahal
setiap orang memiliki pola pemikiran dan jalur-jalur perwujudan ide yang
berbeda. Jauh sebelum puisi menjadi bentuk teks, ia merupakan abstraksi dunia
batin yang tak terjangkau oleh bahasa dan pikiran.
Perwujudan dari bentuk ide (yang awalnya abstrak)
menjadi bentuk kongkret yakni bahasa, pada dasarnya tidak terlacak baik oleh
Psikoanalisa Freud sekalipun. Karena sehebat apa pun psikolog hanya membaca
gejala, dalam hal ini sesudah ia berbentuk teks. Jika A.Ganjar Sudibyo dalam
“PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA
(SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF YANG SINGKAT)” hendak menganalisa
struktur ide ini dalam bentuk abstraknya, itu adalah perbuatan sia-sia. Tetapi
jika yang dianalisa dalam esai itu adalah ide sesudah ia menubuh dalam bahasa,
ide yang tersimpan dalam bentuk teksnya, ide yang hendak dibongkar oleh filsuf
dan psikolog (seperti yang terbaca dari catatan kaki esai tersebut), maka hal
itu tentu saja bisa diperas dari sintak-semantiknya. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai puisi sejatinya membicarakan puisi sesudah ia mengada.
Puisi yang telah terwujud dalam bentuk teks ini awalnya mungkin hanya satu
lesatan ide, kemudian ia berkembang dan mengucur melalui medium bahasa. Puisi
dalam bentuk teks inilah yang mampu dijangkau oleh pikiran, yang mampu
dikaitkan dengan logika. Sehingga perlu dipisahkan puisi dalam bentuk proses
(ide abstrak) dan puisi dalam bentuk teks terlebih dahulu untuk membicarakan
puisi.
Seperti yang telah dibicarakan pada “Logika dalam
Puisi 1,” puisi yang dijadikan pembedahan adalah puisi realis yang jelas
berkaitan erat dengan logika bahasa. Struktur pembentuk metafora dalam puisi
adalah bahasa yang juga dimengerti oleh manusia. Bahasa di sana memang telah
mengalami pergeseran pengertian. Awalnya makna yang terkandung dalam kalimat
yang membentuk puisi itu denotatif, namun begitu kata yang menyusun kalimat itu
bertemu dengan kata yang membelokkan makna awalnya, maka kalimat itu berubah
bentuk pengertian menjadi makna konotatif. Di sini perlu digaris-bawahi, yang
saya kehendaki dari makna konotatif di sini adalah makna yang terbentuk akibat
kepentingan kalimat. Kata penyusun kalimat itu sebenarnya bermakna denotatif,
tapi karena dia bertemu kata yang lain sehingga kata pertama tadi berbelok
maknanya. Kepentingan kalimat ini memaksa makna kata awal mengikuti makna yang
dikehendaki oleh kata selanjutnya. Misalnya saat mengatakan, “bulan pecah di
pelataran.” Kalimat tersebut bermakna konotatif, yakni cahaya bulan melimpah di
pelataran, atau bulan itu bercahaya terang sehingga membuat pelataran terang.
Kata bulan bermakna denotatif sebagai benda langit, kemudian saat bertemu kata
"pecah," bulan tadi bergeser pada pengertian lain, yakni yang pecah
bukan bulan itu, tapi bagian dari bulan tersebut yakni cahayanya, dalam hal ini
cahaya bulan dikatakan pecah karena ia menyebar seperti benda yang pecah.
Dalam contoh lain misalnya “bulan merindu.” Kalimat
ini juga telah bergeser dari pemaknaan denotatif. Bulan di sini telah berubah
menjadi subyek pengkias dari obyek (subyek sebenarnya) yang bersembunyi dalam
diri bulan. Kerja kiasanya merindu, yang jika ditarik dari makna denotatif hal
itu sulit terjadi, karena merindu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan manusia.
Maka “merindu" di sana telah berubah menjadi makna konotatif. Contoh ini
dalam kalimat lain bisa bergeser menjadi bentuk personifikasi lengkap. Misalnya
“bulan di langit merindu gelap.” Bulan diserupakan manusia yang merindukan
gelap agar bulan tadi bisa bercahaya terang. Bisa juga ditafsirkan berbeda,
sesuai makna yang dikehendaki puisi dalam bentuk utuh.
Metafora adalah salah satu majas yang berfungsi
untuk mengungkapkan secara langsung dengan perbandingan analogis. Metafora atau
acapkali disebut metafor juga bisa dimaknai secara umum (bahasa) yakni sebagai
kiasan saja. Seperti yang sudah dikenal secara luas, metafor bisa digunakan
dalam ranah sastra atau dalam percakapan sehari-hari. Pada pembicaraan umum,
tentu saja metafor yang digunakan juga bersifat umum, atau memiliki makna yang
bisa ditangkap secara jelas. Ini adalah fungsi bahasa secara luas. Seperti yang
pernah dicontohkan oleh Hudan Hidayat, (yang kurang lebih berbunyi) seseorang
mengatakan pada temannya dalam sebuah percakapan, “Ah, malam sudah larut
kawan.” Ucapan tadi adalah sebuah kiasan dari maksud sebenarnya untuk menyudahi
permbicaraan dan segera tidur. Apalagi jika itu dikuatkan dengan bahasa tubuh,
seperti menggeliat atau menguap.
Begitulah manusia menggunakan metafor dalam bahasa
sehari-hari. Manusia secara alami membentuk sistem bahasa seperti demikian
untuk menyamarkan maksud agar terasa lebih halus. Hal ini tentu saja didasari
kesadaran dan kepahaman secara kultural oleh lawan bicara. Ini yang dimaksud
oleh Barthes dengan makna konotasi yang disebutnya ”Mitos” itu. Meski seperti
yang dulu saya katakan, konotasi semacam itu tertutup sifatnya dan memiliki
makna khusus yang sudah jelas bagai kelompok masyarakat tertentu. Dan makna
semacam ini mengalami kebuntuan saat diterapkan pada metafor dalam puisi.
Karena makna konotatif dalam puisi itu terbentuk berdasarkan kepentingan
kalimat, kepentingan kalimat itu terkait dengan kepentingan tema. Dalam puisi,
metafor menjadi majas yang memiliki kriteria berdasarkan keumumannya. Kriteria
ini untuk memberikan definisi agar tidak bercampur dengan definisi majas lain.
Juga demi mendapatkan fungsi yang tepat guna.
Sebuah metafor adalah tubuh bayangan. Di samping
bentuk fisik yang seimbang dalam struktur kerja kiasnya, metafor juga terwujud
berdasarkan kepentingan tema. Artinya ide (yang entah bagaimana bentuknya dalam
dunianya sana) itu memerlukan bahasa kias untuk mewujudkan dirinya. Maka ide
besar yang terbagi ke dalam sub-sub ide ini juga harus memiliki fokus pekerjaan
sebagai metafor, bukan memiliki fungsi lain. Meskipun sebuah metafor itu bisa
dibentuk dari majas lain. Misalnya personifikasi dijadikan metafor, "Malam
ini rembulan menangis tersedu." Bentuk majasnya personifikasi tapi
fungsinya sebagai metafor , jika dalam struktur puisi ia memang berfungsi
sebagai metafor. Dengan begitu metafor itu sebenarnya tidak dalam bentuk
berdiri sendiri saja. Bentuk-bentuk lain bisa diadopsi dan memiliki fungsi sama
yaitu sebagai metafor. Sub-sub ide dalam setiap baris itu menyatu dengan ide
pokok. Metafor, meskipun ia bukanlah sebentuk struktur yang solid, tapi ia
memiliki fungsi yang solid yakni sebagai metafor.
Seperti yang dulu pernah saya katakan (pada Logika Dalam
Puisi 1), metafor berfungsi untuk mengaburkan maksud atau untuk tidak
menyederhanakan maksud. Sesuai dengan kebiasaan puisi menunjuk ini menghendaki
itu. Namun satu hal yang perlu dipegang teguh oleh penyair adalah masalah
fokus. Penyair harus berpusat pada ide yang hendak ditunjukkannya dalam
pengkiasan itu, ide yang memunculkan metafor tadi, yang berfungsi untuk
mengiaskan tubuh pokok. Dan itu yang harus difungsikan dengan benar. Jika
metafor ya metafor, jika subyek itu dibentuk sebagai majas personifikasi ya
harus begitu seluruhnya tubuh puisi di bangun. Puisi sesungguhnya hanyalah
perwujudan sebuah ide. Hal ini kemudian terbagi menjadi sub-sub ide, baik per kalimat,
per baris, per bait, hingga menjadi satu puisi yang utuh dengan satu ide besar.
Fokus seorang penyair (berdasarkan kecenderungan teks) harus bertumpu pada ide
atau tema tadi. Karena hal itulah yang membuat larik-larik dalam puisi koheren.
Dilihat dari bentuk fisik, metafor memiliki struktur
dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan unsur-unsur tadi sangat menentukan
tersampainya pesan yang disamarkan. Puisi, sejauh apa pun dia bergerak tetaplah
bagian dari sastra, yang memiliki tujuan jelas hendak menyampaikan pesan dengan
sistem yang unik. Maka dengan sendirinya, secara logis puisi memiliki struktur
yang dapat dianalisa, kemudian diberikan penilaian berdasarkan sistem penilaian
yang sudah diamini dalam konvensi. Pada awalnya, penilaian itu bisa dilakukan
dengan metode perbandingan. Dua buah puisi dengan tema dan gaya yang sama
disejajarkan untuk membandingkan kelebihannya. Nilai tadi tentu tidak dapat
diukur berdasrkan kadarnya, tetapi dengan perbandingan tadi otomatis akan
dihasilkan penilaian terhadap puisi yang berhasil. Penilaian seperti itu tentu
saja mempertimbangkan unsur-unsur penilaian, juga faktor lain yang berkaitan
dalam studi sastra secara luas. Dan itu tentu saja berkaitan dengan sejarah
sastra, karena bahan perbandingan diambilkan dari dokumentasi karya yang
dinilai berhasil berdasarkan unsur-unsur penilaian tadi.
Unsur-unsur yang dinilai pada puisi berdasarkan
berbagai ukuran, tolok ukur, dan kriteria di antaranya: (1) koherensi atau
keselarasan, (2) keseimbangan bentuk atau keindahan, (3) kepaduan pada tema,
(4) keutuhan atau tunggal, (5) pengucapan yang khas, (6) kebaruan atau inovasi
(7) efesiensi, (8) keunikan sudut pandang, (9) lapis metafisis seperti sublim,
tragis, suci (10) sinar kejelasan, (11) keaslian ekspresi atau originalitas,
(12) baik yakni sugesti yang mendorong untuk mengikutinya, (13) pengalaman
jiwa, (14) keluasan wawasan, (15) nilai rasa, (16) sikap moral, (17) gambaran
kenyataan. Nilai-nilai yang saya sebutkan ini dalam prakteknya hanya ditumpukan
beberapa saja dalam sebuah apresiasi. Hal itu semata untuk menghasilkan
keindahan yang terlihat jelas saat dilakukan perbandingan. Tidak tertutup
kemungkinan masih banyak nilai-nilai lain, berhubung fokus kali ini mengenai
metafor, maka penjabaran mengenai nilai itu ada pada kesempatan lain.
Oleh karena puisi memiliki struktur untuk dinilai,
maka unsur-unsur di dalamnya bisa dipecah kemudian dilakukan penilaian. Pada
pembahasan awal (Logika dalam Puisi, 1), puisi dilihat dari peranan unsurnya
terbagi dua unsur yakni (1) tema dan (2) sistem uniknya. Tetapi kali ini
pendekatan akan dilakukan dari sudut pandang yang lain, puisi dipandang sebagai
entitas, sebuah wujud benda yakni teks. Maka dengan begitu puisi terbagi
menjadi unsur luar yakni teks dan unsur dalaman (intrinsik). Unsur teks dikhususkan
pada pembahasan metafora dalam puisi untuk kajian struktur metaforikal
terdahulu yang membagi struktur subyek pengias, obyek yang dikiaskan, kerja
kias. Metafor dilihat dari nilai intrinsiknya bertumpu pada:
1.
Keterkaitan ide dalam metafor itu dengan
ide pokok puisi.
Sebuah puisi adalah perwujudan ide. Maka seluruh
kode bahasa yang muncul adalah bertujuan untuk menjabarkan ide tersebut.
Misalnya seseorang yang tiba-tiba merasakan kerinduan pada kekasihnya, lalu ia
mengiaskan rindu itu dengan kiasan “bulan di pelataran malam yang sunyi tak
bertepi.” Bulan di sana mewakili kerinduan yang dialami seseorang. Begitu juga
dengan keadaan yang sunyi tadi berfungsi untuk menguatkan penggambaran.
Begitulah seluruh kekuatan kode bahasa itu dimunculkan demi menyampaikan pesan
kepada pembaca. Puisi yang baik bukan yang gelap sepenuhnya atau yang terang
sepenuhnya, tapi ia bermain di daerah antara. Bisa jadi ia mengusung diksi
sederhana, tapi selalu ia memiliki jalan berputar untuk dimengerti. Bisa jadi
ia rumit, tapi kerumitan itu mengarah pada pengertian. Ia tetap memberikan
petunjuk kode bahasa yang bisa dikaitkan dengan kode lain yang muncul dalam
puisi, sehingga lahirlah pemaknaan yang terstruktur.
“Bulan” tadi telah mewakili kerinduan, ketika
seseorang ingin melebarkan lagi, misalnya menyebut “Pungguk ini meratap, namun
kata tak sampai bunyi.” Kalimat ini membangun penggambaran sebelumnya sehingga
ada ikatan dengan ide dalam puisi. Penggambaran ke dua sejalan dengan
fungsi-fungsi yang ada. Jika satu subyek, sebut saja "kau lirik" yang
dikiaskan dengan bulan, maka subyek lain katakan "aku lirik"
dikiaskan dengan pungguk. Dan fungsi-fungsi ini terus berkaitan hingga
baris-baris selanjutnya jika ingin disambung lagi. Puisi dengan tubuh selebar
apa pun harus memiliki keterkaitan ini. Koherensi dengan ide pokok itu niscaya
sifatnya. Karena ia adalah titik tolak kata menyeret kata yang lain sehingga
lahirlah pemaknaan terhadapnya secara utuh.
2.
Fungsi metafor tersebut, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus
perkerjaannya.
Sebuah metafor harus memiliki fungsi yang jelas,
yakni metafor itu berfungsi sebagai metafor. Metafor itu tidak bercampur dengan
fungsi majas lain. Boleh jadi ia memang terbentuk dari majas lain, misalnya
personifikasi. Ia bisa menjadi metafora saat keperluan personifikasi tadi
dibatasi oleh kepentingan metafora.
Dengan catatan fungsi personifikasi di sini tidak bertentangan dengan
fungsinya sebagai metafora. Dalam puisi tertentu, sebuah personifikasi memang
membentuk puisi secara menyeluruh seperti membicarakan hewan yang diserupakan
dengan pekerjaan manusia. Maka fungsi personifikasi di sana secara untuh memang
sebagai personifikasi. Dalam puisi tertentu yang lain, personifikasi tadi
digunakan untuk melengkapi kiasan yakni dalam lingkup metafora. Ia digunakan
untuk mengiaskan subyek tertentu dalam puisi. Di sinilah metafora itu dituntut
untuk tetap fokus pada satu fungsi, yakni sebagai metafora saja. Jika sebuah
metafor memiliki fungsi lain, maka dia tidak koheren dengan kepentingan ide
dalam kalimat.
3.
Keselarasan dengan metafor lain.
Satu metafor dengan sendirinya akan berkaitan dengan
metafor lain. Jika satu dikiaskan sebagai bunga, subyek lain akan dikiaskan
sebagai kumbang atau hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Jika ada metafor
lanjutan dari pengiasan pokok ini, ia merupakan pelengkap. Artinya, satu
metafor dengan metafor lain saling terkait dan menguatkan. Keselarasan ini
hampir sama dengan poin pertama mengenai keterkaitan dengan ide pokok dalam
puisi. Perbedaannya hanya pada fokusnya. Jika ada beberapa metafor yang
melenceng jauh, maka dengan sendirinya ia tidak membangun puisi karena tidak
selaras.
Sama seperti yang dibicarakan dalam pembahasan
sebelumnya, unsur-unsur yang mengatur kelogisan metafor adalah kesebangunannya
atau kesimbangan dalam penggambaran. Hal ini terkait dengan salah satu unsur
keindahan yang mutlak dimiliki oleh puisi. Jika faktor kesebangunan ini
diabaikan, maka sebuah puisi belum memiliki kekuatan maksimal. Sesuai dengan
premis yang sudah umum mengenai, kebulatan, kesebangunan, efesiensi, sebuah
puisi dituntut untuk indah atau memberikan kenikmatan, mengajarkan moral yang
lebih tinggi, memiliki kejelasan atau ketepatan dalam wujud penyampaian. Premis
yang pertama kali diluncurkan oleh Plato, yang kemudian diamini oleh
filsuf-filsuf sesudahnya.
*****
*)
Metafor atau metafora yang saya maksud dalam tulisan ini sekaligus dalam dua
bentuk, sebagai majas dan sebagai kata benda yang berarti kiasan. Tergantung
topik yang dibicarakan dalam kalimat.
Kajitow
Elkayeni
Filsuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar