museum

Minggu, 02 Februari 2014

LOGIKA DALAM PUISI 2


(Makna Metaforikal Dari Segi Nilai Intrinsiknya)



Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, puisi memiliki peraturan sendiri dalam hal kebahasaan. Kata yang terbentuk dalam dunia ide tidak dapat dikendalikan. Ia memang mengait dengan sendirinya seperti cetak biru yang direspon oleh pikiran. Maka yang bisa dianalisa dari puisi adalah bentuk teks tadi. Proses sebelum menjadi puisi itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran atau sistem-sistem teori. Di sinilah kerja penyair dipertanyakan kemandiriannya. Proses dari dunia ide itu tidak bisa dituntun, jika pun ada teori-teori tertentu itu berdasarkan teks sesudah puisi berwujud. Atau teori-teori itu berdasarkan pengalaman seseorang dalam menulis puisi, padahal setiap orang memiliki pola pemikiran dan jalur-jalur perwujudan ide yang berbeda. Jauh sebelum puisi menjadi bentuk teks, ia merupakan abstraksi dunia batin yang tak terjangkau oleh bahasa dan pikiran.

Perwujudan dari bentuk ide (yang awalnya abstrak) menjadi bentuk kongkret yakni bahasa, pada dasarnya tidak terlacak baik oleh Psikoanalisa Freud sekalipun. Karena sehebat apa pun psikolog hanya membaca gejala, dalam hal ini sesudah ia berbentuk teks. Jika A.Ganjar Sudibyo dalam “PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA (SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF YANG SINGKAT)” hendak menganalisa struktur ide ini dalam bentuk abstraknya, itu adalah perbuatan sia-sia. Tetapi jika yang dianalisa dalam esai itu adalah ide sesudah ia menubuh dalam bahasa, ide yang tersimpan dalam bentuk teksnya, ide yang hendak dibongkar oleh filsuf dan psikolog (seperti yang terbaca dari catatan kaki esai tersebut), maka hal itu tentu saja bisa diperas dari sintak-semantiknya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai puisi sejatinya membicarakan puisi sesudah ia mengada. Puisi yang telah terwujud dalam bentuk teks ini awalnya mungkin hanya satu lesatan ide, kemudian ia berkembang dan mengucur melalui medium bahasa. Puisi dalam bentuk teks inilah yang mampu dijangkau oleh pikiran, yang mampu dikaitkan dengan logika. Sehingga perlu dipisahkan puisi dalam bentuk proses (ide abstrak) dan puisi dalam bentuk teks terlebih dahulu untuk membicarakan puisi.

Seperti yang telah dibicarakan pada “Logika dalam Puisi 1,” puisi yang dijadikan pembedahan adalah puisi realis yang jelas berkaitan erat dengan logika bahasa. Struktur pembentuk metafora dalam puisi adalah bahasa yang juga dimengerti oleh manusia. Bahasa di sana memang telah mengalami pergeseran pengertian. Awalnya makna yang terkandung dalam kalimat yang membentuk puisi itu denotatif, namun begitu kata yang menyusun kalimat itu bertemu dengan kata yang membelokkan makna awalnya, maka kalimat itu berubah bentuk pengertian menjadi makna konotatif. Di sini perlu digaris-bawahi, yang saya kehendaki dari makna konotatif di sini adalah makna yang terbentuk akibat kepentingan kalimat. Kata penyusun kalimat itu sebenarnya bermakna denotatif, tapi karena dia bertemu kata yang lain sehingga kata pertama tadi berbelok maknanya. Kepentingan kalimat ini memaksa makna kata awal mengikuti makna yang dikehendaki oleh kata selanjutnya. Misalnya saat mengatakan, “bulan pecah di pelataran.” Kalimat tersebut bermakna konotatif, yakni cahaya bulan melimpah di pelataran, atau bulan itu bercahaya terang sehingga membuat pelataran terang. Kata bulan bermakna denotatif sebagai benda langit, kemudian saat bertemu kata "pecah," bulan tadi bergeser pada pengertian lain, yakni yang pecah bukan bulan itu, tapi bagian dari bulan tersebut yakni cahayanya, dalam hal ini cahaya bulan dikatakan pecah karena ia menyebar seperti benda yang pecah.

Dalam contoh lain misalnya “bulan merindu.” Kalimat ini juga telah bergeser dari pemaknaan denotatif. Bulan di sini telah berubah menjadi subyek pengkias dari obyek (subyek sebenarnya) yang bersembunyi dalam diri bulan. Kerja kiasanya merindu, yang jika ditarik dari makna denotatif hal itu sulit terjadi, karena merindu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan manusia. Maka “merindu" di sana telah berubah menjadi makna konotatif. Contoh ini dalam kalimat lain bisa bergeser menjadi bentuk personifikasi lengkap. Misalnya “bulan di langit merindu gelap.” Bulan diserupakan manusia yang merindukan gelap agar bulan tadi bisa bercahaya terang. Bisa juga ditafsirkan berbeda, sesuai makna yang dikehendaki puisi dalam bentuk utuh.

Metafora adalah salah satu majas yang berfungsi untuk mengungkapkan secara langsung dengan perbandingan analogis. Metafora atau acapkali disebut metafor juga bisa dimaknai secara umum (bahasa) yakni sebagai kiasan saja. Seperti yang sudah dikenal secara luas, metafor bisa digunakan dalam ranah sastra atau dalam percakapan sehari-hari. Pada pembicaraan umum, tentu saja metafor yang digunakan juga bersifat umum, atau memiliki makna yang bisa ditangkap secara jelas. Ini adalah fungsi bahasa secara luas. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Hudan Hidayat, (yang kurang lebih berbunyi) seseorang mengatakan pada temannya dalam sebuah percakapan, “Ah, malam sudah larut kawan.” Ucapan tadi adalah sebuah kiasan dari maksud sebenarnya untuk menyudahi permbicaraan dan segera tidur. Apalagi jika itu dikuatkan dengan bahasa tubuh, seperti menggeliat atau menguap.

Begitulah manusia menggunakan metafor dalam bahasa sehari-hari. Manusia secara alami membentuk sistem bahasa seperti demikian untuk menyamarkan maksud agar terasa lebih halus. Hal ini tentu saja didasari kesadaran dan kepahaman secara kultural oleh lawan bicara. Ini yang dimaksud oleh Barthes dengan makna konotasi yang disebutnya ”Mitos” itu. Meski seperti yang dulu saya katakan, konotasi semacam itu tertutup sifatnya dan memiliki makna khusus yang sudah jelas bagai kelompok masyarakat tertentu. Dan makna semacam ini mengalami kebuntuan saat diterapkan pada metafor dalam puisi. Karena makna konotatif dalam puisi itu terbentuk berdasarkan kepentingan kalimat, kepentingan kalimat itu terkait dengan kepentingan tema. Dalam puisi, metafor menjadi majas yang memiliki kriteria berdasarkan keumumannya. Kriteria ini untuk memberikan definisi agar tidak bercampur dengan definisi majas lain. Juga demi mendapatkan fungsi yang tepat guna.

Sebuah metafor adalah tubuh bayangan. Di samping bentuk fisik yang seimbang dalam struktur kerja kiasnya, metafor juga terwujud berdasarkan kepentingan tema. Artinya ide (yang entah bagaimana bentuknya dalam dunianya sana) itu memerlukan bahasa kias untuk mewujudkan dirinya. Maka ide besar yang terbagi ke dalam sub-sub ide ini juga harus memiliki fokus pekerjaan sebagai metafor, bukan memiliki fungsi lain. Meskipun sebuah metafor itu bisa dibentuk dari majas lain. Misalnya personifikasi dijadikan metafor, "Malam ini rembulan menangis tersedu." Bentuk majasnya personifikasi tapi fungsinya sebagai metafor , jika dalam struktur puisi ia memang berfungsi sebagai metafor. Dengan begitu metafor itu sebenarnya tidak dalam bentuk berdiri sendiri saja. Bentuk-bentuk lain bisa diadopsi dan memiliki fungsi sama yaitu sebagai metafor. Sub-sub ide dalam setiap baris itu menyatu dengan ide pokok. Metafor, meskipun ia bukanlah sebentuk struktur yang solid, tapi ia memiliki fungsi yang solid yakni sebagai metafor.

Seperti yang dulu pernah saya katakan (pada Logika Dalam Puisi 1), metafor berfungsi untuk mengaburkan maksud atau untuk tidak menyederhanakan maksud. Sesuai dengan kebiasaan puisi menunjuk ini menghendaki itu. Namun satu hal yang perlu dipegang teguh oleh penyair adalah masalah fokus. Penyair harus berpusat pada ide yang hendak ditunjukkannya dalam pengkiasan itu, ide yang memunculkan metafor tadi, yang berfungsi untuk mengiaskan tubuh pokok. Dan itu yang harus difungsikan dengan benar. Jika metafor ya metafor, jika subyek itu dibentuk sebagai majas personifikasi ya harus begitu seluruhnya tubuh puisi di bangun. Puisi sesungguhnya hanyalah perwujudan sebuah ide. Hal ini kemudian terbagi menjadi sub-sub ide, baik per kalimat, per baris, per bait, hingga menjadi satu puisi yang utuh dengan satu ide besar. Fokus seorang penyair (berdasarkan kecenderungan teks) harus bertumpu pada ide atau tema tadi. Karena hal itulah yang membuat larik-larik dalam puisi koheren.

Dilihat dari bentuk fisik, metafor memiliki struktur dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan unsur-unsur tadi sangat menentukan tersampainya pesan yang disamarkan. Puisi, sejauh apa pun dia bergerak tetaplah bagian dari sastra, yang memiliki tujuan jelas hendak menyampaikan pesan dengan sistem yang unik. Maka dengan sendirinya, secara logis puisi memiliki struktur yang dapat dianalisa, kemudian diberikan penilaian berdasarkan sistem penilaian yang sudah diamini dalam konvensi. Pada awalnya, penilaian itu bisa dilakukan dengan metode perbandingan. Dua buah puisi dengan tema dan gaya yang sama disejajarkan untuk membandingkan kelebihannya. Nilai tadi tentu tidak dapat diukur berdasrkan kadarnya, tetapi dengan perbandingan tadi otomatis akan dihasilkan penilaian terhadap puisi yang berhasil. Penilaian seperti itu tentu saja mempertimbangkan unsur-unsur penilaian, juga faktor lain yang berkaitan dalam studi sastra secara luas. Dan itu tentu saja berkaitan dengan sejarah sastra, karena bahan perbandingan diambilkan dari dokumentasi karya yang dinilai berhasil berdasarkan unsur-unsur penilaian tadi.

Unsur-unsur yang dinilai pada puisi berdasarkan berbagai ukuran, tolok ukur, dan kriteria di antaranya: (1) koherensi atau keselarasan, (2) keseimbangan bentuk atau keindahan, (3) kepaduan pada tema, (4) keutuhan atau tunggal, (5) pengucapan yang khas, (6) kebaruan atau inovasi (7) efesiensi, (8) keunikan sudut pandang, (9) lapis metafisis seperti sublim, tragis, suci (10) sinar kejelasan, (11) keaslian ekspresi atau originalitas, (12) baik yakni sugesti yang mendorong untuk mengikutinya, (13) pengalaman jiwa, (14) keluasan wawasan, (15) nilai rasa, (16) sikap moral, (17) gambaran kenyataan. Nilai-nilai yang saya sebutkan ini dalam prakteknya hanya ditumpukan beberapa saja dalam sebuah apresiasi. Hal itu semata untuk menghasilkan keindahan yang terlihat jelas saat dilakukan perbandingan. Tidak tertutup kemungkinan masih banyak nilai-nilai lain, berhubung fokus kali ini mengenai metafor, maka penjabaran mengenai nilai itu ada pada kesempatan lain.

Oleh karena puisi memiliki struktur untuk dinilai, maka unsur-unsur di dalamnya bisa dipecah kemudian dilakukan penilaian. Pada pembahasan awal (Logika dalam Puisi, 1), puisi dilihat dari peranan unsurnya terbagi dua unsur yakni (1) tema dan (2) sistem uniknya. Tetapi kali ini pendekatan akan dilakukan dari sudut pandang yang lain, puisi dipandang sebagai entitas, sebuah wujud benda yakni teks. Maka dengan begitu puisi terbagi menjadi unsur luar yakni teks dan unsur dalaman (intrinsik). Unsur teks dikhususkan pada pembahasan metafora dalam puisi untuk kajian struktur metaforikal terdahulu yang membagi struktur subyek pengias, obyek yang dikiaskan, kerja kias. Metafor dilihat dari nilai intrinsiknya bertumpu pada:

1. Keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi.

Sebuah puisi adalah perwujudan ide. Maka seluruh kode bahasa yang muncul adalah bertujuan untuk menjabarkan ide tersebut. Misalnya seseorang yang tiba-tiba merasakan kerinduan pada kekasihnya, lalu ia mengiaskan rindu itu dengan kiasan “bulan di pelataran malam yang sunyi tak bertepi.” Bulan di sana mewakili kerinduan yang dialami seseorang. Begitu juga dengan keadaan yang sunyi tadi berfungsi untuk menguatkan penggambaran. Begitulah seluruh kekuatan kode bahasa itu dimunculkan demi menyampaikan pesan kepada pembaca. Puisi yang baik bukan yang gelap sepenuhnya atau yang terang sepenuhnya, tapi ia bermain di daerah antara. Bisa jadi ia mengusung diksi sederhana, tapi selalu ia memiliki jalan berputar untuk dimengerti. Bisa jadi ia rumit, tapi kerumitan itu mengarah pada pengertian. Ia tetap memberikan petunjuk kode bahasa yang bisa dikaitkan dengan kode lain yang muncul dalam puisi, sehingga lahirlah pemaknaan yang terstruktur.

“Bulan” tadi telah mewakili kerinduan, ketika seseorang ingin melebarkan lagi, misalnya menyebut “Pungguk ini meratap, namun kata tak sampai bunyi.” Kalimat ini membangun penggambaran sebelumnya sehingga ada ikatan dengan ide dalam puisi. Penggambaran ke dua sejalan dengan fungsi-fungsi yang ada. Jika satu subyek, sebut saja "kau lirik" yang dikiaskan dengan bulan, maka subyek lain katakan "aku lirik" dikiaskan dengan pungguk. Dan fungsi-fungsi ini terus berkaitan hingga baris-baris selanjutnya jika ingin disambung lagi. Puisi dengan tubuh selebar apa pun harus memiliki keterkaitan ini. Koherensi dengan ide pokok itu niscaya sifatnya. Karena ia adalah titik tolak kata menyeret kata yang lain sehingga lahirlah pemaknaan terhadapnya secara utuh.

2. Fungsi metafor tersebut, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya.

Sebuah metafor harus memiliki fungsi yang jelas, yakni metafor itu berfungsi sebagai metafor. Metafor itu tidak bercampur dengan fungsi majas lain. Boleh jadi ia memang terbentuk dari majas lain, misalnya personifikasi. Ia bisa menjadi metafora saat keperluan personifikasi tadi dibatasi oleh kepentingan metafora.  Dengan catatan fungsi personifikasi di sini tidak bertentangan dengan fungsinya sebagai metafora. Dalam puisi tertentu, sebuah personifikasi memang membentuk puisi secara menyeluruh seperti membicarakan hewan yang diserupakan dengan pekerjaan manusia. Maka fungsi personifikasi di sana secara untuh memang sebagai personifikasi. Dalam puisi tertentu yang lain, personifikasi tadi digunakan untuk melengkapi kiasan yakni dalam lingkup metafora. Ia digunakan untuk mengiaskan subyek tertentu dalam puisi. Di sinilah metafora itu dituntut untuk tetap fokus pada satu fungsi, yakni sebagai metafora saja. Jika sebuah metafor memiliki fungsi lain, maka dia tidak koheren dengan kepentingan ide dalam kalimat.

3. Keselarasan dengan metafor lain.

Satu metafor dengan sendirinya akan berkaitan dengan metafor lain. Jika satu dikiaskan sebagai bunga, subyek lain akan dikiaskan sebagai kumbang atau hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Jika ada metafor lanjutan dari pengiasan pokok ini, ia merupakan pelengkap. Artinya, satu metafor dengan metafor lain saling terkait dan menguatkan. Keselarasan ini hampir sama dengan poin pertama mengenai keterkaitan dengan ide pokok dalam puisi. Perbedaannya hanya pada fokusnya. Jika ada beberapa metafor yang melenceng jauh, maka dengan sendirinya ia tidak membangun puisi karena tidak selaras.

Sama seperti yang dibicarakan dalam pembahasan sebelumnya, unsur-unsur yang mengatur kelogisan metafor adalah kesebangunannya atau kesimbangan dalam penggambaran. Hal ini terkait dengan salah satu unsur keindahan yang mutlak dimiliki oleh puisi. Jika faktor kesebangunan ini diabaikan, maka sebuah puisi belum memiliki kekuatan maksimal. Sesuai dengan premis yang sudah umum mengenai, kebulatan, kesebangunan, efesiensi, sebuah puisi dituntut untuk indah atau memberikan kenikmatan, mengajarkan moral yang lebih tinggi, memiliki kejelasan atau ketepatan dalam wujud penyampaian. Premis yang pertama kali diluncurkan oleh Plato, yang kemudian diamini oleh filsuf-filsuf sesudahnya.


*****


*) Metafor atau metafora yang saya maksud dalam tulisan ini sekaligus dalam dua bentuk, sebagai majas dan sebagai kata benda yang berarti kiasan. Tergantung topik yang dibicarakan dalam kalimat.



Kajitow Elkayeni


Filsuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar