museum

Rabu, 28 Desember 2011

WATAK ALAMI SASTRAWAN

WATAK ALAMI SASTRAWAN





Pada dasarnya kesusastraan memang tidak dapat terlepas dari kegiatan studi sastra. Karena karya sastra dapat dipahami dengan benar melalui studi sastra, baik yang formal maupun nonformal. Seperti yang telah dipahami sastra menyangkut kreatifitas penciptaan dengan segala bentuk estetikanya. Sedangkan studi sastra lebih mengarah pada metode ilmiahnya atau keilmuannya. Dalam studi sastra dikenal beberapa bagian yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan, yaitu: (1) studi penciptaan, (2) studi kekaryaan, (3) studi penikmatan, (4) studi pendukung, (5) studi keilmuan. Ia merupakan satu kesatuan, setiap bagian itu akan kait-mengait dengan lainnya. Artinya perbedaan bagian-bagian tersebut hanya terletak pada fokus pembicaraannya saja.

Kemudian untuk memahami karya sastra dilakukanlah kegiatan kritik sastra yang bertujuan menafsirkan sekaligus menilai karya sastra itu sendiri.

Kegiatan kritik sastra tercatat oleh sejarah pertama kali dilakukan oleh bangsa Yunani ketika Xenophanes dan Heraclitus mengecam Homerus dan Hesiodes (± 500 SM). Hal itu dilakukan karena Homerus dan Hesiodes gemar menceritakan kisah bohong dan tidak senonoh terhadap Dewa-Dewi mereka. Akibatnya Homerus dan Hesiodes dicekal kemudian dilarang mengikuti Olimpiade di Athena. Kritik yang terjadi untuk pertama kali itu disebut Plato (427-347 SM) sebagai pertentangan purba antara puisi dan filsafat. Sesudah itu Plato membuat tolok ukur dengan buku Republic. Pokok pikiran Plato tersebut menghendaki karya sastra yang baik hendaklah mengandung tiga syarat yaitu: memberikan ajaran moral yang lebih tinggi, memberikan kenikmatan, memberikan ketepatan dan wujud pengungkapannya. Retorika “kuno” Plato itu menempatkan estetika dari karya sastra di bawah pengawasan moral penikmatnya. Jika sebuah karya sastra yang semata mengeksplorasi aspek estetis tapi kurang, apalagi sampai berlawanan dengan segi moral, maka menurut Plato karya itu tidak sempurna atau memiliki cacat.

Dalam pandangan kritik Mitepoik/Arketipe, keberadaan mitos di suatu daerah akan berbeda di daerah lain. Mitos itu sendiri kemudian hanya dipandang sebagai dongeng tentang keinsanan purba (arketipe) bukan sesuatu yang sakral. Sebagaimana pendapat seorang pakar ilmu pengetahuan di bidang Antropologi bernama Claude Levi-strauss yang kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes (meskipun kemudian Roland Barthes juga yang lain beralih pada Ferdinand de Saussure karena pandangan Claude mengenai topik sastra tadi dinilai masih bersifat umum). Sejalan dengan itu, dulu ketika orang Yunani meyakini keberadaan Dewa-Dewi mereka, bisa jadi Xenophanes dan Heraclitus dianggap sebagai pahlawan karena telah mengecam sesuatu yang dianggap salah terhadap Homerus dan Hesiodes. Fakta yang mereka yakini para Dewa-Dewi itu suci dan mulia. Tetapi setelah beberapa ribu tahun kemudian kepahlawanan Xenophanes dan Heraclitus itu patut dipertanyakan saat keberadaan Zeus dipertanyakan pula oleh logika modern. Atau bolehlah di masa itu juga, tentu mitos mengenai Dewa-Dewi mereka itu akan berbeda menurut anggapan masyarakat di luar Yunani. Sejalan dengan pandangan kritik Mitepoik tadi bahwasanya mitos di satu daerah memiliki nilai berbeda bagi daerah lain, meskipun mungkin memiliki kesamaan motif. Dan untuk itulah mitos kehilangan kesakralannya.

Seperti yang dicatat oleh sejarah, banyak kritikus baru bermunculan setelah Plato melucurkan tiga syarat utama sebuah karya sastra dengan Repulic tadi. Meskipun ada sebagian yang menyanggah sebagian pendapatnya seperti halnya Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato sendiri, tapi praktik kritik sastra (yang bersifat umum) di lapangan tetap mengacu pada pandangan Plato tersebut. Padahal apa yang telah dilakukan oleh Homerus dan Hesiodes itu terus bermunculan sepanjang zaman karena hal itu merupakan watak alami sastrawan.

Dari situlah terdapat gambaran jelas bahwa kreatifitas Homerus dan Hesiodes tidak dapat sepenuhnya disalahkan, sebagaimana novel yang dikecam banyak orang berjudul Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdie yang dinilai telah merendahkan agama islam. Atau cerpen Langit Tak Lagi Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dibela mati-matian oleh HB Jassin. Begitu juga tudingan Penyair Taufik Ismail terhadap Hudan Hidayat cs, yang memberikan julukan kepadanya SMS (Sastrawan Mazhab Selangkangan). Mengingat terus berulangnya kejadian seperti Homerus dan Hesiodes itu, sebenarnya eksplorasi estetika oleh seorang sastrawan memang perlu dipisahkan dari pengawasan moral penikmatnya, atau minimal diberikan ruangan khusus. Sastra harus benar-benar berbicara mengenai dirinya. Fakta yang ditunjukkan oleh sejarah tadi menjadi parodi getir ketika seseorang yang terjun total dalam bersastra umumnya dalam dunia seni malah dikriminalkan sedemikian rupa. Meskipun kita juga sadar pentingnya pengawasan moral karena tujuan sastra adalah hendak memanusiakan manusia. Moral adalah salah satu barometer untuk mengukur kemanusiaan itu.

Jika sastrawan diberikan ruang kebebasan sebebas-bebasnya, permasalahan yang muncul kemudian adalah pada perbedaan pemahaman antara sastrawan dengan pembaca yang bersifat umum. Hal itu akan meruncing dan menjadikan karya sastra kontradiktif sehingga menimbulkan pro dan kontra yang bahkan berujung pada pergolakan sosial di tengah masyarakat. Dari satu sisi, sastrawan hendak mengusung estetika dengan segala kreatifitasnya. Di sisi lain, pembaca dengan penghakiman moralnya akan menolak karya tersebut, bahkan seperti terrekam oleh sejarah sampai ada aksi pembakaran buku dan penghujatan terhadap sastrawan. Sudah dimaklumi bahwa sastrawan tidak mungkin lepas dari penikmat karyanya karena seperti keterangan dalam studi sastra tadi ada studi penciptaan (pencipta), studi penikmatan (pembaca), dan studi pendukung (media) tidak dapat dipisahkan. Karya sastra hanya akan menjadi sampah kalau tidak ada yang membaca dan mempelajarinya. Maka dari itulah karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dan melupakan pembacanya.

Plato dan teori kunonya boleh jadi telah terkubur sekian ribu tahun, tetapi nilai-nilai yang diajukannya itu tetap dipakai. Meski seperti yang saya katakan tadi teori Plato telah disanggah atau justru dilengkapi oleh pendapat banyak kritikus sastra sesudahnya. Inilah dinamika sastra yang rumit dan terus ada karena sastrawan dengan watak alaminya akan cenderung “memberontak,” sedangkan pembaca dengan penghakiman moralnya akan terus “mengeksekusi.” Pertarungan purba antara estetika yang dikehendaki sastrawan dengan moral pembaca mungkin bisa dicarikan jalan tengah, dengan cara memberikan ruang khusus bagi karya sastra bersifat kontroversial atau kontradiktif. Karya tadi tetap beredar dengan ketentuan khusus dan dalam kalangan khusus demi menghindari kesalahpahaman, apalagi terjadinya konflik dalam skala besar. Di sinilah letak peranan kritikus sastra atau instansi tertentu katakanlah pemerintah sebagai “tangan kuat,” yang bisa menjadi penengah untuk memberikan batas dari gambaran kepantasan bagi pembaca. Dengan begitu pembaca dari berbagai latar belakang itu diberikan arahan mengenai karya sastra yang tidak bertentangan dengan pengahakiman moral pembaca. Dengan catatan tidak melarang beredarnya buku tersebut meski ada batas dan ketentuan kusus yang diberikan padanya.

Saat itulah karya sastra mendapatkan kebebasannya untuk berekspresi. Dan kebebasan untuk berekspresi itu adalah kiblat bagi setiap sastrawan untuk berkarya secara maksimal. Sementara di sisi lain pembaca yang tidak sepaham dapat memproteksi diri dan keluarganya dengan tenang.

Mendewasakan pembaca agar sepaham dengan sastrawan mengenai kebebasan dalam berkarya jelas tidak mungkin. Latar belakang dan ruang lingkup mereka jelas berlainan. Bagaimana bisa menyeragamkan dua hal yang bertolak belakang? Sedangkan di antara kritikus sastra sendiri yang berperan sebagai “hakim kesusastraan” terdapat perbedaan prinsip yang besar, yang bahkan memicu terjadinya perselisihan dan konflik. Padahal mereka berada dalam satu dunia yang sama. Apalagi menyamakan pandangan antara sastrawan dan umumnya pembaca yang berasal dari berbagai latar belakang? Seperti yang telah dicatat oleh sejarah, banyak aliran kritik sastra yang dilawan oleh aliran lainnya. Mimesis Plato disanggah oleh muridnya sendiri yaitu Aristoteles. Kritik Impresionistik (kritik Estetis) dilawan oleh New Critisicm (1930-1950), yang kemudian New Criticism sendiri dilawan pula oleh kaum Poststruktualis dari Universitas Yale, Amerika Serikat (1960) yang mengusung teori Dekonstruksi Teks. Di antara pertentangan tadi ada juga yang melahirkan konflik, seperti Kritik Formalis di Rusia (1915-1930) dilarang oleh aliran Marxis yang dipelopori oleh Joseph Stalin (diktator Rusia). Dan tak perlu jauh-jauh, di Nusantara saja sejarah telah mencatat mengenai pertentangan Lekra dan Manikebu, juga perselisihan lain sesudahnya.

Jika sastrawan memiliki watak alami dengan “memberontak,” pembaca “mengeksekusi,” maka kritikus sastra memiliki watak alami “melahirkan teori.” Yang disayangkan adalah tidak banyak yang benar-benar menyadari bahwa hakikat kritik sastra itu memang menuju pada aporia (bahasa Yunani: tidak ada jalan keluar), segala sesuatu bertumpu pada subyektifitas meskipun membawa dalil obyektifitas. Karena memang tidak ada yang mutlak dalam sastra, sehingga sudah semestinya dapat ditempuh jalan tengah yang baik, dewasa, serta bertanggung-jawab.

***


Kajitow
Dia yang seringkali berdiri di antara dua kubu

BAHASA PUISI BAHASA MISTERI

BAHASA PUISI BAHASA MISTERI


          Saat kita membalik-balik kitab suci dan merenungi baris-baris indahnya, kita seolah sedang berhadapan dengan sebuah pertanyaan; kenapa Tuhan menyimpan misteri makna dalam kata-kata itu? Bisa saja Tuhan menyebutkan sesuatu dengan jelas tanpa perlu kata-kata sulit dan tidak familiar, bisa saja Tuhan membagi-bagi hukum-Nya itu sebagaimana undang-undang manusia (yang terperinci dan jelas), bisa saja Tuhan memudahkan bahasa kitab suci-Nya bagi seluruh manusia yang berpendidikan atau bukan. Tapi sekali lagi Tuhan seolah-olah sedang bermain-main dengan misteri-Nya. Dengan kata lain, Tuhan sedang mengajari kita sebuah keindahan permainan misteri bahasa.

            “Dan janganlah kalian berdua mendekati Pohon ini..”

            Pohon apakah yang diharamkan kepada Adam dan Hawa di tempat yang tidak ada keharaman sedikit pun itu? Kenapa ada batasan, padahal surga adalah tempat kenikmatan yang seharusnya memang tidak ada pelarangan di sana. Misteri itu tidak saja berhenti pada Pohon yang dikehendaki di sana, tapi juga pelarangan untuk mendekatinya. Kita berramai-ramai menamakan pohon itu Khuldi, padahal yang memberikan nama tersebut adalah iblis saat membujuk keduanya. Pohon apa pun itu tetaplah menjadi sesuatu yang misterius sebagaimana perintah menjauhinya.

            Saya tidak berani menyamakan kitab suci dengan puisi, meskipun telah sama kita ketahui bahasa puitis kitab suci. Dengan logika sederhana saja dapat kita pisahkan keduanya, karena kitab suci adalah kalam Tuhan yang sempurna dalam segala hal. Apa yang termaktub di sana itu melewati segala zaman dan logika. Namun di sini saya ingin memandang kata-kata pada keduanya sama; rangkaian huruf-huruf yang tersusun dan memainkan misteri indahnya.

            Tidak bisa kita pungkiri bahwa puisi memang memiliki berbagai wajah. Ada yang berbahasa terang dan jelas, ada yang rapat tersembunyi. Yang terang dan jelas bukan berarti tidak menyembunyikan misteri, yang rapat tersembunyi itu bukan berarti tidak bisa dimengerti. Keduanya memiliki ruang berbeda tapi memiliki kandungan misteri yang sama.

            Menarik saat saya membaca dua buah puisi (yang menurut saya) bertema sama. Bukan tentang gelap dan terangnya yang hendak saya tunjukkan di sini, tapi kesamaan misteri yang tersimpan padanya lah yang membuat saya mengutipnya. Dan saya rasa misteri itu memang ada dalam setiap puisi; sebuah dimensi baru yang dibuat oleh seorang penyair; hamparan dimensi bahasa yang berasal dari gejolak dalam dirinya. Di mana kita tidak bisa main tunjuk begini dan begitu, melainkan hanya bisa meraba dan merasakan tekstur bahasanya.

Semenanjung
Oleh: Seamus Heaney

Manakala tak ada yang bisa kau ucapkan, berkendaralah santai
Pada suatu hari menyusur semenanjung.
Langit menjulang di atas galangan
Terhampar tak berbatas hingga kau tak bakal sampai.

Namun lintasi saja, meski tak bakal kau temu selain bentangan.
Pada senja, cakrawala turun mereguk pantai dan bukit,
Ladang usai terbajak melulur dinding terlabur kapur
Dan kaupun kembali dalam gelap. Kini kenangkan

Bibir pantai-pantai yang kilau dan bayang pohonan
Bergoyang, di mana hempasan ombak tercabik menjadi serpihan kain
Burung bangau mencangkung di atas kaki-kaki mereka
Pulau-pulau mengayuh diri ke dalam kabut.

Dan kembalilah pulang, masih tanpa sesuatu terucap
Kecuali bahwa kini dapat kau maknai seluruh panorama
Dengan begitu: benda-benda dijumpa bersih dalam rupa sempurna
Air dan tanah begitu lengkap.

            Terlihat jelas Seamus menampakkan gambaran “semenanjung” dengan apa adanya dalam puisinya. Tapi bukan berarti hanya berhenti di situ saja apa yang hendak dikejar barisan kata-kata tersebut. Nyatalah Seamus sedang bermain-main dengan misteri “semenanjung” yang digambarkannya dengan jelas itu.

            Kita adalah sosok yang telah terlewati di masa lalu. Bila sedetik sebelum detik ini adalah masa lalu, maka setiap kita adalah bangkai masa lalu yang berjalan. Tanpa masa lalu seseorang itu tidak ada artinya. Tanpa kenangan, tidak beda antara kita dengan mahluk yang tidak berpikir. Apa yang sedang ditunjukkan Seamus sebenarnya tidak jauh-jauh dari; bahwa itu berpulang kepada dirinya. Memang siapa pun bisa menjadi sosok “kau” di sana, tapi tidak menutup kemungkinan itu hanyalah pantulan sosok pada cermin saja. Seamus masa kini sedang menengok dirinya di masa lalu, manakala dia sedang melihat atau sedang membayangkan “semenanjung.”

            Kenangan itu terayun dan membawa kembali apa yang telah terlewati sebelumnya. Memberikan sebuah dorongan dari dalam bilik jiwa untuk menumpahkan kata-kata. Apa yang mendorong seseorang untuk membahasakan perasaannya itu sebenarnya tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa. Kata-kata yang terlahir darinya hanyalah serupa hasil ledakan, bukan muasal mesiu dan percikan zarah apinya. Saat kita membaca sebuah puisi, sebenarnya kita sedang memasuki dimensi baru bernama bahasa. Bukan menjumpai benda-benda sebagaimana ia adanya. Dari dimensi inilah seorang pembaca mendaur-ulang informasi. Selanjutnya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pembuat dimensi tersebut.

            Begitulah Seamus dengan gambaran jelasnya, berbeda dengan Derek yang bersembunyi dalam bayangan puisinya. Derek menyimpan misteri puisinya dengan rapat dalam barisan kata-kata. Dia membuat rindu lautnya itu menari dan hidup.

Rindu Laut     
Oleh: Derek walcott


                   
Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.



            Padahal sebenarnya kedua puisi di atas itu sama-sama menggambarkan sebuah lukisan masa lalu, sebuah peristiwa yang seolah-olah kembali hidup dan nyata di masa kini. Hanya saja Seamus lebih senang membiarkan gambaran “semenanjungnya” nyata tapi diam, sedangkan Derek membuat “rindu lautnya” itu hidup dan bergerak. Sebenarnya bukan pada “semenanjung” atau “laut” itu pokok yang hendak dipanjat oleh keduanya, melainkan dua hal itu hanyalah pintu masuk dari rumah di mana sebuah misteri tinggal di dalamnya.

            Misteri apa yang tersimpan dari resah-muram yang dibawa oleh dua puisi di atas itu?

            Kita tidak pernah benar-benar bisa menebak apa yang disimpan di dalamnya, karena pada prinsipnya kita hanya membaca jejak yang terrekam dalam sebuah puisi, kita masuk ke dalam sebuah dunia yang dibentuk oleh penyair. Bukan menjadi sosok yang merasakan dan mengalaminya. Tapi setidaknya dari dunia itu kita bisa tahu bahwa kenangan telah menyeret seseorang untuk kembali hidup dan menghidupkan masa lalunya. Itulah yang sedang ditunjukkan kedua puisi di atas itu. Sebuah perjalanan antar dimensi yang membuat seseorang terlempar pada sudut kesadaran tentang keberadaan benda-benda di sekitarnya. Hidup yang misterius dan dipenuhi keresahan telah mengajarkan seseorang seperti Seamus dan Derek untuk meraba dirinya sendiri. Meledakkan dorongan-dorongan dari dasar jiwanya menjadi sebentuk bahasa, yang mengantarkan orang lain untuk ikut merasakan apa yang mereka berdua rasakan ketika berhadapan dengan masa lalu mereka.

            Resah-muram itu seperti panggilan sesuatu yang seolah-olah jauh tak terbahasakan. Atau sebaliknya ada yang begitu dekat dan terus memburu, namun mungkin untuk kembali hilang bersama ketidakperdulian kita atas raungan hati kita sendiri.

            Berramai-ramai orang di luar sana hendak melogikakan misteri bahasa ini. Mencatat gejala dan merumuskannya menjadi berbagai teori. Mungkin dari struktur, kita bisa mengangguk setuju, tetapi jika itu berhubungan dengan “mengejar kemutlakan” maka sungguh sia-sia upaya menegakkan benang basah itu.

Menurut saya di sinilah keindahan misteri bahasa. Tidak ada kemutlakan yang membuatnya terbatasi. Kita bebas menafsiri semampu dan semau kita, namun misteri di dalamnya tetaplah sebuah misteri indah yang tak benar-benar mampu ditakwilkan. Dan itu akan semakin menarik saat ia tetap menjadi sebuah misteri yang mengundang “tualang.” Misteri makna yang dikemas rapi dalam barisan kata-kata, sebagaimana permainan bahasa cantik Tuhan dalam kitab suci, “dan janganlah kalian berdua mendekati Pohon ini..”

******





*) Sajak-sajak di atas diterjemahkan oleh: Agus R. Sarjono & Nikmah Sarjono


Kajitow elkayeni
Filsuf, tinggal di kota kecil bernama Purwodadi
            

ANTITESIS BAGI KREDO SUTARDJI

ANTITESIS BAGI KREDO SUTARDJI


PESAN TAK TERDUGA
oleh Kurniawan Yunianto pada 7 Desember 2011 pukul 11:27

yang mesti kau sampaikan
telah berada di berandaku semalaman
satu kali suaranya mengetuk 
nyaris tanpa bunyi
tapi meledak di dalam diri

entahlah, bagian mana yang kini cedera
yang jelas bukan telinga
hanya saja, pagi, saat pintu kubuka
yang menggigil, yang membeku, yang kosong
adalah dada

semalam kau cuma bilang aku
perbincanganpun jadi lebam biru
langit tibatiba kelabu
lalu gerimis, lalu tangis
lalu cemas begitu menguras

sementara sarapanku mengeras
aku masih berpikir, tentang cara mengunyahnya
agar terbakar tuntas

dulu pernah, angin subuh begitu riuh
tapi dinginnya tak sesunyi api



Puisi ini seperti antitesis bagi kredo Sutardji. Betapa satu kata memiliki makna yang dalam bagi aku dan kau lirik di sana. “Kata-kata tidaklah mengantarkan pada pengertian,” katanya, padahal kredo Sutardji itu bertentangan dengan prinsip semiotika dimana bahasa yang bersifat aksidensi terikat kuat pada benda sebagai subtansinya. Dengan kata lain, kata itu terrefleksi dari keberadaan benda sebenarnya. Seperti warna kuning secara ansich terlepas dari namanya yaitu kuning, ia berdiri sendiri, tetapi kata kuning terikat oleh warna kuning. Bolehlah kita berandai kata yang dikehendaki Sutardji itu adalah Firman sebagaimana keterangan di Injil. Yakni kata itu adalah refleksi dari Tuhan itu sendiri. Sehingga kata itu bebas dan menentukan dirinya sendiri. Dalam ranah keislaman dikenal kata yang bermakna sama dengan, "pada mulanya adalah kata," yaitu "kun." Dari sana terwujudlah di alam azali semesta yang terkira luasnya ini, meski belum terwujud dalam alam musyahadah. Kun itu seperti cetak biru, dari firman tersebut tumbuhlah bentuk-bentuk fisik. Kata itu memang menjadi awal segala sesuatu. Tetapi kata itu sendiri difirmankan oleh Tuhan. Berarti kata tidak akan pernah ada jika tidak difirmankan. Dengan sendirinya kata atau firman itu terkait erat dengan Tuhan itu sendiri, sehingga kata tentu memiliki tujuan yakni pengertian. Karena ia ada untuk memberikan pengertian atas zat subtansinya.

yang mesti kau sampaikan
telah berada di berandaku semalaman
satu kali suaranya mengetuk
nyaris tanpa bunyi
tapi meledak di dalam diri

Bait awal puisi ini begitu memukau bagi saya. Bukan karena saya mengerti dengan jelas, tapi justru karena saya membebaskan imanjinasi berenang dalam lautan ketaksaan saat membacanya. Seperti dulu pernah saya tulis dalam esai: Bahasa Puisi Bahasa Misteri, bahwasanya ada bagian dalam puisi itu yang justru sangat menarik saat ia dibiarkan memancarkan misteri untuk terus dipahami. Sebagaimana firman Tuhan dalam Quran kepada Adam-Hawa, "Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini." Nama pohon itu saja tidak disebut kecuali hanya dengan isyarat "ini." Apalagi mencari tahu, kenapa Tuhan memberikan pelarangan di tempat yang seharusnya tidak ada keharaman? Surga adalah tempat yang tidak mempunyai hukum pengharaman, semua halal, sah, dan sempurna. Tapi kenapa masih ada pelarangan? Begitulah Tuhan "bermain" dengan bahasa, dengan ketaksaannya. Karena sebenarnya bukan pada bentuk luar itu tujuan dari perintah dan larangan. Bukan pada bentuk fisiknya, bukan dalam bentuk tekstualnya, bukan dari arti kata yang terbaca darinya. Yang paling penting bagi Tuhan adalah ketaatan Adam dan Hawa untuk mematuhi-Nya. Sama halnya dengan terwujudnya kita, kepentingan Tuhan hanya satu, Dia ingin dikenali maka diciptakannya makhluk.

Jika memandang kata yang memiliki kebebasan pemaknaan di sini, mungkin kredo Sutardji tadi bisa dibenarkan dalam pemahaman: "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas." Tetapi sebenarnya ada perbedaan besar antara kredo Sutardji dengan premis saya ini. Kata yang bebas di sini bukan pada diri kata itu sendiri, tapi kata itu bebas dari segi pemaknaannya yang kontinyu. Kata itu tetap sebagaimana ia, tetapi pembacalah yang membebaskan imajinasinya untuk menggerakkan kata sehingga ia melahirkan pemaknaan lain. Misalnya pada, "yang mesti kau sampaikan / telah berada di berandaku semalaman." Apa yang telah disampaikan kau lirik kepada aku lirik di sana? Rujukan paling dekat yang bisa diambil adalah pada bait ke tiga:

semalam kau cuma bilang aku
perbincanganpun jadi lebam biru
langit tibatiba kelabu
lalu gerimis, lalu tangis
lalu cemas begitu menguras

Maka saya menyebutnya pangkal, karena memang pada perkataan "aku" oleh kau lirik itulah seluruh cabang puisi ini berpangkal. Namun tidak habis di sana saja, apa pun yang disampaikan oleh kau lirik itu tidak berhenti pada premis saya mengenai bait ketiga tadi, justru ia bergerak terus dan menghasilkan pemaknaan lain. Secara logis dapat dipahami, bukan kata itu yang hadir di beranda rumah aku lirik, tetapi itu sebenarnya adalah gambaran dari pemahaman aku lirik terhadap apa yang disampaikan kau lirik dengan perkatannya yang hanya satu kata yaitu "aku." Jadi yang menggerakkan kata "aku" itu sebenarnya aku lirik. Ia membaca kata "aku" secara mendalam sehingga digambarkan akibat yang ditimbulkan kata itu pada dirinya (aku lirik): perbincanganpun jadi lebam biru / langit tibatiba kelabu / lalu gerimis, lalu tangis / lalu cemas begitu menguras.

Bisa jadi prosesi perbincangan itu memang terjadi, tapi bagi saya itu tidak penting. Karena sebagaimana yang pernah saya katakan, tulisan itu tidak menghadirkan kenyataan, tapi ia membangun kenyataan dalam pikiran pembacanya. Artinya tidak ada fakta di sana, karena fakta itu telah berubah menjadi fiksi yang ada dalam benak pembaca. Maka kata "aku" yang diucapkan kau lirik itu mungkin sebagai penyebab seluruh kejadian, tetapi pada diri aku liriklah kedalaman pemahaman itu terjadi. Sehingga dapat dipahami di sini, "kata memiliki kebebasannya, tapi kebebasan itu dalam hal pemaknaan kepadanya yang bersifat kontinyu. Ia bergerak dan melahirkan pemaknaan lain secara berkesinambungan seiring bergeraknya imajinasi pembaca." Dan ini tentunya jelas telah membedakan dengan kredo Sutardji bahwa kata tidaklah mengantarkan pada pengertian tadi. Bahkan kata yang dimaksudkan oleh puisi ini menjadi antitesis bagi kredo Sutardji. Kata itu mengantarkan pada pengertian, bahkan pengertian itu tidak terbatas melainkan kontinyu seiring kebebasan imajinasi pembacanya.

entahlah, bagian mana yang kini cedera
yang jelas bukan telinga
hanya saja, pagi, saat pintu kubuka
yang menggigil, yang membeku, yang kosong
adalah dada

Di sini aku lirik terkesima dengan pemahamannya sendiri atas perkataan kau lirik, atau mungkin justru ia terheran-heran dari ketidak-pahamannya atas perkataan kau lirik tadi. ketidak-pahaman itu melahirkan sesuatu yang kosong di dalam hatinya, kosong dari pemahaman yang sebenarnya. Kosong itu sendiri bergerak dan menuntut pemenuhan sehingga ia terus mencari pemahaman atas perkataan kau lirik. Terlihat aku lirik menjadi begitu kerdil saat menghadapi ketidak-pahamannnya sendiri. Itu digambarkan dengan: ia menggigil, membeku dan kosong. Yang kemudian dijelaskan dengan bait ke tiga yang telah dibongkar sebelumnya.

Kemudian hal itu terus menyeret aku lirik pada permenungannya.

sementara sarapanku mengeras
aku masih berpikir, tentang cara mengunyahnya
agar terbakar tuntas

Jika empat bait yang saya sebutkan di atas itu referen dan koheren dengan jelas pada tema puisi. Bait terakhir justru terpelecat dari kesebangunan tadi. Saya tidak mengartikan ini sebagai sesuatu yang melebar, tetapi saya menganggapnya sebagai anomali pemaknaan. Dan ini bukan berkonotasi buruk, tetapi bagi saya penyimpangan ini sejalan dengan premis: "kata memiliki kebebasannya, tapi kebebasan itu dalam hal pemaknaan kepadanya yang bersifat kontinyu. Ia bergerak dan melahirkan pemaknaan lain secara berkesinambungan seiring pergerakan imajinasi pembacanya."

dulu pernah, angin subuh begitu riuh
tapi dinginnya tak sesunyi api

Meskipun sah saja jika ini diartikan sebagai pelebaran, puisi melebar dari tema yang diusungnya. Namun misalkan ditautkan dua baris ini dengan seluruh proses yang dibicarakan dalam puisi, sebenarnya dua baris ini masih sebangun karena berfungsi juga sebagai latar, maka dari itu dikatakan oleh penyair, "dulu pernah, angin subuh begitu riuh." Dulu katanya, dan ini bermakna puisi kembali bergerak ke awal lagi. Ia kembali membicarakan sosok kau lirik. Bisa juga dikatakan, puisi bergerak dan membicarakan keheranan aku lirik atas perkataan kau lirik. Maka bagi saya itu bukan masalah. Sebagaimana saya memaknai puisi Chairil:

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Sekilas, seolah baris terakhir itu melompat dari bingkai puisi, ia bergerak melebar dari tema yang diusungnya, tapi itu seolah. Sebenarnya baris terakhir itulah ruh dalam tubuh puisi Chairil. Ia merangkum bagian sebelumnya sehingga didapati: suasana yang dibentuk Chairil itu bermuara pada keheranannya, "Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!" Siapa bocah cilik itu? Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan pada puisi Penyair KY, apa yang sebenarnya hadir di beranda rumah aku lirik itu? Ia menjadi ruh dalam tubuh puisi. Ia yang mengantarkan pembaca untuk memahami atas apa yang sebenarnya tak benar-benar bisa dipahami, karena terus bergerak dan melahirkan pemahaman baru atas dirinya. Meskipun bisa ditunjuk, bocah cilik di sana adalah pembacaan Chairil atas dirinya. Gambaran mengenai kehidupan yang telah dijalaninya. Betapa selama itu dia sibuk mengejar bayangannya sendiri, kehidupan yang misterius mengantarkannya pada pencarian akan sesuatu yang entah, seperti sifat bayangan itu.

Dalam puisi Penyair KY ini pun begitu. Kau lirik yang hanya bisa berucap kata "aku" itu tiba-tiba menghadirkan sesuatu yang sakral bagi aku lirik, sesuatu yang membuatnya menggigil, membeku, dan kosong. Bagi aku lirik, kata "aku" itu sama sakralnya dengan kata "kun" dalam Quran, sebagaimana "kata" yang disebutkan dalam Injil sebagai "Firman."





***

kajitow

Minggu, 25 Desember 2011

SAJAK-SAJAK EMAS 1: SAPARDI DJOKO DAMONO

                 Sesuai judul esai ini, Sajak-Sajak Emas saya maksudkan sebagai perwakilan dari karya para penyair besar yang telah dikenal khalayak. Karya mereka adalah curahan batin, atau hasil renungan yang sangat berharga sehingga saya serupakan dengan emas. Tetapi saya tidak hendak menunjuk karya gemilang tersebut sebagai kanon sastra, yaitu karya yang mendapatkan posisi agung sehingga tidak tergoyahkan lagi (canonized). Karena saya sadar sepenuhnya sastra dengan dinamikanya terus berkembang. Apa yang gemilang di masa lalu boleh jadi akan terlahir karya lain yang tak kalah gemilang seiring perkembangan jaman.

Pemilihan Sapardi Djoko Damono sebagai wakil penyair besar Indonesia yang saya angkat di sini bukan sebagai penunjuk tingkatan atau pengkelasan sebagaimana yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Hal itu lebih dikarenakan kekaguman saya terhadap karyanya secara pribadi. Lebih jauh, karya-karya gemilang yang saya angkat dalam serial esai Sajak-Sajak Emas ini dimaksudkan sebagai cerminan bagi para pencinta sastra, kususnya para penyair itu sendiri dalam menggeluti dunianya. Perbandingan semacam ini penting, tidak saja sebagai tolok ukur tapi juga sebagai petunjuk arah bagi siapa pun mengenai pencapaian dalam pergulatan seorang penyair dengan bahasa.

Apakah pencapaian dalam sastra itu benar-benar ada?

Secara teoritis hal itu nisbi sifatnya. Tetapi dalam pola perbadingan, ada perbedaan besar antara orang yang baru memulai menulis puisi dengan mereka yang telah lama menggelutinya. Itu dikarenakan proses pematangan yang dilalui oleh penyair tadi. Skill mereka telah terasah dengan baik sehingga meski mencipta puisi secara spontan pun jauh lebih baik dari pemula. Puncak tertinggi dalam kepenyairan tentu tidak ada. Hanya saja secara konvensi harus ditunjuk salah satu atau beberapa yang mewakili pencapaian itu. Misalnya ada anggapan Chairil berada di puncak pencapaian, hal itu sah-sah saja. Meskipun itu tidak menutup kemungkinan ada anggapan yang berbeda. Misalnya menunjuk Sutardji dengan keradikalannya, itu pun terserah asal bisa dipertanggungjawabkan. Hal demikian bukan dikarenakan satu lebih unggul dari yang lain, tetapi lebih kepada membuat barometer perbandingan dan wujud perwakilan sebagaimana seorang juri yang harus memilih satu di antara beberapa pilihan yang sama bagusnya.

Sapardi Djoko Damono adalah salah satu penyair angkatan 66 menurut H.B Jassin. Sejak remaja telah dikenal kepiawaiannya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya menampakkan diksi-diksi sederhana namun tidak mudah menggali maknanya. Puisi yang dibentuk oleh salah satu penyair besar Indonesia ini cenderung menyimpan maksud di balik pilihan kata yang mungkin terlihat sederhana. Seringkali yang muncul dalam puisinya adalah sebentuk ironi. Sebuah teguran mengenai sesuatu yang disampaikan dengan cara tidak langsung. Baik dari segi gaya maupun maksudnya. Selain puisi, Sapardi juga menulis esai dan karya terjemahan. Puisi-puisi yang saya baca ini hanya sebagian kecil saja dan tidak dimaksudkan untuk mencari pola-pola tertentu dalam kepenyairannya. Tidak juga diulas dengan gamblang dengan mendasarkan pada teori pembedahan karya sastra. Sebuah sudut pandang atau sebuah upaya untuk ikut merayakan dinamika sastra di Indonesia.


Pokok Kayu

“suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?”

“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba


Dalam puisi ini Penyair sedang bermain ironi. Dimana di situ digambarkan sebuah peristiwa yang memunculkan kesan getir. Pada bait pertama itu ada dua sosok yang sedang bercakap-cakap. Seseorang atau sesuatu yang bersembunyi pada posisi orang ketiga sedang bertanya pada seseorang yang disebutnya Saudaraku. Pembicaraan mereka sangat aneh karena mempertanyakan perbedaan suara dari derit rumpun bambu akibat dorongan angin dan suara kapak yang menebang pokok kayu. Dari situ sebenarnya Penyair sedang memberikan gambaran dari dua hal yang kontras. Keduanya sama-sama merupakan bentuk suara, tapi yang satu alami dan satunya buatan. Yang membuat pertanyaan itu aneh adalah, kenapa dua hal yang berbeda itu masih juga dipertanyakan perbedaannya?

Di sini Penyair mengajak pembaca untuk melihat lebih jauh tentang ulah perbuatan tangan manusia. Banyak orang mempunyai gambaran ideal mengenai sebuah dunia yang hendak dibentuknya. Ironis sekali ketika dunia ideal itu harus mengorbankan dunia sebenarnya demi memperoleh sesuatu yang menurutnya keharusan. Populasi yang terus berkembang mengharuskan manusia membuka lahan-lahan baru, membuat bangunan-bangunan baru, membentuk wajah dunia yang baru. Padahal dunia ideal yang hendak dibentuknya itu mengorbankan dunia yang sesungguhnya, dunia alami yang telah memberikan kehidupan kepadanya.

Suara derit bambu mewakili dunia alami sebagaimana dia adanya, suara kapak adalah gambaran dari kerakusan manusia demi mewujudkan dunia ideal yang menurutnya lebih baik itu. Padahal tanpa disadarinya perbuatan itu justru membuatnya kehilangan dua dunia tadi. Dunia ideal menjadi tidak terwujud karena rusaknya dunia yang sebenarnya.

Yang lebih mengejutkan lagi ketika sampai pada bait ke dua. Percakapan dua orang tentang perbedaan tadi membuat seekor burung Tempua marah dan menghardik mereka berdua. Jangankan perusakan hutan (dengan gambaran semiotis suara kapak tadi) membicarakan tentang hal itu saja sudah membuat seekor burung marah. Kenapa burung itu marah? Personifikasi itu bisa dimaknai, omong kosong kedua manusia itu sudah tidak ada gunanya lagi karena burung Tempua itu harus mengerami telurnya di rambut Nuh yang sangat purba. Nuh di sini bisa berarti apa saja, tetapi makna yang dekat bisa kita lihat dari kaitan suara bambu dan kapak tadi dengan menganggapnya Nabi Nuh sebagai sindiran rusaknya alam. Begitu parahnya perusakan hutan sehingga tidak ada lagi daun-daun pohon untuk digunakannya sebagai sarang, burung Tempua itu terpaksa menggunakan rambut Nuh sebagai sarangnya. Ini pun mengandung kesan paradoks juga saat kita ingat Nabi Nuh membuat kapal dari pokok kayu untuk menyelamatkan umatnya dari bencana air bah, tetapi penebangan hutan juga merupakan sebab datangnya banjir bandang.

Dalam puisi lain Sapardi memperlihatkan kegelisahan yang biasanya juga dirasakan setiap manusia. Dalam batinnya ada sesuatu yang seolah-olah terus-menerus mengintainya. Perasaan seperti itu sering kali diungkapkan oleh penyair lain manakala mendapati kekosongan mengenai pencariannya akan hakikat hidup. Sesuatu yang seolah terus mengejar dan mendampingi tapi tak dapat dimengerti. Dalam sebuah sonet yang tidak lagi berbentuk sonet sebagaimana lazimnya, Sapardi meraba dirinya sendiri, dia mempertanyakan mengenai eksistensinya hidup di dunia ini. Sebuah ekspresi dunia batin Penyair akibat desakan perasaan asing yang tidak dikenalnya.


Sonnet: x

Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut itu
Siapa menggertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandanganku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siap atiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: siapa aku


Sesuai judulnya, Sonet: x adalah puisi sejenis sonet yang terdiri atas empat belas larik. Biasanya sonet itu juga memiliki ciri khas pembaitan 4433, tapi dalam puisi ini (juga seperti puisi-puisi angkatan Pujangga Baru dan sesudahnya) kebiasaan membaitkan sonet seperti itu sudah ditinggalkan. Bentuk sonet hanya dikenali dari jumlah larik dan judulnya saja.

Sonet: x merupakan gambaran dari ekspresi diri Penyair. Sama halnya Chairil saat meraung membabi-buta dengan puisinya berjudul Aku itu. Perbedaannya dalam Sonet: x, Sapardi mewakili umumnya manusia ketika dihadapkan pada perasaan sunyi itu, bukan hanya mewakili dirinya sendiri. Seolah ada sesuatu yang terus memburunya tapi tidak dimengertinya. Penyair-penyair lain yang tidak mengakui keberadaan Tuhan ketika dihadapkan pada ruang sunyi yang sama akan melihatnya sebagai raungan jiwa belaka. Seperti Pablo Neruda misalnya saat berteriak dalam puisi Oh Bumi, Tunggulah Kami, "Kembalikan aku oh, matahari / Pada nasibku yang liar." Tetapi sebagai manusia beragama, pertanyaan Sapardi mengenai sesuatu yang tidak dimengertinya itu adalah merupakan pengenalan terhadap adanya kekuatan maha yang seolah berhadapan dengannya, yang seolah mengiringinya di mana pun dia berada.

Puisi ini merupakan pengakuan yang jujur selaku manusia, bahwa ada kekuatan lain yang tak kasat mata, yang memberikan kode-kode batin kepada manusia mengenai eksistensinya. Apa pun bisa berada di balik sesuatu yang misterius itu, dan bukan tidak mungkin sebagai manusia beragama, sesuatu yang misterius itu adalah wujud dari keberadaan Tuhan. Dalam ruang sunyi itu Tuhan seolah menampakkan wujudnya melalui kegelisahan manusia saat meraba dirinya sendiri, sebagaimana di akhir baris puisi, Sapardi dengan gemetar berkata dalam batinnya “: siapa aku,” itu karena ia kebingungan mengenali eksistensi kekuatan maha yang terbaca dari kegelisahannya itu.

Pada puisi lain ada romantisme yang dibentuk dengan begitu bagus. Sebuah pengungkapan perasaan yang sesuai dengan cita rasa puisi. Yakni memanjakan pembaca dari diksi yang digelarnya.


AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Dalam puisi yang melegenda ini terlihat jelas puisi dengan pilihan kata yang terlihat tidak rumit tersebut akan membuat pembaca terhanyut pada gambaran dari sebuah keinginan untuk mencintai seseorang dengan sederhana. Tetapi kesederhanan yang tergambar di sana mengandung arti yang jauh lebih dalam. Aku lirik sebenarnya sedang menunjukkan ketidaksederhanaan dari perasaan cintanya kepada kamu lirik.

Pada bait pertama aku lirik mengumpamakan pengungkapan perasaan cinta itu dengan peristiwa biasa yaitu api yang sedang membakar kayu. Dalam pandangan aku lirik, hubungan kayu dan api itu adalah hubungan yang saling terkait. Api harus membakar kayu agar dia terwujud, tetapi dari gambaran tersebut terlihat pemandangan getir dimana satu pihak harus mengorbankan dirinya. Aku lirik menyamakan ketulusannya sebagaimana kayu yang rela menjadi abu akibat terbakar oleh api. Anehnya pada gambaran singkat antara kayu dan api  itu penyair mengatakan “dengan kata yang tidak sempat diucapkan...” ini memberikan kesimpulan ketulusan yang dimiliki oleh aku lirik itu bahkan masih dipendamnya layaknya kayu yang tak sempat mengucapkan kata kepada api yang menjadikannya abu. Atau bisa juga diartikan itu merupakan sebuah gambaran dari ketulusan cinta yang mungkin tak perlu disampaikan dengan kata-kata tapi terlihat nyata dari pengorbanannya.

Pada bait kedua, aku lirik lebih jauh memberikan gambaran mengenai besarnya perasaan yang dimilikinya kepada kamu lirik di sana. Ketulusan yang dimilikinya adalah sebentuk pengabdian. Pada bait kedua ini aku lirik memberikan pengandaian tentang perasaan cinta yang begitu besar tapi tidak sempat menyampaikan isyarat mengenai perasaan itu kepada kekasihnya. Seumpama isyarat awan kepada hujan yang justru akan membuatnya tiada. Bisa juga diartikan sebuah kesungguhan untuk mencintai dengan tulus tanpa perduli hasil yang akan diterimanya, bahkan yang terburuk sekalipun seperti kehilangan kehidupannya sendiri. Kedua gambaran itu sebenarnya memiliki keterkaitan yaitu pada nilai pengorbanannya. Bait ke dua itu semacam repetisi untuk menguatkan pengakuan aku lirik bahwa cinta sederhana yang dimilikinya itu sebenarnya adalah cinta yang luar biasa.

Dalam puisi lain Sapardi sedang bermain teka-teki. Seperti pada puisi Sapardi pada umumnya, diperlukan jalan memutar yang jauh untuk menemukan petunjuk dari maksud puisinya. Jalan lingkar itu menjadi sulit disaat pembaca terjebak kesederhanaan bahasa puisinya. Dalam sekali baca mungkin tidak tersirat apa pun di dalamnya, tetapi ketika dicermati akan terdapat kejelasan dari gambaran bahasa yang sederhana itu. Bahwasanya ada hal yang luar biasa dalam kesederhanaan tersebut.


BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


Puisi ini memiliki jangkauan yang sangat luas. Kode-kode bahasa yang ditunjukkan Sapardi dalam puisinya ini bersifat umum. Tetapi ada beberapa hal yang tampaknya sengaja diperlihatkan sebagai petunjuk. Aku lirik di sana sedang melakukan perjalanan ke barat di waktu pagi hari. Barat itu bisa mewakili Barat sebagai sebutan dunia yang maju yaitu dunia Barat seperti yang dikenal. Meskipun tidak tertutup kemungkinan, barat yang ditunjukkan itu hanya sebagai hubungan logis terciptanya bayang-bayang panjang sementara matahari ada di belakangnya. Artinya pemilihan arah dan momen itu tidak berarti lebih dari sekedar gambaran peristiwa dan penyair menghendaki pemaknaan lain di balik gambaran tersebut. Misalnya pergi ke barat itu seperti gambaran Tong Sam Cong yang mengambil kitab suci kebijaksanaan ke barat. Dengan kata lain, barat di sana hanya sekedar menjadi salah satu arah mata angin. Tetapi misalnya di balik si aku lirik sedang berjalan ke timur di waktu sore hari hasilnya akan sama (bayangan tetap akan ada di depan aku lirik, sementara matahari ada di belakangnya) dan itu tidak membenarkan dugaan tadi.

Maka dengan sendirinya penyair memang sengaja menunjukkan jejak-jejak dari arah pemaknaan yang dikehendakinya. Barat sebagai arah yang dituju itu adalah lambang dari negara Barat yang lebih maju. Aku lirik sedang berkiblat kepada Barat sehingga muncullah keinginan yang diumpamakan bayang-bayang yang memanjang itu. Sebuah cita-cita yang didorong oleh semangat untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan membentuk pemaknaan seperti demikian akan terdapat kesimpulan, siapa sebenarnya yang dikehendaki oleh Sapardi dengan aku lirik itu? Berjalan ke barat di waktu pagi hari adalah gambaran mengenai Bangsa kita ini, dimana untuk ukuran negara, Indonesia belum lama meraih kemerdekaannya. Waktu pagi hari sengaja dipilih untuk menunjukkan hal tersebut. Di usia muda itu negara yang sedang berkiblat ke Barat memerlukan keharmonisan agar cita-cita bersamanya bisa dicapai. Perselisihan yang tidak perlu harus dihilangkan. Tidak penting siapa yang telah menciptakan bayang-bayang, dengan maksud siapa yang menumbuhkan cita-cita. Tidak penting siapa yang berjalan di depan, dengan arti siapa yang memimpin Bangsa ini. Yang paling perlu diciptakan adalah keselarasan dalam melangkah dengan pandangan yang bening dan tetap wasapada guna meraih impian bersama.

Begitulah ironi-ironi yang sering kali dimainkan oleh Sapardi. Banyak puisinya yang bahkan sangat sulit ditembus, karena begitu dalam makna yang dikehendakinya namun hal itu justru tersimpan dalam gaya bahasa yang sederhana dan nyaris tak terduga arahnya.


KAMI BERTIGA

dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata


Dalam puisi yang tidak cukup panjang ini ada yang menggiring penglihatan mengenai tujuan perumpamaan dengan benda-benda tersebut, yaitu keberadaan Aku, Pisau, dan Kata. Ketiganya disejajarkan dalam satu barisan. Aku, Pisau, dan Kata diserupakan mahluk hidup yang memiliki kehendak. Dalam dunia nyata ketiganya jelas tidak memiliki kaitan kusus. Tetapi ketika ditarik ke dalam puisi ini, ketiganya memiliki kaitan yang erat. Satu dengan lainnya saling memberikan fungsi untuk melengkapi makna yang tersimpan di dalamnya.

Ada sisi sunyi di sana ketika aku lirik yang sebenarnya hanya sendirian saja seolah mendapati kawan dalam kesendiriannya. Pisau boleh jadi memang ada di sana, atau bisa juga tidak. Atau awalnya mungkin ada, tetapi kemudian pisau itu berubah fungsi hanya menjadi pisau maknawi ketika kita mengaitkannya dengan “kata” seperti dalam baris akhir, “tak perduli darahku atau darah kata.” Pisau itu hanya diambil sifatnya sebagai sesuatu yang tajam dan mampu memutuskan benda lain seperti tali misalnya. Perasaan sunyi itulah yang telah menyeret aku lirik untuk menghidupkan benda-benda di sekitarnya (jika benda-benda itu benar-benar ada di sana). Bahkan bisa jadi pisau itu tidak benar-benar ada di sana. Pisau hanya gambaran dari keinginan untuk menciptakan sesuatu dalam bentuk kata dan mengambilnya dari imajinasi penyair. Pisau itu adalah pisau maknawi tadi yang sengaja diangkat ke dalam puisi untuk mewakili sesuatu yang tajam dan mampu menggoreskan luka atau untuk memutuskan sesuatu.

Aku lirik di tengah kesunyiannya sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Ia hendak menciptakan "Kata," tapi kata yang dimaksudnya tidak kunjung keluar. Dengan perumpamaan pisau tadi muncullah hubungan trinitas, yang wujud sebenarnya hanya aku, kata terlahir dari aku, pisau diambil dari imajinasi aku. Dan ketiganya menuju satu arah yang sama yaitu lahirnya "Kata" tadi. Jika demikian, lalu siapakah yang bersembunyi di balik aku lirik itu? Begitu diketahui inti dari puisi ini adalah berkaitan dengan lahirnya "Kata," maka besar kemungkinan aku lirik di sana adalah gambaran dari jiwa seorang penyair atau siapa pun yang terbiasa menyusun kata demi mendapatkan nilai estetis.

Sebuah keinginan yang besar dimiliki Penyair untuk melahirkan kata sehingga digambarkan, “pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya.” Ini hanya simbolisasi saja, bukan berarti aku lirik sedang frustasi dan hendak melukai dirinya dengan pisau tadi jika tidak berhasil melahirkan kata. Tetapi itu adalah sebuah simbol dimana seorang penyair harus berjuang sedemikian keras demi terlahirnya karya yang bermakna, dia harus menjiwai setiap kata yang terlahir darinya, kata yang diperamnya sedemikian rupa setelah berlelah-lelah bergelut dengan bahasa harus masak dan mengenyangkan. Sedemikian keras keinginan aku lirik itu sehingga dia menempuh jalur perenungan mendalam seperti yang digambarkannya, “tak peduli darahku atau darah kata.” Ia juga mengandung gambaran, seorang penyair sejati itu yang benar-benar total dalam kepenyairannya. Sebuah laku bersastra yang disertai esensi di dalamnya. Bukan sekedar pamer kawanan atau unjuk kebolehan di atas panggung. Yang terpenting bagi seorang penyair adalah bagaimana hidup dan menghidupkan "Kata" yang terlahir dari kebeningan jiwanya.


MATA PISAU

mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu


Peristiwa yang seharusnya biasa itu telah diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan sisi ngeri. Pisau yang  tergeletak di atas meja makan seolah memiliki jalan pikiran. Di sini penyair telah bergerak ke sisi lain, ke arah benda-benda selain dirinya. Benda-benda-benda itu menjadi bergerak dan memiliki kehendak. Jika ditarik dari logika berpikir umum itu jelas tidak mungkin. Tetapi dalam dunia puisi, penyair bisa bergerak atau menjadikan apa pun bergerak dalam puisinya. Di ruang imajinasinya sana benda-benda itu sengaja digerakkan untuk sebuah simbol dari maksud penyair. Dia bisa mewakili orang pertama, kedua, atau orang ketiga baik dalam bentuk tunggal atau jamak. Seperti dalam puisi ini Penyair seolah hanya menjadi narator saja dan menceritakan prihal sosok "Kau" dan "Pisau." Padahal tidak dipungkiri Penyair itu sendirilah yang berdiri di balik semua benda tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan "kau" yang dikehendakinya itu terayun kembali kepada diri Penyair bukan sebagai pencitraan orang kedua tunggal.

Bisa juga dipandang, kau itu memang sebagai orang kedua tunggal yang sengaja ditunjuk sebagai wakil dari pembaca. Dalam hal ini Penyair mengajak pembaca untuk melihat sesuatu dari sudut pandangnya. Seperti dalam puisi Kami Bertiga tadi, pisau di sini sebagai simbol berdasarkan sifat yang dimiliknya. Dalam perpindahan posisi ini pembaca diantar ke suatu permisalan mengenai pemahaman kita terhadap hukum kausal. Pisau sebagai simbol dari sesuatu yang sebenarnya ada dalam kendali kita dan ini bisa berarti apa saja. “kau yang baru saja mengasahnya.” Boleh jadi pisau ini wakil dari para buruh yang digerakkan oleh para borjuis untuk menghasilkan uang. Bisa juga pisau ini mewakili serdadu atau rakyat yang didoktrin untuk membunuh dan mengingkari rasa bersalah akibat pembunuhan yang dilakukannya. Bahkan bisa juga pisau ini adalah wakil dari anak-anak kita yang telah kita didik sedemikian rupa sebagaimana kehendak kita.

Pisau di sini memang bisa berarti apa pun dan siapa pun. Tetapi yang jelas dalam perpindahan posisi ini pembaca dapat melihat dirinya menjadi pihak lain. Adakalanya anomali-anomali itu terjadi dan merubah keadaan menjadi berbeda dari keinginan kita. Buruh bisa memberontak pada majikannya, serdadu atau rakyat bisa membangkang pada pimpinannya, anak-anak bisa membantah orang tuanya. Maka menjadi sesuatu yang memiliki wewenang untuk memimpin terhadap sesuatu yang lain itu tidak serta merta bisa berbuat sewenang-wenang. Betapa ngerinya pisau yang tergeletak di meja makan itu tiba-tiba saja berbalik arah dan menggorok leher tuannya. Dan itu tentunya bukan tanpa alasan. Bisa jadi sang tuan lalai menyimpannya pada tempat yang seharusnya sehingga terbawa ke tempat tidur dan menggorok lehernya sendiri. Dengan analogi ini, terang saja buruh memberontak jika majikannya tindak memberikan haknya, serdadu atau rakyat membangkang dan melawan pimpinannya jika hak mereka tidak diberikan, anak-nak bisa juga membantah dan memusuhi orang tuanya saat mereka mengalami penindasan yang tidak semestinya. Hal ini digambarkan Penyair, “ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.”


TENTANG MATAHARI

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.


Ini bukan mengenai peristiwa biasa yaitu matahari hanya sebagai matahari biasa. Artinya matahari yang disebut berulang kali dengan beberapa penjelasan berbeda itu mewakili sesuatu yang bukan sebagai matahari. Tidak jauh beda dengan Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari, matahari di sana menjadi simbol dari eksistensi sesuatu yang tidak benar-benar bisa dipahami keberadaannya. Sekali lagi penyair mendaulat kau lirik sebagai wakil dari pembaca. Artinya pembaca diajak melihat dari posisi tertentu, sementara penyair hanya menjadi narator saja.


“Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil,”


Diceritakan kau lirik sewaktu kecil pernah memiliki balonan gas yang terlepas ke udara. Rasa sedih digambarkan dengan peristiwa itu, yakni sesuatu yang disimbolkan matahari telah mewakili rasa sedih tersebut. Tapi di waktu lain matahari itu dikesankan sebagai sesuatu yang sangat berguna seperti ketika membaca surat. Juga dikesakan sebagai sesuatu yang menyebalkan dimana saat-saat indah penuh romantisme dirusak oleh dering weker. Masih ditambah lagi matahari itu adalah sesuatu yang salah diduga layaknya anak kecil yang tidak benar-benar tahu perbedaan matahari dan bulan. Pertanyaannya adalah, apakah yang sebenarnya bersembunyi di balik simbol matahari itu?

Ia bisa saja kembali ke bentuk aslinya yaitu sebagai matahari sebagaimana ia adalah salah satu benda langit, bisa juga tidak jika dikehendaki arah pemaknaan lain. Kita anggap saja dulu matahari yang dimaksud dalam puisi ini memang matahari yang sebenarnya. Betapa kita sebagai manusia sering tidak sadar akan manfaat yang besar telah diberikan oleh matahari. Tapi ketika siang hari yang terik sering juga kita mengeluhkannya, menyebutnya sebagai sesuatu yang menyebalkan, menganggap Tuhan telah salah menciptakan bola gas itu sehingga merugikan kita pada saat tertentu. Rasa syukur menjadi hilang begitu hakikat dari anugrah keberadaan matahari itu tertutup dari pandangan batin.

Tetapi ketika kita berpikir seperti itu, puisi ini hanya akan berhenti sampai di situ saja. Banyak pertanyaan lain yang tidak terjawab, seperti yang tersimpan dalam baris akhir puisi “supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu itu.” Apa maksud bayang-bayanganmu di sana? Dengan demikian matahari yang dikehendaki dalam puisi ini meruang lebih luas dari pengertian pertama tadi. Ia merupakan simbol dari keberadaan zat yang sulit di defenisikan. Yang terkadang mengandung kesedihan karena kita tak dapat menggapainya seperti gambaran balonan gas yang terlepas dari tangan seorang kanak, yang terkadang membuat kita menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting sebagaimana kesan dari penyerupaan  terhadap lampu itu, yang terkadang menyebalkan karena kita harus memenuhi tuntutannya di saat kita sedang sibuk dengan pasangan semisal jam weker, yang terkadang salah kita tunjuk karena kemisteriusannya sebagaimana anak kecil yang salah mengenali sesuatu.

Matahari di sana bisa jadi adalah perwakilan dari sesuatu yang memiliki kekuasaan. Dia memang di atas sana, di atas segala sesuatu dengan kekuasaannya. Dia mewakili sesuatu yang menjadi inti dari pergerakan sebagaimana maksud Aristoteles dengan Theosnya itu. Tapi dia bukanlah seperti yang banyak diduga oleh orang dengan berbagai gambaran tadi.


“Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.”


Jika diayunkan lebih jauh, mungkinkah matahari itu adalah perwakilan dari Tuhan? Jika iya, lalu apa makna: "supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu?" Sampai di sini saya sendiri terpaku cukup lama dan terkejut manakala sadar ternyata saya telah terjebak ke dalam pikiran saya sendiri. Persis seperti satire yang terkandung dalam kalimat, supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu sendiri. Bayang-bayang di sini merupakan pencitraan pikiran dan cita-cita manusia. Dengan pikiran itulah kita memahami banyak hal demi kebaikan kita hidup di dunia. Pikiran-pikiran itu tercipta karena keadaan, seperti halnya bayangan yang ada karena dua faktor, benda yang memancarkan sinar dan benda yang menghalangi sinar itu menembus dirinya. Benda itu tidak bisa dipisahkan dari bayangannya meskipun dia juga tidak bisa menciptakan bayangan tadi tanpa adanya benda lain yang memancarkan sinar. Tetapi karena pikiran kita itu juga yang terkadang menjebak kita pada pemahaman yang keliru mengenai hakikat sesuatu. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan tanda tanya pada kalimat "Matahari itu?" Di baris ke sepuluh sebagai kesimpulan dari sering salahnya kita memahami sesuatu.

Di sini matahari dijadikan lambang dari sesuatu yang secara hakiki menciptakan bayangan tapi dia di atas sana sedangkan bayangan itu melekat pada kita. Dengan kata lain, segala pikiran dan cita-cita kita sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita. Matahari tetaplah matahari, sedikitpun kita tidak akan bisa mengaturnya, ini maksud dari “Ia memang di atas sana.” Dan bayangan itu terkait erat dengan kita maka bayangan itulah yang bisa kita hela. Artinya Tuhan yang sering kita pahami dengan keliru itu tetaplah Tuhan sebagaimana Dia, sedangkan pikiran dan cita-cita yang telah diberikan Tuhan kepada kita merupakan anugrah sekaligus kutukan agar kita bisa menggunakannya dengan bijak.