museum

Minggu, 02 Februari 2014

BENCANA KEBUDAYAAN



Kita bisa saja membayangkan tahun 2014 adalah awal baru di tengah tidak jelasnya situasi yang mengepung kita. Selain guyuran hujan dan ancaman banjir yang merata, awal baru dalam banyak hal yang kita bayangkan itu ternyata bergerak maju. Dan kita dipaksa untuk terus menunggu. Mengumpulkan harapan seperti seorang penjudi yang menunggu dadu berhenti berputar. Tapi dadu itu jatuh di ruang hampa. Segalanya masih tetap serba mungkin. Terus bergerak dan tak tertebak.

Kondisi seperti itu kemudian dihubung-hubungkan dengan ramalan yang pada akhirnya akan memunculkan seorang Satria Piningit. Masa Kalabendu akan segera berakhir. Namun yang luput dipahami adalah berapa lama masa-masa sulit itu harus terus dihadapi. Dengan cerdik, ramalan tidak menyebut waktu secara spesifik—dan karena itulah saya tidak mempercayainya—ia tidak mengenal kontinum waktu ala Zeno, atau penisbian waktu sama sekali ala Ibnu Rusyd. Bagi ramalan, waktu ada tapi tidak bergerak sampai seluruh bukti terkumpul.

Sayangnya, jika bukti-bukti itu tidak pernah muncul. Kita tidak berhak apa-apa atasnya. Bahkan untuk sekedar kecewa.

Di tahun baru yang menyimpan bertumpuk-tumpuk harapan itu ternyata menghadirkan berbagai tragedi. Mulai bencana alam, bencana sosial, sampai pada bencana kebudayaan.

Machiavelli yang dicap sebagai manusia busuk, dewa agung para diktator itu jauh-jauh hari memberikan gambaran yang terang mengenai bagaimana power (kekuasaan) itu direbut dan dipertahankan. Bahkan di “Il Principle” itu dinyatakan lebih jauh, perbuatan immoral seperti berbuat keji, menghalalkan segala cara, berkhianat boleh dilakukan karena itu memberikan kekuatan. Dalam politik, hal itu bukan barang baru. Tetapi akan sangat mengejutkan jika hal buruk itu menjangkiti wilayah lain, yang ironisnya wilayah tersebut hendak mengangkat harkat manusia dengan kebermoralan, dengan nilai agungnya. Anak cabang kebudayaan yang bernama kesusasteraan.

Sejarah sastra kita telah mencatat beragam dinamika. Kita berhutang sangat banyak pada orang berpendirian teguh bernama HB. Jassin, yang dalam sebuah konflik berujung permintaan tanggung jawab dulu itu, lebih memilih merahasiakan nama penulis cerpen “Langit Makin Mendung.” Konflik yang berawal dari interpretasi tekstual seperti ini bisa dimaklumi. Dan Jassin paham betul, tugasnya adalah melindungi kebebasan itu. Apa pun resikonya. Maka ia membawa rahasia nama itu sampai mati.

Tetapi, jika pun Jassin masih hidup, sebuah tragedi intelektual yang baru saja menerpa dunia sastra yang dicintainya, boleh jadi tidak akan lagi dibelanya seperti dulu. Peristiwa itu adalah munculnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang disusun oleh orang-orang yang menyebut diri mereka Tim 8. Karena ini bukan lagi soal interpretasi, bukan soal klaim kebenaran, tapi pelanggaran integritas, loyalitas, intelektualitas dalam sastra. 

Kita bisa saja memaklumi jika masuknya seorang oportunis, yang bahkan belum pantas untuk disebut sastrawan itu, menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam buku tersebut karena kesalahan cetak, atau ada sabotase salah seorang juri dalam Tim 8. Tetapi sungguh memalukan ketika melihat fakta, taksonomi paling dasar itupun tidak sanggup mereka terapkan. Orang-orang dalam Tim 8 yang seharusnya lebih dari cukup keilmuannya. 

Misalnya konsep taksonomi Bloom yang membaginya dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, yang kemudian terbagi-bagi lagi dalam beberapa bagian lagi. Atau yang lebih spesifik seperti yang digagas Moody dalam model tingkatan, yaitu informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Ini belum menyoal kesuperlatifan dan keberpengaruhan yang ironisnya memang tidak memiliki batas jelas.

Jadi ini semua menyangkut ketidak-bermaknaan juga. Publik sastra dianggap seperti orang lumpuh yang lantas dengan leluasa dicekoki bubur hambar.

Sejak kritik sastra digulirkan oleh Xenophanes terhadap Hesiodes sekitar 500 SM, di masa kuno itu saja kita diajarkan soal klasifikasi, soal verifikasi, soal taksonomi dasar perihal karya sastra dan sastrawannya. Lantas setelah kelahiran “The Death of the Author” dari tangan Barthes, banyak yang salah kira bahwa sastra benar-benar dibebaskan dari klaim, dari kepemilikan. Seolah-olah pula ia menolak tolok ukur, seperti tiga orang buta yang sedang menerka bentuk gajah. Padahal sejauh apa pun sastra bergerak, ia tidak mungkin menolak konvensi, tolok ukur.

Kemudian di belakang itu hendak dimunculkan solusi naïf, bagaimana kalau buku yang cacat konsep taksonominya itu dilawan dengan buku yang lain?

Secara subyektif, orang boleh mengklaim dirinya seorang sastrawan dengan memunculkan karya kacangan paling tidak bermutu di tengah masyarakat. Ini masih di wilayah klaim. Tetapi jika orang-orang yang memahami kritik sastra (dalam Tim 8 itu) menunjuk “orang luar” sebagai seorang tokoh sastra dalam kategori superlatif, ini jelas telah membelokkan sejarah. Sebuah bencana kebudayaan yang tidak saja mengabaikan moralitas, independensi, integritas, tapi juga konsep logis taksonomi!

Padahal dari sanalah ilmu pengetahuan itu dibangun.

Kebebasan bukan soal, bagaimana menguar ketelanjangan hasrat, bagaimana menerabas konvensi, tapi bagaimana mengarahkan free-will. Determinasi yang jelas dan bertanggung-jawab itulah bentuk konkret manusia yang memiliki budi. Sebagaimana yang ditegaskan Louis Leahy dalam diktumnya, “Freedom is self-determination.” Maka tidak ada alasan “bebas” bagi buku penuh kecurangan itu dari tuntutan tanggung-jawabnya. Baik secara moral atau hukum. Karena ini menyalahi konsep, metode, tolok ukur dalam kritik sastra yang selazimnya.

Tak pelak lagi, orang-orang yang peka, cerdas dan paham peta sastra mengecam buku tersebut dengan baragam tanggapan. Ada yang menganggapnya sekedar lelucon konyol di awal tahun, seperti petualangan Don Quixote yang naif. Ada yang dengan sengit menyebutnya sebagai kado ulang tahun “orang luar” yang menjadi penaja buku tersebut. Ada yang mengambil langkah tegas dengan membuat petisi penolakan, karena ini dinilai sudah menyentuh tahap distorsi sejarah.

Sebagaimana Foucault yang menggaris-bawahi bahwa kekuasaan melahirkan legitimasi pengetahuan. Artinya, power, kekuasaan yang diteorikan oleh Machiavelli itu bisa membelokkan konsep kebenaran. Episteme yang didistribusikan oleh rezim kebenaran akan mendistorsi sejarah. Mereka yang menentukan baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, penting dan tidak penting. Agaknya hal inilah yang tengah mengguncang dunia sastra di awal tahun 2014. Ilmu pengetahun yang seharusnya tidak memihak justru hendak dibelokkan oleh orang yang memiliki power. Dari sana diskontinuitas ala Foucault itu berjalan.

Kita memang layak berkabung. Harapan di tengah ketidak-pastian bergerak makin menjauh. Bencana bertubi-tubi menimpa tanpa ampun. Keentahan menampakkan wujud dadu yang terus berputar dalam ruang hampa. Yang kita hadapi kemudian seperti rintih Chairil, “hidup hanya menunda kekalahan,” ketika menemukan silent majority, banyak yang abai atas tragedi tersebut. Mereka yang memilih abstain padahal hanya ada dua opsi, ya atau tidak.

Bencana kebudayaan ini mengorbankan banyak hal terutama harga diri sastrawan, logika taksonomi, integritas intelektual. Dan Jassin boleh jadi akan menangis, jika mengetahui hal memalukan itu justru mendapatkan persetujuan dari rumahnya. PDS. HB. Jassin, tempat yang sangat dibanggakan dan dihormati oleh sastrawan di seluruh Indonesia.



Kajitow El-kayeni

LOGIKA DALAM PUISI 2


(Makna Metaforikal Dari Segi Nilai Intrinsiknya)



Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, puisi memiliki peraturan sendiri dalam hal kebahasaan. Kata yang terbentuk dalam dunia ide tidak dapat dikendalikan. Ia memang mengait dengan sendirinya seperti cetak biru yang direspon oleh pikiran. Maka yang bisa dianalisa dari puisi adalah bentuk teks tadi. Proses sebelum menjadi puisi itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran atau sistem-sistem teori. Di sinilah kerja penyair dipertanyakan kemandiriannya. Proses dari dunia ide itu tidak bisa dituntun, jika pun ada teori-teori tertentu itu berdasarkan teks sesudah puisi berwujud. Atau teori-teori itu berdasarkan pengalaman seseorang dalam menulis puisi, padahal setiap orang memiliki pola pemikiran dan jalur-jalur perwujudan ide yang berbeda. Jauh sebelum puisi menjadi bentuk teks, ia merupakan abstraksi dunia batin yang tak terjangkau oleh bahasa dan pikiran.

Perwujudan dari bentuk ide (yang awalnya abstrak) menjadi bentuk kongkret yakni bahasa, pada dasarnya tidak terlacak baik oleh Psikoanalisa Freud sekalipun. Karena sehebat apa pun psikolog hanya membaca gejala, dalam hal ini sesudah ia berbentuk teks. Jika A.Ganjar Sudibyo dalam “PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA (SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF YANG SINGKAT)” hendak menganalisa struktur ide ini dalam bentuk abstraknya, itu adalah perbuatan sia-sia. Tetapi jika yang dianalisa dalam esai itu adalah ide sesudah ia menubuh dalam bahasa, ide yang tersimpan dalam bentuk teksnya, ide yang hendak dibongkar oleh filsuf dan psikolog (seperti yang terbaca dari catatan kaki esai tersebut), maka hal itu tentu saja bisa diperas dari sintak-semantiknya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai puisi sejatinya membicarakan puisi sesudah ia mengada. Puisi yang telah terwujud dalam bentuk teks ini awalnya mungkin hanya satu lesatan ide, kemudian ia berkembang dan mengucur melalui medium bahasa. Puisi dalam bentuk teks inilah yang mampu dijangkau oleh pikiran, yang mampu dikaitkan dengan logika. Sehingga perlu dipisahkan puisi dalam bentuk proses (ide abstrak) dan puisi dalam bentuk teks terlebih dahulu untuk membicarakan puisi.

Seperti yang telah dibicarakan pada “Logika dalam Puisi 1,” puisi yang dijadikan pembedahan adalah puisi realis yang jelas berkaitan erat dengan logika bahasa. Struktur pembentuk metafora dalam puisi adalah bahasa yang juga dimengerti oleh manusia. Bahasa di sana memang telah mengalami pergeseran pengertian. Awalnya makna yang terkandung dalam kalimat yang membentuk puisi itu denotatif, namun begitu kata yang menyusun kalimat itu bertemu dengan kata yang membelokkan makna awalnya, maka kalimat itu berubah bentuk pengertian menjadi makna konotatif. Di sini perlu digaris-bawahi, yang saya kehendaki dari makna konotatif di sini adalah makna yang terbentuk akibat kepentingan kalimat. Kata penyusun kalimat itu sebenarnya bermakna denotatif, tapi karena dia bertemu kata yang lain sehingga kata pertama tadi berbelok maknanya. Kepentingan kalimat ini memaksa makna kata awal mengikuti makna yang dikehendaki oleh kata selanjutnya. Misalnya saat mengatakan, “bulan pecah di pelataran.” Kalimat tersebut bermakna konotatif, yakni cahaya bulan melimpah di pelataran, atau bulan itu bercahaya terang sehingga membuat pelataran terang. Kata bulan bermakna denotatif sebagai benda langit, kemudian saat bertemu kata "pecah," bulan tadi bergeser pada pengertian lain, yakni yang pecah bukan bulan itu, tapi bagian dari bulan tersebut yakni cahayanya, dalam hal ini cahaya bulan dikatakan pecah karena ia menyebar seperti benda yang pecah.

Dalam contoh lain misalnya “bulan merindu.” Kalimat ini juga telah bergeser dari pemaknaan denotatif. Bulan di sini telah berubah menjadi subyek pengkias dari obyek (subyek sebenarnya) yang bersembunyi dalam diri bulan. Kerja kiasanya merindu, yang jika ditarik dari makna denotatif hal itu sulit terjadi, karena merindu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan manusia. Maka “merindu" di sana telah berubah menjadi makna konotatif. Contoh ini dalam kalimat lain bisa bergeser menjadi bentuk personifikasi lengkap. Misalnya “bulan di langit merindu gelap.” Bulan diserupakan manusia yang merindukan gelap agar bulan tadi bisa bercahaya terang. Bisa juga ditafsirkan berbeda, sesuai makna yang dikehendaki puisi dalam bentuk utuh.

Metafora adalah salah satu majas yang berfungsi untuk mengungkapkan secara langsung dengan perbandingan analogis. Metafora atau acapkali disebut metafor juga bisa dimaknai secara umum (bahasa) yakni sebagai kiasan saja. Seperti yang sudah dikenal secara luas, metafor bisa digunakan dalam ranah sastra atau dalam percakapan sehari-hari. Pada pembicaraan umum, tentu saja metafor yang digunakan juga bersifat umum, atau memiliki makna yang bisa ditangkap secara jelas. Ini adalah fungsi bahasa secara luas. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Hudan Hidayat, (yang kurang lebih berbunyi) seseorang mengatakan pada temannya dalam sebuah percakapan, “Ah, malam sudah larut kawan.” Ucapan tadi adalah sebuah kiasan dari maksud sebenarnya untuk menyudahi permbicaraan dan segera tidur. Apalagi jika itu dikuatkan dengan bahasa tubuh, seperti menggeliat atau menguap.

Begitulah manusia menggunakan metafor dalam bahasa sehari-hari. Manusia secara alami membentuk sistem bahasa seperti demikian untuk menyamarkan maksud agar terasa lebih halus. Hal ini tentu saja didasari kesadaran dan kepahaman secara kultural oleh lawan bicara. Ini yang dimaksud oleh Barthes dengan makna konotasi yang disebutnya ”Mitos” itu. Meski seperti yang dulu saya katakan, konotasi semacam itu tertutup sifatnya dan memiliki makna khusus yang sudah jelas bagai kelompok masyarakat tertentu. Dan makna semacam ini mengalami kebuntuan saat diterapkan pada metafor dalam puisi. Karena makna konotatif dalam puisi itu terbentuk berdasarkan kepentingan kalimat, kepentingan kalimat itu terkait dengan kepentingan tema. Dalam puisi, metafor menjadi majas yang memiliki kriteria berdasarkan keumumannya. Kriteria ini untuk memberikan definisi agar tidak bercampur dengan definisi majas lain. Juga demi mendapatkan fungsi yang tepat guna.

Sebuah metafor adalah tubuh bayangan. Di samping bentuk fisik yang seimbang dalam struktur kerja kiasnya, metafor juga terwujud berdasarkan kepentingan tema. Artinya ide (yang entah bagaimana bentuknya dalam dunianya sana) itu memerlukan bahasa kias untuk mewujudkan dirinya. Maka ide besar yang terbagi ke dalam sub-sub ide ini juga harus memiliki fokus pekerjaan sebagai metafor, bukan memiliki fungsi lain. Meskipun sebuah metafor itu bisa dibentuk dari majas lain. Misalnya personifikasi dijadikan metafor, "Malam ini rembulan menangis tersedu." Bentuk majasnya personifikasi tapi fungsinya sebagai metafor , jika dalam struktur puisi ia memang berfungsi sebagai metafor. Dengan begitu metafor itu sebenarnya tidak dalam bentuk berdiri sendiri saja. Bentuk-bentuk lain bisa diadopsi dan memiliki fungsi sama yaitu sebagai metafor. Sub-sub ide dalam setiap baris itu menyatu dengan ide pokok. Metafor, meskipun ia bukanlah sebentuk struktur yang solid, tapi ia memiliki fungsi yang solid yakni sebagai metafor.

Seperti yang dulu pernah saya katakan (pada Logika Dalam Puisi 1), metafor berfungsi untuk mengaburkan maksud atau untuk tidak menyederhanakan maksud. Sesuai dengan kebiasaan puisi menunjuk ini menghendaki itu. Namun satu hal yang perlu dipegang teguh oleh penyair adalah masalah fokus. Penyair harus berpusat pada ide yang hendak ditunjukkannya dalam pengkiasan itu, ide yang memunculkan metafor tadi, yang berfungsi untuk mengiaskan tubuh pokok. Dan itu yang harus difungsikan dengan benar. Jika metafor ya metafor, jika subyek itu dibentuk sebagai majas personifikasi ya harus begitu seluruhnya tubuh puisi di bangun. Puisi sesungguhnya hanyalah perwujudan sebuah ide. Hal ini kemudian terbagi menjadi sub-sub ide, baik per kalimat, per baris, per bait, hingga menjadi satu puisi yang utuh dengan satu ide besar. Fokus seorang penyair (berdasarkan kecenderungan teks) harus bertumpu pada ide atau tema tadi. Karena hal itulah yang membuat larik-larik dalam puisi koheren.

Dilihat dari bentuk fisik, metafor memiliki struktur dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan unsur-unsur tadi sangat menentukan tersampainya pesan yang disamarkan. Puisi, sejauh apa pun dia bergerak tetaplah bagian dari sastra, yang memiliki tujuan jelas hendak menyampaikan pesan dengan sistem yang unik. Maka dengan sendirinya, secara logis puisi memiliki struktur yang dapat dianalisa, kemudian diberikan penilaian berdasarkan sistem penilaian yang sudah diamini dalam konvensi. Pada awalnya, penilaian itu bisa dilakukan dengan metode perbandingan. Dua buah puisi dengan tema dan gaya yang sama disejajarkan untuk membandingkan kelebihannya. Nilai tadi tentu tidak dapat diukur berdasrkan kadarnya, tetapi dengan perbandingan tadi otomatis akan dihasilkan penilaian terhadap puisi yang berhasil. Penilaian seperti itu tentu saja mempertimbangkan unsur-unsur penilaian, juga faktor lain yang berkaitan dalam studi sastra secara luas. Dan itu tentu saja berkaitan dengan sejarah sastra, karena bahan perbandingan diambilkan dari dokumentasi karya yang dinilai berhasil berdasarkan unsur-unsur penilaian tadi.

Unsur-unsur yang dinilai pada puisi berdasarkan berbagai ukuran, tolok ukur, dan kriteria di antaranya: (1) koherensi atau keselarasan, (2) keseimbangan bentuk atau keindahan, (3) kepaduan pada tema, (4) keutuhan atau tunggal, (5) pengucapan yang khas, (6) kebaruan atau inovasi (7) efesiensi, (8) keunikan sudut pandang, (9) lapis metafisis seperti sublim, tragis, suci (10) sinar kejelasan, (11) keaslian ekspresi atau originalitas, (12) baik yakni sugesti yang mendorong untuk mengikutinya, (13) pengalaman jiwa, (14) keluasan wawasan, (15) nilai rasa, (16) sikap moral, (17) gambaran kenyataan. Nilai-nilai yang saya sebutkan ini dalam prakteknya hanya ditumpukan beberapa saja dalam sebuah apresiasi. Hal itu semata untuk menghasilkan keindahan yang terlihat jelas saat dilakukan perbandingan. Tidak tertutup kemungkinan masih banyak nilai-nilai lain, berhubung fokus kali ini mengenai metafor, maka penjabaran mengenai nilai itu ada pada kesempatan lain.

Oleh karena puisi memiliki struktur untuk dinilai, maka unsur-unsur di dalamnya bisa dipecah kemudian dilakukan penilaian. Pada pembahasan awal (Logika dalam Puisi, 1), puisi dilihat dari peranan unsurnya terbagi dua unsur yakni (1) tema dan (2) sistem uniknya. Tetapi kali ini pendekatan akan dilakukan dari sudut pandang yang lain, puisi dipandang sebagai entitas, sebuah wujud benda yakni teks. Maka dengan begitu puisi terbagi menjadi unsur luar yakni teks dan unsur dalaman (intrinsik). Unsur teks dikhususkan pada pembahasan metafora dalam puisi untuk kajian struktur metaforikal terdahulu yang membagi struktur subyek pengias, obyek yang dikiaskan, kerja kias. Metafor dilihat dari nilai intrinsiknya bertumpu pada:

1. Keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi.

Sebuah puisi adalah perwujudan ide. Maka seluruh kode bahasa yang muncul adalah bertujuan untuk menjabarkan ide tersebut. Misalnya seseorang yang tiba-tiba merasakan kerinduan pada kekasihnya, lalu ia mengiaskan rindu itu dengan kiasan “bulan di pelataran malam yang sunyi tak bertepi.” Bulan di sana mewakili kerinduan yang dialami seseorang. Begitu juga dengan keadaan yang sunyi tadi berfungsi untuk menguatkan penggambaran. Begitulah seluruh kekuatan kode bahasa itu dimunculkan demi menyampaikan pesan kepada pembaca. Puisi yang baik bukan yang gelap sepenuhnya atau yang terang sepenuhnya, tapi ia bermain di daerah antara. Bisa jadi ia mengusung diksi sederhana, tapi selalu ia memiliki jalan berputar untuk dimengerti. Bisa jadi ia rumit, tapi kerumitan itu mengarah pada pengertian. Ia tetap memberikan petunjuk kode bahasa yang bisa dikaitkan dengan kode lain yang muncul dalam puisi, sehingga lahirlah pemaknaan yang terstruktur.

“Bulan” tadi telah mewakili kerinduan, ketika seseorang ingin melebarkan lagi, misalnya menyebut “Pungguk ini meratap, namun kata tak sampai bunyi.” Kalimat ini membangun penggambaran sebelumnya sehingga ada ikatan dengan ide dalam puisi. Penggambaran ke dua sejalan dengan fungsi-fungsi yang ada. Jika satu subyek, sebut saja "kau lirik" yang dikiaskan dengan bulan, maka subyek lain katakan "aku lirik" dikiaskan dengan pungguk. Dan fungsi-fungsi ini terus berkaitan hingga baris-baris selanjutnya jika ingin disambung lagi. Puisi dengan tubuh selebar apa pun harus memiliki keterkaitan ini. Koherensi dengan ide pokok itu niscaya sifatnya. Karena ia adalah titik tolak kata menyeret kata yang lain sehingga lahirlah pemaknaan terhadapnya secara utuh.

2. Fungsi metafor tersebut, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya.

Sebuah metafor harus memiliki fungsi yang jelas, yakni metafor itu berfungsi sebagai metafor. Metafor itu tidak bercampur dengan fungsi majas lain. Boleh jadi ia memang terbentuk dari majas lain, misalnya personifikasi. Ia bisa menjadi metafora saat keperluan personifikasi tadi dibatasi oleh kepentingan metafora.  Dengan catatan fungsi personifikasi di sini tidak bertentangan dengan fungsinya sebagai metafora. Dalam puisi tertentu, sebuah personifikasi memang membentuk puisi secara menyeluruh seperti membicarakan hewan yang diserupakan dengan pekerjaan manusia. Maka fungsi personifikasi di sana secara untuh memang sebagai personifikasi. Dalam puisi tertentu yang lain, personifikasi tadi digunakan untuk melengkapi kiasan yakni dalam lingkup metafora. Ia digunakan untuk mengiaskan subyek tertentu dalam puisi. Di sinilah metafora itu dituntut untuk tetap fokus pada satu fungsi, yakni sebagai metafora saja. Jika sebuah metafor memiliki fungsi lain, maka dia tidak koheren dengan kepentingan ide dalam kalimat.

3. Keselarasan dengan metafor lain.

Satu metafor dengan sendirinya akan berkaitan dengan metafor lain. Jika satu dikiaskan sebagai bunga, subyek lain akan dikiaskan sebagai kumbang atau hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Jika ada metafor lanjutan dari pengiasan pokok ini, ia merupakan pelengkap. Artinya, satu metafor dengan metafor lain saling terkait dan menguatkan. Keselarasan ini hampir sama dengan poin pertama mengenai keterkaitan dengan ide pokok dalam puisi. Perbedaannya hanya pada fokusnya. Jika ada beberapa metafor yang melenceng jauh, maka dengan sendirinya ia tidak membangun puisi karena tidak selaras.

Sama seperti yang dibicarakan dalam pembahasan sebelumnya, unsur-unsur yang mengatur kelogisan metafor adalah kesebangunannya atau kesimbangan dalam penggambaran. Hal ini terkait dengan salah satu unsur keindahan yang mutlak dimiliki oleh puisi. Jika faktor kesebangunan ini diabaikan, maka sebuah puisi belum memiliki kekuatan maksimal. Sesuai dengan premis yang sudah umum mengenai, kebulatan, kesebangunan, efesiensi, sebuah puisi dituntut untuk indah atau memberikan kenikmatan, mengajarkan moral yang lebih tinggi, memiliki kejelasan atau ketepatan dalam wujud penyampaian. Premis yang pertama kali diluncurkan oleh Plato, yang kemudian diamini oleh filsuf-filsuf sesudahnya.


*****


*) Metafor atau metafora yang saya maksud dalam tulisan ini sekaligus dalam dua bentuk, sebagai majas dan sebagai kata benda yang berarti kiasan. Tergantung topik yang dibicarakan dalam kalimat.



Kajitow Elkayeni


Filsuf

SISI SUNYI PENYAIR




apa perbedaan puisi dan prosa? pertanyaan sederhana itu tidak lagi menjadi sederhana lagi saat berhadapan dengan prosa liris. ia tetaplah prosa tapi memiliki gaya puisi. atau sebaliknya saat sebuah puisi meminjam nafas prosa. baris baris panjang dengan bahasa terang membuatnya seolah telah melompat dari bingkai puisi yang umum dikenali. tapi apakah puisi dan prosa memang tidak lagi memiliki perbedaan? saya kira setiap karya sastra memiliki tempat tersendiri untuk dikelaskan sesuai karakternya. puisi dan prosa sebenarnya sama-sama hendak menuturkan sebuah cerita, perbedaannya tentu dilihat dari gaya penulisannya. identifikasi semacam ini penting dalam konteks bahasa. akan sangat membingungkan saat kita menunjuk sesuatu yang tidak kita ketahui nama dan jenisnya.

lalu jika batas itu telah kabur akankah puisi dan prosa bisa dibedakan lagi? sebenarnya tidak perlu membalik balik halaman pelajaran sastra untuk membedakan puisi dan prosa. sejauh apa pun sebuah puisi bergerak selama dia masih berpusar pada struktur dasarnya dengan sendirinya karya itu jatuh pada puisi. seperti mengenali gaya bahasa berdasarkan sintaksemantikanya, juga kecenderungan enjambemen yang dengannya puisi terjeda bahkan dalam imajinasi sekalipun jika sebuah karya dinafaskan prosa. sebuah prosa yang sederhana sekalipun harus memiliki beberapa ciri yang membuatnya jatuh dalam kategori prosa, seperti alur, penokohan, dan latar. juga pengindetifikasian lain yang sudah akrab dikenali. tanpa itu sebuah prosa akan gagal disebut prosa karena ia tidak memiliki ciri prosa.

kategori suatu karya sastra (juga termasuk penilaian terhadapnya) itu memang bisa juga dikatakan ia ditentukan oleh struktur verbal yang otonom dan koherensi interen yang melekat pada dirinya. sehingga bagian-bagian dari karya itu bisa dianalisa menurut keseimbangan, koherensi serta kompleksitasnya.

tetapi ada baiknya memang sedikit menengok a. teeuw yang mengembalikan ulasan terhadap karya sastra berdasarkan tiga konvensi, yakni: konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. panjang ini jika hendak mendekati sebuah karya atau melakukan pengulasan terhadapnya memakai bingkai objective criticism. di mana karya sastra itu merdeka, mandiri, serta terbebas dari pengaruh sekitarnya. tapi ada baiknya sedikit mengambil sebagian dari keyakinan a. teew tadi untuk mempertegas pengidentifikasian yang saya maksudkan. yakni meminjam istilah rene wellek (di antaranya): penilaian puisi dilihat dari, efoni, irama, gaya, citra dan metafora. sedangkan pada ragam naratif (termasuk prosa): alur, penokohan dan latar. dari sini jelas terlihat konvensi bahasa yang membedakan antara puisi dan prosa begitu juga penilaian terhadap keduanya. boleh jadi memang hak otonom sebuah karya membebaskanya untuk jatuh pada sisi tertentu sesuai keinginan penciptanya. tapi konvensi bahasa tetap mengikat agar sebuah karya mudah diidentifikasi. dalam hal ini tidak ada yang mutlak memang tapi sebuah konvensi itu sangat diperlukan demi terciptanya kesinambungan pandangan pada satu titik temu.

melihat ciri yang melekat pada tulisan kawan nu arur ini. dapat dikategorikan ia lebih dekat kepada puisi, meski sah saja jika penulisnya mengehendaki tulisan tersebut adalah prosa pada awalnya. jika pun begitu maka dengan sendirinya prosa tadi gagal dikategorikan prosa dan masuk dalam wilayah puisi. kenapa bisa begitu? jelas saja dengan mengembalikan kecenderungannya pada ciri puisi sesuai konvensi. dalam hal ini saya agak serius memposisikan sesuatu sesuai kategorinya, karena itu sangat penting untuk mengkaji sesuai karakter yang ada padanya. terlebih lagi sangat sulit menentukan nilai dari sebuah karya itu jika dalam proses indentifikasinya saja sudah menemui kebuntuan.

banyak puisi dunia yang tidak mengangkat tema-tema berat. saya juga heran kenapa kesunyian yang saya tangkap dari puisi bertema sederhana itu begitu kuat membius. seperti kata jean-paul sartre(?) manusia itu harus hidup seorang diri di alam semesta, dengan begitu ia menjadi kesepian (soliter). dalam kesunyian itulah manusia mencapai kebebasan mutlak. maka sunyi itu pula yang terangkat ke dalam puisi mereka, sunyi yang menghisap pembaca pada kesunyiannya sendiri: untuk soliter tadi. ini pula yang membedakan penyair dengan kebanyakan orang. bukan karena introvert atau tidak ya, tapi penyair selalu punya ruang sunyi di dalam hatinya untuk menangkap sudut yang berbeda terhadap apa pun yang diinderanya. seperti tahun baru misalnya, orang mungkin hanya akan menangkap gemerlap ramainya peristiwa itu. tapi penyair selalu menangkap sisi sunyi dari peristiwa tersebut. ia mengambil posisi berbeda dari kebanyakan orang, bahkan terkadang berlawanan.

puisi ini menurut saya hendak bermain di ruang yang sama: ruang sunyi tadi. di mana beranda lengang itu menjadi ajang sekaligus lawan dialektika penyair, meskipun menurut saya ada yang masih luput di sana. penyair tidak benar benar masuk pada kesunyian yang dihadapinya. boleh jadi memang kesunyian itu diseret pada pemaknaan lain. misalnya sunyi yang riang. dalam kesunyian seseorang menjadi merdeka dan dengan kebebasan itu seseorang mencapai kemutlakan seperti kata sartre tadi. tapi tidakkah kesunyian itu bertolakbelakang dengan paradigma yang dengan cepat kita tunjukkan pada orang orang di dalam penjara itu. kesunyian yang mereka hadapi tidaklah mungkin dikatakan megandung keriangan. ada kalanya memang seorang manusia itu membutuhkan suasana khusus untuk bersunyi misalnya. tapi tidaklah bisa diartikan sunyi tadi mengarah pada keriangan, karena riang itu sesuatu yang bertolak belakang dengan kesunyian dari banyak segi.

seorang penyair memang memiliki sisi sunyinya, dengan itu ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. meskipun sisi sunyi di sini dari segi sudut pandang, bukan sunyi dalam arti yang sebenarnya.

apa yang luput itu akan jelas saat dilakukan perbandingan dengan puisi yang bermain di ruangan sama itu. bukan dari segi gaya bahasa yang diusungnya tetapi lebih kepada sunyi yang hendak dimunculkan oleh kedua puisi. dari sana akan terlihat laju bandul kesunyian pada kedua puisi memiliki arah yang berbeda. penyair nu arur berdialektika dengan kesunyian yang dihadapinya: bersama beranda itu. benda benda di sekitarnya memang bergerak disebabkan kesunyian tadi. tetapi sunyi itu berhenti pada dirinya si sunyi dan tak hendak menjangkau apa yang bisa dihadirkan oleh kesunyian tadi terhadap penyairnya. dengan kata lain sunyi itu baru lapis luarnya belum sampai pada inti di dalam sunyi yang sebenarnya.


Rindu Laut     
Oleh: Derek walcott


           
Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.



dalam puisi ini derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. benda benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. padahal tidak ada apa apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. kita tidak sedang membicarakan tuhan di sini. tapi sunyi itu seolah tuhan yang bergerak tanpa gerakan. yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. ini inti sunyi yang saya maksud itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing.



****



kajitow elkayeni
esais


SINTESIS ATAS TESIS RIFFATERE: KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI



            Ancang-ancang

Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi. Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak, berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga melengkapi.

Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang tergeletak.

Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang membentuk hal itu, yakni:

1.      Penggantian arti (displacing of meaning)

Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.

2.      Penyimpangan atau perusakan arti (distorting of meaning)

Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang terwujud dalam puisi adalah  hasil dari perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu, dia tidak menyebut secara definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut Riffattere ini dikarenakan tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi dan nonsense.

3.      Penciptaan arti (creating of meaning)

Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta, seperti yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homoloque dan tipografi.

Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global. Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai kepentingan kalimat.

Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).

Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya: penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).
                                                                                                     
1.      Penggabungan Arti (consolidating of meaning)

Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti tesis Roland Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagian sifat dari makna denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna konotatif dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam komunikasi formal, makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala Barthes. Ia memiliki arti tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural penuturnya. Konotatif formal terbentuk karena pengiasan yang berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika seseorang mengatakan “kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk kambing hitam itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu secara tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul darinya. Meskipun sebenarnya ada cara lain, penggalian makna konotatif formal bisa dikembalikan pada sebagian sifat denotatifnya. Hal itu mempertimbangkan makna denotatif sebagai makna primer. Sebelum manusia mengenal makna skunder, secara logis ia menggunakan makna primer untuk berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda, keperluan retorika, maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal sastra, makna skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih tinggi dibanding makna primer.

Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah sebuah definisi bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus, meski mungkin bukan dia pelakunya. Dilihat dari segi aplikasi logisnya, kambing hitam cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini memungkinkannya untuk berdiri sebagai the other, liyan, ia adalah sosok khusus yang dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga mengandung pengertian sebagai konotasi dari warna hitam yang sering dijadikan oposit dari simbolisasi warna putih. Lalu kenapa kambing? Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda hitam? Atau ayam hitam? Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan semakin membuat kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan. Tetapi berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka pemaknaan dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya, bukan sebagai perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu juga dengan “kuda hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal ini terkait juga dengan sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan. Untuk menghasilkan pengertian secara lengkap tentu ia merujuk pada studi filologi dan kesepakatan sosial-kulturalnya, dan itu adalah langkah yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan sampel dengan ribuan variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa generasi untuk sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah kebahasaan. Dan ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk menghadirkan bukti-bukti empiris kelak.

Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di sini adalah penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang lebih lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif hanya satu bagian dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk karena penggabungan arti dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang meloncat dari kekosongan, yang ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi makna konotatif tercipta karena pembelokan dari makna denotatifnya. Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski tidak jelas lagi. Dari situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.

Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif interpretasi (interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif. Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan tanda baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang bermakna denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif karena dibelokkan oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak mungkin berdiri sendiri. Maka biasanya dalam konotasi formal (di luar puisi) makna ini terbentuk lebih dari satu kata, minimal ia adalah kata majemuk, seperti kambing hitam, panjang tangan, kuda hitam, besar mulut, lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau kalimat konotatif sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk denotatif, maka kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan kalimat saja, ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa berdiri sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya. Artinya, ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga bangsa, bunga bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat, (1) “Bunga Bank itu disiram setiap hari sehingga terlihat segar (maksudnya bunga di taman sebuah bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik peminjamnya (bunga sebagai makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh pertama terlihat janggal karena makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna denotatif.

Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu berawal. Kata secara individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu bertemu kata yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya adalah karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah) tapi ia memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan arti di sini seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak bisa mengatakan tidak ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan secangkir gula dalam air teh. Gula itu meresap sehingga tidak perlu disebutkan lagi sebagai secangkir gula dalam air teh. Namun ia juga tidak bisa disangkal jika ada di dalam teh tersebut meski dikatakan secangkir teh. Begitulah makna konotatif itu terbentuk karena peleburan makna denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya sehingga tidak terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik tolak pembelokan arti.

2.      Percabangan Arti (affiliating of meaning)

Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (distorting of meaning) mengenai ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable). Tetapi di sana tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana ambiguitas itu menghasilkan makna ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada penyimpangan arti, bukan khusus pada percabangan arti yang saya maksud. Makna ganda yang dimaksudkan Riffattere adalah hasil penyimpangan dari makna seharusnya secara definitif. Di sini, percabangan arti adalah hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud Riffattere tersebut. Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan lebih dari satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak benar-benar merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang dikiaskan tidak sejajar dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang dihasilkan bercabang pula sesuai subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini pemaknaan secara menyeluruh akan bergantung pada ide pokok atau jalur yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut. Jika dalam puisi ada kalimat konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang jelas, maka di sanalah percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah sesuai jalur yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan subyek-subyek berbeda.

Ada jenis kata yang secara definitif memang mengandung beberapa pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami melahirkan makna ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti “mampu,” dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati, kata itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata bisa dijadikan kata benda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja, misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti mampu atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti ini sebenarnya tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai satu kata tanpa kaitan dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari pengertian karena makna ganda tadi meniadakan satu dengan lainnya ketika tidak ada kepentingan kalimat. Dalam bahasa praktis, definisi harus diberikan pada kata dengan makna ganda seperti ini, tapi hal itu tidak logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata dengan makna ganda tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna saat ia berdiri sendiri.

Dalam puisi, makna ganda tersebut tidak terbentuk secara alami sebagaimana kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena kepentingan-kepentingan kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat ini bisa terjadi begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi dalam bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang berbeda.

3.      Konkretisasi Arti (concreting of meaning)

Jika kata pembentuk makna konotasi adalah kata konkret, misalnya kata salju, maka makna yang dihasilkan oleh diksi tersebut selalu membawa sifat denotatifnya secara konkret pula. Yaitu sifat-sifat yang diambil dari definisi atau kesepakatan penafsiran dari makna konotatif yang dihasilkannya seperti dingin, beku, putih, asing, ketiadaan harapan. Makna seperti ini tidak rusak, berganti, atau tercipta yang baru seperti tesis Riffattere. Tapi ia adalah makna konotatif yang bersifat opresif seperti makna denotatif. Ia bermakna tetap meski digabungkan sebagai kata majemuk atau bertemu subyek yang lain. Salju sebagai kata konkret itu selalu membawa identitasnya ke manapun ia berada.

Mungkin sekali menjadikan salju sebagai gambaran sebaliknya, misalnya dengan membelokkan sudut pandang. Tetapi puisi dengan watak yang dimilikinya memanfaatkan piranti bahasa secara maksimal. Kata bahkan tanda baca didaya-gunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu tidak saja dari bentuk makna konotatif atau denotatif, kata yang muncul pertama kali sebagai identifikasi entitas di dunia juga menjadi perlambangan konkret ketika difungsikan dalam komunikasi. Ia bukan sistem fisik atau mental dari kata, tapi kesan yang dimiliki kata tersebut. Ia bukan nilai arti secara deskriptif atau metaforis, namun keberhubungan sistem-sistem arti tadi. Dan kata jenis ini menjadi penggerak dari pemaknan sehingga

4.      Keberlangsungan Arti yang Terus-menerus (enduring of meaning: continually)

Pada pola-pola khusus, misalnya puisi pendek yang cenderung padat dan berkadar efesiensi maksimal, makna yang dihasilkan tidak berhenti pada kehendak penciptaan teks ke dua (penafsiran). Minimnya kode bahasa membuat pemaknaan tidak akan pernah final jika hanya didasarkan makna asli dari kode bahasa yang ada itu. Maka kata-kata yang padat itu selalu membutuhkan teks lanjutan yang tidak eksis dalam bentuk fisik dalam puisi. Ia adalah serupa bola bekel yang terus bergerak dalam mesin pengocok.

Pada puisi panjang, kode bahasa memaksa pemaknaan untuk tunduk pada jalur-jalur pemaknaan yang terbentuk. Penafsir hanya tinggal memilih satu jalur paling logis yang didukung oleh kode bahasa terbanyak. Sedangkan puisi pendek tidak memiliki hall itu. Keterkaitan penafsiran pada puisi pendek hanya bergantung pada petunjuk-petunjuk pokok. Misalnya puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya memiliki satu baris kalimat sebagai tubuh puisi, “Bulan di atas kuburan.” Pemaknaan paling mungkin atas puisi itu adalah mengaitkan judul dengan sebaris kalimat sebagai tubuh puisi. Di sini yang berkorelasi bukan makna yang secara an sich berasal dari kode bahasa, tapi kontradiksi suasana yang dibangun dalam puisi. “Malam lebaran” identik dengan luapan perasaan bahagia, malam pesta, malam kemenangan. Tetapi suasana yang dibentuk itu kontras dengan “bulan di atas kuburan” yang memunculkan susana sedih, takut, sepi, kehilangan, ketiadaaan harapan. Kontradiksi ini yang paling mungkin menghasilkan pemaknaan, tapi bukan yang paling pasti karena ketiadaan dukungan kode bahasa yang lain.

Hal demikianlah yang membuat pemaknaan dalam puisi pendek tidak pernah final. Ia terus mengalirkan pemaknaan secara berkekalan. Itu disebabkan karena beberapa hal: 1. Minimnya kode bahasa sehingga terus membuka celah-celah pemaknaan. 2. Ketergantungan pemaknaan atas masuknya data-data intertekstualitas. 3. Tidak adanya ikatan yang jelas antara satu penanda dengan penanda lain. 4. Subyektifitas penafsir tidak memiliki patokan terstruktur dalam pemaknaan.

Kesimpulan

Premis di atas itu sekilas mirip dengan tesis Riffattere, basis analisa yang sama memungkinkan premis-premis tersebut berseluk-beluk. Namun fokus pembicaraan antara dua premis itu sebenarnya tidak sama. Secara garis besar ketidaklangsungan ekspresi yang muncul dalam karya sastra, khususnya puisi memang sudah disebutkan dengan tiga premis Riffattere, hanya saja ada bagian-bagian lain yang tidak disoroti dengan detail. Artinya, premis itu tidak mengupas habis dalam setiap model yang ada. Sintesis yang dihasilkan atas pertemuan dua tesis di atas terbuka kemungkinan untuk terus berkembang. Fenomena yang terjadi dalam puisi tidak memiliki titik akhir. Selalu ada gejala-gejala baru, temuan-temuan baru yang membuat orientasi terhadap puisi mengalami pergerakan. Seperti halnya kejadian secara umum dinamika hidup di dunia ini memang tidak berhenti pada satu titik. Selalu ada kebaruan-kebaruan lain yang muncul seiring bergesernya jaman.

Fakta yang paling pokok dalam puisi adalah mengenai adanya pembelokan pemaknaan yang disebut Riffattere sebagai ketidaklangsungan ekspresi. Puisi menempuh jalur berbeda dibanding komunikasi formal, hal ini diistilahkan dengan menyebut ini menghendaki itu. Sistesis yang terwujud ini bukan berasal dari penyangkalan mutlak. Dari segi proses pengamatan dan pengambilan sudut pandang memang ada perbedaan prinsip, yakni ada perbedaan pandangan mengenai proses munculnya makna konotasi dalam puisi. Konotasi yang ada dalam puisi menurut Riffattere memerlukan peran interpretator, sebagaimana keyakinan Charles Sanders Peirce mengenai semiotika secara umum. Keberadaan makna itu tidak nyata kecuali diciptakan dengan interpretasi. Menurut saya, makna itu secara an sich sudah ada di dalamnya. Ia terbentuk sedemikian rupa karena kata berdekatan dengan kata yang lain, penanda berhubungan dengan penanda yang lain. Makna itu muncul karena kehendak kepentingan kalimat dan ide pokok dalam puisi. Peran interpretator adalah membuka selubungnya, menguak yang terpendam di dalamnya, tetapi ia telah ada dan interpretator hanya menemukan yang tergeletak di sana, bukan sedang menciptakannya dari kekosongan.

*****

Kajitow El-kayeni
Filsuf, tinggal di pinggiran Jakarta



MEMBACA SAKSI YANG SEXY DALAM “SAJAK EMAS”





Dalam hidup, yang membuat manusia menyadari eksistensinya adalah adanya masa lalu. Kekinian hakikatnya terus bergerak. Saat seseorang mengatakan “sekarang,” tempo yang dimaksudkannya sebenarnya telah terlewat, dan ia menjadi bagian dari masa lalu. Masa sekarang menjadi absurd karena tempo yang terlewat tadi. Waktu yang dikenali manusia sebenarnya berasal dari pergerakan dan perubahan benda-benda di jagad raya, termasuk cahaya dan energi. Jika seluruh benda sampai bagian terkecilnya (molekul; atom; quark) diam tanpa gerakan, maka waktu itu menjadi tiada. Karena itulah manusia dengan hukum kesadarannya membagi waktu berdasarkan gerakan. Mulai dari hari, minggu, bulan, tahun, abad, milenium, dan seterusnya. Tetapi tempo yang dibagi manusia itu pada dasarnya adalah gerakan juga, sebelum mencapai milenium, harus melewati abad, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit detik, sekon, dan seterusnya. Dalam ukuran itu, tempo menjadi bagian terkecil yang mampu ditangkap oleh kesadaran manusia. Artinya, kekinian pada dasarnya tetap bergerak, atau substansi dari kekinian itu absurd sifatnya, apalagi jika menyoal masa depan.

Maka yang tetap di sana adalah masa lalu. Ia tetap karena berupa jejak yang direkam oleh kesadaran dalam gerakan kekinian itu. Manusia memang tidak bisa hidup di dalamnya, tetapi darinya manusia merumuskan gerakan dalam kekinian dan tempo yang akan datang. Dalam upaya merekam jejak masa lalu itu pula penyair Dimas Arika Mihardja (DAM) menyusun pikiran dan hasil renungannya ke dalam buku antologi puisi “Sajak Emas.”

            Puisi adalah buah pikiran yang padat dan tersusun, manusia selaku mahluk yang berpikir selalu hendak mencatat banyak hal yang dilalui dalam hidupnya ke dalam benda-benda kenangan. Bisa berupa tulisan, potret, video, pernak-pernik, atau tempat dan lokasi tertentu. Puisi juga merupakan alat perekam kejadian, dan ia lebih dari sekedar benda-benda yang telah disebutkan tadi. Struktur yang dimiliki puisi memungkinkan untuk menghadirkan pemaknaan baru atas rekam-jejak tadi. Teks yang tersusun dengan fungsi-fungsi komunikasi unik itu tidak sekedar upaya untuk menceritakan kembali. Ambiguitas pemaknaan ini mungkin sekali menghadirkan kerancuan ketika pembacaan hanya dilihat dari satu sudut pandang. Tetapi ketika puisi dengan makna prismatisnya terus digali dan dibandingkan, ia akan mengayakan makna dari puisi itu sendiri. Dan satu lagi, sesuai sifat bahasa verbal yang dimilikinya, puisi berusaha mengajak pembaca untuk ikut terjun dalam perenungan penyairnya secara langsung. Buah pikiran yang mengeram dalam struktur bahasa itu menghadirkan hisapan, sehingga ia seolah bergerak dan menusuk benak pembaca meski penulisnya telah mati sekalipun.

            Karya sastra lain, katakanlah prosa, memang memiliki sifat-sifat bahasa. Namun dengan tubuh yang cenderung lebar, kekuatan hisapan prosa tidak sekuat puisi. Orang mungkin berulang-ulang membaca cerpen Metamorfosis-nya Kafka, tetapi tidak mungkin orang hendak menghafal cerpen yang sangat panjang itu. Berbeda dengan puisi Chairil Anwar, mulai dari anak SD sampai kakek-kakek fasih melafalkannya. Di sinilah kelebihan dan kekurangan puisi menempatkan posisi puisi ke dalam maqom tersendiri. Orang-orang yang datang kemudian akan membaca dan menafsirkan berdasarkan kode bahasa dan data-data intertekstualitasnya.

            Saya kira kurang tepat jika menyama-ratakan genre dalam sastra. Jikapun ada kesamaan, itu karena medium yang digunakannya sama, yakni semua genre menggunakan medium bahasa. Namun setiap cabang tentu memiliki perbedaan, untuk itulah mereka mempunyai kriteria tersendiri yang membedakan eksistensi mereka dalam dunia sastra. Puisi dan prosa misalnya, keduanya menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud atau pesan. Cara dan sistem komunikasi keduanya menempuh jalan berlainan. Prosa sesuai akar katanya, prosa (latin: terus terang) atau prose (ing: sebenarnya), hendak menyampaikan pesan dengan bahasa yang lugas. Ada bentuk prosa ide misalnya, ia tidak secara runtut membentuk plot, tapi pesan tetap disampaikan melalui deskripsi, penokohan, dan alur penceritaan. Sedangkan puisi memiliki sistem lain. Pada prinsipnya ia juga hendak bercerita, namun melalui pembengkokan bahasa. Puisi lebih sering menggunakan makna konotatif dan kiasan dalam menyebut sesuatu. Puisi juga tidak sibuk membentuk karakter tokoh, bahkan kebanyakan tidak memiliki tokoh secara konkret. Perbedaan yang niscaya itu bukan untuk melebihkan satu jenis dari jenis yang lain, tapi ia adalah kriteria yang dengan sendirinya memiliki penilaian dan tolok ukur yang berbeda. Jika ada kemiripan, hal itu hanya pinjaman sifatnya.

Karakter dan Strategi Retoris

Buku antologi “Sajak Emas (2010)” bukan antologi pertama penyair Dimas Arika Miharja. Buku tersebut terlahir setelah saudara-saudaranya yang lain bersaksi dalam dunia literasi. Sejauh yang mampu saya lacak, dalam antologi bersama , “Riak-riak Batanghari (1988), juga dalam data lain sejak 1985, DAM telah menapakkan kakinya pada dunia kepenyairan. Beberapa antologi sesudahnya juga telah menjadi prasasti sepak-terjang DAM dalam dunia perpuisian Indonesia. Sebagaian besar puisi dalam antologi "Sajak Eams"  itu ditulis sekitar tahun 2010, puisi-puisi lain diambil dari tahun-tahun sebelumnya mulai dari tahun 1993. Membaca “Sajak Emas” adalah menguak sebagian dari karakter yang dimiliki penyairnya. Saat penyairnya bersedih, muncullah diksi-diksi muram. Dari kemuraman itu terlihat bagaimana penyair membawa dirinya. Bagaimana ia memandang kehidupan dari sudut tersebut. Saat penyairnya gusar atau marah muncul pula diksi yang keras. Yang dengan cepat dapat disimpulkan pandangan penyair dalam menyikapi dinamika hidup. Saat penyairnya senang, maka akan ada luapan kebahagiaan.

            Meskipun pada dasarnya setiap penyair tentu memiliki karakter yang menonjol. Misalnya Chairil Anwar yang dengan bengal berseru, “Ini ruang gelanggang kami berperang.” Kenakalan seperti itu seringkali muncul dalam puisinya. Rendra yang berkarakter serius sering memunculkan pandangan tegasnya, seperti yang disebutkannya dalam Sajak Sebatang Lisong, “aku bertanya / tapi pertanyaanku / membentur jidat penyair-penyair salon / yang bersajak tentang anggur dan rembulan.” Sutardji Calzoum Bachri yang radikal membawa kapaknya untuk merubuhkan langit, seperti yang disebutnya, "aku lepaskan segala bahasa / agar kucingku bisa memanggilMu." Sapardi Djoko Damono yang cenderung lembut suka bermain dengan satire dan ironi. Seperti yang dikatakannya dalam “Pokok Kayu” atau “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari.” Dimas Arika Mihardja lebih lekat dengan karakter periang dan humoris. Dalam bahasa saya, hal itu saya sebut dengan keusilan yang positif. Banyak puisi dalam antologi tersebut yang didedikasikan untuk orang lain. Jika Barthes menyebut makna konotasi adalah siginifikasi tataran ke dua, saya menyebut puisi dedikasi ala DAM itu sebagai komunikasi puitikal tingkat ke dua.

Puisi yang berhadapan langsung dengan pembaca adalah komunikasi puitikal tingkat pertama. Pembaca langsung menceburkan diri ke dalam perenungan penyairnya, atau penyair langsung menggelar renungannya di hadapan pembaca. Komunikasi puitikal tingkat ke dua seperti yang ditunjukkan oleh DAM awalnya melesat menuju nama yang menjadi tujuan puisi, baru kemudian ia menyenggol pembaca. Dalam hal ini, pembaca dalam lingkup umum tidak hanya membaca diri penyair, tapi juga koneksitas dengan penyair lain. DAM tidak saja melakukan perenungan ke dalam, ia lebih banyak membaca fenomena yang ditemuinya dalam interaksi sosial. Antologi “Sajak Emas” ini bukan tugu keakuan seperti yang sering dimunculkan di luar sana. Ia tugu egaliter hasil dari perenungan ke dalam dan ke luar penyairnya. Melihat cukup banyak puisi dengan ciri komunikasi puitikal tingkat ke dua dalam antologi itu, tampaknya DAM cukup nyaman dengan cara demikian. Puisi baginya bukan kamar pribadi yang serba privat, bukan sebuah mercusuar tinggi yang tak boleh dimasuki sembarangan orang. Seperti argumen Chairil: yang bukan penyair tidak ambil bagian. DAM membuka ruang yang lebih lebar, sosok-sosok lain turut masuk dan meramaikan puisinya.

Dua ratus puisi yang ada dalam antologi tersebut memuat berbagai peristiwa. Seorang DAM yang menggeluti dua dunia berbeda seolah-olah memunculkan kontradiksi. Sebagai pendidik ia harus memegang teguh konvensi bahasa dan sastra sebagai kiblat bagi anak didiknya. Tapi sebagai penyair, DAM harus bergerak dinamis demi memunculkan kebaruan, meski itu dengan merombak apa yang telah dibakukan. Dua dunia dengan konsentrasi yang berbeda, keduanya sekilas manghadirkan kontradiksi, tapi lebih jauh sebenarnya keduanya saling mengisi selama perbedaan itu tetap berpusar pada porosnya masing-masing. DAM seolah sedang menapakkan kaki kanannya di satu dunia, sementara kaki kirinya menapaki dunia yang lain lagi. Mencermati “Sajak Emas” akan mengingatkan pada kebiasaan Sapardi Djoko Damono dalam Berpuisi. Gaya yang digunakan kedua penyair itu cenderung mengusung diksi sederhana dan tidak hendak tampil mewah. Kesamaan itu sebenarnya hanya dari bentuk luar saja, ketika menukik lebih dalam, keduanya memiliki strategi retoris yang jelas berbeda.

Berikut akan saya ulas beberapa puisi yang mewakili 200 puisi dalam antologi “Sajak Emas” tersebut.

MENGUAK MIMPI, 1

engkau datang serupa bayang
mengeram dalam tilam kelam
kelambu tidur-jagaku
lalu angin nyeret rahasia-mu

engkaulah bayang itu
mengusik tidur-jagaku
tiap waktu luput mengusap wajah-mu
dalam bayang rindu
kuseru cuaca berdebu

engkaulah bayang itu
mengetuk-ngetuk rasa kantuk
lalu dentam rebana bertalu-talu
di hatiku yang merindu

Kota Beradat, 1993-09-23

Puisi pertama ini hendak mengabarkan adanya kelindan rahasia yang sedang disusun dan dijalinkan penyair dalam diksi-diksi yang relatif sederhana. Puisi ini bukan pembiasan dari epos-epos besar, bukan kisah ajaran-ajaran agama yang kaku, tidak juga jalinan pelik diktum filsafat. Yang tercermin dari puisi ini adalah luapan perasaan dari seorang manusia kepada subyek yang dikatakan serupa bayang. Begitu merasuk lebih jauh pada substansi, senyatanya apa yang dieposkan, yang diajarkan, yang didiktatkan sejalan dengan jangkauan perenungan dalam puisi ini. Siapakah sosok yang diserupakan dengan bayang itu? Dengan penafsiran pendek, tentu ia adalah manusia, sosok konkret yang menjadi muara yang konkret pula untuk perasaan aku lirik, yang diwakili oleh kata ganti milik “–ku.” Tetapi tidak haram jika pemaknaan diayunkan lebih jauh melebihi penafsiran awal. Bisa jadi sosok yang sedang dirindukan oleh aku lirik dalam puisi ini adalah sosok yang sepenuhnya rahasia, sosok yang sering disebut sebagai Tuhan.

Yang menjadi pilihan kemudian adalah sudut pandang penyair, bukan sosok yang dimaksudkannya. Karena siapa pun yang ditujunya sama-sama menghadirkan pemaknaan yang terang: bahwa aku lirik sedang terkepung kerinduan.

Puisi “Menguak Mimpi, 1” ini adalah tipikal perenungan ke dalam. Penyair membaca dirinya sendiri kemudian dikucurkan melalui medium bahasa. Di sini dikatakan “menguak mimpi,” yakni mimpi itu seolah tersimpan di dalam bumi atau kerumunan benda-benda lain sehingga harus dikuak, dicabut, ditarik. Seseorang yang sedang “menguak” memiliki kesadaran atas sesuatu yang hendak diambilnya dari dalam. Pengetahuan atas sesuatu yang sedang ditarik itu adalah niscaya. Orang mabuk misalnya, saat ia berhalusinasi dan hendak “menguak” sesuatu tidak memiliki kesadaran ini. Artinya, dia tidak benar-benar menguak dengan diiringi oleh kesadaran. Tetapi mimpi itu juga hasil kerja alam bawah sadar, meskipun dalam mimpi itu juga ada kesadaran. Ketika menyebut mimpi sebagai bentuk ketak-sadaran, maka menguak mimpi bisa jadi sejajar dengan analogi orang mabuk tadi. Namun di sini bahasa telah berbelok. Sebagaimana telah dimaklumi, puisi adalah hasil kerja alam bawah sadar juga. Ia sublimasi dari endapan perasaan penyair. Ketika seseorang membuat puisi, kesadarannya hanya menuntun dari segi fisik, baik tipografi, keselarasan bunyi, kaitan sintaksis dan semantiknya. Tapi dorongan dalam diri, dorongan dari dunia batinlah yang sebenarnya membuat kata-kata terjalin. Tanpa peran kesadaran, pesan yang hendak dikomunikasikan tidak akan terbaca.

Ada penyair yang hanya menuruti dorongan batin semata sehingga melahirkan puisi hermetis (gelap). Puisi yang berisi raungan, racauan, bunyi-bunyi anomatope yang tidak jelas maksudnya. Puisi seperti itu jelas gagal menyampaikan pesan karena tidak diiringi oleh kesadaran. Dapat dikatakan, puisi harus diolah dengan kesadaran meski ia memang berasal dari alam bawah sadar, agar ia dapat dimengerti.

Maka “mimpi” dalam puisi ini tidak semata kembali ke makna harafiahnya sebagai bunga tidur, sebagai hasil kerja alam bawah sadar. Mimpi di sini adalah harapan yang telah mengendap, ia cita-cita terpendam dalam diri penyair. “Menguak Mimpi” berarti hendak menarik cita-cita keluar dari dasar hati, yaitu ke dalam bentuk bahasa. Bisa jadi dinamika hidup telah membuat impian tadi tertutupi hal-hal lain, sehingga ia harus dikuak untuk memunculkannya. Saat membaca tubuh puisi dan mengaitkan dengan judul, akan muncul keterkaitan impian itu dengan sosok kau lirik yang digambarkan serupa bayang.

engkau datang serupa bayang
mengeram dalam tilam kelam
kelambu tidur-jagaku
lalu angin nyeret rahasia-mu

Bait ini memperlihatkan bahwa kehadiran kau lirik itu tidak benar-benar nyata atau konkret. Adanya kau lirik karena diadakan oleh aku lirik. Ia secara an sich tidak terwujud, maka dikatakan, “engkau datang serupa bayang.” Artinya kedatangan itu tidak dari segi fisik. Kedatangan kau lirik itu dalam sebuah momen yang dikiaskan sebagai, “tilam kelam.” Bisa jadi ia adalah penggambaran dari malam, yakni tilam kelam itu sebutan lain atau simbol untuk mewakili malam, yakni dalam keadaan tidur. “tilam” yang berarti kasur hanyalah simbol, yang dikehendaki darinya momen dalam waktu malam, yakni dalam tidur itu sehingga muncullah mimpi. Tilam kelam adalah sebuah dimensi waktu yang dilipat penyair ke dalam puisi. Ketika sampai “kelambu tidur-jagaku,” kuat pembacaan atas dimensi itu bergerak lebih lebar. Ia bukan momen sempit sewaktu subyek berada di atas tilam, tetapi dimensi waktu yang dikehendaki dalam puisi ini mewakili waktu secara keseluruhan.

Kata “kelambu” yang definisi harafiah adalah tirai untuk mencegah nyamuk, di sini telah berbelok dari pengertian itu. Ia menjadi melingkupi atau menjaga. Kelambu di sini bergerak sebagai simbol, makna yang dihasilkannya konotatif sifatnya. Dan untuk ini pernah saya katakan: makna konotatif mengambil sebagian sifat dari makna denotatif. Tentunya ini berbeda dengan premis Roland Barthes yang menghendaki makna konotasi sebagai kesatuan yang berdiri sendiri. Ia memliki petanda dan penanda sendiri. Alhasil, “kelambu” dalam puisi ini memang mengambil sebagian sifat dari makna denotatifnya, yakni berfungsi sebagai penjaga. Meskipun ia meruang lebih lebar ketika bertemu “tidur-jagaku.” Yakni ia memberikan penjagaan atau melingkupi keberadaan aku lirik, baik dalam keadaan tidur maupun jaga. Selanjutnya penyair mengatakan, “lalu angin nyeret rahasia-mu.” Di sini pemaknaan kembali bergerak. Apa yang tadi disimbolkan sebagai kelambu tidak bersifat kekal. Atau ia memang bersifat demikian, tetapi ada sebagian dari diri kau lirik itu yang tetap menjadi rahasia. Dan itulah yang terseret oleh angin. Seperti yang telah dipahami, angin sesuai sifatnya yang senantiasa bergerak (maka dari itu disebut angin) melambangkan ketidak-tetapan. Penyair sengaja memotong diksi "nyeret" dari kata "menyeret" untuk menampilkan kesan tidak familiar.

engkaulah bayang itu
mengusik tidur-jagaku
tiap waktu luput mengusap wajah-mu
dalam bayang rindu
kuseru cuaca berdebu

Pada bait pertama, kedatangan sosok engkau dalam rentang penyerupaan dengan “serupa bayang.” Di bait ke dua ini engkau adalah bayangan itu sendiri. Di sini ada peleburan peran. Dalam kadar penyerupaan, sosok “engkau (atau kehadirannya)” melingkupi bahkan seolah memberi peran penjagaan, meski “angin” di sana mereduksinya pemaknaan itu. Pada bait ke dua ini, ketika kau lirik melewati batas penyerupaan tadi justru dikatakan “mengusik tidur-jagaku.”dengan begitu dihasilkan penafsiran, makna “kelambu” pada bait pertama tadi memang berhenti hanya pada makna melingkupi, bahkan mungkin malah menyekap. Oleh karena itu aku lirik merasa terusik. Baris selanjutnya, yakni “tiap waktu luput mengusap wajah-mu / dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu //” menjelaskan keterusikan tadi. Jadi sebenarnya yang mengusik bukan gambaran kedatangan sosok “engkau” tetapi perasaan rindu aku lirik. Dapat juga dikatakan, momen kehadiran sampai ada keterusikan itu sebenarnya digerakkan oleh diri aku lirik. Adanya sosok engkau karena diadakan, karena keberadaanya diwujudkan berkat dorongan kerinduan aku lirik.

Yang membuat pembacaan getir adalah penggambaran rindu di sana. Seperti yang telah dipahami, rindu serupa rasa sakit dan itu digambarkan penyair dengan, “kuseru cuaca berdebu.” Dari penggambaran ini yang muncul adalah abstraksi dari momen lain, momen imajinatif lanjutan yakni cuaca berdebu. Aku lirik di tengah serangan kerinduan itu seolah sedang menghadapi hujan debu. Dalam pembacaan saya, itu adalah pandangan aku lirik mengenai tipisnya harapan untuk mengobati sakit rindunya. Cuaca berdebu itu bisa juga merupakan penggambaran suasana batin. Keadaan di kedalamannya sana nir kegembiraan. Bukan berarti ia berduka secara spesifik, tapi rindu yang belum atau tidak mendapatkan obat. Rindu yang mengambang dan seolah berjatuhan menjadi bulir-butir kecil yang seolah gambaran debu itu.

Seseorang yang mengalami musibah, misalnya kehilangan, dikatakan berduka. Ini kedukaan yang spesifik. Tetapi rindu debu yang digambarkan penyair itu dalam posisi mengambang. Sakit yang dihasilkannya bisa jadi seimbang atau nyaris sama. Meski begitu masih ada celah di sana, ada kemungkinan lain meski sulit. Karena sulit itulah maka penyair berkata,  “kuseru cuaca berdebu” karena ia merasa seolah ada harapan. Tapi harapan yang dipanggil tanpa sahutan. Harapan yang entah bagaimana mewujudkannya. Ini hampir sama ketika Chairil berseru, “cintaku jauh di pulau.” Dalam hal ini, bukan tidak ada cita-cita untuk merengkuh cinta itu, tapi karena sulitnya jalan yang musti ditempuh. Perbedaannya, Chairil memberikan jeda dalam penggambaran, jeda yang masih menyisakan kemungkinan logis. Sementara DAM tidak memberikan ruang itu. “kuseru cuaca berdebu” mengindikasikan sempitnya dada yang terhimpit oleh perasaan rindu, dan itu membuat aku lirik terusik bahkan di luar wilayah tidurnya. Saya mengatakan tadi, ini bukan penggambaran duka dalam substansi yang spesifik, tapi rasa sakitnya itu saya kira segantangnya.

engkaulah bayang itu
mengetuk-ngetuk rasa kantuk
lalu dentam rebana bertalu-talu
di hatiku yang merindu

Manakala pembacaan sampai pada bait ke tiga, permainan yang selanjutnya terlihat jelas adalah dalam hal repetisi. Strategi retoris ala DAM tidak hendak dengan brutal memporak-porandakan kata sebagaimana Sutardji, atau berhenti dalam bermanis kata dan memfokuskan pada penggambaran ironik seperti Sapardi. Ketika menemukan diksi “bayang” yang diulang beberapa kali dalam puisi, besar kemungkinan kebanyakan pembaca akan terjebak pada stagnasi penggambaran. Padahal kehendak ide dalam penggambaran itu mengehendaki posisi substansi yang berbeda. “bayang” dalam bait pertama eksis dalam bentuknya sendiri, karena posisi penyerupaan. “bayang” dalam bait ke dua, yakni “bayang rindu” adalah kata majemuk, yang dengan mudah bisa dipahami fungsinya memiliki kesatuan semantik dengan “rindu.” Jenis repetisi ini dekat dengan anafora. Yang benar-benar berwujud sebagai repetisi atau dari jenis repetisi utuh yang mungkin tergolong simploke adalah “engkaulah bayang itu” pada bait ke dua dan ke tiga. Kemudian ada juga repetisi anafora atas preposisi “lalu,” yakni pada bait ke pertama, “lalu angin nyeret rahasia-mu” dan bait ke tiga, “lalu dentam rebana bertalu-talu.” Dari segi fisiknya, keduanya memiliki peluang untuk menjadi preposisi dengan makna harafiah; kemudian; lantas.

Ketika membaca lebih cermat, fungsi preposisi di sana berbeda. Diksi “lalu” pada kalimat “lalu angin nyeret rahasia-mu,” kata "lalu" berfungsi sebagai verba meski bisa juga dijadikan preposisi. Dengan fungsi verba maka ia bermakna lewat, yakni angin itu lewat dan menyeret rahasia keberadaan sosok engkau yang sebenarnya memang nir wujud. Sedangkan pada kalimat “lalu dentam rebana bertalu-talu” lebih kuat pada fungsi preposisi. Meskipun jika dilihat dari bingkai repetisi, yakni dari ide perulangannya. Fungsi keduanya hendak bermain sebagai preposisi. Jika begitu, diksi "lalu" pada bait pertama berperan ganda, sebagai preposisi sekaligus bisa sebagai verba.

Bait ketiga ini menjelaskan keseluruhan teka-teki yang dimunculkan pada bait-bait sebelumnya. Jika awalnya sosok engkau itu diserupakan dengan bayang, bait ketiga menguatkan transformasi penggambaran dengan repetisi, “engkaulah bayang itu.” Artinya kehadiran kau lirik hanya dalam imajinasi penyair karena ia nir wujud, yakni berupa bayang. Selanjutnya kalimat “mengetuk-ngetuk rasa kantuk” adalah penjelasan dari repetisi makna atas kata majemuk “tidur-jagaku.”  Aku lirik di sana membuat batasan penggambaran dalam ukuran yang lebih pendek, yakni dalam posisi kantuk itu. Keruangan lebar yang muncul dari penafsiran awal atas “tidur-jagaku” menyempit. Ini adalah penjelasan dari momen sebelumnya yang menjadi lebih spesifik. Aku lirik dalam keadaan mengambang, meski hal ini bisa juga bermakna kias--yakni sebuah lambang dari proses keterusikan. Saat itulah “lalu dentam rebana bertalu-talu” menghadirkan kondisi rindu aku lirik. “di hatiku yang merindu” menutup pembacaan sekaligus menjawab sebagian tekai-teki. Meski ada beberapa teka-teki lain yang justru semakin mengambang.

Diksi “rebana” tidak saja berhenti pada definisi salah satu jenis alat musik, yakni jenis gendang yang pipih. Tapi ia identik dengan budaya keislaman juga. “rebana” membuat kemisteriusan sosok “engkau” tadi tetap berpusar pada pertanyaan, siapakah sebenarnya dia? Bisa jadi ia memang hendak mewakili sosok manusia yang sedang dirindukan oleh aku lirik, tapi bisa juga ia hendak terayun jauh dan menghendaki Tuhan.

Puisi “Menguak Mimpi, 1” berkemungkinan kuat berkaitan dengan “Menguak Mimpi, 2” dari segi ide. Dari sana bisa ditarik pemaknaan, penyair memang tidak menghendaki kerinduan itu berhenti pada sosok manusia, ia adalah wujud kerinduan atas sosok paling misterius yang selalu dicari-cari oleh segenap manusia. DAM dengan sisi religiusitasnya sedang diamuk kerinduan sebagaimana Amir Hamzah dalam “Padamu Jua.” Jika amir Hamzah berkata, “Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai” maka DAM berseru “lalu angin nyeret rahasia-mu.” Jika Amir Hamzah berkata, “Mangsa aku dalam cakarmu,” maka DAM berujar, “dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu.” Kedua penyair dengan latar belakang berbeda sedang bergelut dengan perasaan rindunya. Keduanya memang memiliki gaya yang berlainan, tapi sama-sama sedang menguak impian yang mengusik batin mereka. Tentang hakikat sosok misterius yang dicinta, yang kebenaran dan keberadaannya mesti dikuak layaknya menguak mimpi dan/atau ia adalah mimpi itu sendiri.

Kesaksian Metafisik 

Di bagian lain, DAM lebih dekat menyorot hubungannya dengan Tuhan. Ada beberapa puisi yang membawa kode bahasa jelas, sehingga memunculkan gambaran dari hubungan tersebut dalam DZIKIR, MASJID AGUNG AL-FALLAH, TAHAJUD ILALANG, ANA NUR 00:50, SERENADE RUMAH CINTA, JEMARI ITU, MENJELANG AKHIR RAMADHAN, dan sebagainya. Lambang-lambang yang dibawa masuk ke dalam puisi mencerminkan dengan jelas suasana religiusitas yang diangkat penyairnya. Perenungan semacam ini juga mengindikasikan adanya subyek-subyek yang bergerak, yang membentuk pola pikirnya. Bahwa DAM meski bukan seorang ulama atau tokoh agama, tetapi keagamaan mendasari ruang renungnya. Dari sini ada batas yang jelas, yang membedakan penyair yang bertuhan dan yang tidak. Misalnya kita tunjuk Pablo Neruda, Bertolt Brecth, Nietszche, dan kanon-kanon sastra sayap kiri lain yang juga meratapi hidup penuh ketimpangan dan ketidak-adilan. Ratapan mereka, bahkan terkadang hujatan mereka berada di luar jalur logis meskipun mengatasnamakan logika.

Apa yang digelar dalam ruang sunyi tersebut secara alami sebenarnya dialami oleh setiap manusia, baik yang beragama atau bukan. Misalnya ketika melihat Pablo Neruda berbisik lirih:

Oh Bumi, Tunggulah Kami

Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.

Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.

1964
  
Terlihat bagaimana Pablo merasakan gejolak perasaannya manakala tersudut dalam kesunyian. Ia merenung dan meresapi arti keberadaannya di muka bumi. Sebagai manusia, hal itu menyeretnya terlarut dalam hisapan kekuatan yang tidak dimengertinya. Sebagai orang yang tidak mempercayai Tuhan, Pablo tersadar pada kenyataan, bahwa hidup pasti akan menemu masa akhir. Ia harus bersiap kembali, tapi kembali ke mana? Dalam puisi ini penyair memandang kehidupan sebagai perputaran belaka. “Hujan hutan purba” adalah gambaran dari awal yang menurutnya sebagai muasal kehidupan. Hidup yang dimulai dari mahluk sel kecil yang diselaraskan dengan teori Darwin mengenai Evolusi. Premis ini memang memiliki beberapa kelemahan secara ilmiah, tetapi di masa Pablo, keyakinan pada awal kehidupan itu membuatnya manyandarkan diri untuk kembali ke fase tersebut. Hal itu dikatakannya, “Aku ingin kembali jadi yang belum kualami,” ini menunjukkan pada proses kembali tersebut.

Dalam hal ini saya tidak ingin mengusung antitesis berdasarkan fakta temuan sejarah dan perkembangan teknologi di bidang ilmu pengetahuan. Yang ingin saya tekankan adalah perbedaan sudut pandang kedua penyair mengenai hakikat hidup. Keduanya memberikan kesaksian dari sudut pandang berbeda. Tetapi uniknya, kesadaran itu muncul dalam momen yang sama, momen sunyi saat keduanya melakukan perenungan secara mendalam.

Keberadaan Tuhan yang tak tersentuh logika bukan berarti membuktikan ketiadaannya. Hal itu adalah bukti dari kelemahan logika. Manusia sebagai mahluk yang bisa berpikir memang harus mengedepankan pemikirannya dalam menghadapi banyak hal, tetapi manusia harus sadar batas kemampuan dari logika ini. Banyak hal yang tak terjangkau oleh penalaran, dan itu tidak lantas membuat hal tak terjangkau itu tadi tidak eksis. Di sini DAM dengan kesadaran penuhnya mengakui kehadiran yang tak terjamah logika itu. Kehadiran mistis yang tak terpahami itu. Ia sebagai mahluk yang bercermin pada kelemahan dirinya merasakan dengan hati bahwa ada Kekuatan Maha yang menerangi jalan mahluk dengan cahaya-Nya. Dengan bahasa yang akrab dikenal, Kekuatan Maha itu adalah Tuhan yang diseru dengan berbagai nama dan jalan agama. DAM memberikan kesaksian itu seperti yang digoreskannya dalam puisi berikut ini.

ANA NUR  00:50

ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu

kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku

usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 16 Mei 2010

Sekilas, judul pada puisi ini mirip dengan Bahasa Arab, yakni Ana Nur itu mendekati pemaknaan, akulah cahaya. Tetapi ketika membaca tubuh puisi secara menyeluruh, ternyata yang dikehendaki oleh kalimat itu adalah Bahasa Jawa yang dikolaborasikan dengan bahasa serapan dari Bahasa Arab. Ana Nur 00:50 berarti ada cahaya pada waktu lewat tengah malam. Puisi ini sengaja saya ambil untuk mewakili subyek dasar yang melatari perenungan penyairnya. Sebagian puisi lain membawa kode bahasa yang lebih jelas dan menurut hemat saya sudah cukup menerangkan isinya. Selaras dengan premis Riffaterre (1978:166) yang mengatakan, “pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.” Berhubung kode bahasa dalam beberapa puisi secara eksplisit telah mengarah pada pemaknaan, maka puisi itu telah sampai pada pemahaman umumnya berdasarkan kode bahasanya.

Khusus dalam Ana Nur 00:50 itu memiliki beberapa penyimpanan makna, atau dalam bahasa Riffattere “ketidak-langsungan ekspresi” yang dijelaskan olehnya sebagai penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Keunikan itulah yang membuat saya mendaulatnya sebagai wakil dari puisi-puisi yang bergerak dalam ruangan yang sama. Bukan untuk melebihkan satu puisi dari yang lain, tapi membongkar ambiguitas pemaknaannya.

ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu
  
Subyek dalam puisi ini sedang bermonolog, ia di tengah kelindan perasaan yang beraneka bentuk seolah berdialog dengan sosok lain. Padahal sosok lain yang dihadirkan dalam puisi itu bukan sesuatu yang konkret secara fisik, yakni dengan pengenalan panca indera. Penyair merasakan kehadiran sesuatu dalam hatinya, sesuatu menurut pengenalan hatinya sebagai cahaya. Kita tidak pernah tahu, apakah cahaya yang dikenali hati itu memang cahaya dalam substansi yang sebenarnya. Jika memahami lebih dalam, apa pun yang dikenali oleh hati bukan keadaan yang secara an sich seperti itu. Di titik tertentu misalnya, seseorang dalam kepungan kesunyian, misalnya pada waktu salat malam. Dalam posisi itu dia memejamkan mata dan didapatinya pandang yang sangat luas. Waktu seolah berhenti, dan seseorang sampai pada kulminasi kesunyian di mana tidak didengarnya suara, bahkan detak jantungnya sendiri. Padang luas yang dilihat itu tentu tidak eksis dalam dunia nyata, meski mungkin ia pernah melaluinya atau mengangankan tempat seperti itu. Bentuk-bentuk yang dikenali manusia dalam keadaan seperti itu adalah pengenalan imajinatif. Ia bisa jadi mirip dengan fakta yang ditemui dalam dunia nyata, tapi tidak secara persis, bahkan sebenarnya tidak mungkin sama.

Fakta imajinatif seperti itulah yang sebenarnya dihadapi oleh penyair, meski mungkin yang terekam dalam kata-kata tidak sama persis dengan yang dialaminya. Bisa jadi ia lebih dari itu, tapi bahasa hanya mampu merekam dan mengabarkannya sejauh “ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada.” Puisi ini, sebagaimana umumnya puisi tidak memiliki awalan, ia langsung masuk ke dalam keadaan yang dihadapi penyairnya, ia jatuh ke dalam perenungan, “ada cahaya” katanya. Jika ini dijadikan sebuah awal, maka baris sesudahnya hanya menjelaskan hubungan kausal di sana, yakni “terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau.”

Penyair ketika sampai perenungan terdalamnya memahami bahwa ada kekuatan lain yang dikenalinya sebagai cahaya. Pengenalan ini bisa jadi hanya penggambaran terdekat saja, yakni bukan sebagaimana nur yang bisa dicapai oleh panca indera. Nur atau bentuk yang disaksikan oleh mata batin penyair sebenarnya mungkin sulit untuk digambarkan. Diksi “dada” adalah simbol dari hati, yakni dengan hati itulah penyair menyaksikan, bukan dengan panca inderanya. Dalam momen kesunyian, lewat tengah malam, penyair menemukan kesejatian. Subyek-subyek yang bergerak dalam dirinya melakukan pengenalan, nur itu adalah nur ilahiah. Berbeda dengan Pablo Neruda ketika berhadapan dengan keadaan yang sama, subyek-subyek dalam dirinya mengenali keadaan tersebut sebagai kesadaran insaniah, kesadaran di titik sunyi yang lumrah. DAM mengambil sudut pandang lain, seolah ia berkata, ini nur kesejatian, cahaya petunjuk yang menerangi hati insan. Peraturan sadar dan keyakinan yang dimilikinya menyelaraskan hal itu dengan ayat-ayat yang dipercayainya berasal dari Tuhan.

Kesadaran telah sampai puncaknya, penyair meraba dirinya sendiri. Saat itulah muncul perasaan risau dan galau. Simbol pisau yang hadir untuk mengambil sifat tajam dan kemampuannya dalam memotong sesuatu. Perasaan itu berkat dorongan ayat tadi menghasilkan sayatan layaknya pisau. Yang kemudian mengherankan adalah ketika sayatan itu justru menjadi candu. Dan itu menunjukkan, pisau yang dihadirkan penyair bukan sebagai wakil dari kepedihan atau kengerian. Pisau itu semata mengambil sifat tajamnya saja. Hal itu dikatakan penyair, “o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku.” Efek dari candu tadi menghadirkan atau mengantarkan penyair pada ekstase, “biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu.”

kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku

Di bait ke dua ini, penyair benar-benar telah menggerakkan “nur”  yang dipahaminya tadi sebagai subyek secara utuh. Subyek yang aktif sebagai sosok orang kedua tunggal yang disebutnya “kau.” Degradasi makna atas subyek atau pergerakan posisi subyek memang sudah terjadi di bait awal, tetapi penegasannya dimulai di bait ke dua ini. Hal itu menunjukkan, awal yang dimulai dalam bait pertama itu tidak diam atau ia bukan merupakan titik statis. Sehinga dikatakan, “kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung.” Diksi-diksi yang familiar dalam baris ini berbelok jauh dari pemaknaan familiarnya. “Bercumbu” seperti yang dipahami cenderung jatuh pada makna tabu, yakni makna erotiknya. Padahal bercumbu dalam definisi bahasa diartikan sebagai bersenda gurau dalam kemesraan. Cumbu itu sendiri sebenarnya identik dengan rayuan atau kata-kata manis untuk membujuk yang justru menjauh dari makna erotiknya. Dan pada puisi ini, pengertian itu berbelok lagi menjadi komunikasi dekat aku lirik dengan sosok yang disebutnya kau. Begitu dekatnya maka dikatakan “bercumbu.” Jika dikaitkan dengan kode bahasa yang ada pada bait awal tadi, prosesi komunikasi itu adalah lambang dari peribadatan yang dilakukan oleh aku lirik. Maka hal itu dikatakan “di atas permadani bermotif lampu gantung.” Ini adalah penggambaran dari prosesi ibadah tadi.

Dengan mudah dapat dipahami, jika “bercumbu” hendak dilarikan pada makna erotiknya, maka kasur atau ranjang akan dipilih penyair sebagai latar. Tetapi di sini tidak. Penyair memilih “permadani” sebagai penguat pemaknaan tadi. “Bercumbu” telah berbelok dari pengertian itu, ia bahkan terbebas dari kekangan rumah bahasanya. Hal itu yang kemudian dikuatkan penyair dengan, “serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu.” Komunikasi yang terjalin, yang dikiaskan dengan bercumbu itu bahkan tidak dalam bentuk kata secara konkret. Ia pengertian bahasa secara hakiki, bahasa yang tidak memiliki tubuh kata-kata. Efek dari prosesi tadi disebut “terbang melayang di cerlang cahayamu” karena memang bahasa yang muncul tidak dalam bentuk kata-kata. Penyair telah sampai pada ekstase perenungannya sehingga ia terlarut dan membahasakan perasaannya. Seperti yang dijelaskan, “menarikan jemari melati putih.” Ini hanya bentuk lain dari peribadatan tadi, bisa jadi ia adalah dzikir yang terwujud dalam gerak jemarinya, bisa juga ia adalah kiasan dari perasaan penyair dalam prosesi itu yang hendak diwujudkan dalam bentuk bahasa. Dalam hal ini “melati putih” sebagai simbol kesucian, atau keindahan yang suci untuk menggambarkannya.

Tetapi ketika membaca “o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku” membuat pemaknaan awal lebih kuat, yakni aku lirik di sana melakukan prosesi ibadah lain dengan tarian jemarinya sehingga hal itu membuat hatinya semakin berbunga, bergairah, bahagia. Dan ini tentu saja menguatkan tafsiran pada baris dan bait sebelumnya. Bahwa penyair tidak masuk dalam kesunyian itu tanpa upaya, ia bergerak dan melakukan prosesi peribadatan. Maka cahaya yang disebutnya itu adalah gambaran dari kebahagiaan yang didapatkannya ketika sampai pada perenungan terdalamnya atas kesejatian.

usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!

            Puisi ini sebenarnya memiliki kerangka waktu yang sangat lebar meski hanya berisi tiga bait. Ia tetaplah puisi meski meminjam kerangka waktu prosa, karena di sini bukan alur yang menjelaskan perbuatan tokoh seperti dalam prosa. Kerangka waktu yang dimiliki puisi adalah gerak yang didorong oleh pemaknaan, yakni sebagai penjelasan atas momen yang dihadapi subyek. Jika dua baris awal pada bait pertama adalah pembukaan, baris selanjutnya dan bait ke dua adalah penjabaran ide. Sedangkan pada bait ke tiga ini menjadi penutup sekaligus penguat pemaknaan. Di sini dikatakan, “usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam” untuk menjelaskan selesainya prosesi tadi, bukan efek yang dirasakan penyair. Dan diksi “ranjang” di sini terikat maknanya dengan “malam” karena ia kata majemuk. Berbeda tujuan dengan kehendak ide yang diwakili oleh “permadani” tadi. Artinya, ranjang malam di sini tidak terkait dengan konotasi erotiknya, seperti kata majemuk pisah ranjang misalnya. Ia hendak mewakili sifat dari malam, yakni waktu malam. Atau ranjang di sini bukan sebagai ranjang secara definitif, karena itu jelas berkontradiksi dengan ide pokok dalam puisi.

Hal itulah yang dikuatkan penyair dengan penjelasan, “dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat / mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya / semata cahaya! //.” Karena diksi “bercumbu,” dan “pergumulan” itu hanya kiasan dari prosesi yang dilakukan penyair untuk mendekat pada sosok yang dikenalinya sebagai cahaya. Sehingga kerinduan muncul, dan hal itu dikuatkan dengan repetisi, “hanya cahaya / semata cahaya!” Terang sudah, strategi retoris yang dimunculkan DAM adalah dengan melepaskan kata dari rumah bahasanya. Ia bukan dalam bentuk radikal sebagaimana Sutardji, kata masih dalam konteksnya: memberikan pengertian, tapi ia berbelok pemaknaannya. Diksi yang dipilihnya familiar dengan konotasi tertentu yang berkembang dalam pemahaman khalayak. Namun itu yang dirombaknya. DAM seolah menyentil pembaca dengan kesan familiar itu, namun menghendaki pemaknaan yang berbeda. Dan ini pula yang saya istilahkan dengan keusilan yang positif itu. Penyair, meski dalam tema religi tetap memunculkan ciri khasnya. Ia berdiri sendiri meski gaya sederhana yang diusungnya dibawa juga oleh Sapardi. Perbedaan tampak jelas ketika sampai pada strategi retoris yang dimiliki kedua penyair itu.

            Puisi “Ana Nur 00:50” ini menunjukkan perenungan yang disertai oleh upaya tertentu dalam menghasilkan ekstase bagi penyairnya. Di era Chairil, banyak penyair yang meniru gaya nglambrang-nya untuk mendapatkan ekstase tersebut dalam mencipta puisi. Cara seperti itu dikritik oleh Rendra dalam kumpulan esai “Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an” yang dieditori oleh Budayawan Dwi Klik Santosa. Dalam buku itu Rendra menyebut, “Di antara para pengarang, apalagi di antara para pengarang muda, ada istilah “mencari inspirasi”. Dalam kenyataannya yang dimaksud dengan istilah ini ialah: mereka ngeluyur malam-malam, duduk lama-lama di kedai kopi dan menghabiskan waktunya dengan obrolan-obrolan kosong, ngelayap sepanjang daerah-daerah mesum, dengan pakaian kotor duduk di teras toko di waktu sudah jauh malam, bergerombol dan ngobrol-ngobrol sambil bersandar pada terali jembatan, serta bermacam-macam perbuatan yang aneh-aneh lagi. Kebiasaaan semacam itu akan berkembang dengan subur sebagai warisan dari angkatan ’45, terutama Chairil Anwar.” Upaya yang dilakukann oleh DAM adalah melakukan prosesi tadi, ia bersunyi diri dan melakukan pergumulan batin untuk sampai pada perenungan terdalamnya.

Kita tahu, banyak cara dilakukan penyair dari masa-ke masa untuk menghasilkan perenungan semacam ini. Pablo dengan puisi “Oh Bumi, Tunggulah Kami” tadi juga merupakan perenungan terdalamnya tentang kesejatian hidup, tapi tidak ada prosesi di sana. Dari bentuk teksnya, ia adalah perenungan alami yang bisa dilakukan oleh setiap orang, perenungan yang tanpa upaya. Tentunya gambaran itu berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh pujangga kuno kita yang terlebih dahulu melakukan ritual yang bahkan lebih sulit. Manusia tidak pernah berhenti mencari kebenaran, sekalipun dia tahu ada hal-hal yang berada di luar kemampuan pemahamannya. Spekulasi, ragu-ragu, menolak sekaligus membenarkan adalah sifat dasar manusia. Saya tidak hendak membeda-bedakan penyair dengan paham tertentu, contoh yang saya bawa untuk memperlihatkan perbedaan sudut pandang saja demi memperkaya pemaknaan puisi.

Kesaksian Fenomena Faktual

Di bagian lain, penyair Dimas Arika Mihardja juga mengusung tema-tema sosial dalam puisinya. Suara yang diperdengarkan memang bukan hujatan dan makian kasar, tetapi esensi yang hendak diungkapkan dalam puisinya menunjukkan ada kepekaan terhadap fenomena faktual di sekitarnya. Seperti yang terbaca dalam puisi LUMPUR LAPINDO BRANTAS, TUBA DI DANAU TOBA, MENCARI INDONESIA, KENDURI AIR MATA (hal: 139 dan 199), PILKADA DAN PIL KOPLO, SERATUS HARI KEMATIAN PUISI.

Sesuai dengan amanat dan tujuan sastra, seperti yang ditegaskan Plato dalam Republik, yang mana tujuan sastra itu demi mengangkat harkat kemanusiaan dengan nilai agungnya, DAM menyuarakan ketimpangan yang hadir di sekitarnya. Ketika mencermati sajak-sajak DAM yang bertemakan sosial-politik, terlihat DAM berada di tengah konflik yang berlangsung. “Di tengah” ini adalah posisi sebenarnya bagi seorang penyair. Sebagai corong kemanusiaan, penyair bukan bagian dari sistem politik. Ia adalah sistem lain yang bergerak sendiri.

Politik muncul saat manusia membentuk koloni dan menghendaki sistem untuk mengatur kebutuhan mereka. Politik bisa disamakan dengan kepentingan untuk mengatur, menguasai, dan memerintah. Siapa pun yang terjun di dalamnya tidak akan bisa terlepas dari kepentingan ini. Ironisnya, pihak yang seharusnya terwakili dengan sistem tersebut justru seringkali menjadi penonton saja. Mereka ini seringkali disebut sebagai rakyat. Selama rakyat masih menjadi rakyat biasa, maka ia hanya berperan dalam membangun sistem ini, tapi bukan penggerak sistem tersebut secara aktif. Karena tidak mungkin semua orang memberikan perintah dan kebijakan, maka sistem itu menghendaki kepemimpinan. Di sinilah dualisme itu berawal. Kepentingan bersama ini menjadi kepentingan kelompok atau pribadi, seseorang dengan kapasitas yang dimilikinya berusaha untuk merebut, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Rakyat yang seharusnya menjadi tujuan dari terbentuknya sistem ini justru seringkali menjadi korban kepentingan politik. Dan penyair adalah corong untuk menyuarakan ketimpangan itu. Penyair, sebagaimana rakyat, juga tidak bergerak di dalam sistem itu. Bahkan ia ada di belakang pembangun sistem (baca: rakyat) tadi, penyair bergerak sejauh ia mampu membangkitkan pembangun sistem untuk berpikir dan merenung kemudian melahirkan tindakan.

Komunikasi yang diwujudkan berjalan secara tidak langsung, pembaca harus merenung dan memahami maksud penyair, baru memberikan pertimbangan. Renungan itu bersifat stimulus, gerak selanjutnya adalah respon terhadapnya. Banyak penyair yang dengan tegas mengambil jalan terang, sehingga lahirlah pamflet, balada, puisi orasi, puisi untuk menggerakkan massa. Tapi banyak juga yang tetap menyuarakannya dengan komunikasi puitikal. Substansi yang dikehendaki sama, namun gaya dan cara penyampaiannya berlainan. Puisi terang tidak lantas menjadikannya pro rakyat atau pro kemanusiaan. Saat kita menyebut rakyat, ia bisa menjadi sangat absurd. Tangan-tangan politik yang bergerak tak kasat mata membuat posisi rakyat terbelah. Ketika ada pihak yang berteriak-teriak pro atas kebijakan, ada pihak lain yang berteriak kontra atasnya. Massa bukan jaminan untuk menentukan pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Di sinilah penyair itu harus bijak dan mengambil posisi yang tepat, yakni di tengah tadi. Tolok ukurnya tentu berpulang pada pertimbangan nurani. Benar dan salah diukur dari pertimbangan dialektis yang mewakili kepentingan bersama tadi, bukan sekedar posisi pro dan kontra, bukan berdasarkan jumlah massa.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, sebagian puisi yang termuat dalam buku ini didedikasikan untuk satu atau beberapa orang. Hal itu tentu saja terkait dengan pemikiran penyair lain, atau fenomena yang bersifat umum dan disadari oleh orang banyak. Seperti yang terbaca pada puisi pendek di bagian agak akhir antologi berikut.

KENDURI AIR MATA
: agus r sarjono

duduk merapat membincang negeri
pertiwi diaduk perasaan perasaan sendiri
nyeri enggan berbagi

Agustus, 2010

Pada halaman 139 memang ada puisi berjudul sama. “Kenduri Air Mata,” tapi tanpa sub judul. Tema kedua puisi juga sama, yakni sosial-politik. Puisi berjudul “Kenduri Air Mata” yang saya tampilkan di atas itu tertera pada halam 199 dengan sub judul : agus r sarjono. Menarik saat membaca puisi pendek itu karena banyak hal yang bersembunyi dalam diksi sederhananya. “Kenduri” secara definitif adalah ritual yang dilakukan sekelompok orang dengan diisi doa dan diikuti acara makan bersama. Atau bisa disebut, kenduri adalah perjamuan makan. Pengertian umum ini berbelok ketika kata “kenduri” menerangkan kata “air mata.” Seolah air mata itu adalah hewan ternak yang digunakan dalam selamatan, ia adalah barang kenduri. Dari sini terdapat gambaran bahwa ada pengepungan kedukaan oleh beberapa orang, kenduri di sana sebagai kiasan besarnya duka tadi, sebuah tragedi terjadi sehingga dilakukan kenduri. Makna kenduri berbelok dan disempitkan, sehingga terlepas dari pemaknaan umumnya: ritual yang dilakukan untuk berbagai kepentingan. Ia menyempit semata untuk mewakili kedukaan berjamaah.

Pada sub judul tertera nama Agus R Sarjono, seorang penyair, cerpenis, esais, editor yang cukup familiar dalam dunia sastra Indonesia. Bahkan pada tahun 1994 antologi puisi berjudul “Kenduri Air Mata” dibukukan olehnya. Dari sini dapat ditarik pemahaman, bahwa puisi ini terkait dengan puisi Agus R Sarjono dalam antologinya itu. Atau dengan kata lain, DAM memang sengaja menyenggol Agus R Sarjono dengan puisi ini, karena ada kesepahaman dalam ide pokoknya. Dengan begitu, puisi “Kenduri Air Mata” ini termasuk dalam istilah saya, puisi dengan fungsi komunikasi puitikal tingkat ke dua. Secara langsung atau tidak, pembaca menyadari ada keterkaitan ide antara penyair dengan nama yang dituju oleh puisinya. DAM dan nama yang dituju puisinya terikat dalam satu wilayah perenungan.

Pada dasarnya, penyair memiliki banyak tujuan ketika menyebut atau menempatkan nama seseorang sebagai sub judul. Hal itu secara luas memang tidak menunjukkan pola tertentu. Misalnya Chairil menempatkan nama Sri Ajati dalam puisinya “Senja di Pelabuhan Kecil” yang jelas terbaca sebagai wakil dari tema cinta. Tapi ketika DAM menyebut nama Agus R Sarjono, dengan jelas terbaca tema sosial-politik yang sedang diangkatnya melalui tubuh puisi. Keterkaitan wacana yang saya maksud di atas itu bukan mengenai pola tertentu, tapi mengenai sudut pandang. Dalam puisi ini, keseragaman pandangan itu diawali oleh kedekatakan dua orang penyair, hal itu dicatatkan DAM, “duduk merapat membincang negeri.” Dari kalimat sederhana ini ada beberapa hal pokok yang hendak ditekankan, diksi “duduk merapat” menunjukkan adanya kedekatan sekaligus keseragaman pandangan mengenai ide pokok yang sedang dibicarakan dalam puisi. Ia sekaligus menjadi latar pembicaraan, yakni dalam proses pembicaraan itu dalam keadaan duduk berdekatan. “merapat” di sana memunculkan gambaran yang berbeda dibanding diksi lain, misalnya berdekatan, berdampingan, berjajar. Diksi merapat itu lebih menggambarkan upaya untuk menjadi dekat, erat, lengkap. Seperti kalimat, “perahu itu merapat ke dermaga,” ada gerak yang terbaca di sana yang tidak sama dengan diksi dekat atau bersanding.

“merapat” yang dikehendaki oleh puisi ini bukan hanya dari segi fisik, tapi juga batin. Dua orang yang dikatakan “duduk merapat” itu memiliki pandangan yang sama mengenai perkara yang berkaitan dengan “negeri.” Kalimat ini memang dalam bentuk padat karena ia dalam struktur puisi pendek. Padahal teks lanjutannya bisa jadi sangat panjang. Seandainya kalimat-kalimat yang disembunyikan itu ditulis kurang lebih akan terbaca, “dua sahabat karib di suatu pertemuan, duduk berdekatan. Mereka berdua memiliki keseragaman pandangan mengenai fenomena yang terjadi di negeri mereka, yakni indonesia. Permasalahan yang cenderung berputar-putar dan tidak pernah selesai dengan tuntas sehingga memunculkan kedukaan bersama.” Kalimat-kalimat sebagai teks lanjutan itu tentu tidak mungkin dimunculkan seluruhnya, karena struktur puisi pendek yang menghendaki efesiensi maksimal. Dalam puisi pendek, kata menolak kata lain yang tidak diperlukan. Prinsip ini berbeda dari puisi panjang, dimana satu kata dengan kata lain saling tarik-menarik karena tuntutan pemaknaan.

Misalnya diksi “membincang” itu bahkan menolak afiksasi seperti akhiran “–kan” atau sisipan “–per,” karena kata dalam puisi ini menghendaki pemadatan secara maksimal. Sehingga ia menolak kata bahkan imbuhan yang mungkin melengkapinya. Efesiensi secara maksimal ini sering disalah-gunakan oleh penyair sehingga membuang hampir semua kode bahasa dalam puisinya. Seperti puisi Sutardji yang berjudul “Luka” yang hanya berisi anomatope sebagai tubuh puisi, yakni “ha ha”. Atau bahkan ada penyair kontemporer yang mencoba membuat puisi tunggal, yang hanya mempunyai satu kata sebagai wakil judul sekaligus tubuh puisi. Saya kira puisi seperti itu hanyalah upaya kenyentrikan yang berlebihan. Dilihat dari logika pemaknaan, hal itu nonsense sifatnya. Puisi seperti itu dengan sendirinya jatuh sebagai puisi gelap yang minim kode bahasa. Puisi gagal dalam menjembatani terpahaminya ide pokok kepada pembaca melalui pemaknaan yang logis. Sepadat apa pun, sebuah puisi tentu terikat pada hal-hal pokok yang tidak logis jika ditabrak dengan licentia poetica. Hal-hal pokok itu adalah apa pun yang terkait dengan kode bahasa, apa pun yang menjadi petunjuk dalam pemaknaannya sesuai konvensi yang  berlaku. Penyimpangan hanya mungkin dilakukan sejauh itu untuk memberikan kesegaran dan kebaruan, bukan menghilangkan dengan radikal seluruh kode bahasa yang ada.

Seperti yang ditunjukkan oleh diksi “membincang” ini, dalam konteks bahasa formal hal itu tentu tidak dibenarkan karena mengandung ambiguitas, sehingga menyalahi tujuan komunikasi formal. Tetapi dalam bingkai puisi, justru yang ambigu, yang taksa, yang melahirkan banyak pemaknaanlah yang dikejar. Padahal tanpa tambahan afiksasi tadi makna kesalingan bercakap-cakap telah dimengerti. Bukan karena kode bahasa “membincang” itu, tapi karena teks lanjutan yang tersimpan di dalamnya. Teks lanjutan itu atau makna atas teks lanjutan itu muncul karena dorongan ide pokok dalam puisi, yang jika tidak ada justru tidak logis dilihat dari pemaknaannya. Artinya, teks lanjutan tadi memang tidak eksis dalam bentuk fisik, tapi ia mengeram di dalamnya karena kebutuhan pemaknaan logis.

Begitu juga dengan diksi “negeri,” seolah kata itu adalah plat merah pada kendaraan bermotor. Dengan cepat dapat dipahami, ia hendak mewakili permasalahan negara yang didiami oleh kedua penyair. Padahal menurut kode bahasa, secara definitif “negeri” itu bersifat umum dan bisa berarti negeri manapun. Ia dekat dengan bahasa melayu, nagari yang berarti wilayah, tanah, distrik, pemerintah, dsb. Tetapi negeri adalah kata konkret, dengan jelas ia menggambarkan keterkaitan dengan teks lain yang tidak disebutkan dalam puisi. Sesuai dengan ide pokok puisi, diksi “negeri” itu tidak menghendaki substansi kenegeriannya, tapi permasalahan yang ada dalam negeri tersebut. Pemaknaan seperti itu muncul ketika kata “negeri” berkaitan dengan judulnya, yaitu “Kenduri Air Mata.” Dengan adanya permasalahan itulah dikatakan ada kenduri di sana, yakni beramai-ramai menyantap kedukaan yang diwakili oleh air mata.

Dalam baris selanjutnya penyair berkata, “pertiwi diaduk perasaan perasaan sendiri.” Baris ini menguatkan pemaknaan sebelumnya. Diksi “pertiwi” juga merupakan kata plat merah. Dengan cepat dapat dipahami ia hendak mewakili definisi sebuah negara kepulauan yang disebut indonesia, meskipun secara harafiah ia diartikan sebagai tanah, bumi, tanah tumpah darah.  Atau jika mencermati lebih dalam dari studi filologinya, “pertiwi” dari bahasa sanskerta pṛthivī, yang merupakan dewi dalam agama Hindu, atau Ibu Bumi. Dalam sebutan lain, Dhra, Dharti, Dhrthri, yang berarti “memegang semuanya.” Pengertian seperti ini tidak berlaku sepenuhnya dalam puisi, sebagian sifat memang diambil, tapi makna kata “pertiwi” telah berbelok sesuai kehendak kata konkret darinya. Kehadiran kata pertiwi dalam baris ke dua menguatkan pemaknaan negeri tadi. Artinya kedua orang yang bersembunyi dalam kalimat pengganti subyek “perasaan sendiri” itu sedang diamuk kecamuk perasaan yang beraneka bentuk, untuk itulah dikatakan “diaduk.”

Ketika pembacaan sampai pada baris ke tiga, “nyeri enggan berbagi,” menghadirkan akhir perbincangan yang cukup mengejutkan. Substansi perbincangan itu memang tidak disebutkan, tapi teks lanjutan yang tersimpan jelas terbaca. Seperti halnya melongok ke luar jendela. Puisi ini kecil seperti ukuran jendela itu, tapi darinya terlihat gambaran yang luas. Dari jendela itu mungkin akan terlihat langit yang jauh, ladang luas yang gersang, bocah kurus yang sedang bersedih duduk di bawah pohon berdaun ranggas. Dari jendela yang kecil itu terbaca kesedihan yang luas dan dalam. Namun kenapa dikatakan, “nyeri enggan berbagi?” Kembali seperti melihat jendela tadi, kita tak dapat berteriak pada gembala kurus yang sedang bersedih di bawah pohon yang meranggas daunnya. Ia terlalu jauh. Kita tak bisa mengingatkannya ada badai besar yang sedang mengejarnya. Kita merasakan nyeri atas itu, padahal tangan kanan kita tengah memeluk anak dan tangan kiri kita sedang menggandeng istri. Kita tak bisa mengabarkan badai itu, karena kita pun sedang diserangnya. Begitulah puisi ini hendak mengabarkan kepedihan yang tak terkata. Penyair bahkan enggan membagi nyeri yang dirasakannya. Ia menelan sendiri pahit kenyataan itu, kengerian itu, kenyerian itu, karena berteriak pun percuma.

Puisi “Kenduri Air Mata” ini, sesuai istilah saya adalah bentuk komunikasi puitikal tingkat ke dua. Pertama kali ia melesat menuju nama yang menjadi tujuan puisi, yaitu Agus R Sarjono yang juga seorang penyair, cerpenis, esais, editor. Kemudian ia mengarah pada pembaca, yang menghubungkan keterkaitan dua penyair dari segi ide pokoknya. Dalam struktur pendeknya, puisi ini melakukan efesiensi maksimal sehingga membuang kata bahkan afiksasi yang tidak diperlukan. Tetapi kata-kata yang ditolak dari segi fisik itu muncul dalam bentuk teks lanjutan bersebab kaitan logis pemaknaan. Yang terbaca darinya adalah gambaran kedukaan untuk mewakili fenomena sosial-politik yang terjadi. Substansi permasalahan itu sengaja disimpan, yang tergambar darinya adalah duka tak terkata. Ia ada dan tinggal dalam perenungan-perenungan penyairnya, yang bahkan enggan untuk dibaginya. Meskipun sebenarnya hal itu telah sampai dalam pemahaman tanpa diucapkan.

Penutup

            Saya kira kesimpulan secara garis besar yang bisa diambil dari antologi “Sajak Emas” adalah mengenai kesaksian penyairnya dalam menjalani kehidupan. Puisi-puisi yang dihadirkan dalam antologi tersebut adalah upaya rekam-jejak. Karena satu-satunya yang dimiliki oleh manusia itu sebenarnya adalah masa lalu, seperti yang saya katakan sebelumnya. Maka dari itu penyair menyimpan kesaksian itu dalam puisinya yang merupakan tempat perenungan kembali. Ada beberapa hal yang akan luput dalam pembacaan heuristik karena strategi retoris yang diterapkan penyair dalam puisinya. Pembaca mungkin akan terkecoh oleh kesederhanaan diksi sehingga muncul anggapan yang familiar, biasa, jauh dari kesan eksentrik. Padahal jika masuk pada tahap pembacaan hermeneutik, dalam diksi-diksi sederhana itu sebenarnya terkandung perangkap estetik. Setiap penyair memiliki cara yang khas untuk menyihir pembaca, termasuk upaya defamiliarisasi teks. Dalam kesederhanaan atau kefamiliaran diksi yang diusung oleh DAM ada beberapa hal yang sebenarnya keluar dari bentuk familiar, seperti upaya DAM dalam merombak pemaknaan. Penyair memang tidak hendak membebaskan kata sebagaimana Sutardji, tetapi ia membelokkan pemaknaan kata. Diksi yang umumnya dipahami sebagai konotasi tertentu dibengkokkan. Sehingga yang muncul adalah makna baru yang bersumber dari sebagaian sifat definisi lama.

            Perlu dicatat, dalam prakteknya hanya ada dua jenis puisi jika dilihat dari penyampaiannya, yakni puisi meja dan puisi panggung. Puisi dengan diksi sederhana, dengan rima akhir yang disertai repetisi akan lebih mudah diterima audiens, tetapi kurang menghanyutkan dalam pembacaan hermeneutik. Maka dari itu puisi humor, puisi mbeling, puisi balada dengan tubuh panjang lebih bisa menghibur dibanding puisi yang memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam pengucapan. Sebaliknya puisi dengan diksi-diksi tidak familiar, yang fokus utamanya aspek semantik atau penampilan visual yang eksentrik cenderung lebih sulit diterima pemahaman audiens. Puisi menjadi asing dan sulit dicerna dalam momen cepat, apalagi di atas panggung puisi bukan dibaca oleh penikmat tapi didengar. Maka puisi absurd, puisi prismatis, puisi gelap, puisi pendek, lebih cocok untuk direnungkan dan diamati kata-per-kata.

            Melihat fakta tersebut, seluruh aspek dalam puisi seperti rima akhir, repetisi, kata kongkret yang klise dan berlebihan tidak bisa dikatakan melemahkan puisi saat menimbang ruang penyampaiannya. Saya kira fakta tersebut yang juga mempengaruhi puisi DAM. Di satu sisi puisinya bercirikan diksi sederhana, dengan pola repetisi dan penggunaan rima akhir yang sama atau mirip. Begitu juga dengan kata-kata kloningan berdasarkan kemiripan fonem. Di sisi lain DAM tetap memperhatikan hisapan pemaknaan dalam ruang dan waktu penikmatan yang berbeda. Maka dari itu penyair mengatakan hendak menggulirkan konsepsi estetis yang disebutnya sebagai “saksi yang sexy.” Puisi menurut penyair bukan sekedar indah dari bentuk fisik atau luarnya, tapi juga memperhatikan bentuk dalaman yakni maknanya. Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun, konsep-konsep yang ditemukan oleh DAM diramu sedemikian rupa demi memunculkan puisi yang mewakili dua ruang pembacaan sekaligus: meja dan panggung.

            Lalu apakah konsepsi estetis yang hendak digulirkannya dalam “Sajak Emas” adalah sebuah wacana yang bersifat fenomenal, monumental, spektakuler, best seller? Lebih awal DAM telah menggaris-bawahi dalam pengantarnya dengan sebuah fakta di lapangan, sebuah bentuk kesadaran atas pengalamannya sesudah sekian lama malang-melintang di dunia perpuisian Indonesia, yang dikatakannya, “Saya amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat ‘proyek rugi’ secara finasial, tetapi ‘proyek besar’ bagi kemanusiaan.”




Kajitow El-kayeni

Redaktur BPSM