museum

Minggu, 02 Februari 2014

POTRET DUNIA IDEAL DALAM TUBUH SOSIAL ABIMANYU ANAK REMBULAN


Judul   : Abimanyu Anak Rembulan
Penulis : Dwi Klik Santosa
Penerbit : Jagad Pustaka Publishing, Tangerang
Format : Novel Grafis
Tebal Halaman : 210, Full Colour



            Apa yang bisa dipetik oleh seseorang saat membaca kisah pewayangan?

Sebagaimana yang telah dipahami, wayang mengandung nilai-nilai filosofis yang cenderung berat untuk dibawa dalam kehidupan sehari-hari dalam wilayah kajian yang santai. Bahkan bisa jadi intrik politik yang mewarnai kisah pewayangan menampakkan sudut hidup pada gambaran sedihnya, ruah darah-airmatanya, getir epos purba kemanusiaan yang melulu mempertontonkan perebutan kekuasaan. Yang kesemuanya itu membuatnya tidak mudah untuk sekedar dibicarakan tanpa menyentuh ruang-ruang kontemplatif yang sarat makna di dalamnya. Wayang dengan dunianya yang utuh dan rumit merupakan gambaran dari kehidupan yang tak jauh-jauh dari dunia nyata kita dari zaman ke zaman. Baik yang dicatat oleh kitab suci samawi sejak Habil mengepruk kepala saudaranya sendiri, perjalanan hidup nabi dan orang-rang suci. Juga kisah Yunani mengenai perebutan kekuasaan dewa-dewa mereka sampai pada perang Troya. Termasuk yang tercatat oleh sejarah modern berkenaan dengan munculnya dua blok kuat di dunia yang menghadapkan manusia pada dua wajah kepentingan antara kapitalis dan sosialis, lahirnya diktator-diktator bengis dengan ragam latar belakang dan agama (juga yang tak beragama). Manusia dikatakan hendak menuju pendewasaan yang semata hanya menjelma fatamorgana, gambaran dari dunia ideal yang masih menjadi mimpi. Parade kesedihan dan panen air mata terus terjadi di negara maju ataupun miskin, di setiap petak kehidupan di manapun manusia bercokol pergulatan manusia dengan kemanusiaannya sendiri selalu berkelanjutan.

            Wayang dan daya pikatnya yang telah ditempa oleh perjalanan waktu membuatnya memiliki dimensi berlapis yang juga tak mudah dinilai dari satu sisi saja. Sebagian orang mulai keluar dari pakem nilai luhur yang dikandung cerita pewayangan dan memandangnya sebagai drama abadi perseteruan antara dua kubu besar atau acap disebut pandangan kontramitos. Dalam pandangan mereka tidak ada yang perlu diistimewakan dalam epos tua tersebut karena intrik politiklah yang bermain dalam keruhnya fragmen-fragmen mengharubiru di dalamnya. Pahlawan-pahlawan yang muncul berbarengan dengan pihak antagonis merupakan simbol abadi yang terus berganti wajah dari masa ke masa. Seperti kelindan siang dan malam, tanpa Kurawa pihak Pandawa hanya sekumpulan ksatria tanpa tujuan. Heroisme mati dengan sendirinya tanpa perimbangan munculnya tirani yang menyebabkan para pahlawan tadi muncul karena keadaan. Dengan kata lain kejadian-kejadian yang dikatakan “agung” itu hanya potongan kisah manusia dengan kemanusiaannya yang tak harus dikultuskan sedemikian rupa.

Tapi sebagian yang lain masih memegang teguh amanat luhur itu dalam konteks aslinya, yakni: nilai-nilai filosofis yang dituangkan kembali sesuai pakem yang ada. Wayang adalah sebuah perbandingan laku hidup manusia bukan hanya sebuah mitos yang berisi kisah-kisah heroik perlawanan protagonis dengan antagonis. Di dalam tokoh-tokoh wayang itu terkandung hubungan sebab-akibat di mana tidak putus perkara jika hanya menunjuk kisah klasik: sudah sewajarnya lakon itu menjadi pemenang dan pihak lain bernama musuh  dikalahkan. Sosok-sosok ksatria tidak kebetulan saja mendapatkan tempat sebagai pihak yang baik tetapi telah melalui sekian keterluntaan, penganiayaan, ketidak-adilan dalam hidupnya. Mereka tidak saja dibabtis oleh keadaan untuk muncul dengan tiba-tiba guna memerangi kejahatan, namun keterkaitan setiap fragmen tadi membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di sana sesuai kehendak logis. Para ksatria itu memiliki sifat dan sudut pandang yang memihak pada kebenaran umum, sebaliknya pihak musuh dengan kepentingan sepihak mengatas-namakan kebenaran juga tapi kebenaran subyektif sifatnya dan itu juga telah membentuk pihak musuh sesuai karakternya. Nilai-nilai filosofis inilah yang membuat kisah pewayangan menjadi buah manis yang bisa dipetik setiap pembaca. Dalam kehidupan sehari-hari, laku kehidupan yang tercermin dalam dunia wayang itu adalah gambaran dunia ideal yang diimpikan manusia.

            Sebenarnya bisa saja dikatakan keterpihakan sudut pandang dalam kisah pewayangan seolah menjauh dari objektivitasnya terhadap suatu permasalahan. Di mana hakikatnya manusia itu sebenarnya memiliki hak dan kepentingan yang sama meski menempuhnya dengan jalur yang berbeda. Apa yang dikatakan baik pada tokoh-tokoh kesatria itu tentu memiliki sisi buruk, dan sebaliknya apa yang buruk terhadap tokoh-tokoh jahat tersebut juga memiliki sisi baik. Di dunia nyata kepentingan-kepentingan itulah yang sebenarnya bermain bukan pada kubu benar dan salah yang kabur sifatnya. Seperti bercermin dalam konteks politik kubu Kapitalis-Sosialis, atau yang lebih dekat dengan kita yaitu Orde Lama dengan Soekarno-nya dan Orde Baru dengan Soeharto-nya. Tidak bisa dikatakan satu sisi benar atau salah karena pada prinsipnya yang bermain adalah kepentingan itu sendiri. Tetapi jika dikembalikan pada dunia nyata juga, ketika dunia ideal yang dituntut manusia tadi menghendaki sebuah paradigma bahwa penyimpangan dalam laku hidup dengan mengatasnamakan kebenaran sepihak yang subyektif sifatnya adalah musuh manusia seluruhnya. Dan pihak yang berlaku demikian dikategorikan sebagai musuh kemanusiaan maka keterpihakan semacam itu menjadi wajar dan perlu.

            Sisi lain juga telah diambil oleh penulis buku ini, Dwi Klik Santosa, dalam menuturkan kembali kisah pewayangan itu dengan cara yang lebih ringan. “Novel Grafis Abimanyu Anak Rembulan” ini sengaja mengambil sebagian kisah dari epos besar Mahabharata. Bisa dikatakan dalam novel ini ada semacam perpaduan dari nilai luhur kemanusiaan yang dikandung wayang dan pandangan tentang dramatisasi perseteruan dua kubu besar tadi. Ringan, jika mencermati olah kata yang digunakannya. Ringan, dari cara penulis mendekatkan pembaca pada satu tokoh muda bernama Abimanyu. Ringan, ketika pembaca memahami tentang “dongeng” yang sedang divisualisasikan melalui gambar-gambar.

Dramatisasi perseteruan itu terlihat, begitu pembaca sadar pada ajang pembagian kekuasaan kerajaan Astina melalui meja judi yang berakhir dengan pertumpahan darah. Namun nilai luhur itu pun tampil di benak pembaca ketika “melihat” ruang haru pertemuan sebuah keluarga. Diceritakan dalam Bab Sumitra dimana dia harus bertemu Arjuna (ayahnya) di medan pertempuran manakala saudaranya yang bernama Abimanyu hendak menggorok lehernya. Begitu juga nilai-nilai agung yang dimiliki oleh manusia-manusia utama seperti Bima, Begawan Abiyaksa, Kresna dan lain sebagainya.

            Suasana perang antara kebajikan dan kejahatan menjadi tidak penting lagi saat penulis memotret suasana haru pertemuan keluarga Arjuna. Betapa keadaan hampir saja membuat ikatan keluarga diakhiri banjir darah, dan di tempat yang tak seharusnya (peperangan) itulah mereka saling menemukan kepingan kehangatan keluarga yang nyaris berakhir tragis.

            “Akulah Arjuna, ayahmu…”
            Sumitra menatap Arjuna dengan mata berkaca. Betapa tak bisa ia sembunyikan lagi perasaannya.
            “Ayah…”
            Tangis sumitra meledak lagi. Dengan sesenggukan ia lekas berlutut, ingin mencium kaki Arjuna.
            “Bangunlah, anakku. Seorang ksatria harus senantiasa kuat berdiri, walau bagaimana pun keadaannya,” kata Arjuna (Abimanyu Anak Rembulan, hal: 203. Jagad pustaka, 2010.)

Meskipun suasana haru itu juga dengan cepat berubah menjadi getir, saat ingat sebelumnya pada Bab Jaka Pengalasan yang menyebutkan liku perjalanan hidup Abimanyu kecil yang terlunta. Berkat tipu daya seorang raksasi (dan juga sedikit campur tangan kesalah-pahaman) Abimanyu kecil bersama ibunya memilih menyingkir ke hutan. Getir itu pun terasa lebih menyayat manakala ditarik dari sudut pandang Semboto (saudara tiri Abimanyu) dalam posisinya yang sebenarnya sejajar dengan Abimanyu sebagai anak Arjuna.
Di titik ini kita mungkin akan setuju dengan pandangan kaum poststruktualis yang memandang teks tidaklah menghadirkan tapi membangun kenyataan. Kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda) itu menghendaki hukum kausal di mana sebuah epik mengharuskan dua posisi jelas yang saling berkontradiksi. Dunia ideal tadi menempatkan sosok Semboto berada pada pihak yang menuntut haknya dengan jalur lain dan ini menyebabkannya hubungan sebab-akibat yang menjadikannya sebagai pihak lawan. Semboto dengan hak yang diyakininya sebagai anak Arjuna memiliki wewenang untuk memperjuangkannya, seperti Habil yang mengepruk kepala saudaranya, semisal Stallin yang menggadang-gadang rakyat dalam pemerintahan komunisnya. Tapi dunia ideal tadi membentuk paradigmanya sendiri, untuk itulah manusia membuat hukum dan peraturan.

Dalam cerita wayang yang lebih lengkap banyak memuat kisah-kisah yang sebenarnya tidak memiliki keterpihakan tokoh pada kubu tertentu secara langsung. Seperti posisi Begawan Durna yang menjadi guru kedua pihak antara Pandawa dan Kurawa, jika pun Durna terlihat memihak Kurawa itu dikarenakan penempatan logis saja berdasarkan keberadaan Aswatama (anak Durna) di kubu Kurawa. Tokoh-tokoh kunci berada di pihak Pandawa seperti Semar, Kresna, Begawan abiyasa, dan lain sebagainya, posisi Durna yang dekat dengan Kurawa adalah sebagai wujud keseimbangan alam pewayangan itu sendiri. Ada juga kisah ratu Banowati yang terpenjara dalam tubuhnya sendiri tanpa bisa mengingkari gelora cintanya pada Arjuna padahal dia adalah seorang ratu kerajaan Astina. Kisah-kisah semacam ini menghadirkan ambivalensi, yang berujung pada mempertanyakan hakikat cinta dan kehidupan yang sering dikredokan banyak orang itu. Di dalam novel ini, Dwi Klik Santosa memilih Abimanyu untuk mewakili potret dunia ideal yang ingin ditunjukkannya dengan penuturan yang ringan untuk kembali menyegarkan dunia dongeng yang terdesak oleh membanjirnya dongeng dari luar dan makin membuat warisan budaya ini terhimpit di rumahnya sendiri.

            Novel grafis ini memang sengaja dipasarkan kepada teman-teman terdekat penulis yang kebanyakan adalah para penulis independen dan pelaku budaya. Sebuah bahan penting sebagai pembentuk karakter bangsa yang menempuh jalur indie dalam pemasarannya. Kenyataan seperti ini seolah sebuah ketukan di pintu rumah bangsa kita: di mana potret dunia ideal pewayangan itu semakin tersingkir dari kehidupan berbangsa.





Kajitow Elkayeni
Esais, lahir di Grobogan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar