Judul :
Abimanyu Anak Rembulan
Penulis :
Dwi Klik Santosa
Penerbit : Jagad Pustaka Publishing, Tangerang
Format : Novel Grafis
Tebal Halaman : 210, Full Colour
Apa
yang bisa dipetik oleh seseorang saat membaca kisah pewayangan?
Sebagaimana yang telah dipahami, wayang
mengandung nilai-nilai filosofis yang cenderung berat untuk dibawa dalam
kehidupan sehari-hari dalam wilayah kajian yang santai. Bahkan bisa jadi intrik
politik yang mewarnai kisah pewayangan menampakkan sudut hidup pada gambaran
sedihnya, ruah darah-airmatanya, getir epos purba kemanusiaan yang melulu mempertontonkan
perebutan kekuasaan. Yang kesemuanya itu membuatnya tidak mudah untuk sekedar
dibicarakan tanpa menyentuh ruang-ruang kontemplatif yang sarat makna di
dalamnya. Wayang dengan dunianya yang utuh dan rumit merupakan gambaran dari
kehidupan yang tak jauh-jauh dari dunia nyata kita dari zaman ke zaman. Baik
yang dicatat oleh kitab suci samawi sejak Habil mengepruk kepala saudaranya
sendiri, perjalanan hidup nabi dan orang-rang suci. Juga kisah Yunani mengenai
perebutan kekuasaan dewa-dewa mereka sampai pada perang Troya. Termasuk yang
tercatat oleh sejarah modern berkenaan dengan munculnya dua blok kuat di dunia
yang menghadapkan manusia pada dua wajah kepentingan antara kapitalis dan
sosialis, lahirnya diktator-diktator bengis dengan ragam latar belakang dan
agama (juga yang tak beragama). Manusia dikatakan hendak menuju pendewasaan
yang semata hanya menjelma fatamorgana, gambaran dari dunia ideal yang masih
menjadi mimpi. Parade kesedihan dan panen air mata terus terjadi di negara maju
ataupun miskin, di setiap petak kehidupan di manapun manusia bercokol
pergulatan manusia dengan kemanusiaannya sendiri selalu berkelanjutan.
Wayang
dan daya pikatnya yang telah ditempa oleh perjalanan waktu membuatnya memiliki
dimensi berlapis yang juga tak mudah dinilai dari satu sisi saja. Sebagian
orang mulai keluar dari pakem nilai luhur yang dikandung cerita pewayangan dan
memandangnya sebagai drama abadi perseteruan antara dua kubu besar atau acap
disebut pandangan kontramitos. Dalam pandangan mereka tidak ada yang perlu diistimewakan
dalam epos tua tersebut karena intrik politiklah yang bermain dalam keruhnya
fragmen-fragmen mengharubiru di dalamnya. Pahlawan-pahlawan yang muncul
berbarengan dengan pihak antagonis merupakan simbol abadi yang terus berganti
wajah dari masa ke masa. Seperti kelindan siang dan malam, tanpa Kurawa pihak Pandawa
hanya sekumpulan ksatria tanpa tujuan. Heroisme mati dengan sendirinya tanpa
perimbangan munculnya tirani yang menyebabkan para pahlawan tadi muncul karena
keadaan. Dengan kata lain kejadian-kejadian yang dikatakan “agung” itu hanya
potongan kisah manusia dengan kemanusiaannya yang tak harus dikultuskan
sedemikian rupa.
Tapi sebagian yang lain masih memegang teguh
amanat luhur itu dalam konteks aslinya, yakni: nilai-nilai filosofis yang
dituangkan kembali sesuai pakem yang ada. Wayang adalah sebuah perbandingan
laku hidup manusia bukan hanya sebuah mitos yang berisi kisah-kisah heroik
perlawanan protagonis dengan antagonis. Di dalam tokoh-tokoh wayang itu
terkandung hubungan sebab-akibat di mana tidak putus perkara jika hanya
menunjuk kisah klasik: sudah sewajarnya lakon itu menjadi pemenang dan pihak
lain bernama musuh dikalahkan.
Sosok-sosok ksatria tidak kebetulan saja mendapatkan tempat sebagai pihak yang
baik tetapi telah melalui sekian keterluntaan, penganiayaan, ketidak-adilan
dalam hidupnya. Mereka tidak saja dibabtis oleh keadaan untuk muncul dengan
tiba-tiba guna memerangi kejahatan, namun keterkaitan setiap fragmen tadi
membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di sana sesuai kehendak logis. Para ksatria
itu memiliki sifat dan sudut pandang yang memihak pada kebenaran umum,
sebaliknya pihak musuh dengan kepentingan sepihak mengatas-namakan kebenaran
juga tapi kebenaran subyektif sifatnya dan itu juga telah membentuk pihak musuh
sesuai karakternya. Nilai-nilai filosofis inilah yang membuat kisah pewayangan
menjadi buah manis yang bisa dipetik setiap pembaca. Dalam kehidupan
sehari-hari, laku kehidupan yang tercermin dalam dunia wayang itu adalah
gambaran dunia ideal yang diimpikan manusia.
Sebenarnya
bisa saja dikatakan keterpihakan sudut pandang dalam kisah pewayangan seolah
menjauh dari objektivitasnya terhadap suatu permasalahan. Di mana hakikatnya
manusia itu sebenarnya memiliki hak dan kepentingan yang sama meski menempuhnya
dengan jalur yang berbeda. Apa yang dikatakan baik pada tokoh-tokoh kesatria
itu tentu memiliki sisi buruk, dan sebaliknya apa yang buruk terhadap
tokoh-tokoh jahat tersebut juga memiliki sisi baik. Di dunia nyata
kepentingan-kepentingan itulah yang sebenarnya bermain bukan pada kubu benar
dan salah yang kabur sifatnya. Seperti bercermin dalam konteks politik kubu
Kapitalis-Sosialis, atau yang lebih dekat dengan kita yaitu Orde Lama dengan
Soekarno-nya dan Orde Baru dengan Soeharto-nya. Tidak bisa dikatakan satu sisi
benar atau salah karena pada prinsipnya yang bermain adalah kepentingan itu sendiri.
Tetapi jika dikembalikan pada dunia nyata juga, ketika dunia ideal yang
dituntut manusia tadi menghendaki sebuah paradigma bahwa penyimpangan dalam
laku hidup dengan mengatasnamakan kebenaran sepihak yang subyektif sifatnya
adalah musuh manusia seluruhnya. Dan pihak yang berlaku demikian dikategorikan
sebagai musuh kemanusiaan maka keterpihakan semacam itu menjadi wajar dan
perlu.
Sisi
lain juga telah diambil oleh penulis buku ini, Dwi Klik Santosa, dalam
menuturkan kembali kisah pewayangan itu dengan cara yang lebih ringan. “Novel
Grafis Abimanyu Anak Rembulan” ini sengaja mengambil sebagian kisah dari epos
besar Mahabharata. Bisa dikatakan dalam novel ini ada semacam perpaduan dari
nilai luhur kemanusiaan yang dikandung wayang dan pandangan tentang dramatisasi
perseteruan dua kubu besar tadi. Ringan, jika mencermati olah kata yang
digunakannya. Ringan, dari cara penulis mendekatkan pembaca pada satu tokoh
muda bernama Abimanyu. Ringan, ketika pembaca memahami tentang “dongeng” yang
sedang divisualisasikan melalui gambar-gambar.
Dramatisasi perseteruan itu terlihat, begitu
pembaca sadar pada ajang pembagian kekuasaan kerajaan Astina melalui meja judi
yang berakhir dengan pertumpahan darah. Namun nilai luhur itu pun tampil di
benak pembaca ketika “melihat” ruang haru pertemuan sebuah keluarga.
Diceritakan dalam Bab Sumitra dimana dia harus bertemu Arjuna (ayahnya) di
medan pertempuran manakala saudaranya yang bernama Abimanyu hendak menggorok
lehernya. Begitu juga nilai-nilai agung yang dimiliki oleh manusia-manusia
utama seperti Bima, Begawan Abiyaksa, Kresna dan lain sebagainya.
Suasana
perang antara kebajikan dan kejahatan menjadi tidak penting lagi saat penulis
memotret suasana haru pertemuan keluarga Arjuna. Betapa keadaan hampir saja
membuat ikatan keluarga diakhiri banjir darah, dan di tempat yang tak
seharusnya (peperangan) itulah mereka saling menemukan kepingan kehangatan
keluarga yang nyaris berakhir tragis.
“Akulah
Arjuna, ayahmu…”
Sumitra
menatap Arjuna dengan mata berkaca. Betapa tak bisa ia sembunyikan lagi
perasaannya.
“Ayah…”
Tangis
sumitra meledak lagi. Dengan sesenggukan ia lekas berlutut, ingin mencium kaki
Arjuna.
“Bangunlah,
anakku. Seorang ksatria harus senantiasa kuat berdiri, walau bagaimana pun
keadaannya,” kata Arjuna (Abimanyu Anak Rembulan, hal: 203. Jagad pustaka,
2010.)
Meskipun suasana haru itu juga dengan cepat berubah
menjadi getir, saat ingat sebelumnya pada Bab Jaka Pengalasan yang menyebutkan
liku perjalanan hidup Abimanyu kecil yang terlunta. Berkat tipu daya seorang raksasi
(dan juga sedikit campur tangan kesalah-pahaman) Abimanyu kecil bersama ibunya
memilih menyingkir ke hutan. Getir itu pun terasa lebih menyayat manakala
ditarik dari sudut pandang Semboto (saudara tiri Abimanyu) dalam posisinya yang
sebenarnya sejajar dengan Abimanyu sebagai anak Arjuna.
Di titik ini kita mungkin akan setuju dengan pandangan
kaum poststruktualis yang memandang
teks tidaklah menghadirkan tapi membangun kenyataan. Kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda)
itu menghendaki hukum kausal di mana sebuah epik mengharuskan dua posisi jelas
yang saling berkontradiksi. Dunia ideal tadi menempatkan sosok Semboto berada
pada pihak yang menuntut haknya dengan jalur lain dan ini menyebabkannya
hubungan sebab-akibat yang menjadikannya sebagai pihak lawan. Semboto dengan
hak yang diyakininya sebagai anak Arjuna memiliki wewenang untuk
memperjuangkannya, seperti Habil yang mengepruk kepala saudaranya, semisal
Stallin yang menggadang-gadang rakyat dalam pemerintahan komunisnya. Tapi dunia
ideal tadi membentuk paradigmanya sendiri, untuk itulah manusia membuat hukum
dan peraturan.
Dalam cerita wayang yang lebih lengkap banyak
memuat kisah-kisah yang sebenarnya tidak memiliki keterpihakan tokoh pada kubu
tertentu secara langsung. Seperti posisi Begawan Durna yang menjadi guru kedua
pihak antara Pandawa dan Kurawa, jika pun Durna terlihat memihak Kurawa itu
dikarenakan penempatan logis saja berdasarkan keberadaan Aswatama (anak Durna)
di kubu Kurawa. Tokoh-tokoh kunci berada di pihak Pandawa seperti Semar,
Kresna, Begawan abiyasa, dan lain sebagainya, posisi Durna yang dekat dengan Kurawa
adalah sebagai wujud keseimbangan alam pewayangan itu sendiri. Ada juga kisah
ratu Banowati yang terpenjara dalam tubuhnya sendiri tanpa bisa mengingkari
gelora cintanya pada Arjuna padahal dia adalah seorang ratu kerajaan Astina. Kisah-kisah
semacam ini menghadirkan ambivalensi, yang berujung pada mempertanyakan hakikat cinta dan kehidupan yang sering
dikredokan banyak orang itu. Di dalam novel ini, Dwi Klik Santosa memilih
Abimanyu untuk mewakili potret dunia ideal yang ingin ditunjukkannya dengan
penuturan yang ringan untuk kembali menyegarkan dunia dongeng yang terdesak
oleh membanjirnya dongeng dari luar dan makin membuat warisan budaya ini terhimpit
di rumahnya sendiri.
Novel
grafis ini memang sengaja dipasarkan kepada teman-teman terdekat penulis yang
kebanyakan adalah para penulis independen dan pelaku budaya. Sebuah bahan
penting sebagai pembentuk karakter bangsa yang menempuh jalur indie dalam
pemasarannya. Kenyataan seperti ini seolah sebuah ketukan di pintu rumah bangsa
kita: di mana potret dunia ideal pewayangan itu semakin tersingkir dari
kehidupan berbangsa.
Kajitow Elkayeni
Esais, lahir di Grobogan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar