museum

Minggu, 04 Desember 2011

RUH DALAM TUBUH BAHASA

 RUH DALAM TUBUH BAHASA



Bab 1. Pengantar

         Segala pujian yang terindah dan teragung untuk Tuhan Yang Maha Esa, berkat karunianya kepada manusia berupa pikiran sehingga segala ajaran-Nya bisa dipahami, segala pengenalan terhadapnya bisa dipelajari. Teriring segala bentuk syukur sebanyak bilangan yang diketahui-Nya, penulis panjatkan kepada-Nya pula yang telah mengajarkan bahasa kepada manusia sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan, juga sebagai sarana untuk mempelajari dan mengajarkan temuan-temuan dalam kehidupan, baik yang berupa ilmu mekanis maupun yang hanya dari segi teoritis. Termasuk di dalamnya ilmu linguistik itu sendiri.

        Pada pengantar ini penulis terlebih dahulu akan membicarakan bahasa secara umum agar dipahami secara luas bahwa dalam sastra tidak ada yang mutlak. Apa yang dipegang oleh seluruh kritikus dunia baik sejak jaman kuno sampai kritikus paling akhir hanyalah sebentuk konvensi belaka. Mengingat dalam sastra selalu terbuka ruang perbedaan pandangan yang lebar. Dan seperti dimaklumi pembicaraan dalam sastra akan menuju pada aporia (yunani: ketiadaan jalan keluar). Tetapi demi untuk mempelajari sastra maka dari sekian perbedaan tadi memang haruslah dititik-beratkan pada sebagian atau salah satu pandangan atau aliran pemikiran agar terfokus pada arah yang sama tanpa harus membuang pandangan yang lain. Artinya penulis akan cenderung memihak salah satu aliran pemikiran dalam kritik sastra meskipun tetap akan memberikan contoh pemikiran yang lain sebagai pelengkap.

          Bahasa memang bukanlah sesuatu yang bersifat substansial. Tetapi bahasa ada karena tuntutan keadaan baik dari segi tanda yang dimaksud Ferdinand de Sausure, juga sebagai refleksi dari suatu benda atau zat yang dimaksud. Suatu benda secara ansich tetaplah memiliki nilai dan karakternya sendiri, tanpa balutan bahasa pun benda tadi tetap eksis dengan dirinya sendiri. Namun bahasa itu kemudian muncul dan menjadi bagian dari benda tadi. Seperti halnya menyebut “Tuhan,” tanpa disebut Tuhan pun Dia tetaplah menjadi sesembahan sesuai sifat dan kemampuan “mencipta” yang dimiliki-Nya. Kata “Tuhan” itu adalah aksidensial sifatnya, ia ada karena keberadaan suatu zat yang memiliki sifat dan kemampuan ketuhanan, seperti mencipta tadi. Tapi sekali lagi, sebutan Tuhan itu merupakan tuntutan dari sifat suatu zat yang dengan sendirinya melekat padanya. Jadi urutan bahasa dalam hal ini sesudah suatu zat dikenali dengan karakter dan sifatnya. Tanpa kehadiran bahasa, zat tadi tetap ada. Sesudah zat tadi ada dan dikenali maka bahasa pun muncul sebagai tanda yang terrefleksi langsung karena keadaan benda tersebut.

         Bisa juga kita menunjuk benda yang dapat diindera seperti sekuntum bunga. Bunga ini kita sebut sebagai zat subtansial pertama. Dari wujud bunga itu dikenalilah ia dengan sarana penginderaan dari bentuk, warna, bau dan juga teksturnya. Bunga tidak membutuhkan nama “bunga” pada dirinya, kata itu melekat sebagai tanda untuk membedakannya dari benda-benda lain yang mungkin serupa atau berlainan bentuk juga sifatnya. Tanda ini baru awal fungsi bahasa pada bunga yakni: untuk mengenalinya dengan karakter tersendiri. Sesudah fase awal (semiotika) ini bahasa bergerak ke arah komunikasi bukan semata sebagai tanda, dimana bunga tadi tidak lagi disebut hanya untuk membedakannya dengan benda lain seperti, batu, atau air, namun “bunga” beralih fungsi dari aksidensial menjadi subtansial sifatnya. Saat menyebut kata “bunga” dengan sendirinya kata itu merujuk pada bunga yang sebenarnya secara konotatif. Tetapi dalam hal tertentu (sesuai fungsinya) kata bunga itu tidak pasti harus kembali secara utuh kepada zat subtansial pertama (bunga asli). Saat kita menunjuk kata “bunga” sebagai subtansial kedua, ia memanglah hanya kata untuk menggantikan benda yang dikenali sebagai zat subtansial pertama, namun kata ini bisa bergeser pemaknaan dalam bahasa saat ia berhadapan dengan kata yang lain (tanda untuk benda-benda lain). Misalnya kita sebut “bunga-api,” frasa bunga di sini sudah bergeser dari pemahaman terhadap benda bernama bunga yang sebenarnya.

       Bunga sebagai subtansial pertama tidak membutuhkan kata “bunga” sebagai subtansial ke dua. Sedangkan kata “bunga” sebagai subtansial ke dua berhubungan erat dengan zat bunga sebagai subtansial pertama. Karena keberadaan kata bunga disebabkan oleh zat yang dinamakan bunga tadi. Bisa jadi kata “bunga” tetap tidak bisa dikatakan sebagai benda yang bersifat subtansi dikarenakan ia tidak akan pernah ada seandainya zat bunga tidak ada. Tetapi bagi manusia beragama semua benda yang ada ini karena ia diadakan oleh zat yang disebut Tuhan. Maka benda-benda itu pun tidak layak dikatakan subtansial sifatnya karena tanpa ada penggerak pertama (Theos ala Aristoteles) benda-benda tersebut juga tidak pernah ada. Dengan sendirinya bunga yang disebut sebagai subtansial pertama tadi sebenarnya juga benda substansial kedua.

           Bisa juga bahasa dijadikan merdeka dan terlepas dari teori subtansi berbasis ketuhanan tadi. Karena bahasa memang bukan hanya miliki kaum beragama saja. Artinya saat kita memandang bahasa sebagai fungsi tanda benda yang sebenarnya seperti yang dimaksudkan oleh Ferdinand de Sausure maka bahasa itu muncul sebagai sebentuk sistem tunggal antara tanda, penanda dan petanda. Artinya sistem ini tidak bisa diwakili oleh kemunculan salah satu dari ketiganya. Boleh dikatakan warna kuning tetaplah ada meskipun ia tidak dikenali sebagai si “kuning,” akan tetapi keberadaan kuning sebagai signify mutlak ada bersama warna kuning itu sendiri sebagai signifiernya. Saat berada dalam wilayah semiotik semacam ini mungkin keberadaan bahasa seperti dianak-tirikan oleh benda sebagai signifier-nya. Dengan kata lain ia tidaklah menjadi lebih penting daripada eksistensi benda yang sebenarnya. Karena tanpa ada benda tadi bahasa sebagai wakilnya juga tidak akan pernah ada.

        Namun boleh jadi saat kita melangkah meninggalkan sistem kaku Ferdinand de-Sausure dengan semiotikanya dan masuk ke dalam wilayah komunikasi yang lebih rumit dari sekedar petanda dan penandanya akan terdapat sedikit ruang bebas bagi bahasa sehingga ia terlepas dari kemutlakan adanya benda selaku signifier-nya. Hal itu terjadi saat kita menggunakan ruang imajinasi dan memberikan nama kepada sesuatu yang tidak benar-benar nyata ada. Dalam imajinasi kita itu misalnya kita bayangkan suatu zat yang belum pernah disebutkan oleh mahluk manapun sehingga ia unik dan berbeda dari apa pun. Suatu zat yang tak terjelaskan ciri-cirinya oleh ilmu pengetahuan manusia, yang hidup hanya dalam imajinasi kita saja. Misalkan kita beri nama sesuatu tadi dengan sebutan Gust, padahal Gust tadi tidak memberikan pengertian selain keberadaannya yang tidak dapat dikenali oleh ilmu pengetahuan tadi. Kita berikan pula padanya sebuah wujud yang tidak mengandung energi positif atau negatif, ia tidak membutuhkan ruang untuk bertempat selain dalam imajinasi kita, ia tidak memiliki warna dan bentuk sebagaimana yang dikenali dari benda lain. Ia ada di batas ketiadaan benda-benda lain. Jika pun Gust memiliki kehendak dan kepentingan maka kehendak dan kepentingannya pun berbeda dari seluruh benda-benda yang ada.

Saat kita memberikannya nama dengan sebutan Gust, maka sesuatu yang sebenarnya tidak berwujud tadi hanya punya nama saja tapi tidak memiliki zat dalam bentuk yang nyata. Ketika sampai di titik inilah keberadaan bahasa menjadi merdeka dan berdiri sendiri dengan dirinya tanpa membutuhkan keberadaan benda yang sebenarnya. Meskipun begitu Gust tadi tidak bisa terlepas dari hukum bahasa dimana ia haruslah memiliki ciri untuk dikenali. Dengan demikian sebuah komunikasi bisa terwujud. Tanpa itu tujuan komunikasi akan gagal dicapai dan bahasa yang terlahir tanpa ciri-ciri tadi akan hampa nilai sekaligus hampa wujud. Ciri yang melekat pada Gust yang nir wujud tadi sebenarnya bisa kita ambil dari ketiadaan pengenalan terhadapnya. Artinya Gust tadi memiliki ciri yang belum pernah dikenali oleh pengetahuan manusia, tapi ia ada dalam imajinasi kita. Maka unik dan belum pernah dikenali tadi adalah ciri yang dimiliki Gust tersebut.

            Mungkin kita bisa memberikan kepada Gust tadi sebuah tempat kusus dalam sistem semiotika, tetapi kesulitannya adalah ketika kita menanyakan fungsinya. Dalam dunia nyata benda-benda yang dapat diindera itu memiliki sistem tanda untuk mewujudkan tujuan komunikasi yakni memberikan pemahaman. Ketika Gust yang ada tapi tidak dapat dikenali tadi kita sebut sebagai kandidat bahasa yang terlepas dari wujud benda yang sebenarnya maka ia harus memiliki fungsi dalam komunikasi, ia harus memberikan pemahaman akan keberadaannya. Satu-satunya ciri yang dimiliki oleh Gust tadi hanya perbedaannya terhadap sesuatu yang dapat dikenali selain dirinya. Ia tunggal dan berdiri sendiri dengan keunikannya.

        Mungkinkah sesuatu seperti Gust ini ada dan ia memiliki ciri-ciri bahasa yaitu memberikan pemahaman dengan keunikannya?

           Satu-satunya yang membuat Gust tadi gagal menjadi kandidat bahasa adalah sistem konvensi bahasa yang membutuhkan bentuk kongkrit benda untuk dikenali dalam logika. Sebagaimana kita menunjuk atom itu terbagi menjadi proton dan neutron. Padahal dulu saat ilmu pengetahuan belum sampai ke sana keberadaan atom beserta bagiannya tadi juga tidak dikenali padahal ia sudah ada sebelum dikenali. Dalam posisi ini bukankah ketiadaan pengenalan terhadap Gust tadi adalah bukti keberadaannya? Namun ketika Gust sudah dapat dikenali dengan cara berlogika seperti ini (yakni ia ada karena ketiadan pengenalan terhadapnya) maka ia akan berubah kembali menjadi tiada dengan sendirinya karena seharusnya dia tidak dapat dikenali. Dan di sinilah yang menyebabkan Gust tadi gagal menjadi kandidat bahasa karena ia justru menjadi tiada saat dikenali keberadaanya. Saat ia ada tanpa pengenalan terhadapnya, Gust bisa dikatakan suatu bentuk bahasa yang ada tanpa membutuhkan benda kongkrit atas keberadaannya. Namun ketika ia dikenali dengan cara begitu maka dia menjadi gugur dengan sendirinya karena ia telah dapat dikenali. Seperti kosong kembali ke kosong. Sesuatu selain kosong adalah ciri-ciri keberadaannya, jika ia bisa dikenali maka tidak layak disebut kosong. Padahal dengan sendirinya kosong tadi seharusnya menolak apa pun yang menjadi isi dalam dirinya termasuk pengenalan terhadapnya: sesuatu selain kosong adalah ciri-ciri keberadaannya. Maka kosong tadi pun gugur dan tidak bisa dikatakan kosong dari pengenalan karena sudah dapat dikenali.

          Bahasa sebagai suatu sistem yang unik sebenarnya terus-menerus membuka dirinya untuk dipahami dengan segala keluasannya. Ia tidaklah berhenti pada suatu sistem seperti semiotika misalnya. Tetapi kita harus membuat sebuah kesimpulan dari keluasan bahasa tadi agar bisa mempelajarinya. Tanpa adanya konvensi dalam bahasa maka tidak satupun yang bisa kita pegang darinya. Tetapi meskipun bahasa bersifat aksidensi ia memiliki ruh dalam tubuhnya. Misalnya saya munculkan sesuatu seperti Gust tadi, maka semiotika bisa dikatakan gagal karena ia tidak bisa menjelaskan keberadaan Gust serta fungsinya padahal ia ada. Dan  Gust tadi juga memiliki sifat-sifat bahasa. Namun kembali pada konvensi bahasa, maka Gust tadi harus dihilangkan demi mencapai sebuah kesepakatan bahwa bahasa adalah sebentuk refleksi dari benda yang sebenarnya, sebuah sistem tanda yang terkandung penanda dan petanda di dalamnya. Saat kita memilih satu sisi seperti ini, tentu bahasa akan kembali pada posisinya semula. Ruh yang dimilikinya tidak terlepas dari refleksi benda-benda yang diwakilinya.

          Jika bahasa sudah dilepaskan dari kepemilikan signifiernya agar bisa dikenali dengan mudah lalu apa yang menjadi ruh di dalam tubuhnya? Di sini kita telah menganggap bahasa sebagai benda (meski bukan benda yang mutlak eksistensinya) maka bahasa juga memiliki ciri-ciri mahluk yang memiliki daya hidup. Karena ruh dikenal sebagai pemberi daya hidup pada mahluk yang hidup. Apakah keberadaan ruh dalam tubuh yang sebenarnya itu logis? Dalam sejarah medis, keberadaan ruh adalah sesuatu yang misterius, meskipun begitu keberadaan ruh tidak dapat diragukan. Hal itu terbukti di saat seseorang telah divonis mati seandainya pun diberi organ baru kepadanya ia tetaplah tidak memiliki daya hidup. Sejak dulu pun kita menyebut sesuatu yang memberikan daya hidup itu dengan nama ruh. Demikianlah bahasa saat kita memandangnya sebagai benda, ruh yang dimilikinya memiliki kekuatan untuk menghisap ke arah pemaknaan layaknya ruh dalam tubuh yang memiliki daya kehidupan.

        Begitu luasnya ruang-lingkup bahasa sehingga penulis hanya akan memfokuskan pembicaraan pada ranah sastra dan teori-teori yang berhubungan dengannya. Nama Ruh Dalam Tubuh Bahasa sengaja dilekatkan pada buku ini agar dapat dipahami hakikat dari sastra itu sendiri yang merupakan anak bahasa, bukan dimaksudkan untuk memperluas kajian di luar sastra. Bisa juga diartikan sastra juga merupakan ruh dalam tubuh bahasa sehingga judul pada buku ini masih berkesesuaian dengan tujuannya, tetapi yang dikehendaki penulis dengan judul tersebut adalah ruh yang terkandung dalam karya sastra. Demikianlah buku ini disusun agar menerang-jelaskan posisi bahasa supaya bisa dipahami berikut dengan cabang-cabang linguistik yang ada padanya. Di dalam buku ini terkandung beberapa bagian diantaranya: Susastra, Teori Kritik Sastra, dan Jejak Sastra. Susastra akan dibagi dalam tiga bahasan pokok yakni: puisi, prosa, dan drama. Sementara teori kritik sastra akan memuat berbagai teori kritik sastra guna menggali ruh yang ada dalam tubuh bahasa(baca: sastra) tadi. Sedangkan Jejak Sastra akan mengulas sejarah sastra yang berhasil diungkap baik di luar maupun yang ada di dalam negeri.

          Penulis sadar sepenuhnya bahwa sastra adalah sesuatu yang sangat misterius sehingga baru sedikit yang terkuak dari masa lalu, di samping ia terus berkembang seiring perkembangan jaman. Oleh karena itu apa yang tertulis dalam buku ini masih jauh untuk dikatakan lengkap dan sempurna. Segala kritik dan saran atas buku ini akan sangat membantu dalam proses kelengkapannya. Tak lupa ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini.




Jakarta
Kajitow Elkayeni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar