museum

Minggu, 04 Desember 2011

SASTRA DAN KEHIDUPAN







LALU KUCIUMKAN KEYAKINAN PADA GENGGAMAN TANGAN
oleh Kurniawan Yunianto pada 03 September 2011 jam 16:27


jangan terlalu lama di luar sana

anginnya mengandung sekian megabyte

file aplikasi yang belum dimandikan

tak baik untuk kesehatan


sebentar sayang aku mau ke belakang

begitu kau bilang lalu melangkah lurus ke depan

menuju pintu alumunium bertuliskan toilet

yang dapat dengan jelas kubaca

tanpa kacamata


lalu segala yang cair kau keluarkan

termasuk lendir di hidung

akibat sambal yang terlalu lezat

dan kau tak harus memotretnya sebelum disiram


apa sayang

iya iya sekian kilobyte sisa makan siang

memang mesti dibuang



di sana kau melepas beban

di sini aku menunggumu pulang



*****


Ada hal yang luar biasa dari puisi ini saat kita merenungi kata "di sana" dan "di sini" itu. Meminjam istilah Bung Huhi apa yang ada di dalamnya adalah sebuah kejadian lintas melintasi medium, dalam bentuk teks terlihat jelas ada dua hal yang memiliki dua peranan berbeda, yakni aku dan kau yang kebetulan juga berada di ruang yang berlainan pula (merujuk pada puisi sebagai bentuk teks). Tapi kemudian dengan cepat terserap dalam pemahaman jika si aku lirik berada di sininya sedang si kamu lirik berada di sananya, lalu bagaimana si aku lirik mengetahui gerak si kamu lirik? Atau dengan kata lain, dengan cara apa si aku lirik membahasakan gerak si kamu lirik? Maka jalan tengahnya saya kira ya pada lintas melintasi medium tadi, atau bisa juga dikatakan ia (si aku lirik) telah keluar dari "batas" yang digembar-gemborkan oleh tuan Faruk dalam diskusi sastranya itu. Jika melihat puisi kawan KY ini, bukankah batas yang dikatakan tuan Faruk dalam diskusinya itu telah terlampauinya. Kata telah bergerak menjauh dari batas yang biasanya mengekangnya. Untuk lebih jelasnya menyitir pendapat Tuan Faruk; "Yang saya maksud dengan setiap karya sastra terbatas adalah: (1) ia dinyatakan dalam bahasa tertentu, yang berlaku dalam ruang dan waktu tertentu, (2) ia punya awal dan akhir yang ,merentang dalam ruang dan durasi tertentu, dan ditentukan pada momen tertentu, (3) ia mengkonstruksi sebuah dunia yang di dalamnya terdapat kesinambungan antara satu hal dengan hal lainnya. Yang saya maksud dengan hidup tidak terbatas adalah bahwa ia ada melampaui tiga (3) batas yang membatasi karya sastra itu."

Saat kita kembalikan tiga (3) hal itu pada puisi di atas, maka jelas terlihat ruang dan waktu telah diterabas oleh penyairnya. Saya sadar puisi di atas dinyatakan dalam bahasa tertentu memang, tapi saat kita sedikit melebarkan pemahaman terhadap batas kedua sebagaimana yang dimaksud Tuan Faruk ini, bukankah kode-kode bahasa yang dituturkan oleh penyairnya itu telah membombardir ruang dan waktu tertentu yang dikehendaki oleh Tuan Faruk tadi. Ia memang dalam konteks Bahasa Indonesia lengkap dengan logika bahasanya, tapi term logika bahasa yang mengehendaki si aku lirik harus dalam posisi maha tahu akan keadaan si kamu lirik telah dilangkahi. Bisakah itu berlaku dalam dunia puisi umumnya sastra dimana biasanya logika bahasa dijadikan rujukan dan konvensi dalam bersastra? Kenapa tidak. Dalam bahasa, segalanya mungkin. Lalu kenapa logika bahasa tidak bisa? Dalam puisi ini posisi si aku lirik yang berada di sininya sedangkan si kamu lirik ada di sananya telah menunjukkan kebisaan tersebut. Apa mungkin dalam keadaan berlainan ruang dan waktu itu membuat si aku lirik tahu sekian kilobyte sisa makan siang akan dibuang oleh si aku lirik? Belum lagi bagaimana si aku lirik mengukur persekian byte sisa makan siang si kamu lirik padahal sedikitpun dia seharusnya tidak berada dalam ruang dan waktu yang sama? Belum lagi bukankah byte itu untuk menentukan ukuran file bukan sisa makan siang? Belum lagi bukankah belum tentu si kamu lirik makan siang lalu membuangnya? Segalanya masih dalam batas mungkin. Dan hanya itu yang mampu dicapai oleh nalar kita.

Di sinilah saya sendiri tercengang persis ketika mengetik paragraf ketiga ini. Dan lebih tercengang lagi saat saya sadar telah mendapatkan jawaban dari sekian pertanyaan itu ternyata sudah ada di atas, entah disadari atau tidak oleh penulisnya jika tulisannya berkesesuaian dengan pertanyaan saya, bahwa si aku lirik telah "melintasi medium" ruang dan waktu sebagaimana yang dikehendaki oleh logika bahasa. Dan untuk inilah seringkali saya tidak setuju jika puisi semata-mata diukur dengan logika bahasa. Kenapa begitu? Departemen entah apa itu namanya--pusat bahasa--memang bertugas mencatat dan membuat batasan-batasan sebagai kiblat berbahasa. Tapi puisi sebagai anak bahasa selalu berada selangkah di depan pemahaman terhadapnya. Seperti kata Sutardji, kenapa dulu sungai disebut sungai? Apakah orang-orang dari Pusba mampu menjawabnya? Saya tidak yakin. Karena jawaban dari pertanyaan seperti itu memerlukan studi filologi yang panjang dan melelahkan. Belum lagi bukan makna harafiahnya yang dikehendaki Sutardji dari pertanyaannya tadi. Maka dapat disimpulkan, bahwasanya sastra dan hidup itu sendiri sama-sama tak terbatas. Karena jika kita menunjuk bahasa maka sebenarnya kita sedang berhadapan dengan semiotika seperti maksud De-sausure itu. Dan seperti kita tahu bahasa itu aksidensi bukan substansi. Artinya saat kita menunjuk bahasa sebenarnya kita sedang menunjuk pada wakil dari benda yang sebenarnya.

Lebih daripada itu bisa jadi sastra jauh lebih tak terbatas dibanding hidup itu sendiri. Apa buktinya? Hidup jelas berakhir dengan kematian. Meskipun ada orang yang meyakini hidup itu tak berawal dan tak berakhir. Kata siapa hidup tidak berawal dan tidak berakhir? Apa buktinya? Ilmuwan saja kelabakan membuat satu sel hidup dari protein padahal seperti diyakini dari proteinlah sebuah sel menyusun dirinya sehingga ada. Teori Big Bang atau Teori Gas itu belum memberikan jawaban dari pertanyaan sederhana, bagaimana hidup itu ada? Ruang hampa ini menunjukkan bahwa ada yang memulai kehidupan sehingga hidup itu ada, sehingga ia (meminjam istilah Sutardji) meloncat dari kekosongan. Sedangkan sastra seperti kita tahu baru sedikit yang bisa dikuak dari masa lalu dengan Ginokritik (atau apa itu istilahnya?). Hal ini dengan sendirinya menghadirkan pemahaman, sastra merupakan misteri yang sangat besar sehingga mustahil bisa dipahami seluruhnya. Hidup berbatas dengan kematian, itu jelas. Ke mana sesudah mati itu? Orang berkeyakinan segalanya berputar dari kosong kembali ke kosong. Jasad hidup itu akan kembali ke tanah dan melanjutkan perjalanannya untuk kembali hidup dan mati lagi. Lalu bagaimana menghidupkan orang mati sebelum ia menjadi tanah dan berputar kembali menjadi sel hidup dalam sperma? Dalam fisika dikenal dengan reaksi dapat balik, yaitu sebuah proses dimana suatu kejadian dapat dibalik urutannya. Ilmuwan meyakini mereka bisa membuat bensin dari asap kendaraan dalam waktu singkat (tanpa perlu menunggu jutaan tahun menjadi jasad renik terlebih dahulu) berdasarkan teori tersebut. Coba sekarang balikkan posisi mati tadi menjadi hidup tanpa melalui proses menjadi tanah. Siapa yang bisa meniupkan ruh ke dalam jasad mati tadi? Atau dengan logika medisnya, seseorang yang telah divonis mati dapatkah dihidupkan dengan memberikan organ baru kepadanya? Saya yakin seluruh dokter di seluruh jagad ini akan angkat tangan.

Sedangkan sastra seperti yang kita tahu terus bergerak dan tak terbatas oleh ruang dan waktu. Bahkan jika ada alien datang ke bumi dan mempelajari sastra kita, maka ia menjadi semakin tak terpetakan lagi. Alien? Apa mungkin ada kehidupan lain selain di bumi ini? Mungkin saja. Akan sangat mubazir jagat luas ini jika hanya punya satu planet yang bisa didiami oleh mahluk hidup. Ini fakta pertama, yang ke dua seperti yang ditunjukkan oleh puisi di atas itu, bahwasanya ruang dan waktu telah diabaikan dan itu menjadi mungkin saat kita memindahkan logika bahasa dari tempurung kepala kita. Banyak hal yang tidak mampu dijawab logika, bahkan dalam ilmu pasti sekalipun para matematikawan tidak benar-benar sepakat jika satu tambah satu sama dengan dua. Belum lagi menyoal hidup, belum lagi jika membahas Tuhan. Lalu kemudian dengan apa kita meraba sebuah karya sastra jika logika bahasa sebagai tolok ukurnya telah kita tanggalkan? Tentunya dengan imajinasi. Mungkin saja si aku lirik itu telah melintasi medium seperti yang kita bicarakan tadi. Ia telah memindahkan dunia nyata ke dalam dunia baru yang dibentuknya dalam puisi. Dunia bahasa itu sendiri.

jangan terlalu lama di luar sana
anginnya mengandung sekian megabyte
file aplikasi yang belum dimandikan
tak baik untuk kesehatan

Munculnya istilah kilobyte, megabyte, file dan sebagainya itu untuk petunjuk arah bahwa apa yang diceritakan dalam puisi telah berpindah ruang dan waktunya. Karena ruang dan waktu itu sendiri sebenarnya tidak ada. Okelah saat kita menunjuk awal kata, huruf atau bait dari puisi merupakan awalan sedangkan akhir kata atau baitnya adalah akhiran. Lalu bagaimana saat saya membacanya dengan bolak-balik demi mendapatkan pemahaman? Di mana awal dan akhirnya?

Inilah yang membuat para akademisi itu gagal saat mereka sibuk dengan perkara sepele dan lupa pada tujuan bersastra serta makna yang dikandungnya.

Puisi yang baru saja saya baca di atas itu datar memang, nyaris tidak menampakkan kehendak ayunan pemaknaan. Lihatlah kata yang dipilih penyair mungkin (maaf) terlihat jorok.

lalu segala yang cair kau keluarkan
termasuk lendir di hidung
akibat sambal yang terlalu lezat
dan kau tak harus memotretnya sebelum disiram

apa sayang
iya iya sekian kilobyte sisa makan siang
memang mesti dibuang

Bahkan saat kita membaca dengan cepat akan tersirat sebuah gambaran biasa tentang sesuatu yang mungkin sekali lagi (maaf) tidak layak disastrakan. Lalu apakah yang dikatakan jorok itu tidak layak disastrakan? Apakah yang terlihat datar dan biasa itu tidak mengandung nilai kontemplatif? Sejujurnya saat kita terbiasa membaca sebuah karya yang memanjakan pembaca dengan diksi-diksi aduhai dan mendayu-dayunya, saat itulah ruang kosong muncul dalam benak kita, apakah puisi itu hanya diwakili ketaksaan kalimat saja? Artinya kita memendekkan jalur yang ditempuh penyair dengan langkah memutarnya itu menjadi sebentuk pemahaman yang singkat dan padat. Bukankah dalam puisi Penyair KY ini juga terdapat ruang yang sama untuk melakukannya? Bahkan sejujurnya beberapa penafsiran terus bertarung-tarung dalam mata batin saya mengenai puisi di atas itu. Terlepas dari kehendak penyair dan sebab terciptanya puisi ini, sebuah pertanyaan terus menengeram dan saya ragu-ragu memilih jawaban. apa yang sebenarnya dikehendaki oleh puisi ini?

Dan sayangnya sampai sekarang saya belum menentukan pilihan jawaban mana yang cocok dengan logika bahasa.






Kajitow
Esais

Tidak ada komentar:

Posting Komentar