museum

Rabu, 28 Desember 2011

ANTITESIS BAGI KREDO SUTARDJI

ANTITESIS BAGI KREDO SUTARDJI


PESAN TAK TERDUGA
oleh Kurniawan Yunianto pada 7 Desember 2011 pukul 11:27

yang mesti kau sampaikan
telah berada di berandaku semalaman
satu kali suaranya mengetuk 
nyaris tanpa bunyi
tapi meledak di dalam diri

entahlah, bagian mana yang kini cedera
yang jelas bukan telinga
hanya saja, pagi, saat pintu kubuka
yang menggigil, yang membeku, yang kosong
adalah dada

semalam kau cuma bilang aku
perbincanganpun jadi lebam biru
langit tibatiba kelabu
lalu gerimis, lalu tangis
lalu cemas begitu menguras

sementara sarapanku mengeras
aku masih berpikir, tentang cara mengunyahnya
agar terbakar tuntas

dulu pernah, angin subuh begitu riuh
tapi dinginnya tak sesunyi api



Puisi ini seperti antitesis bagi kredo Sutardji. Betapa satu kata memiliki makna yang dalam bagi aku dan kau lirik di sana. “Kata-kata tidaklah mengantarkan pada pengertian,” katanya, padahal kredo Sutardji itu bertentangan dengan prinsip semiotika dimana bahasa yang bersifat aksidensi terikat kuat pada benda sebagai subtansinya. Dengan kata lain, kata itu terrefleksi dari keberadaan benda sebenarnya. Seperti warna kuning secara ansich terlepas dari namanya yaitu kuning, ia berdiri sendiri, tetapi kata kuning terikat oleh warna kuning. Bolehlah kita berandai kata yang dikehendaki Sutardji itu adalah Firman sebagaimana keterangan di Injil. Yakni kata itu adalah refleksi dari Tuhan itu sendiri. Sehingga kata itu bebas dan menentukan dirinya sendiri. Dalam ranah keislaman dikenal kata yang bermakna sama dengan, "pada mulanya adalah kata," yaitu "kun." Dari sana terwujudlah di alam azali semesta yang terkira luasnya ini, meski belum terwujud dalam alam musyahadah. Kun itu seperti cetak biru, dari firman tersebut tumbuhlah bentuk-bentuk fisik. Kata itu memang menjadi awal segala sesuatu. Tetapi kata itu sendiri difirmankan oleh Tuhan. Berarti kata tidak akan pernah ada jika tidak difirmankan. Dengan sendirinya kata atau firman itu terkait erat dengan Tuhan itu sendiri, sehingga kata tentu memiliki tujuan yakni pengertian. Karena ia ada untuk memberikan pengertian atas zat subtansinya.

yang mesti kau sampaikan
telah berada di berandaku semalaman
satu kali suaranya mengetuk
nyaris tanpa bunyi
tapi meledak di dalam diri

Bait awal puisi ini begitu memukau bagi saya. Bukan karena saya mengerti dengan jelas, tapi justru karena saya membebaskan imanjinasi berenang dalam lautan ketaksaan saat membacanya. Seperti dulu pernah saya tulis dalam esai: Bahasa Puisi Bahasa Misteri, bahwasanya ada bagian dalam puisi itu yang justru sangat menarik saat ia dibiarkan memancarkan misteri untuk terus dipahami. Sebagaimana firman Tuhan dalam Quran kepada Adam-Hawa, "Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini." Nama pohon itu saja tidak disebut kecuali hanya dengan isyarat "ini." Apalagi mencari tahu, kenapa Tuhan memberikan pelarangan di tempat yang seharusnya tidak ada keharaman? Surga adalah tempat yang tidak mempunyai hukum pengharaman, semua halal, sah, dan sempurna. Tapi kenapa masih ada pelarangan? Begitulah Tuhan "bermain" dengan bahasa, dengan ketaksaannya. Karena sebenarnya bukan pada bentuk luar itu tujuan dari perintah dan larangan. Bukan pada bentuk fisiknya, bukan dalam bentuk tekstualnya, bukan dari arti kata yang terbaca darinya. Yang paling penting bagi Tuhan adalah ketaatan Adam dan Hawa untuk mematuhi-Nya. Sama halnya dengan terwujudnya kita, kepentingan Tuhan hanya satu, Dia ingin dikenali maka diciptakannya makhluk.

Jika memandang kata yang memiliki kebebasan pemaknaan di sini, mungkin kredo Sutardji tadi bisa dibenarkan dalam pemahaman: "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas." Tetapi sebenarnya ada perbedaan besar antara kredo Sutardji dengan premis saya ini. Kata yang bebas di sini bukan pada diri kata itu sendiri, tapi kata itu bebas dari segi pemaknaannya yang kontinyu. Kata itu tetap sebagaimana ia, tetapi pembacalah yang membebaskan imajinasinya untuk menggerakkan kata sehingga ia melahirkan pemaknaan lain. Misalnya pada, "yang mesti kau sampaikan / telah berada di berandaku semalaman." Apa yang telah disampaikan kau lirik kepada aku lirik di sana? Rujukan paling dekat yang bisa diambil adalah pada bait ke tiga:

semalam kau cuma bilang aku
perbincanganpun jadi lebam biru
langit tibatiba kelabu
lalu gerimis, lalu tangis
lalu cemas begitu menguras

Maka saya menyebutnya pangkal, karena memang pada perkataan "aku" oleh kau lirik itulah seluruh cabang puisi ini berpangkal. Namun tidak habis di sana saja, apa pun yang disampaikan oleh kau lirik itu tidak berhenti pada premis saya mengenai bait ketiga tadi, justru ia bergerak terus dan menghasilkan pemaknaan lain. Secara logis dapat dipahami, bukan kata itu yang hadir di beranda rumah aku lirik, tetapi itu sebenarnya adalah gambaran dari pemahaman aku lirik terhadap apa yang disampaikan kau lirik dengan perkatannya yang hanya satu kata yaitu "aku." Jadi yang menggerakkan kata "aku" itu sebenarnya aku lirik. Ia membaca kata "aku" secara mendalam sehingga digambarkan akibat yang ditimbulkan kata itu pada dirinya (aku lirik): perbincanganpun jadi lebam biru / langit tibatiba kelabu / lalu gerimis, lalu tangis / lalu cemas begitu menguras.

Bisa jadi prosesi perbincangan itu memang terjadi, tapi bagi saya itu tidak penting. Karena sebagaimana yang pernah saya katakan, tulisan itu tidak menghadirkan kenyataan, tapi ia membangun kenyataan dalam pikiran pembacanya. Artinya tidak ada fakta di sana, karena fakta itu telah berubah menjadi fiksi yang ada dalam benak pembaca. Maka kata "aku" yang diucapkan kau lirik itu mungkin sebagai penyebab seluruh kejadian, tetapi pada diri aku liriklah kedalaman pemahaman itu terjadi. Sehingga dapat dipahami di sini, "kata memiliki kebebasannya, tapi kebebasan itu dalam hal pemaknaan kepadanya yang bersifat kontinyu. Ia bergerak dan melahirkan pemaknaan lain secara berkesinambungan seiring bergeraknya imajinasi pembaca." Dan ini tentunya jelas telah membedakan dengan kredo Sutardji bahwa kata tidaklah mengantarkan pada pengertian tadi. Bahkan kata yang dimaksudkan oleh puisi ini menjadi antitesis bagi kredo Sutardji. Kata itu mengantarkan pada pengertian, bahkan pengertian itu tidak terbatas melainkan kontinyu seiring kebebasan imajinasi pembacanya.

entahlah, bagian mana yang kini cedera
yang jelas bukan telinga
hanya saja, pagi, saat pintu kubuka
yang menggigil, yang membeku, yang kosong
adalah dada

Di sini aku lirik terkesima dengan pemahamannya sendiri atas perkataan kau lirik, atau mungkin justru ia terheran-heran dari ketidak-pahamannya atas perkataan kau lirik tadi. ketidak-pahaman itu melahirkan sesuatu yang kosong di dalam hatinya, kosong dari pemahaman yang sebenarnya. Kosong itu sendiri bergerak dan menuntut pemenuhan sehingga ia terus mencari pemahaman atas perkataan kau lirik. Terlihat aku lirik menjadi begitu kerdil saat menghadapi ketidak-pahamannnya sendiri. Itu digambarkan dengan: ia menggigil, membeku dan kosong. Yang kemudian dijelaskan dengan bait ke tiga yang telah dibongkar sebelumnya.

Kemudian hal itu terus menyeret aku lirik pada permenungannya.

sementara sarapanku mengeras
aku masih berpikir, tentang cara mengunyahnya
agar terbakar tuntas

Jika empat bait yang saya sebutkan di atas itu referen dan koheren dengan jelas pada tema puisi. Bait terakhir justru terpelecat dari kesebangunan tadi. Saya tidak mengartikan ini sebagai sesuatu yang melebar, tetapi saya menganggapnya sebagai anomali pemaknaan. Dan ini bukan berkonotasi buruk, tetapi bagi saya penyimpangan ini sejalan dengan premis: "kata memiliki kebebasannya, tapi kebebasan itu dalam hal pemaknaan kepadanya yang bersifat kontinyu. Ia bergerak dan melahirkan pemaknaan lain secara berkesinambungan seiring pergerakan imajinasi pembacanya."

dulu pernah, angin subuh begitu riuh
tapi dinginnya tak sesunyi api

Meskipun sah saja jika ini diartikan sebagai pelebaran, puisi melebar dari tema yang diusungnya. Namun misalkan ditautkan dua baris ini dengan seluruh proses yang dibicarakan dalam puisi, sebenarnya dua baris ini masih sebangun karena berfungsi juga sebagai latar, maka dari itu dikatakan oleh penyair, "dulu pernah, angin subuh begitu riuh." Dulu katanya, dan ini bermakna puisi kembali bergerak ke awal lagi. Ia kembali membicarakan sosok kau lirik. Bisa juga dikatakan, puisi bergerak dan membicarakan keheranan aku lirik atas perkataan kau lirik. Maka bagi saya itu bukan masalah. Sebagaimana saya memaknai puisi Chairil:

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Sekilas, seolah baris terakhir itu melompat dari bingkai puisi, ia bergerak melebar dari tema yang diusungnya, tapi itu seolah. Sebenarnya baris terakhir itulah ruh dalam tubuh puisi Chairil. Ia merangkum bagian sebelumnya sehingga didapati: suasana yang dibentuk Chairil itu bermuara pada keheranannya, "Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!" Siapa bocah cilik itu? Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan pada puisi Penyair KY, apa yang sebenarnya hadir di beranda rumah aku lirik itu? Ia menjadi ruh dalam tubuh puisi. Ia yang mengantarkan pembaca untuk memahami atas apa yang sebenarnya tak benar-benar bisa dipahami, karena terus bergerak dan melahirkan pemahaman baru atas dirinya. Meskipun bisa ditunjuk, bocah cilik di sana adalah pembacaan Chairil atas dirinya. Gambaran mengenai kehidupan yang telah dijalaninya. Betapa selama itu dia sibuk mengejar bayangannya sendiri, kehidupan yang misterius mengantarkannya pada pencarian akan sesuatu yang entah, seperti sifat bayangan itu.

Dalam puisi Penyair KY ini pun begitu. Kau lirik yang hanya bisa berucap kata "aku" itu tiba-tiba menghadirkan sesuatu yang sakral bagi aku lirik, sesuatu yang membuatnya menggigil, membeku, dan kosong. Bagi aku lirik, kata "aku" itu sama sakralnya dengan kata "kun" dalam Quran, sebagaimana "kata" yang disebutkan dalam Injil sebagai "Firman."





***

kajitow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar