tag:blogger.com,1999:blog-52084527130819995052024-02-21T04:12:07.528-08:00Sastra HatiMengenal sastra dan budaya dengan cintaSastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-90569201917706130892014-05-20T10:23:00.001-07:002014-05-22T16:18:07.448-07:00MENGHIDUPKAN KEBUDAYAAN MATI<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixKka3xpMrgPf-1WphuEN7S9lF4n4E1ENBViZ9mTwxmISnDfR9aVyGZQUzqD8g2KNrexNluV4F-rapBO6ShD0Rbf_KewnwAeWYweR-CDKNd7mAlyNwExCe_9JjiOkBN2t1nQMhe0ftHUA/s1600/1381312_677765902235745_379356335_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixKka3xpMrgPf-1WphuEN7S9lF4n4E1ENBViZ9mTwxmISnDfR9aVyGZQUzqD8g2KNrexNluV4F-rapBO6ShD0Rbf_KewnwAeWYweR-CDKNd7mAlyNwExCe_9JjiOkBN2t1nQMhe0ftHUA/s1600/1381312_677765902235745_379356335_n.jpg" height="311" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: start;">
<div style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Kebudayaan seringkali diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi, selesai, dan
bahkan mati. Jika demikian halnya, maka museum tak lebih hanyalah sebuah
kuburan. Ia hanyalah kebudayaan yang mati.<o:p></o:p><br />
<br />
Tetapi anggapan umum ini tentunya keliru, ketika memahami
kebudayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Bersatunya manusia dengan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan. Ia bagai garam
dalam masakan, meresap secara berimbang. Maka sebagai rumah peradaban,
keberadaan museum seharusnya juga tak terpisahkan. Manusia yang membangun dan
mendiaminya sebagai tempat untuk berlindung dari mudah lapuknya ingatan. Dalam
Culture-determinism, yang digagas oleh Bronislaw Malinowski disebutkan bahwa,
segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan mereka
sendiri. Maka dengan demikian, masyarakatlah yang harus bergerak dan berbenah,
jika kebudayaan lampau mulai terancam oleh alienasi.<o:p></o:p><br />
<br />
Ironisnya, tempat penting yang diniatkan sebagai sumber
informasi bagi pendidikan dan seni ini kurang mendapatkan perhatian. Jarak ini
tercipta karena banyak hal, di antaranya kurangnya rasa memiliki. Museum
dijadikan liyan, bukan bagian yang membentuk diri subyek. Ketika sampai pada
kenyataan ini, keadaan harus segera dikembalikan sebagaimana mestinya. Tidak
semudah membalikkan telapak tangan memang, namun dengan pemahaman dan orientasi
perbaikan yang benar, hal itu bisa diwujudkan.<o:p></o:p><br />
<br />
Dalam sebuah dialog yang diadakan di Museum Nasional dengan
pembicara Edi Haryono, Mohamad Sobari (tidak hadir) dan dimoderatori oleh Dwi
Klik Santosa, sempat digulirkan sebuah pembahasan dengan tema, Bagaimana
mencintai museum kita? Sebagai pembicara, Edi Haryono memberikan tiga jawaban,
yaitu: Pertama: memanfaatkan rasa ingin tahu yang dimiliki semua orang, dari
kanak-kanak hingga kakek-nenek. Kedua: menyadari kebutuhan menempa diri,
sebagai bekal pokok dalam persaingan hidup. Ketiga: merenung, sebagai proses
melahirkan perkembangan hidup yang terhindar dari mekanisme pasar. <o:p></o:p><br />
<br />
Selaras dengan tujuan itu, jika mengingat kesimpulan J.J
Hoenigman, menyoal kebudayaan, semestinya ada tiga hal yang saling berkaitan,
yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Dari tiga poin yang diajukan oleh
Hoenigman ini, problem kurang perhatian yang dialami museum itu bisa dicarikan
jalan keluar sesuai ruang-lingkupnya. Hal itu bisa dipahami sebagai berikut:<o:p></o:p><br />
<br />
Pertama soal Gagasan, ia meliputi kumpulan ide,
nilai-nilai, peraturan, norma. Sesuatu yang tinggal dalam ingatan kolektif
masyarakat. Dari hal abstrak ini akan terlahir suatu rumusan dalam bentuk tulisan,
maka kebudayaan dalam bentuk ide tadi akan terlahir sebagai sebuah informasi
yang baru dan lebih kokoh. Ingatan, cara terkuno dalam menyimpan kebudayaan
dalam bentuk ide, sering kali membelokkan beberapa hal. Ia tercampuri oleh
desakan simpanan data yang lain sehingga terkadang bias. Manusia menempuh
beberapa cara agar nilai-nilai itu, praturan itu, kumpulan ide itu, tidak
terkikis oleh waktu. Di antaranya adalah dengan tulisan tadi, atau cara yang
lebih tua yaitu dengan menuturkannya secara turun temurun secara lisan.<o:p></o:p><br />
<br />
Dongeng disinyalir sebagai salah satu cara efektif untuk
merawat ingatan kolektif itu. Dengan cara didongengkan, sebuah nilai-nilai
luhur hasil rumusan orang-orang terdahulu bisa diajarkan pada orang kemudian.
Masa lalu itu akan terjaga dengan baik. Untuk beberapa hal, ia memang
dilambungkan, dilebihkan, dibesar-besarkan, sesuai logika dongeng. Tetapi
kebaikan nilai-nilai itu mengendap dan tetap.<o:p></o:p><br />
<br />
Untuk menghidupkan kembali museum bisa dilakukan dari
tataran ide ini. Kebudayaan mati harus dihidupkan kembali dengan cara dibarukan
lagi. Para kreator dimunculkan, rumusan pembelajaran dihadirkan. Ide-ide segar
yang memuat cerita-cerita bernilai pengajaran kebudayaan lampau harus
ditumbuhkan dan ditularkan pada generasi penerus. Kelak, merekalah yang akan
memunculkan ide-ide segar serupa agar kebudayaan lampau senantiasa dekat,
menyatu, dan seirama dengan kekinian serta hari esok.<o:p></o:p><br />
<br />
Sedangkan yang ke dua aktifitas, ia mencakup tindakan,
interaksi, tata kelakuan. Sesuatu yang sifatnya konkret dan bisa
didokumentasikan. Ini juga menyangkut tradisi yang dilakukan secara rutin oleh
masyarakat. Untuk menunjang berlangsungnya tradisi ini, kreatifitas sangat
dibutuhkan. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu membentuk pola dan dengan
sendirinya akan membentuk tradisi. Namun, tradisi ini juga terdesak
kebiasaan-kebiasaan baru, yang kebanyakan belum teruji. Asimilasi budaya
membutuhkan waktu dan proses alami. Dalam alam informasi serba cepat, banyak
yang mengalami kejutan kebudayaan sehingga teralienasi dari kebudayaannya
sendiri.<o:p></o:p><br />
<br />
Orang-orang harus dibangunkan dari keterlenaan, dari
pengaruh budaya serba instan dengan menghadirkan karya cipta. Secara nyata dan
hadir, mereka bisa ikut berpartisipasi, menyokong, menguatkan. Dalam
kebersamaan itu, pemberdayaan secara konkret kebudayaan mati menemu bentuknya.
Ia akan hidup bersama gerak-cipta para pelakunya.<o:p></o:p><br />
<br />
Saya kira tidak perlu bicara muluk-muluk soal pencerahan
universal. Sebuah karya nyata sesederhana apa pun bentuknya adalah sumbangan
besar bagi kebudayaan. Hal-hal besar harus dimulai dengan yang kecil juga, dari
yang paling sederhana, diri sendiri misalnya. Di masa lalu, Borobudur,
Prambanan, Cetho, situs Majapahit, bolehlah menjadi kebanggaan, tapi kemegahan
itu tidak boleh berhenti di sana. Kreator harus kembali dimunculkan, kemegahan
baru harus kembali dilahirkan.<o:p></o:p><br />
<br />
Kemudian yang terakhir dalam konsep itu adalah artefak, ia
adalah wujud kebudayaan secara fisik. Artefak adalah kebudayaan mati yang
sebenarnya. Ia obyek yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ada peranan
subyek. Museum berada dalam wilayah ini. Ia tempat untuk melindungi budaya
material itu dari kerusakan dan tindakan ilegal.<o:p></o:p><br />
<br />
Dua konsep sebelumnya tidak akan lengkap tanpa ada dukungan
dari museum selaku rumah pradaban. Museum memang perlu untuk dipercantik dari
segi fisik, menempatkan benda-benda bersejarah dalam tempat yang terlindungi,
bukan dibiarkan terserak di tempat terbuka layaknya barang tak berharga.
Membuat suasana nyaman, indah, menyenangkan. Tapi yang lebih penting dari itu,
menghidupkan jiwa militan bagi para pengurusnya.<o:p></o:p><br />
<br />
Dalam gerusan modernitas dan cara pandang yang melampaui
kenyataan (hiperrealitas), barangkali museum dan instansi bagian data lain
bukanlah sebuah tempat ideal yang bisa dibandingkan secara prestise dengan
kemegahan bank, istana negara, gedung-gedung pemerintahan yang canggih,
perniagaan besar yang mewah. Keminderan semacam ini harus dihilangkan. Museum
adalah tempat terhormat yang melampaui batas materiil dan nilai visual yang
dangkal. Pengurus dan pegawainya adalah orang-orang penting yang berjiwa patriot,
yang berkerja dengan berlandaskan kecintaan luar biasa.<o:p></o:p><br />
<br />
Kritikan terhadap museum bukan hal baru. Banyak orang yang
dengan mudah menyalahkan. Kritikan semacam itu memang penting, ia bentuk lain
dari perhatian yang nantinya menguatkan, memperbaiki, menjaga. Tapi juga harus
jujur diakui, dibutuhkan orang-orang ulet, berdedikasi dan tanpa pamrih untuk
melakukannya. Di banyak museum, kesederhanaan pengurusnya membuktikan hal itu.
Bahkan ada beberapa yang rela berkorban secara pribadi baik moril maupun materiil
atas nama kecintaan pada rumah peradaban tersebut. Menjadikan diri bagian
darinya, menyatu lahir-batin.<o:p></o:p><br />
<br />
<br />
Mengingat hal itu, patut direnungkan kembali hakikat
kecintaan itu. Jika seluruh elemen dari konsep tadi, mulai dari tataran ide,
aktifitas, artefak, dapat dibangun lagi, kebudayaan mati akan hidup kembali.
Dan ini membutuhkan suara bulat dari seluruh elemen bangsa untuk bersatu,
berbudaya dengan segenap rasa cinta.<br />
<br />
<br />
<br />
Kajitow Elkayeni</div>
</div>
</div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-43707573388788658242014-05-19T16:09:00.000-07:002014-05-19T17:39:16.236-07:00MUSEUM DAN KITA<div style="line-height: 12.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; padding: 0px;">
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii941vB3btJKU8WgS48Sy7DcPZBXyACtzPyWM7QNBw7AlShaoFIjUw8m3AiKJc2jP_L1g8g84YlOIbVrgfNkzoCJ2MMXJL7hw8kqjBw_JrCHuN9SR2oL74WloucqS374HmEIK9K1flAW8/s1600/1395975_10151808291128612_1734422090_n+(1).jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii941vB3btJKU8WgS48Sy7DcPZBXyACtzPyWM7QNBw7AlShaoFIjUw8m3AiKJc2jP_L1g8g84YlOIbVrgfNkzoCJ2MMXJL7hw8kqjBw_JrCHuN9SR2oL74WloucqS374HmEIK9K1flAW8/s1600/1395975_10151808291128612_1734422090_n+(1).jpg" height="300" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
Bung Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani menegaskan
pentingnya kaitan masa lalu dan kekinian. Disebutkan bahwa mitos sekalipun
memiliki andil yang sangat penting dalam membentuk jiwa sebuah bangsa. Ini
menarik, mengingat mitos itu adalah bagian dari peradaban masa lalu. Sebuah
pesan yang dikemas rapi dengan rangkaian cerita yang, kadang tidak masuk akal.
Karena melompati batas nalar itulah sebuah mitos selalu berada selangkah di
depan kekinian. Di Yunani dulu, dari fantasi itulah orang-orang mulai berpikir
dan membentuk peradaban.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Ia memang berasal dari masa lalu, tapi ia selalu mendahului
pemahaman kekinian.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Museum hakikatnya juga memiliki peran yang sama, ia
menyimpan pesan-pesan masa lalu itu melalui bukti kongkret berupa kebudayaan
material. Bahkan, dengan sendirinya, mitos dan unsur-unsur pelengkap kebudayaan
lainnya turut serta di dalamnya. Kebudayaan material itu tentu saja
mendatangkan berbagai tafsir ketika ia dikaitkan dengan mitos. Tetapi selalu
ada jalur logika sejarah untuk membatasinya.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Seperti yang dikatakan Bung Hatta tadi, bahwa Yunani
memulai peradaban dari lompatan fantasi, yang dipinjamnya dari istilah
Windelband. “Filosofi sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang
sesuatu keadaan atau hal yang nyata”. Maka sudah barang tentu negara-negara
maju juga memiliki kaitan erat dengan kebudayaan lampau. Eropa dan Amerika masa
kini adalah bentuk baru dari Romawi Kuno. Sedangkan Romawi sendiri mengambil
contoh dari Yunani Kuno. Berbekal budaya masa lalu itu, mereka memiliki modal yang
lebih unggul. Maka dengan tambahan kerja keras dan iklim perpolitikan yang
kondusif, jadilah mereka yang terdepan dalam soal kemajuan.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Ada dorongan dari dalam yang menumbuhkan semangat dan
kebanggaan untuk berkarya cipta. Kebudayaan masa lalu itu menjadi roh dari
tubuh-tubuh budaya kemudian. Dari sanalah kemudian dikenal sebuah pemahaman
yang disebut Modernisme. Manusia tak pernah cukup untuk membentuk sebuah dunia
ideal dan mereka terus bergerak dengan berbagai cara. Memanfaatkan seluruh
potensi yang dimiliknya untuk maju dan gemilang.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Meskipun kemudian muncul pula kajian Postmodernisme di
belakangnya. Kemajuan yang dimotori oleh paham modernisme itu mengalami
kebuntuan. Manusia modern di negara maju terjangkiti alienasi. Mereka berubah
menjadi makhluk mekanis yang dipacu oleh waktu. Diktum Descartes, I think
therefore I am (aku berpikir maka aku ada) ditambah dengan positivisme August
Comte lambat-laun mengakibatkan ketimpangan dan manusia terserang patologi modernisme.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Oleh sebab itu muncullah gerakan Postmodernisme, suatu
kritik yang diajukan untuk mendekonstruksi keteledoran Modernisme, yang tidak
lagi menggubris tradisi dan agama. Akibat kritik itu, perhatian Eropa dan
Amerika berbalik. Mereka kembali menelaah pemikiran, tradisi dan kebudayaan Timur.
Tujuan mereka jelas, ingin mendapatkan obat untuk membebaskan dari pengaruh
buruk Modernisme. Barat yang identik dengan kemajuan mulai belajar kembali pada
Timur. Taoisme, Budhisme, dan tradisi pemikiran Timur lain digali kembali.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Ini tentunya mencengangkan, sebab, dalam dunia Timur,
kebudayaan dan tradisi dianggap tertinggal, tak bermutu, dan kuno. Dengan
sangat terlambat bangsa Timur beramai-ramai mengejar ketinggalan dari modernitas Barat,
mengejar sebuah ilusi, yang jika meminjam bahasa Lyotard disebut sebagai
kematian narasi besar. Ilusi Modernisme yang telah jelas gagal dan mengalami
kebuntuan. Cita-cita Modernisme yang hendak mengejar pencerahan (aufklarung)
universal dengan tulang punggung pemikiran dan kemajuan teknologi mengalami
ketimpangan.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Terciptalah dunia ikon, masyarakat mekanis yang melampaui
kenyataan (hiperreality). Padahal pemikiran Barat terkini justru sedang
mempelajari ketimuran. Sebuah ironi getir. Mengingat hal itu kita patut
bersedih. Ketidak-pedulian pada kebudayaan luhur itu akibat kedunguan yang
sangat. Museum sebagai sumber pengetahuan masa lalu dibiarkan sepi. Masyarakat
lebih tertarik hingar-bingar modernitas. Mereka terjebak oleh keseakanan
kemajuan dunia Barat. Sebuah kesemuan yang justru sudah hendak mereka ubah dan
tinggalkan.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Di persimpangan inilah kita kebingungan.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan masa
lalu. Seperti yang telah dipahami, apa yang telah melayang dan tak terpegang
itu bersifat rapuh. Baik ia berupa ingatan, atau benda-benda kebudayaan
material. Usia membuatnya bergeser dari satu bentuk ke bentuk yang berbeda.
Istilah susut, lapuk, tua menjadi begitu akrab. Ia yang secara psikis menekan
perasaan kita menjadi takut, cemas, dan mungkin ragu-ragu. Mengingat sesuatu
yang mula-mula ada (being) menjadi diketahui sekedar pernah ada (known). Di
sinilah waktu yang tak memiliki wujud itu terasa begitu perkasa. Pelan-pelan ia
menghisap segala hal, membuatnya susut, lapuk dan tua.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Tetapi keberadaan museum tidak untuk menakut-nakuti atau
mengingatkan pada ketiadaan. Justru ia ingin mengembalikan yang telah terenggut
itu, yang usang dan terlupa itu, pada subyek yang memiliki kaitan dengan masa
lalu. Dari sanalah pemahaman tentang jati diri itu berawal.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Yang membikin jeri hakikatnya bukan soal ketiadaan, kelapukan
yang niscaya itu, melainkan hakikat ada. Dan seperti yang telah dipahami,
hakikat adalah esensi, isi, muatan di dalam. Sesuatu yang tak tergeletak begitu
saja, melainkan harus dicari, digali, ditemukan. Tapi agaknya memang tak banyak
yang membuka diri, mengingat belenggu yang dihadapi manusia beraneka bentuk.
Keseharian yang padat, tuntutan kebutuhan, kesadaran badani (mekanis),
mengekang kesadaran sejati. Dalam Bhagawadgita, hal itu disebut kemelekatan.
Unsur badan tebelenggu dengan perasaan jeri sehingga unsur rohani (athma) ikut
terkekang. Ada tapi tak mengenali diri sendiri, diam laksana batu.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Museum awalnya dikenal sebagai kuil, dari kata mouseion
(yunani). Sebagaimana kuil, ia bukan saja tempat untuk mengingat, tapi juga
memuja dewa-dewi. Pengertian ini bergeser. Museum bukanlah pemberhalaan
sebagaimana tuduhan yang diberikan oleh kelompok tertentu. Karena memang tidak
ada yang mesti dipuja di sana. Yang didapati di sana (pada umumnya museum)
adalah batu dan tengkorak berdebu, dan tentu saja bau masa lalu. Dan seperti
yang dicatat oleh ensiklopedia, di Indonesia, pengertian museum berangkat dari
Bataviasch Genootschap van Kusten en Wattenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu
Batavia). Sebuah lembaga kebudayaan yang menjadi cikal bakal Museum Nasional seperti
yang dikenal sekarang ini. Institusi tetap yang bersifat tidak mencari
keuntungan serta terbuka untuk umum, sebagaimana definisi yang diberikan oleh
organisasi permuseuman internasional, ICOM (International Council of Museum).<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan kita
secara menyeluruh. Manusia yang acap alpa. Dari yang rapuh dan tak terpegang
itu hendak dikukuhkan dengan bukti yang tidak saja dikenali ada, tapi
benar-benar ada. Museum itu diam. Ia hanya benda mati yang berjajar. Kitalah
yang bergerak dan menghidupkannya. <o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Karena ia berhubungan dengan masa lalu, museum tidak lantas
dijadikan tempat sembunyi. Seperti slogan orang malas yang gemar mengagungkan
leluhurnya tanpa bisa berbuat banyak. Kebesaran masa lalu yang mengubur
kreatifitas. Naif rasanya jika kebudayaan material yang berusia ratusan tahun
itu mesti dibandingkan dengan bangunan modern di tempat lain. Masa lalu yang
gemilang itu adalah contoh, bukan akhir pencapaian.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Agaknya, hal ini yang mungkin mendasari pemikiran atas
terwujudnya museum untuk pertama kali. Kita butuh tempat untuk mengingat
kembali. Sebagai perwakilan dari banyak situs bersejarah yang tak mungkin kita
datangi dalam tempo satu hari. Di sana, museum itu berfungsi sebagai miniatur sekaligus
penjaga. Waktu tidak mungkin ditundukkan, sebagaimana diktum Ibnu Rusyd, waktu
itu hakikatnya tiada, kitalah yang sebenarnya menciptakannya, membilangkannya.
Sesuatu yang tidak eksis, mustahil pula ditundukkan. Hal itu dengan ironis
disebut Sapardi dalam sajaknya, “..Yang fana hanya waktu. Kita abadi.” Tanpa
manusia, atau sesuatu yang memiliki kesadaran, waktu juga tidak eksis.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Di sinilah pentingnya berpegang teguh pada kebudayaan. Apa
yang terlepas dari pandangan kekinian tidak serta-merta punah. Manusia memiliki
cara-cara tertentu untuk memanggil ingatan. Merekam baik-baik nilai-nilai luhur
pemikiran dalam bentuk kebudayaan material, tradisi, dan perayaan. Dalam hal
ini, museum adalah ibu. Ia menampung yang tercecer, merawat dan menjaganya dari
kerusakan. Menguatkan pemahaman bagi orang-orang yang ingin mengenali jati
diri.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
Sama halnya Sapardi yang hendak mengingatkan dengan ironi
yang getir itu, museum hendak menunda kelapukan yang niscaya. Di sana kita bisa
bercermin tentang kedirian, kelebihan dan kekurangan. Mencintai museum tidak
mesti dilakukan dengan cara-cara yang lebay dan mahal. Bisa dimulai dari hal
yang sederhana, misalnya dengan sesekali mengunjunginya, menjaga kedekatan agar
ia tidak asing bahkan aneh dengan turut memperkenalkan pada generasi masa
depan. Atau setidaknya mengingat tanggal 18 Mei, hari kelahiran manusia dan
peradabannya, hari museum sedunia.<o:p></o:p></div>
<div style="line-height: 12.0pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt;">
<br /></div>
<div style="line-height: 12.0pt;">
<br /></div>
<br />
<div style="line-height: 12.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
Kajitow Elkayeni</div>
</div>
</div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-72798061468386859922014-02-02T17:15:00.003-08:002014-02-02T17:17:18.164-08:00BENCANA KEBUDAYAAN<div class="MsoNormal">
<span style="color: #333333; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span style="background-color: white;">Kita bisa saja membayangkan tahun 2014 adalah
awal baru di tengah tidak jelasnya situasi yang mengepung kita. Selain guyuran
hujan dan ancaman banjir yang merata, awal baru dalam banyak hal yang kita
bayangkan itu ternyata bergerak maju. Dan kita dipaksa untuk terus menunggu.
Mengumpulkan harapan seperti seorang penjudi yang menunggu dadu berhenti
berputar. Tapi dadu itu jatuh di ruang hampa. Segalanya masih tetap serba
mungkin. Terus bergerak dan tak tertebak.</span><br />
<br />
<span style="background-color: white;">Kondisi seperti itu kemudian dihubung-hubungkan
dengan ramalan yang pada akhirnya akan memunculkan seorang Satria Piningit.
Masa Kalabendu akan segera berakhir. Namun yang luput dipahami adalah berapa
lama masa-masa sulit itu harus terus dihadapi. Dengan cerdik, ramalan tidak menyebut
waktu secara spesifik—dan karena itulah saya tidak mempercayainya—ia tidak
mengenal kontinum waktu ala Zeno, atau penisbian waktu sama sekali ala Ibnu
Rusyd. Bagi ramalan, waktu ada tapi tidak bergerak sampai seluruh bukti
terkumpul.</span><br />
<br />
<span style="background-color: white;">Sayangnya, jika bukti-bukti itu tidak pernah
muncul. Kita tidak berhak apa-apa atasnya. Bahkan untuk sekedar kecewa.</span><br />
<br />
<span style="background-color: white;">Di tahun baru yang menyimpan bertumpuk-tumpuk
harapan itu ternyata menghadirkan berbagai tragedi. Mulai bencana alam, bencana
sosial, sampai pada bencana kebudayaan.</span><br />
<br />
<span style="background-color: white;">Machiavelli yang dicap sebagai manusia busuk,
dewa agung para diktator itu jauh-jauh hari memberikan gambaran yang terang
mengenai bagaimana power (kekuasaan) itu direbut dan dipertahankan. Bahkan di
“Il Principle” itu dinyatakan lebih jauh, perbuatan immoral seperti berbuat
keji, menghalalkan segala cara, berkhianat boleh dilakukan karena itu
memberikan kekuatan. Dalam politik, hal itu bukan barang baru. Tetapi akan
sangat mengejutkan jika hal buruk itu menjangkiti wilayah lain, yang ironisnya
wilayah tersebut hendak mengangkat harkat manusia dengan kebermoralan, dengan
nilai agungnya. Anak cabang kebudayaan yang bernama kesusasteraan.</span><br />
<br />
<span style="background-color: white;">Sejarah sastra kita telah mencatat beragam
dinamika. Kita berhutang sangat banyak pada orang berpendirian teguh bernama
HB. Jassin, yang dalam sebuah konflik berujung permintaan tanggung jawab dulu
itu, lebih memilih merahasiakan nama penulis cerpen “Langit Makin Mendung.”
Konflik yang berawal dari interpretasi tekstual seperti ini bisa dimaklumi. Dan
Jassin paham betul, tugasnya adalah melindungi kebebasan itu. Apa pun
resikonya. Maka ia membawa rahasia nama itu sampai mati.<o:p></o:p></span></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><br />
<span style="background: white;">Tetapi, jika pun Jassin masih hidup, sebuah
tragedi intelektual yang baru saja menerpa dunia sastra yang dicintainya, boleh
jadi tidak akan lagi dibelanya seperti dulu. Peristiwa itu adalah munculnya
buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang disusun oleh
orang-orang yang menyebut diri mereka Tim 8. Karena ini bukan lagi soal
interpretasi, bukan soal klaim kebenaran, tapi pelanggaran integritas,
loyalitas, intelektualitas dalam sastra.<span class="apple-converted-space"> </span></span><br />
<br />
<span style="background: white;">Kita bisa saja memaklumi jika masuknya seorang
oportunis, yang bahkan belum pantas untuk disebut sastrawan itu, menjadi salah
satu tokoh paling berpengaruh dalam buku tersebut karena kesalahan cetak, atau
ada sabotase salah seorang juri dalam Tim 8. Tetapi sungguh memalukan ketika
melihat fakta, taksonomi paling dasar itupun tidak sanggup mereka terapkan.
Orang-orang dalam Tim 8 yang seharusnya lebih dari cukup keilmuannya.<span class="apple-converted-space"> </span></span><br />
<br />
<span style="background: white;">Misalnya konsep taksonomi Bloom yang membaginya
dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, yang kemudian
terbagi-bagi lagi dalam beberapa bagian lagi. Atau yang lebih spesifik seperti
yang digagas Moody dalam model tingkatan, yaitu informasi, konsep, perspektif,
dan apresiasi. Ini belum menyoal kesuperlatifan dan keberpengaruhan yang
ironisnya memang tidak memiliki batas jelas.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Jadi ini semua menyangkut ketidak-bermaknaan
juga. Publik sastra dianggap seperti orang lumpuh yang lantas dengan leluasa dicekoki
bubur hambar.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Sejak kritik sastra digulirkan oleh Xenophanes
terhadap Hesiodes sekitar 500 SM, di masa kuno itu saja kita diajarkan soal
klasifikasi, soal verifikasi, soal taksonomi dasar perihal karya sastra dan
sastrawannya. Lantas setelah kelahiran “The Death of the Author” dari tangan
Barthes, banyak yang salah kira bahwa sastra benar-benar dibebaskan dari klaim,
dari kepemilikan. Seolah-olah pula ia menolak tolok ukur, seperti tiga orang
buta yang sedang menerka bentuk gajah. Padahal sejauh apa pun sastra bergerak,
ia tidak mungkin menolak konvensi, tolok ukur.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Kemudian di belakang itu hendak dimunculkan
solusi naïf, bagaimana kalau buku yang cacat konsep taksonominya itu dilawan
dengan buku yang lain?</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Secara subyektif, orang boleh mengklaim dirinya
seorang sastrawan dengan memunculkan karya kacangan paling tidak bermutu di
tengah masyarakat. Ini masih di wilayah klaim. Tetapi jika orang-orang yang
memahami kritik sastra (dalam Tim 8 itu) menunjuk “orang luar” sebagai seorang
tokoh sastra dalam kategori superlatif, ini jelas telah membelokkan sejarah.
Sebuah bencana kebudayaan yang tidak saja mengabaikan moralitas, independensi,
integritas, tapi juga konsep logis taksonomi!</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Padahal dari sanalah ilmu pengetahuan itu
dibangun.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Kebebasan bukan soal, bagaimana menguar
ketelanjangan hasrat, bagaimana menerabas konvensi, tapi bagaimana mengarahkan
free-will. Determinasi yang jelas dan bertanggung-jawab itulah bentuk konkret
manusia yang memiliki budi. Sebagaimana yang ditegaskan Louis Leahy dalam diktumnya,
“Freedom is self-determination.” Maka tidak ada alasan “bebas” bagi buku penuh
kecurangan itu dari tuntutan tanggung-jawabnya. Baik secara moral atau hukum.
Karena ini menyalahi konsep, metode, tolok ukur dalam kritik sastra yang
selazimnya.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Tak pelak lagi, orang-orang yang peka, cerdas
dan paham peta sastra mengecam buku tersebut dengan baragam tanggapan. Ada yang
menganggapnya sekedar lelucon konyol di awal tahun, seperti petualangan Don
Quixote yang naif. Ada yang dengan sengit menyebutnya sebagai kado ulang tahun
“orang luar” yang menjadi penaja buku tersebut. Ada yang mengambil langkah
tegas dengan membuat petisi penolakan, karena ini dinilai sudah menyentuh tahap
distorsi sejarah.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Sebagaimana Foucault yang menggaris-bawahi bahwa
kekuasaan melahirkan legitimasi pengetahuan. Artinya, power, kekuasaan yang
diteorikan oleh Machiavelli itu bisa membelokkan konsep kebenaran. Episteme
yang didistribusikan oleh rezim kebenaran akan mendistorsi sejarah. Mereka yang
menentukan baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, penting dan tidak
penting. Agaknya hal inilah yang tengah mengguncang dunia sastra di awal tahun
2014. Ilmu pengetahun yang seharusnya tidak memihak justru hendak dibelokkan
oleh orang yang memiliki power. Dari sana diskontinuitas ala Foucault itu
berjalan.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Kita memang layak berkabung. Harapan di tengah
ketidak-pastian bergerak makin menjauh. Bencana bertubi-tubi menimpa tanpa
ampun. Keentahan menampakkan wujud dadu yang terus berputar dalam ruang hampa.
Yang kita hadapi kemudian seperti rintih Chairil, “hidup hanya menunda
kekalahan,” ketika menemukan silent majority, banyak yang abai atas tragedi
tersebut. Mereka yang memilih abstain padahal hanya ada dua opsi, ya atau
tidak.</span><br />
<br />
<span style="background: white;">Bencana kebudayaan ini mengorbankan banyak hal
terutama harga diri sastrawan, logika taksonomi, integritas intelektual. Dan
Jassin boleh jadi akan menangis, jika mengetahui hal memalukan itu justru
mendapatkan persetujuan dari rumahnya. PDS. HB. Jassin, tempat yang sangat
dibanggakan dan dihormati oleh sastrawan di seluruh Indonesia.</span><br />
<br />
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br />
<!--[endif]--><span style="background: white;"><o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br /></span>
<div class="MsoNormal">
<span style="background: white; color: #333333; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Kajitow El-kayeni</span></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-84295280577071609792014-02-02T17:09:00.000-08:002014-02-02T17:09:25.424-08:00LOGIKA DALAM PUISI 2<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">(Makna
Metaforikal Dari Segi Nilai Intrinsiknya)<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, puisi
memiliki peraturan sendiri dalam hal kebahasaan. Kata yang terbentuk dalam
dunia ide tidak dapat dikendalikan. Ia memang mengait dengan sendirinya seperti
cetak biru yang direspon oleh pikiran. Maka yang bisa dianalisa dari puisi
adalah bentuk teks tadi. Proses sebelum menjadi puisi itu tidak dapat dijangkau
oleh penalaran atau sistem-sistem teori. Di sinilah kerja penyair dipertanyakan
kemandiriannya. Proses dari dunia ide itu tidak bisa dituntun, jika pun ada
teori-teori tertentu itu berdasarkan teks sesudah puisi berwujud. Atau
teori-teori itu berdasarkan pengalaman seseorang dalam menulis puisi, padahal
setiap orang memiliki pola pemikiran dan jalur-jalur perwujudan ide yang
berbeda. Jauh sebelum puisi menjadi bentuk teks, ia merupakan abstraksi dunia
batin yang tak terjangkau oleh bahasa dan pikiran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Perwujudan dari bentuk ide (yang awalnya abstrak)
menjadi bentuk kongkret yakni bahasa, pada dasarnya tidak terlacak baik oleh
Psikoanalisa Freud sekalipun. Karena sehebat apa pun psikolog hanya membaca
gejala, dalam hal ini sesudah ia berbentuk teks. Jika A.Ganjar Sudibyo dalam
“PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA
(SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF YANG SINGKAT)” hendak menganalisa
struktur ide ini dalam bentuk abstraknya, itu adalah perbuatan sia-sia. Tetapi
jika yang dianalisa dalam esai itu adalah ide sesudah ia menubuh dalam bahasa,
ide yang tersimpan dalam bentuk teksnya, ide yang hendak dibongkar oleh filsuf
dan psikolog (seperti yang terbaca dari catatan kaki esai tersebut), maka hal
itu tentu saja bisa diperas dari sintak-semantiknya. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai puisi sejatinya membicarakan puisi sesudah ia mengada.
Puisi yang telah terwujud dalam bentuk teks ini awalnya mungkin hanya satu
lesatan ide, kemudian ia berkembang dan mengucur melalui medium bahasa. Puisi
dalam bentuk teks inilah yang mampu dijangkau oleh pikiran, yang mampu
dikaitkan dengan logika. Sehingga perlu dipisahkan puisi dalam bentuk proses
(ide abstrak) dan puisi dalam bentuk teks terlebih dahulu untuk membicarakan
puisi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti yang telah dibicarakan pada “Logika dalam
Puisi 1,” puisi yang dijadikan pembedahan adalah puisi realis yang jelas
berkaitan erat dengan logika bahasa. Struktur pembentuk metafora dalam puisi
adalah bahasa yang juga dimengerti oleh manusia. Bahasa di sana memang telah
mengalami pergeseran pengertian. Awalnya makna yang terkandung dalam kalimat
yang membentuk puisi itu denotatif, namun begitu kata yang menyusun kalimat itu
bertemu dengan kata yang membelokkan makna awalnya, maka kalimat itu berubah
bentuk pengertian menjadi makna konotatif. Di sini perlu digaris-bawahi, yang
saya kehendaki dari makna konotatif di sini adalah makna yang terbentuk akibat
kepentingan kalimat. Kata penyusun kalimat itu sebenarnya bermakna denotatif,
tapi karena dia bertemu kata yang lain sehingga kata pertama tadi berbelok
maknanya. Kepentingan kalimat ini memaksa makna kata awal mengikuti makna yang
dikehendaki oleh kata selanjutnya. Misalnya saat mengatakan, “bulan pecah di
pelataran.” Kalimat tersebut bermakna konotatif, yakni cahaya bulan melimpah di
pelataran, atau bulan itu bercahaya terang sehingga membuat pelataran terang.
Kata bulan bermakna denotatif sebagai benda langit, kemudian saat bertemu kata
"pecah," bulan tadi bergeser pada pengertian lain, yakni yang pecah
bukan bulan itu, tapi bagian dari bulan tersebut yakni cahayanya, dalam hal ini
cahaya bulan dikatakan pecah karena ia menyebar seperti benda yang pecah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam contoh lain misalnya “bulan merindu.” Kalimat
ini juga telah bergeser dari pemaknaan denotatif. Bulan di sini telah berubah
menjadi subyek pengkias dari obyek (subyek sebenarnya) yang bersembunyi dalam
diri bulan. Kerja kiasanya merindu, yang jika ditarik dari makna denotatif hal
itu sulit terjadi, karena merindu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan manusia.
Maka “merindu" di sana telah berubah menjadi makna konotatif. Contoh ini
dalam kalimat lain bisa bergeser menjadi bentuk personifikasi lengkap. Misalnya
“bulan di langit merindu gelap.” Bulan diserupakan manusia yang merindukan
gelap agar bulan tadi bisa bercahaya terang. Bisa juga ditafsirkan berbeda,
sesuai makna yang dikehendaki puisi dalam bentuk utuh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Metafora adalah salah satu majas yang berfungsi
untuk mengungkapkan secara langsung dengan perbandingan analogis. Metafora atau
acapkali disebut metafor juga bisa dimaknai secara umum (bahasa) yakni sebagai
kiasan saja. Seperti yang sudah dikenal secara luas, metafor bisa digunakan
dalam ranah sastra atau dalam percakapan sehari-hari. Pada pembicaraan umum,
tentu saja metafor yang digunakan juga bersifat umum, atau memiliki makna yang
bisa ditangkap secara jelas. Ini adalah fungsi bahasa secara luas. Seperti yang
pernah dicontohkan oleh Hudan Hidayat, (yang kurang lebih berbunyi) seseorang
mengatakan pada temannya dalam sebuah percakapan, “Ah, malam sudah larut
kawan.” Ucapan tadi adalah sebuah kiasan dari maksud sebenarnya untuk menyudahi
permbicaraan dan segera tidur. Apalagi jika itu dikuatkan dengan bahasa tubuh,
seperti menggeliat atau menguap.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Begitulah manusia menggunakan metafor dalam bahasa
sehari-hari. Manusia secara alami membentuk sistem bahasa seperti demikian
untuk menyamarkan maksud agar terasa lebih halus. Hal ini tentu saja didasari
kesadaran dan kepahaman secara kultural oleh lawan bicara. Ini yang dimaksud
oleh Barthes dengan makna konotasi yang disebutnya ”Mitos” itu. Meski seperti
yang dulu saya katakan, konotasi semacam itu tertutup sifatnya dan memiliki
makna khusus yang sudah jelas bagai kelompok masyarakat tertentu. Dan makna
semacam ini mengalami kebuntuan saat diterapkan pada metafor dalam puisi.
Karena makna konotatif dalam puisi itu terbentuk berdasarkan kepentingan
kalimat, kepentingan kalimat itu terkait dengan kepentingan tema. Dalam puisi,
metafor menjadi majas yang memiliki kriteria berdasarkan keumumannya. Kriteria
ini untuk memberikan definisi agar tidak bercampur dengan definisi majas lain.
Juga demi mendapatkan fungsi yang tepat guna. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebuah metafor adalah tubuh bayangan. Di samping
bentuk fisik yang seimbang dalam struktur kerja kiasnya, metafor juga terwujud
berdasarkan kepentingan tema. Artinya ide (yang entah bagaimana bentuknya dalam
dunianya sana) itu memerlukan bahasa kias untuk mewujudkan dirinya. Maka ide
besar yang terbagi ke dalam sub-sub ide ini juga harus memiliki fokus pekerjaan
sebagai metafor, bukan memiliki fungsi lain. Meskipun sebuah metafor itu bisa
dibentuk dari majas lain. Misalnya personifikasi dijadikan metafor, "Malam
ini rembulan menangis tersedu." Bentuk majasnya personifikasi tapi
fungsinya sebagai metafor , jika dalam struktur puisi ia memang berfungsi
sebagai metafor. Dengan begitu metafor itu sebenarnya tidak dalam bentuk
berdiri sendiri saja. Bentuk-bentuk lain bisa diadopsi dan memiliki fungsi sama
yaitu sebagai metafor. Sub-sub ide dalam setiap baris itu menyatu dengan ide
pokok. Metafor, meskipun ia bukanlah sebentuk struktur yang solid, tapi ia
memiliki fungsi yang solid yakni sebagai metafor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti yang dulu pernah saya katakan (pada Logika Dalam
Puisi 1), metafor berfungsi untuk mengaburkan maksud atau untuk tidak
menyederhanakan maksud. Sesuai dengan kebiasaan puisi menunjuk ini menghendaki
itu. Namun satu hal yang perlu dipegang teguh oleh penyair adalah masalah
fokus. Penyair harus berpusat pada ide yang hendak ditunjukkannya dalam
pengkiasan itu, ide yang memunculkan metafor tadi, yang berfungsi untuk
mengiaskan tubuh pokok. Dan itu yang harus difungsikan dengan benar. Jika
metafor ya metafor, jika subyek itu dibentuk sebagai majas personifikasi ya
harus begitu seluruhnya tubuh puisi di bangun. Puisi sesungguhnya hanyalah
perwujudan sebuah ide. Hal ini kemudian terbagi menjadi sub-sub ide, baik per kalimat,
per baris, per bait, hingga menjadi satu puisi yang utuh dengan satu ide besar.
Fokus seorang penyair (berdasarkan kecenderungan teks) harus bertumpu pada ide
atau tema tadi. Karena hal itulah yang membuat larik-larik dalam puisi koheren.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dilihat dari bentuk fisik, metafor memiliki struktur
dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan unsur-unsur tadi sangat menentukan
tersampainya pesan yang disamarkan. Puisi, sejauh apa pun dia bergerak tetaplah
bagian dari sastra, yang memiliki tujuan jelas hendak menyampaikan pesan dengan
sistem yang unik. Maka dengan sendirinya, secara logis puisi memiliki struktur
yang dapat dianalisa, kemudian diberikan penilaian berdasarkan sistem penilaian
yang sudah diamini dalam konvensi. Pada awalnya, penilaian itu bisa dilakukan
dengan metode perbandingan. Dua buah puisi dengan tema dan gaya yang sama
disejajarkan untuk membandingkan kelebihannya. Nilai tadi tentu tidak dapat
diukur berdasrkan kadarnya, tetapi dengan perbandingan tadi otomatis akan
dihasilkan penilaian terhadap puisi yang berhasil. Penilaian seperti itu tentu
saja mempertimbangkan unsur-unsur penilaian, juga faktor lain yang berkaitan
dalam studi sastra secara luas. Dan itu tentu saja berkaitan dengan sejarah
sastra, karena bahan perbandingan diambilkan dari dokumentasi karya yang
dinilai berhasil berdasarkan unsur-unsur penilaian tadi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Unsur-unsur yang dinilai pada puisi berdasarkan
berbagai ukuran, tolok ukur, dan kriteria di antaranya: (1) koherensi atau
keselarasan, (2) keseimbangan bentuk atau keindahan, (3) kepaduan pada tema,
(4) keutuhan atau tunggal, (5) pengucapan yang khas, (6) kebaruan atau inovasi
(7) efesiensi, (8) keunikan sudut pandang, (9) lapis metafisis seperti sublim,
tragis, suci (10) sinar kejelasan, (11) keaslian ekspresi atau originalitas,
(12) baik yakni sugesti yang mendorong untuk mengikutinya, (13) pengalaman
jiwa, (14) keluasan wawasan, (15) nilai rasa, (16) sikap moral, (17) gambaran
kenyataan. Nilai-nilai yang saya sebutkan ini dalam prakteknya hanya ditumpukan
beberapa saja dalam sebuah apresiasi. Hal itu semata untuk menghasilkan
keindahan yang terlihat jelas saat dilakukan perbandingan. Tidak tertutup
kemungkinan masih banyak nilai-nilai lain, berhubung fokus kali ini mengenai
metafor, maka penjabaran mengenai nilai itu ada pada kesempatan lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Oleh karena puisi memiliki struktur untuk dinilai,
maka unsur</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;">-unsur di dalamnya bisa dipecah kemudian dilakukan penilaian. Pada
pembahasan awal (Logika dalam Puisi, 1), puisi dilihat dari peranan unsurnya
terbagi dua unsur yakni (1) tema dan (2) sistem uniknya. Tetapi kali ini
pendekatan akan dilakukan dari sudut pandang yang lain, puisi dipandang sebagai
entitas, sebuah wujud benda yakni teks. Maka dengan begitu puisi terbagi
menjadi unsur luar yakni teks dan unsur dalaman (intrinsik). Unsur teks dikhususkan
pada pembahasan metafora dalam puisi untuk kajian struktur metaforikal
terdahulu yang membagi struktur subyek pengias, obyek yang dikiaskan, kerja
kias. Metafor dilihat dari nilai intrinsiknya bertumpu pada:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1.</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">
<b>Keterkaitan ide dalam metafor itu dengan
ide pokok puisi.</b> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><b><br /></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebuah puisi adalah perwujudan ide. Maka seluruh
kode bahasa yang muncul adalah bertujuan untuk menjabarkan ide tersebut.
Misalnya seseorang yang tiba-tiba merasakan kerinduan pada kekasihnya, lalu ia
mengiaskan rindu itu dengan kiasan “bulan di pelataran malam yang sunyi tak
bertepi.” Bulan di sana mewakili kerinduan yang dialami seseorang. Begitu juga
dengan keadaan yang sunyi tadi berfungsi untuk menguatkan penggambaran.
Begitulah seluruh kekuatan kode bahasa itu dimunculkan demi menyampaikan pesan
kepada pembaca. Puisi yang baik bukan yang gelap sepenuhnya atau yang terang
sepenuhnya, tapi ia bermain di daerah antara. Bisa jadi ia mengusung diksi
sederhana, tapi selalu ia memiliki jalan berputar untuk dimengerti. Bisa jadi
ia rumit, tapi kerumitan itu mengarah pada pengertian. Ia tetap memberikan
petunjuk kode bahasa yang bisa dikaitkan dengan kode lain yang muncul dalam
puisi, sehingga lahirlah pemaknaan yang terstruktur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Bulan” tadi telah mewakili kerinduan, ketika
seseorang ingin melebarkan lagi, misalnya menyebut “Pungguk ini meratap, namun
kata tak sampai bunyi.” Kalimat ini membangun penggambaran sebelumnya sehingga
ada ikatan dengan ide dalam puisi. Penggambaran ke dua sejalan dengan
fungsi-fungsi yang ada. Jika satu subyek, sebut saja "kau lirik" yang
dikiaskan dengan bulan, maka subyek lain katakan "aku lirik"
dikiaskan dengan pungguk. Dan fungsi-fungsi ini terus berkaitan hingga
baris-baris selanjutnya jika ingin disambung lagi. Puisi dengan tubuh selebar
apa pun harus memiliki keterkaitan ini. Koherensi dengan ide pokok itu niscaya
sifatnya. Karena ia adalah titik tolak kata menyeret kata yang lain sehingga
lahirlah pemaknaan terhadapnya secara utuh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">2.
Fungsi metafor tersebut, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus
perkerjaannya. <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebuah metafor harus memiliki fungsi yang jelas,
yakni metafor itu berfungsi sebagai metafor. Metafor itu tidak bercampur dengan
fungsi majas lain. Boleh jadi ia memang terbentuk dari majas lain, misalnya
personifikasi. Ia bisa menjadi metafora saat keperluan personifikasi tadi
dibatasi oleh kepentingan metafora.
Dengan catatan fungsi personifikasi di sini tidak bertentangan dengan
fungsinya sebagai metafora. Dalam puisi tertentu, sebuah personifikasi memang
membentuk puisi secara menyeluruh seperti membicarakan hewan yang diserupakan
dengan pekerjaan manusia. Maka fungsi personifikasi di sana secara untuh memang
sebagai personifikasi. Dalam puisi tertentu yang lain, personifikasi tadi
digunakan untuk melengkapi kiasan yakni dalam lingkup metafora. Ia digunakan
untuk mengiaskan subyek tertentu dalam puisi. Di sinilah metafora itu dituntut
untuk tetap fokus pada satu fungsi, yakni sebagai metafora saja. Jika sebuah
metafor memiliki fungsi lain, maka dia tidak koheren dengan kepentingan ide
dalam kalimat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">3.
Keselarasan dengan metafor lain. <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Satu metafor dengan sendirinya akan berkaitan dengan
metafor lain. Jika satu dikiaskan sebagai bunga, subyek lain akan dikiaskan
sebagai kumbang atau hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Jika ada metafor
lanjutan dari pengiasan pokok ini, ia merupakan pelengkap. Artinya, satu
metafor dengan metafor lain saling terkait dan menguatkan. Keselarasan ini
hampir sama dengan poin pertama mengenai keterkaitan dengan ide pokok dalam
puisi. Perbedaannya hanya pada fokusnya. Jika ada beberapa metafor yang
melenceng jauh, maka dengan sendirinya ia tidak membangun puisi karena tidak
selaras.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sama seperti yang dibicarakan dalam pembahasan
sebelumnya, unsur-unsur yang mengatur kelogisan metafor adalah kesebangunannya
atau kesimbangan dalam penggambaran. Hal ini terkait dengan salah satu unsur
keindahan yang mutlak dimiliki oleh puisi. Jika faktor kesebangunan ini
diabaikan, maka sebuah puisi belum memiliki kekuatan maksimal. Sesuai dengan
premis yang sudah umum mengenai, kebulatan, kesebangunan, efesiensi, sebuah
puisi dituntut untuk indah atau memberikan kenikmatan, mengajarkan moral yang
lebih tinggi, memiliki kejelasan atau ketepatan dalam wujud penyampaian. Premis
yang pertama kali diluncurkan oleh Plato, yang kemudian diamini oleh
filsuf-filsuf sesudahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">*****<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">*)
Metafor atau metafora yang saya maksud dalam tulisan ini sekaligus dalam dua
bentuk, sebagai majas dan sebagai kata benda yang berarti kiasan. Tergantung
topik yang dibicarakan dalam kalimat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kajitow
Elkayeni<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Filsuf<o:p></o:p></span></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-65324331780880820702014-02-02T17:06:00.004-08:002014-02-02T17:06:52.653-08:00SISI SUNYI PENYAIR<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
apa perbedaan puisi dan prosa?
pertanyaan sederhana itu tidak lagi menjadi sederhana lagi saat berhadapan
dengan prosa liris. ia tetaplah prosa tapi memiliki gaya puisi. atau sebaliknya
saat sebuah puisi meminjam nafas prosa. baris baris panjang dengan bahasa
terang membuatnya seolah telah melompat dari bingkai puisi yang umum dikenali.
tapi apakah puisi dan prosa memang tidak lagi memiliki perbedaan? saya kira
setiap karya sastra memiliki tempat tersendiri untuk dikelaskan sesuai
karakternya. puisi dan prosa sebenarnya sama-sama hendak menuturkan sebuah
cerita, perbedaannya tentu dilihat dari gaya penulisannya. identifikasi semacam
ini penting dalam konteks bahasa. akan sangat membingungkan saat kita menunjuk
sesuatu yang tidak kita ketahui nama dan jenisnya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
lalu jika batas itu telah kabur
akankah puisi dan prosa bisa dibedakan lagi? sebenarnya tidak perlu membalik
balik halaman pelajaran sastra untuk membedakan puisi dan prosa. sejauh apa pun
sebuah puisi bergerak selama dia masih berpusar pada struktur dasarnya dengan
sendirinya karya itu jatuh pada puisi. seperti mengenali gaya bahasa
berdasarkan sintaksemantikanya, juga kecenderungan enjambemen yang dengannya
puisi terjeda bahkan dalam imajinasi sekalipun jika sebuah karya dinafaskan
prosa. sebuah prosa yang sederhana sekalipun harus memiliki beberapa ciri yang
membuatnya jatuh dalam kategori prosa, seperti alur, penokohan, dan latar. juga
pengindetifikasian lain yang sudah akrab dikenali. tanpa itu sebuah prosa akan
gagal disebut prosa karena ia tidak memiliki ciri prosa.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
kategori suatu karya sastra (juga
termasuk penilaian terhadapnya) itu memang bisa juga dikatakan ia ditentukan
oleh struktur verbal yang otonom dan koherensi interen yang melekat pada
dirinya. sehingga bagian-bagian dari karya itu bisa dianalisa menurut
keseimbangan, koherensi serta kompleksitasnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
tetapi ada baiknya memang sedikit
menengok a. teeuw yang mengembalikan ulasan terhadap karya sastra berdasarkan
tiga konvensi, yakni: konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. panjang
ini jika hendak mendekati sebuah karya atau melakukan pengulasan terhadapnya
memakai bingkai objective criticism. di mana karya sastra itu merdeka, mandiri,
serta terbebas dari pengaruh sekitarnya. tapi ada baiknya sedikit mengambil
sebagian dari keyakinan a. teew tadi untuk mempertegas pengidentifikasian yang
saya maksudkan. yakni meminjam istilah rene wellek (di antaranya): penilaian
puisi dilihat dari, efoni, irama, gaya, citra dan metafora. sedangkan pada
ragam naratif (termasuk prosa): alur, penokohan dan latar. dari sini jelas
terlihat konvensi bahasa yang membedakan antara puisi dan prosa begitu juga
penilaian terhadap keduanya. boleh jadi memang hak otonom sebuah karya
membebaskanya untuk jatuh pada sisi tertentu sesuai keinginan penciptanya. tapi
konvensi bahasa tetap mengikat agar sebuah karya mudah diidentifikasi. dalam
hal ini tidak ada yang mutlak memang tapi sebuah konvensi itu sangat diperlukan
demi terciptanya kesinambungan pandangan pada satu titik temu.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
melihat ciri yang melekat pada tulisan
kawan nu arur ini. dapat dikategorikan ia lebih dekat kepada puisi, meski sah
saja jika penulisnya mengehendaki tulisan tersebut adalah prosa pada awalnya.
jika pun begitu maka dengan sendirinya prosa tadi gagal dikategorikan prosa dan
masuk dalam wilayah puisi. kenapa bisa begitu? jelas saja dengan mengembalikan
kecenderungannya pada ciri puisi sesuai konvensi. dalam hal ini saya agak
serius memposisikan sesuatu sesuai kategorinya, karena itu sangat penting untuk
mengkaji sesuai karakter yang ada padanya. terlebih lagi sangat sulit
menentukan nilai dari sebuah karya itu jika dalam proses indentifikasinya saja
sudah menemui kebuntuan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
banyak puisi dunia yang tidak
mengangkat tema-tema berat. saya juga heran kenapa kesunyian yang saya tangkap
dari puisi bertema sederhana itu begitu kuat membius. seperti kata jean-paul
sartre(?) manusia itu harus hidup seorang diri di alam semesta, dengan begitu
ia menjadi kesepian (soliter). dalam kesunyian itulah manusia mencapai
kebebasan mutlak. maka sunyi itu pula yang terangkat ke dalam puisi mereka,
sunyi yang menghisap pembaca pada kesunyiannya sendiri: untuk soliter tadi. ini
pula yang membedakan penyair dengan kebanyakan orang. bukan karena introvert
atau tidak ya, tapi penyair selalu punya ruang sunyi di dalam hatinya untuk
menangkap sudut yang berbeda terhadap apa pun yang diinderanya. seperti tahun
baru misalnya, orang mungkin hanya akan menangkap gemerlap ramainya peristiwa
itu. tapi penyair selalu menangkap sisi sunyi dari peristiwa tersebut. ia
mengambil posisi berbeda dari kebanyakan orang, bahkan terkadang berlawanan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
puisi ini menurut saya hendak
bermain di ruang yang sama: ruang sunyi tadi. di mana beranda lengang itu
menjadi ajang sekaligus lawan dialektika penyair, meskipun menurut saya ada
yang masih luput di sana. penyair tidak benar benar masuk pada kesunyian yang
dihadapinya. boleh jadi memang kesunyian itu diseret pada pemaknaan lain.
misalnya sunyi yang riang. dalam kesunyian seseorang menjadi merdeka dan dengan
kebebasan itu seseorang mencapai kemutlakan seperti kata sartre tadi. tapi
tidakkah kesunyian itu bertolakbelakang dengan paradigma yang dengan cepat kita
tunjukkan pada orang orang di dalam penjara itu. kesunyian yang mereka hadapi
tidaklah mungkin dikatakan megandung keriangan. ada kalanya memang seorang
manusia itu membutuhkan suasana khusus untuk bersunyi misalnya. tapi tidaklah
bisa diartikan sunyi tadi mengarah pada keriangan, karena riang itu sesuatu
yang bertolak belakang dengan kesunyian dari banyak segi.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
seorang penyair memang memiliki
sisi sunyinya, dengan itu ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. meskipun
sisi sunyi di sini dari segi sudut pandang, bukan sunyi dalam arti yang
sebenarnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
apa yang luput itu akan jelas
saat dilakukan perbandingan dengan puisi yang bermain di ruangan sama itu.
bukan dari segi gaya bahasa yang diusungnya tetapi lebih kepada sunyi yang
hendak dimunculkan oleh kedua puisi. dari sana akan terlihat laju bandul
kesunyian pada kedua puisi memiliki arah yang berbeda. penyair nu arur
berdialektika dengan kesunyian yang dihadapinya: bersama beranda itu. benda
benda di sekitarnya memang bergerak disebabkan kesunyian tadi. tetapi sunyi itu
berhenti pada dirinya si sunyi dan tak hendak menjangkau apa yang bisa
dihadirkan oleh kesunyian tadi terhadap penyairnya. dengan kata lain sunyi itu
baru lapis luarnya belum sampai pada inti di dalam sunyi yang sebenarnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Rindu Laut </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Oleh: Derek walcott</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sesuatu telah memindahkan kembali
raungan-raungan</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
dalam telinga rumah ini,</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menggantung tirai-tirainya yang
tak tertiup angin</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Memukau cermin-cermin</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hingga pantulannya kekurangan
intisari</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Yang terdengar bagai gemeretak
tanah</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
di bawah
kincir angin,</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
menjadi sebuah pemberhentian
mati;</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ketiadaan yang menjadi tuli;</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sebuah hembusan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sesuatu itu telah menggelindingi
bukit-bukit ini</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menuruni pegunungan,</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Membuat isyarat-isyarat aneh</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Mendorong pensil ini</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menembusi kehampaan yang tebal
kini.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menakut-nakuti lemari-lemari
dengan kesunyian</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
melipati cucian-cucian apak</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
seperti bebajuan yang
ditinggalkan orang mati</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tepat setelah</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Si mati diperlakukan baik-baik
oleh yang dicintai.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tak masuk akal mengharapkan untuk
segera ditempati.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
dalam puisi ini derek membawa
kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu
sendiri. begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah
menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. benda benda sama
tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. ia tidaklah mengerti pada
kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang
dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "sesuatu itu telah
menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. padahal tidak ada apa apa di
sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. dari sanalah sesuatu yang
diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. kita tidak sedang
membicarakan tuhan di sini. tapi sunyi itu seolah tuhan yang bergerak tanpa
gerakan. yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya.
sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. ini inti
sunyi yang saya maksud itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair
pada ketakutan akan kematian. atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok tuhan
yang bergerak tanpa gerakan itu. yang dengannya penyair berada dalam kehampaan
sekaligus perasaan asing.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
****</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
kajitow elkayeni</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
esais</div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-35303775118209034902014-02-02T17:04:00.002-08:002014-02-02T17:04:53.541-08:00SINTESIS ATAS TESIS RIFFATERE: KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> <b>Ancang-ancang<o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><b><br /></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah
sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi.
Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak,
berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas perpaduan beberapa
hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani, <i>syn</i> = tambah dan <i>thesis</i> = posisi. Sebuah integrasi dari
beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang
saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga
terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah
selaras sehingga melengkapi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran.
Jika p</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;">un ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil
pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman
kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada
pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan
temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung
berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian
rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu
cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa
ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan
kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat
begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang
tergeletak.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam
artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah
digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang
sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland
Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani <i>semeion</i>, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda
(Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan
premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis
yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra.
Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa
menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang
telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin
penting yang membentuk hal itu, yakni:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penggantian arti (<i>displacing of meaning</i>)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Unsur atau sebab yang menghasilkan
ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer
(denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di
sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh <i>vis-a-vis</i>, bukan berdiri bersama, bukan
eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti.
Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya
penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penyimpangan atau perusakan arti (<i>distorting of meaning</i>)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang
terwujud dalam puisi adalah hasil dari
perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan
pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut,
dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh
kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya
sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu, dia tidak menyebut secara
definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada
penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut
Riffattere ini dikarenakan tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi dan
nonsense.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penciptaan arti (<i>creating of meaning</i>)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab
penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu
tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere
memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna
itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan
makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta, seperti yang
dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homoloque dan tipografi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi
yang digulirkan oleh Riffattere bukan</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;"> dalam artian bagian-bagian yang berdiri
sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang
dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya,
penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan
oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan
kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah
terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi
merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil
makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global.
Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya.
Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran
interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara </span><i style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;">an sich</i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;"> sistem itu tidak terbentuk
sesuai kepentingan kalimat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak
menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil
akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai
proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam
puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi
formal). Makna itu ada secara <i>an sich</i>
di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu
pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi
di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung
sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis
lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam
puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni
membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses
terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya:
penggabungan arti (<i>consolidating of
meaning</i>), percabangan arti (<i>affiliating
of meaning</i>), konkretisasi arti (<i>concreting
of meaning</i>), keberlangsungan arti yang terus-menerus (<i>enduring of meaning: continually</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; tab-stops: 358.5pt; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penggabungan Arti (<i>consolidating of meaning</i>)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti
tesis Roland Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagian sifat dari makna
denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna konotatif
dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam komunikasi formal,
makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala Barthes. Ia memiliki arti
tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural penuturnya. Konotatif formal
terbentuk karena pengiasan yang berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika
seseorang mengatakan “kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk
kambing hitam itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali
digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu secara
tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul darinya. Meskipun sebenarnya
ada cara lain, penggalian makna konotatif formal bisa dikembalikan pada
sebagian sifat denotatifnya. Hal itu mempertimbangkan makna denotatif sebagai
makna primer. Sebelum manusia mengenal makna skunder, secara logis ia
menggunakan makna primer untuk berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan
tertentu, seperti memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda,
keperluan retorika, maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal
sastra, makna skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih
tinggi dibanding makna primer.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah
sebuah definisi bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus, meski
mungkin bukan dia pelakunya. Dilihat dari segi aplikasi logisnya, kambing hitam
cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini memungkinkannya untuk
berdiri sebagai <i>the other</i>, <i>liyan</i>, ia adalah sosok khusus yang
dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga mengandung pengertian sebagai
konotasi dari warna hitam yang sering dijadikan oposit dari simbolisasi warna
putih. Lalu kenapa kambing? Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda
hitam? Atau ayam hitam? Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan
semakin membuat kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan.
Tetapi berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna
konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka pemaknaan
dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya, bukan sebagai
perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu juga dengan “kuda
hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal ini terkait juga dengan
sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan. Untuk menghasilkan pengertian secara
lengkap tentu ia merujuk pada studi filologi dan kesepakatan sosial-kulturalnya,
dan itu adalah langkah yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan
sampel dengan ribuan variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa
generasi untuk sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah
kebahasaan. Dan ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk
menghadirkan bukti-bukti empiris kelak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di
sini adalah penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena
kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang lebih
lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif hanya satu bagian
dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk karena penggabungan arti
dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang meloncat dari kekosongan, yang
ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi makna konotatif tercipta karena
pembelokan dari makna denotatifnya. Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski
tidak jelas lagi. Dari situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif
interpretasi (interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika
dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif.
Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan tanda
baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang bermakna
denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif karena dibelokkan
oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak mungkin berdiri sendiri. Maka
biasanya dalam konotasi formal (di luar puisi) makna ini terbentuk lebih dari
satu kata, minimal ia adalah kata majemuk, seperti kambing hitam, panjang
tangan, kuda hitam, besar mulut, lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau
kalimat konotatif sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk
denotatif, maka kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan
kalimat saja, ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa
berdiri sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata
atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid
meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya. Artinya,
ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga bangsa, bunga
bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat, (1) “Bunga Bank itu
disiram setiap hari sehingga terlihat segar (maksudnya bunga di taman sebuah
bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik
peminjamnya (bunga sebagai makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh
pertama terlihat janggal karena makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang
solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna
denotatif.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu
berawal. Kata secara individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu
bertemu kata yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya
adalah karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di
sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah) tapi ia
memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan arti di sini
seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak bisa mengatakan tidak
ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan secangkir gula dalam air teh.
Gula itu meresap sehingga tidak perlu disebutkan lagi sebagai secangkir gula
dalam air teh. Namun ia juga tidak bisa disangkal jika ada di dalam teh
tersebut meski dikatakan secangkir teh. Begitulah makna konotatif itu terbentuk
karena peleburan makna denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya
sehingga tidak terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik
tolak pembelokan arti.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Percabangan Arti (<i>affiliating of meaning</i>)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (<i>distorting of meaning</i>) mengenai
ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable). Tetapi di sana
tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana ambiguitas itu menghasilkan makna
ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada penyimpangan arti, bukan
khusus pada percabangan arti yang saya maksud. Makna ganda yang dimaksudkan
Riffattere adalah hasil penyimpangan dari makna seharusnya secara definitif. Di
sini, percabangan arti adalah hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud
Riffattere tersebut. Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan
lebih dari satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak
dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak benar-benar
merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang dikiaskan tidak sejajar
dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang dihasilkan bercabang pula sesuai
subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini pemaknaan secara menyeluruh akan
bergantung pada ide pokok atau jalur yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut.
Jika dalam puisi ada kalimat konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang
jelas, maka di sanalah percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah
sesuai jalur yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan
subyek-subyek berbeda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ada jenis kata yang secara definitif memang
mengandung beberapa pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami
melahirkan makna ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti
“mampu,” dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati,
kata itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata
bisa dijadikan kata benda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia
bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja,
misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti mampu
atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti ini sebenarnya
tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai satu kata tanpa kaitan
dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari pengertian karena makna ganda tadi
meniadakan satu dengan lainnya ketika tidak ada kepentingan kalimat. Dalam
bahasa praktis, definisi harus diberikan pada kata dengan makna ganda seperti
ini, tapi hal itu tidak logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata
dengan makna ganda tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna
saat ia berdiri sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi, makna ganda tersebut tidak terbentuk
secara alami sebagaimana kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena
kepentingan-kepentingan kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat
ini bisa terjadi begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi
dalam bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang
berbeda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Konkretisasi Arti (<i>concreting of meaning</i>)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jika kata pembentuk makna konotasi adalah kata
konkret, misalnya kata salju, maka makna yang dihasilkan oleh diksi tersebut
selalu membawa sifat denotatifnya secara konkret pula. Yaitu sifat-sifat yang
diambil dari definisi atau kesepakatan penafsiran dari makna konotatif yang
dihasilkannya seperti dingin, beku, putih, asing, ketiadaan harapan. Makna seperti
ini tidak rusak, berganti, atau tercipta yang baru seperti tesis Riffattere.
Tapi ia adalah makna konotatif yang bersifat opresif seperti makna denotatif.
Ia bermakna tetap meski digabungkan sebagai kata majemuk atau bertemu subyek
yang lain. Salju sebagai kata konkret itu selalu membawa identitasnya ke
manapun ia berada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mungkin sekali menjadikan salju sebagai gambaran
sebaliknya, misalnya dengan membelokkan sudut pandang. Tetapi puisi dengan
watak yang dimilikinya memanfaatkan piranti bahasa secara maksimal. Kata bahkan
tanda baca didaya-gunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu tidak saja dari
bentuk makna konotatif atau denotatif, kata yang muncul pertama kali sebagai
identifikasi entitas di dunia juga menjadi perlambangan konkret ketika
difungsikan dalam komunikasi. Ia bukan sistem fisik atau mental dari kata, tapi
kesan yang dimiliki kata tersebut. Ia bukan nilai arti secara deskriptif atau
metaforis, namun keberhubungan sistem-sistem arti tadi. Dan kata jenis ini
menjadi penggerak dari pemaknan sehingga <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Keberlangsungan Arti yang
Terus-menerus (enduring of meaning: continually)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 54.0pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada pola-pola khusus, misalnya puisi pendek yang
cenderung padat dan berkadar efesiensi maksimal, makna yang dihasilkan tidak
berhenti pada kehendak penciptaan teks ke dua (penafsiran). Minimnya kode
bahasa membuat pemaknaan tidak akan pernah final jika hanya didasarkan makna
asli dari kode bahasa yang ada itu. Maka kata-kata yang padat itu selalu
membutuhkan teks lanjutan yang tidak eksis dalam bentuk fisik dalam puisi. Ia
adalah serupa bola bekel yang terus bergerak dalam mesin pengocok. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada puisi panjang, kode bahasa memaksa pemaknaan
untuk tunduk pada jalur-jalur pemaknaan yang terbentuk. Penafsir hanya tinggal
memilih satu jalur paling logis yang didukung oleh kode bahasa terbanyak.
Sedangkan puisi pendek tidak memiliki hall itu. Keterkaitan penafsiran pada
puisi pendek hanya bergantung pada petunjuk-petunjuk pokok. Misalnya puisi
Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya memiliki satu baris
kalimat sebagai tubuh puisi, “Bulan di atas kuburan.” Pemaknaan paling mungkin
atas puisi itu adalah mengaitkan judul dengan sebaris kalimat sebagai tubuh
puisi. Di sini yang berkorelasi bukan makna yang secara an sich berasal dari
kode bahasa, tapi kontradiksi suasana yang dibangun dalam puisi. “Malam lebaran”
identik dengan luapan perasaan bahagia, malam pesta, malam kemenangan. Tetapi
suasana yang dibentuk itu kontras dengan “bulan di atas kuburan” yang
memunculkan susana sedih, takut, sepi, kehilangan, ketiadaaan harapan.
Kontradiksi ini yang paling mungkin menghasilkan pemaknaan, tapi bukan yang
paling pasti karena ketiadaan dukungan kode bahasa yang lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hal demikianlah yang membuat pemaknaan dalam puisi
pendek tidak pernah final. Ia terus mengalirkan pemaknaan secara berkekalan.
Itu disebabkan karena beberapa hal: 1. Minimnya kode bahasa sehingga terus
membuka celah-celah pemaknaan. 2. Ketergantungan pemaknaan atas masuknya
data-data intertekstualitas. 3. Tidak adanya ikatan yang jelas antara satu
penanda dengan penanda lain. 4. Subyektifitas penafsir tidak memiliki patokan
terstruktur dalam pemaknaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kesimpulan
<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Premis di atas itu sekilas mirip dengan tesis
Riffattere, basis analisa yang sama memungkinkan premis-premis tersebut
berseluk-beluk. Namun fokus pembicaraan antara dua premis itu sebenarnya tidak
sama. Secara garis besar ketidaklangsungan ekspresi yang muncul dalam karya
sastra, khususnya puisi memang sudah disebutkan dengan tiga premis Riffattere,
hanya saja ada bagian-bagian lain yang tidak disoroti dengan detail. Artinya,
premis itu tidak mengupas habis dalam setiap model yang ada. Sintesis yang
dihasilkan atas pertemuan dua tesis di atas terbuka kemungkinan untuk terus
berkembang. Fenomena yang terjadi dalam puisi tidak memiliki titik akhir.
Selalu ada gejala-gejala baru, temuan-temuan baru yang membuat orientasi
terhadap puisi mengalami pergerakan. Seperti halnya kejadian secara umum
dinamika hidup di dunia ini memang tidak berhenti pada satu titik. Selalu ada
kebaruan-kebaruan lain yang muncul seiring bergesernya jaman.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Fakta yang paling pokok dalam puisi adalah mengenai
adanya pembelokan pemaknaan yang disebut Riffattere sebagai ketidaklangsungan
ekspresi. Puisi menempuh jalur berbeda dibanding komunikasi formal, hal ini
diistilahkan dengan menyebut ini menghendaki itu. Sistesis yang terwujud ini
bukan berasal dari penyangkalan mutlak. Dari segi proses pengamatan dan
pengambilan sudut pandang memang ada perbedaan prinsip, yakni ada perbedaan
pandangan mengenai proses munculnya makna konotasi dalam puisi. Konotasi yang
ada dalam puisi menurut Riffattere memerlukan peran interpretator, sebagaimana
keyakinan Charles Sanders Peirce mengenai semiotika secara umum. Keberadaan
makna itu tidak nyata kecuali diciptakan dengan interpretasi. Menurut saya,
makna itu secara <i>an sich</i> sudah ada di
dalamnya. Ia terbentuk sedemikian rupa karena kata berdekatan dengan kata yang
lain, penanda berhubungan dengan penanda yang lain. Makna itu muncul karena
kehendak kepentingan kalimat dan ide pokok dalam puisi. Peran interpretator
adalah membuka selubungnya, menguak yang terpendam di dalamnya, tetapi ia telah
ada dan interpretator hanya menemukan yang tergeletak di sana, bukan sedang menciptakannya
dari kekosongan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">*****<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kajitow El-kayeni<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Filsuf,
tinggal di pinggiran Jakarta<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-83968430736914730302014-02-02T17:02:00.001-08:002014-02-02T17:02:15.020-08:00MEMBACA SAKSI YANG SEXY DALAM “SAJAK EMAS”<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam hidup, yang membuat manusia menyadari
eksistensinya adalah adanya masa lalu. Kekinian hakikatnya terus bergerak. Saat
seseorang mengatakan “sekarang,” tempo yang dimaksudkannya sebenarnya telah
terlewat, dan ia menjadi bagian dari masa lalu. Masa sekarang menjadi absurd
karena tempo yang terlewat tadi. Waktu yang dikenali manusia sebenarnya berasal
dari pergerakan dan perubahan benda-benda di jagad raya, termasuk cahaya dan
energi. Jika seluruh benda sampai bagian terkecilnya (molekul; atom; quark)
diam tanpa gerakan, maka waktu itu menjadi tiada. Karena itulah manusia dengan
hukum kesadarannya membagi waktu berdasarkan gerakan. Mulai dari hari, minggu,
bulan, tahun, abad, milenium, dan seterusnya. Tetapi tempo yang dibagi manusia
itu pada dasarnya adalah gerakan juga, sebelum mencapai milenium, harus
melewati abad, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit detik, sekon, dan
seterusnya. Dalam ukuran itu, tempo menjadi bagian terkecil yang mampu
ditangkap oleh kesadaran manusia. Artinya, kekinian pada dasarnya tetap
bergerak, atau substansi dari kekinian itu absurd sifatnya, apalagi jika
menyoal masa depan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Maka yang tetap di sana adalah masa lalu. Ia tetap
karena berupa jejak yang direkam oleh kesadaran dalam gerakan kekinian itu.
Manusia memang tidak bisa hidup di dalamnya, tetapi darinya manusia merumuskan
gerakan dalam kekinian dan tempo yang akan datang. Dalam upaya merekam jejak
masa lalu itu pula penyair Dimas Arika Mihardja (DAM) menyusun pikiran dan hasil
renungannya ke dalam buku antologi puisi “Sajak Emas.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Puisi
adalah buah pikiran yang padat dan tersusun, manusia selaku mahluk yang
berpikir selalu hendak mencatat banyak hal yang dilalui dalam hidupnya ke dalam
benda-benda kenangan. Bisa berupa tulisan, potret, video, pernak-pernik, atau
tempat dan lokasi tertentu. Puisi juga merupakan alat perekam kejadian, dan ia
lebih dari sekedar benda-benda yang telah disebutkan tadi. Struktur yang
dimiliki puisi memungkinkan untuk menghadirkan pemaknaan baru atas rekam-jejak
tadi. Teks yang tersusun dengan fungsi-fungsi komunikasi unik itu tidak sekedar
upaya untuk menceritakan kembali. Ambiguitas pemaknaan ini mungkin sekali
menghadirkan kerancuan ketika pembacaan hanya dilihat dari satu sudut pandang.
Tetapi ketika puisi dengan makna prismatisnya terus digali dan dibandingkan, ia
akan mengayakan makna dari puisi itu sendiri. Dan satu lagi, sesuai sifat
bahasa verbal yang dimilikinya, puisi berusaha mengajak pembaca untuk ikut
terjun dalam perenungan penyairnya secara langsung. Buah pikiran yang mengeram
dalam struktur bahasa itu menghadirkan hisapan, sehingga ia seolah bergerak dan
menusuk benak pembaca meski penulisnya telah mati sekalipun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Karya
sastra lain, katakanlah prosa, memang memiliki sifat-sifat bahasa. Namun dengan
tubuh yang cenderung lebar, kekuatan hisapan prosa tidak sekuat puisi. Orang
mungkin berulang-ulang membaca cerpen Metamorfosis-nya Kafka, tetapi tidak
mungkin orang hendak menghafal cerpen yang sangat panjang itu. Berbeda dengan
puisi Chairil Anwar, mulai dari anak SD sampai kakek-kakek fasih melafalkannya.
Di sinilah kelebihan dan kekurangan puisi menempatkan posisi puisi ke dalam
maqom tersendiri. Orang-orang yang datang kemudian akan membaca dan menafsirkan
berdasarkan kode bahasa dan data-data intertekstualitasnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Saya
kira kurang tepat jika menyama-ratakan genre dalam sastra. Jikapun ada
kesamaan, itu karena medium yang digunakannya sama, yakni semua genre
menggunakan medium bahasa. Namun setiap cabang tentu memiliki perbedaan, untuk
itulah mereka mempunyai kriteria tersendiri yang membedakan eksistensi mereka
dalam dunia sastra. Puisi dan prosa misalnya, keduanya menggunakan bahasa untuk
menyampaikan maksud atau pesan. Cara dan sistem komunikasi keduanya menempuh
jalan berlainan. Prosa sesuai akar katanya, prosa (latin: terus terang) atau
prose (ing: sebenarnya), hendak menyampaikan pesan dengan bahasa yang lugas.
Ada bentuk prosa ide misalnya, ia tidak secara runtut membentuk plot, tapi
pesan tetap disampaikan melalui deskripsi, penokohan, dan alur penceritaan.
Sedangkan puisi memiliki sistem lain. Pada prinsipnya ia juga hendak bercerita,
namun melalui pembengkokan bahasa. Puisi lebih sering menggunakan makna
konotatif dan kiasan dalam menyebut sesuatu. Puisi juga tidak sibuk membentuk
karakter tokoh, bahkan kebanyakan tidak memiliki tokoh secara konkret.
Perbedaan yang niscaya itu bukan untuk melebihkan satu jenis dari jenis yang
lain, tapi ia adalah kriteria yang dengan sendirinya memiliki penilaian dan
tolok ukur yang berbeda. Jika ada kemiripan, hal itu hanya pinjaman sifatnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Karakter
dan Strategi Retoris<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Buku antologi “Sajak Emas (2010)” bukan antologi
pertama penyair Dimas Arika Miharja. Buku tersebut terlahir setelah
saudara-saudaranya yang lain bersaksi dalam dunia literasi. Sejauh yang mampu
saya lacak, dalam antologi bersama , “Riak-riak Batanghari (1988), juga dalam
data lain sejak 1985, DAM telah menapakkan kakinya pada dunia kepenyairan.
Beberapa antologi sesudahnya juga telah menjadi prasasti sepak-terjang DAM
dalam dunia perpuisian Indonesia. Sebagaian besar puisi dalam antologi
"Sajak Eams" itu ditulis
sekitar tahun 2010, puisi-puisi lain diambil dari tahun-tahun sebelumnya mulai
dari tahun 1993. Membaca “Sajak Emas” adalah menguak sebagian dari karakter
yang dimiliki penyairnya. Saat penyairnya bersedih, muncullah diksi-diksi
muram. Dari kemuraman itu terlihat bagaimana penyair membawa dirinya. Bagaimana
ia memandang kehidupan dari sudut tersebut. Saat penyairnya gusar atau marah
muncul pula diksi yang keras. Yang dengan cepat dapat disimpulkan pandangan
penyair dalam menyikapi dinamika hidup. Saat penyairnya senang, maka akan ada
luapan kebahagiaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Meskipun
pada dasarnya setiap penyair tentu memiliki karakter yang menonjol. Misalnya
Chairil Anwar yang dengan bengal berseru, “Ini ruang gelanggang kami
berperang.” Kenakalan seperti itu seringkali muncul dalam puisinya. Rendra yang
berkarakter serius sering memunculkan pandangan tegasnya, seperti yang
disebutkannya dalam Sajak Sebatang Lisong, “aku bertanya / tapi pertanyaanku /
membentur jidat penyair-penyair salon / yang bersajak tentang anggur dan
rembulan.” Sutardji Calzoum Bachri yang radikal membawa kapaknya untuk
merubuhkan langit, seperti yang disebutnya, "aku lepaskan segala bahasa /
agar kucingku bisa memanggilMu." Sapardi Djoko Damono yang cenderung
lembut suka bermain dengan satire dan ironi. Seperti yang dikatakannya dalam
“Pokok Kayu” atau “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari.” Dimas Arika Mihardja
lebih lekat dengan karakter periang dan humoris. Dalam bahasa saya, hal itu
saya sebut dengan keusilan yang positif. Banyak puisi dalam antologi tersebut
yang didedikasikan untuk orang lain. Jika Barthes menyebut makna konotasi
adalah siginifikasi tataran ke dua, saya menyebut puisi dedikasi ala DAM itu
sebagai komunikasi puitikal tingkat ke dua. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi yang berhadapan langsung dengan pembaca adalah
komunikasi puitikal tingkat pertama. Pembaca langsung menceburkan diri ke dalam
perenungan penyairnya, atau penyair langsung menggelar renungannya di hadapan
pembaca. Komunikasi puitikal tingkat ke dua seperti yang ditunjukkan oleh DAM
awalnya melesat menuju nama yang menjadi tujuan puisi, baru kemudian ia
menyenggol pembaca. Dalam hal ini, pembaca dalam lingkup umum tidak hanya
membaca diri penyair, tapi juga koneksitas dengan penyair lain. DAM tidak saja
melakukan perenungan ke dalam, ia lebih banyak membaca fenomena yang ditemuinya
dalam interaksi sosial. Antologi “Sajak Emas” ini bukan tugu keakuan seperti
yang sering dimunculkan di luar sana. Ia tugu egaliter hasil dari perenungan ke
dalam dan ke luar penyairnya. Melihat cukup banyak puisi dengan ciri komunikasi
puitikal tingkat ke dua dalam antologi itu, tampaknya DAM cukup nyaman dengan
cara demikian. Puisi baginya bukan kamar pribadi yang serba privat, bukan
sebuah mercusuar tinggi yang tak boleh dimasuki sembarangan orang. Seperti
argumen Chairil: yang bukan penyair tidak ambil bagian. DAM membuka ruang yang
lebih lebar, sosok-sosok lain turut masuk dan meramaikan puisinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dua ratus puisi yang ada dalam antologi tersebut
memuat berbagai peristiwa. Seorang DAM yang menggeluti dua dunia berbeda
seolah-olah memunculkan kontradiksi. Sebagai pendidik ia harus memegang teguh
konvensi bahasa dan sastra sebagai kiblat bagi anak didiknya. Tapi sebagai
penyair, DAM harus bergerak dinamis demi memunculkan kebaruan, meski itu dengan
merombak apa yang telah dibakukan. Dua dunia dengan konsentrasi yang berbeda,
keduanya sekilas manghadirkan kontradiksi, tapi lebih jauh sebenarnya keduanya
saling mengisi selama perbedaan itu tetap berpusar pada porosnya masing-masing.
DAM seolah sedang menapakkan kaki kanannya di satu dunia, sementara kaki
kirinya menapaki dunia yang lain lagi. Mencermati “Sajak Emas” akan
mengingatkan pada kebiasaan Sapardi Djoko Damono dalam Berpuisi. Gaya yang digunakan
kedua penyair itu cenderung mengusung diksi sederhana dan tidak hendak tampil
mewah. Kesamaan itu sebenarnya hanya dari bentuk luar saja, ketika menukik
lebih dalam, keduanya memiliki strategi retoris yang jelas berbeda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Berikut akan saya ulas beberapa puisi yang mewakili
200 puisi dalam antologi “Sajak Emas” tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">MENGUAK
MIMPI, 1<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">engkau
datang serupa bayang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengeram
dalam tilam kelam<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kelambu
tidur-jagaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu
angin nyeret rahasia-mu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">engkaulah
bayang itu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengusik
tidur-jagaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tiap
waktu luput mengusap wajah-mu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dalam
bayang rindu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kuseru
cuaca berdebu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">engkaulah
bayang itu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengetuk-ngetuk
rasa kantuk<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu
dentam rebana bertalu-talu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">di
hatiku yang merindu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kota
Beradat, 1993-09-23<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi pertama ini hendak mengabarkan adanya kelindan
rahasia yang sedang disusun dan dijalinkan penyair dalam diksi-diksi yang
relatif sederhana. Puisi ini bukan pembiasan dari epos-epos besar, bukan kisah
ajaran-ajaran agama yang kaku, tidak juga jalinan pelik diktum filsafat. Yang
tercermin dari puisi ini adalah luapan perasaan dari seorang manusia kepada
subyek yang dikatakan serupa bayang. Begitu merasuk lebih jauh pada substansi,
senyatanya apa yang dieposkan, yang diajarkan, yang didiktatkan sejalan dengan
jangkauan perenungan dalam puisi ini. Siapakah sosok yang diserupakan dengan
bayang itu? Dengan penafsiran pendek, tentu ia adalah manusia, sosok konkret
yang menjadi muara yang konkret pula untuk perasaan aku lirik, yang diwakili
oleh kata ganti milik “–ku.” Tetapi tidak haram jika pemaknaan diayunkan lebih
jauh melebihi penafsiran awal. Bisa jadi sosok yang sedang dirindukan oleh aku
lirik dalam puisi ini adalah sosok yang sepenuhnya rahasia, sosok yang sering
disebut sebagai Tuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Yang menjadi pilihan kemudian adalah sudut pandang
penyair, bukan sosok yang dimaksudkannya. Karena siapa pun yang ditujunya
sama-sama menghadirkan pemaknaan yang terang: bahwa aku lirik sedang terkepung
kerinduan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi “Menguak Mimpi, 1” ini adalah tipikal perenungan
ke dalam. Penyair membaca dirinya sendiri kemudian dikucurkan melalui medium
bahasa. Di sini dikatakan “menguak mimpi,” yakni mimpi itu seolah tersimpan di
dalam bumi atau kerumunan benda-benda lain sehingga harus dikuak, dicabut,
ditarik. Seseorang yang sedang “menguak” memiliki kesadaran atas sesuatu yang hendak
diambilnya dari dalam. Pengetahuan atas sesuatu yang sedang ditarik itu adalah
niscaya. Orang mabuk misalnya, saat ia berhalusinasi dan hendak “menguak”
sesuatu tidak memiliki kesadaran ini. Artinya, dia tidak benar-benar menguak
dengan diiringi oleh kesadaran. Tetapi mimpi itu juga hasil kerja alam bawah
sadar, meskipun dalam mimpi itu juga ada kesadaran. Ketika menyebut mimpi
sebagai bentuk ketak-sadaran, maka menguak mimpi bisa jadi sejajar dengan
analogi orang mabuk tadi. Namun di sini bahasa telah berbelok. Sebagaimana
telah dimaklumi, puisi adalah hasil kerja alam bawah sadar juga. Ia sublimasi
dari endapan perasaan penyair. Ketika seseorang membuat puisi, kesadarannya
hanya menuntun dari segi fisik, baik tipografi, keselarasan bunyi, kaitan sintaksis
dan semantiknya. Tapi dorongan dalam diri, dorongan dari dunia batinlah yang
sebenarnya membuat kata-kata terjalin. Tanpa peran kesadaran, pesan yang hendak
dikomunikasikan tidak akan terbaca.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ada penyair yang hanya menuruti dorongan batin
semata sehingga melahirkan puisi hermetis (gelap). Puisi yang berisi raungan,
racauan, bunyi-bunyi anomatope yang tidak jelas maksudnya. Puisi seperti itu
jelas gagal menyampaikan pesan karena tidak diiringi oleh kesadaran. Dapat
dikatakan, puisi harus diolah dengan kesadaran meski ia memang berasal dari
alam bawah sadar, agar ia dapat dimengerti.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Maka “mimpi” dalam puisi ini tidak semata kembali ke
makna harafiahnya sebagai bunga tidur, sebagai hasil kerja alam bawah sadar.
Mimpi di sini adalah harapan yang telah mengendap, ia cita-cita terpendam dalam
diri penyair. “Menguak Mimpi” berarti hendak menarik cita-cita keluar dari
dasar hati, yaitu ke dalam bentuk bahasa. Bisa jadi dinamika hidup telah
membuat impian tadi tertutupi hal-hal lain, sehingga ia harus dikuak untuk
memunculkannya. Saat membaca tubuh puisi dan mengaitkan dengan judul, akan
muncul keterkaitan impian itu dengan sosok kau lirik yang digambarkan serupa
bayang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">engkau
datang serupa bayang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengeram
dalam tilam kelam<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kelambu
tidur-jagaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu
angin nyeret rahasia-mu <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bait ini memperlihatkan bahwa kehadiran kau lirik
itu tidak benar-benar nyata atau konkret. Adanya kau lirik karena diadakan oleh
aku lirik. Ia secara <i>an sich</i> tidak
terwujud, maka dikatakan, “engkau datang serupa bayang.” Artinya kedatangan itu
tidak dari segi fisik. Kedatangan kau lirik itu dalam sebuah momen yang
dikiaskan sebagai, “tilam kelam.” Bisa jadi ia adalah penggambaran dari malam,
yakni tilam kelam itu sebutan lain atau simbol untuk mewakili malam, yakni
dalam keadaan tidur. “tilam” yang berarti kasur hanyalah simbol, yang
dikehendaki darinya momen dalam waktu malam, yakni dalam tidur itu sehingga
muncullah mimpi. Tilam kelam adalah sebuah dimensi waktu yang dilipat penyair
ke dalam puisi. Ketika sampai “kelambu tidur-jagaku,” kuat pembacaan atas
dimensi itu bergerak lebih lebar. Ia bukan momen sempit sewaktu subyek berada
di atas tilam, tetapi dimensi waktu yang dikehendaki dalam puisi ini mewakili
waktu secara keseluruhan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kata “kelambu” yang definisi harafiah adalah tirai untuk
mencegah nyamuk, di sini telah berbelok dari pengertian itu. Ia menjadi
melingkupi atau menjaga. Kelambu di sini bergerak sebagai simbol, makna yang
dihasilkannya konotatif sifatnya. Dan untuk ini pernah saya katakan: makna
konotatif mengambil sebagian sifat dari makna denotatif. Tentunya ini berbeda
dengan premis Roland Barthes yang menghendaki makna konotasi sebagai kesatuan
yang berdiri sendiri. Ia memliki petanda dan penanda sendiri. Alhasil,
“kelambu” dalam puisi ini memang mengambil sebagian sifat dari makna
denotatifnya, yakni berfungsi sebagai penjaga. Meskipun ia meruang lebih lebar
ketika bertemu “tidur-jagaku.” Yakni ia memberikan penjagaan atau melingkupi
keberadaan aku lirik, baik dalam keadaan tidur maupun jaga. Selanjutnya penyair
mengatakan, “lalu angin nyeret rahasia-mu.” Di sini pemaknaan kembali bergerak.
Apa yang tadi disimbolkan sebagai kelambu tidak bersifat kekal. Atau ia memang
bersifat demikian, tetapi ada sebagian dari diri kau lirik itu yang tetap
menjadi rahasia. Dan itulah yang terseret oleh angin. Seperti yang telah
dipahami, angin sesuai sifatnya yang senantiasa bergerak (maka dari itu disebut
angin) melambangkan ketidak-tetapan. Penyair sengaja memotong diksi
"nyeret" dari kata "menyeret" untuk menampilkan kesan tidak
familiar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">engkaulah
bayang itu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengusik
tidur-jagaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tiap
waktu luput mengusap wajah-mu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dalam
bayang rindu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kuseru
cuaca berdebu <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada bait pertama, kedatangan sosok engkau dalam
rentang penyerupaan dengan “serupa bayang.” Di bait ke dua ini engkau adalah
bayangan itu sendiri. Di sini ada peleburan peran. Dalam kadar penyerupaan,
sosok “engkau (atau kehadirannya)” melingkupi bahkan seolah memberi peran
penjagaan, meski “angin” di sana mereduksinya pemaknaan itu. Pada bait ke dua
ini, ketika kau lirik melewati batas penyerupaan tadi justru dikatakan
“mengusik tidur-jagaku.”dengan begitu dihasilkan penafsiran, makna “kelambu”
pada bait pertama tadi memang berhenti hanya pada makna melingkupi, bahkan
mungkin malah menyekap. Oleh karena itu aku lirik merasa terusik. Baris
selanjutnya, yakni “tiap waktu luput mengusap wajah-mu / dalam bayang rindu /
kuseru cuaca berdebu //” menjelaskan keterusikan tadi. Jadi sebenarnya yang
mengusik bukan gambaran kedatangan sosok “engkau” tetapi perasaan rindu aku
lirik. Dapat juga dikatakan, momen kehadiran sampai ada keterusikan itu
sebenarnya digerakkan oleh diri aku lirik. Adanya sosok engkau karena diadakan,
karena keberadaanya diwujudkan berkat dorongan kerinduan aku lirik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Yang membuat pembacaan getir adalah penggambaran
rindu di sana. Seperti yang telah dipahami, rindu serupa rasa sakit dan itu
digambarkan penyair dengan, “kuseru cuaca berdebu.” Dari penggambaran ini yang
muncul adalah abstraksi dari momen lain, momen imajinatif lanjutan yakni cuaca
berdebu. Aku lirik di tengah serangan kerinduan itu seolah sedang menghadapi
hujan debu. Dalam pembacaan saya, itu adalah pandangan aku lirik mengenai tipisnya
harapan untuk mengobati sakit rindunya. Cuaca berdebu itu bisa juga merupakan
penggambaran suasana batin. Keadaan di kedalamannya sana nir kegembiraan. Bukan
berarti ia berduka secara spesifik, tapi rindu yang belum atau tidak
mendapatkan obat. Rindu yang mengambang dan seolah berjatuhan menjadi
bulir-butir kecil yang seolah gambaran debu itu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seseorang yang mengalami musibah, misalnya
kehilangan, dikatakan berduka. Ini kedukaan yang spesifik. Tetapi rindu debu
yang digambarkan penyair itu dalam posisi mengambang. Sakit yang dihasilkannya
bisa jadi seimbang atau nyaris sama. Meski begitu masih ada celah di sana, ada
kemungkinan lain meski sulit. Karena sulit itulah maka penyair berkata, “kuseru cuaca berdebu” karena ia merasa
seolah ada harapan. Tapi harapan yang dipanggil tanpa sahutan. Harapan yang
entah bagaimana mewujudkannya. Ini hampir sama ketika Chairil berseru, “cintaku
jauh di pulau.” Dalam hal ini, bukan tidak ada cita-cita untuk merengkuh cinta
itu, tapi karena sulitnya jalan yang musti ditempuh. Perbedaannya, Chairil
memberikan jeda dalam penggambaran, jeda yang masih menyisakan kemungkinan
logis. Sementara DAM tidak memberikan ruang itu. “kuseru cuaca berdebu”
mengindikasikan sempitnya dada yang terhimpit oleh perasaan rindu, dan itu membuat
aku lirik terusik bahkan di luar wilayah tidurnya. Saya mengatakan tadi, ini
bukan penggambaran duka dalam substansi yang spesifik, tapi rasa sakitnya itu
saya kira segantangnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">engkaulah
bayang itu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengetuk-ngetuk
rasa kantuk<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu
dentam rebana bertalu-talu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">di
hatiku yang merindu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Manakala pembacaan sampai pada bait ke tiga,
permainan yang selanjutnya terlihat jelas adalah dalam hal repetisi. Strategi
retoris ala DAM tidak hendak dengan brutal memporak-porandakan kata sebagaimana
Sutardji, atau berhenti dalam bermanis kata dan memfokuskan pada penggambaran
ironik seperti Sapardi. Ketika menemukan diksi “bayang” yang diulang beberapa
kali dalam puisi, besar kemungkinan kebanyakan pembaca akan terjebak pada
stagnasi penggambaran. Padahal kehendak ide dalam penggambaran itu mengehendaki
posisi substansi yang berbeda. “bayang” dalam bait pertama eksis dalam
bentuknya sendiri, karena posisi penyerupaan. “bayang” dalam bait ke dua, yakni
“bayang rindu” adalah kata majemuk, yang dengan mudah bisa dipahami fungsinya
memiliki kesatuan semantik dengan “rindu.” Jenis repetisi ini dekat dengan
anafora. Yang benar-benar berwujud sebagai repetisi atau dari jenis repetisi
utuh yang mungkin tergolong simploke adalah “engkaulah bayang itu” pada bait ke
dua dan ke tiga. Kemudian ada juga repetisi anafora atas preposisi “lalu,”
yakni pada bait ke pertama, “lalu angin nyeret rahasia-mu” dan bait ke tiga,
“lalu dentam rebana bertalu-talu.” Dari segi fisiknya, keduanya memiliki
peluang untuk menjadi preposisi dengan makna harafiah; kemudian; lantas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ketika membaca lebih cermat, fungsi preposisi di
sana berbeda. Diksi “lalu” pada kalimat “lalu angin nyeret rahasia-mu,” kata
"lalu" berfungsi sebagai verba meski bisa juga dijadikan preposisi.
Dengan fungsi verba maka ia bermakna lewat, yakni angin itu lewat dan menyeret
rahasia keberadaan sosok engkau yang sebenarnya memang nir wujud. Sedangkan
pada kalimat “lalu dentam rebana bertalu-talu” lebih kuat pada fungsi
preposisi. Meskipun jika dilihat dari bingkai repetisi, yakni dari ide
perulangannya. Fungsi keduanya hendak bermain sebagai preposisi. Jika begitu,
diksi "lalu" pada bait pertama berperan ganda, sebagai preposisi
sekaligus bisa sebagai verba. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bait ketiga ini menjelaskan keseluruhan teka-teki
yang dimunculkan pada bait-bait sebelumnya. Jika awalnya sosok engkau itu
diserupakan dengan bayang, bait ketiga menguatkan transformasi penggambaran
dengan repetisi, “engkaulah bayang itu.” Artinya kehadiran kau lirik hanya
dalam imajinasi penyair karena ia nir wujud, yakni berupa bayang. Selanjutnya
kalimat “mengetuk-ngetuk rasa kantuk” adalah penjelasan dari repetisi makna
atas kata majemuk “tidur-jagaku.” Aku
lirik di sana membuat batasan penggambaran dalam ukuran yang lebih pendek, yakni
dalam posisi kantuk itu. Keruangan lebar yang muncul dari penafsiran awal atas
“tidur-jagaku” menyempit. Ini adalah penjelasan dari momen sebelumnya yang
menjadi lebih spesifik. Aku lirik dalam keadaan mengambang, meski hal ini bisa
juga bermakna kias--yakni sebuah lambang dari proses keterusikan. Saat itulah
“lalu dentam rebana bertalu-talu” menghadirkan kondisi rindu aku lirik. “di
hatiku yang merindu” menutup pembacaan sekaligus menjawab sebagian tekai-teki.
Meski ada beberapa teka-teki lain yang justru semakin mengambang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Diksi “rebana” tidak saja berhenti pada definisi
salah satu jenis alat musik, yakni jenis gendang yang pipih. Tapi ia identik
dengan budaya keislaman juga. “rebana” membuat kemisteriusan sosok “engkau”
tadi tetap berpusar pada pertanyaan, siapakah sebenarnya dia? Bisa jadi ia
memang hendak mewakili sosok manusia yang sedang dirindukan oleh aku lirik,
tapi bisa juga ia hendak terayun jauh dan menghendaki Tuhan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi “Menguak Mimpi, 1” berkemungkinan kuat
berkaitan dengan “Menguak Mimpi, 2” dari segi ide. Dari sana bisa ditarik
pemaknaan, penyair memang tidak menghendaki kerinduan itu berhenti pada sosok
manusia, ia adalah wujud kerinduan atas sosok paling misterius yang selalu
dicari-cari oleh segenap manusia. DAM dengan sisi religiusitasnya sedang diamuk
kerinduan sebagaimana Amir Hamzah dalam “Padamu Jua.” Jika amir Hamzah berkata,
“Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai” maka DAM berseru
“lalu angin nyeret rahasia-mu.” Jika Amir Hamzah berkata, “Mangsa aku dalam
cakarmu,” maka DAM berujar, “dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu.” Kedua
penyair dengan latar belakang berbeda sedang bergelut dengan perasaan rindunya.
Keduanya memang memiliki gaya yang berlainan, tapi sama-sama sedang menguak
impian yang mengusik batin mereka. Tentang hakikat sosok misterius yang
dicinta, yang kebenaran dan keberadaannya mesti dikuak layaknya menguak mimpi
dan/atau ia adalah mimpi itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kesaksian
Metafisik <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di bagian lain, DAM lebih dekat menyorot hubungannya
dengan Tuhan. Ada beberapa puisi yang membawa kode bahasa jelas, sehingga
memunculkan gambaran dari hubungan tersebut dalam DZIKIR, MASJID AGUNG
AL-FALLAH, TAHAJUD ILALANG, ANA NUR 00:50, SERENADE RUMAH CINTA, JEMARI ITU,
MENJELANG AKHIR RAMADHAN, dan sebagainya. Lambang-lambang yang dibawa masuk ke
dalam puisi mencerminkan dengan jelas suasana religiusitas yang diangkat
penyairnya. Perenungan semacam ini juga mengindikasikan adanya subyek-subyek
yang bergerak, yang membentuk pola pikirnya. Bahwa DAM meski bukan seorang
ulama atau tokoh agama, tetapi keagamaan mendasari ruang renungnya. Dari sini
ada batas yang jelas, yang membedakan penyair yang bertuhan dan yang tidak.
Misalnya kita tunjuk Pablo Neruda, Bertolt Brecth, Nietszche, dan kanon-kanon
sastra sayap kiri lain yang juga meratapi hidup penuh ketimpangan dan
ketidak-adilan. Ratapan mereka, bahkan terkadang hujatan mereka berada di luar
jalur logis meskipun mengatasnamakan logika.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apa yang digelar dalam ruang sunyi tersebut secara
alami sebenarnya dialami oleh setiap manusia, baik yang beragama atau bukan. Misalnya
ketika melihat Pablo Neruda berbisik lirih:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Oh
Bumi, Tunggulah Kami<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kembalikan
aku, oh matahari<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada
nasibku yang liar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hujan
hutan purba<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bawakan
aku wewangian dan pedang-pedang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang
jatuh dari langit<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kedamaian
wingit dari padang rumput dan bukit batu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kebasahan
pada tepian sungai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aroma
pohonan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Angin
yang berdegup bagai hati<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mendentumi
gelisah tanpa istirah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puncak-puncak
jati.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bumi,
kembalikan hadiahmu yang murni padaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">menara-menara
kesunyian yang mawar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dari
kekhusukan akar-akarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku
ingin kembali jadi yang belum kualami<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dan
belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">di
antara segala yang alami<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tak
masalah; aku bisa hidup atau tak<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">menjadi
sebuah batu lagi, batu yang gelap<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">batu
sejati yang dibawakan laluan sungai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1964<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Terlihat bagaimana Pablo merasakan gejolak
perasaannya manakala tersudut dalam kesunyian. Ia merenung dan meresapi arti
keberadaannya di muka bumi. Sebagai manusia, hal itu menyeretnya terlarut dalam
hisapan kekuatan yang tidak dimengertinya. Sebagai orang yang tidak mempercayai
Tuhan, Pablo tersadar pada kenyataan, bahwa hidup pasti akan menemu masa akhir.
Ia harus bersiap kembali, tapi kembali ke mana? Dalam puisi ini penyair
memandang kehidupan sebagai perputaran belaka. “Hujan hutan purba” adalah
gambaran dari awal yang menurutnya sebagai muasal kehidupan. Hidup yang dimulai
dari mahluk sel kecil yang diselaraskan dengan teori Darwin mengenai Evolusi.
Premis ini memang memiliki beberapa kelemahan secara ilmiah, tetapi di masa
Pablo, keyakinan pada awal kehidupan itu membuatnya manyandarkan diri untuk
kembali ke fase tersebut. Hal itu dikatakannya, “Aku ingin kembali jadi yang
belum kualami,” ini menunjukkan pada proses kembali tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam hal ini saya tidak ingin mengusung antitesis
berdasarkan fakta temuan sejarah dan perkembangan teknologi di bidang ilmu
pengetahuan. Yang ingin saya tekankan adalah perbedaan sudut pandang kedua
penyair mengenai hakikat hidup. Keduanya memberikan kesaksian dari sudut
pandang berbeda. Tetapi uniknya, kesadaran itu muncul dalam momen yang sama,
momen sunyi saat keduanya melakukan perenungan secara mendalam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Keberadaan Tuhan yang tak tersentuh logika bukan
berarti membuktikan ketiadaannya. Hal itu adalah bukti dari kelemahan logika.
Manusia sebagai mahluk yang bisa berpikir memang harus mengedepankan
pemikirannya dalam menghadapi banyak hal, tetapi manusia harus sadar batas
kemampuan dari logika ini. Banyak hal yang tak terjangkau oleh penalaran, dan
itu tidak lantas membuat hal tak terjangkau itu tadi tidak eksis. Di sini DAM
dengan kesadaran penuhnya mengakui kehadiran yang tak terjamah logika itu.
Kehadiran mistis yang tak terpahami itu. Ia sebagai mahluk yang bercermin pada
kelemahan dirinya merasakan dengan hati bahwa ada Kekuatan Maha yang menerangi
jalan mahluk dengan cahaya-Nya. Dengan bahasa yang akrab dikenal, Kekuatan Maha
itu adalah Tuhan yang diseru dengan berbagai nama dan jalan agama. DAM
memberikan kesaksian itu seperti yang digoreskannya dalam puisi berikut ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ANA
NUR 00:50<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ana
nur, ada cahaya, menyala di dalam dada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">terasa
sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">o,
tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">biar
aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kau
dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">serasa
aku terbang melayang di cerlang cahayamu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">menarikan
jemari melati putih<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">o,
putikkan lagi kelopak bunga hatiku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">usai
sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dalam
gelap melindap cahayamu merayap. hangat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengusap
debudebu di hati merindu: hanya cahaya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">semata
cahaya! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bengkel
Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 16 Mei 2010<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sekilas, judul pada puisi ini mirip dengan Bahasa
Arab, yakni Ana Nur itu mendekati pemaknaan, akulah cahaya. Tetapi ketika
membaca tubuh puisi secara menyeluruh, ternyata yang dikehendaki oleh kalimat
itu adalah Bahasa Jawa yang dikolaborasikan dengan bahasa serapan dari Bahasa
Arab. Ana Nur 00:50 berarti ada cahaya pada waktu lewat tengah malam. Puisi ini
sengaja saya ambil untuk mewakili subyek dasar yang melatari perenungan
penyairnya. Sebagian puisi lain membawa kode bahasa yang lebih jelas dan
menurut hemat saya sudah cukup menerangkan isinya. Selaras dengan premis
Riffaterre (1978:166) yang mengatakan, “pembacalah yang bertugas untuk
memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu
akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya.
Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda
terjadi.” Berhubung kode bahasa dalam beberapa puisi secara eksplisit telah mengarah
pada pemaknaan, maka puisi itu telah sampai pada pemahaman umumnya berdasarkan
kode bahasanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Khusus dalam Ana Nur 00:50 itu memiliki beberapa
penyimpan</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 36pt;">an makna, atau dalam bahasa Riffattere “ketidak-langsungan ekspresi”
yang dijelaskan olehnya sebagai penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
meaning). Keunikan itulah yang membuat saya mendaulatnya sebagai wakil dari
puisi-puisi yang bergerak dalam ruangan yang sama. Bukan untuk melebihkan satu
puisi dari yang lain, tapi membongkar ambiguitas pemaknaannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ana
nur, ada cahaya, menyala di dalam dada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">terasa
sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">o,
tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">biar
aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Subyek dalam puisi ini sedang bermonolog, ia di
tengah kelindan perasaan yang beraneka bentuk seolah berdialog dengan sosok
lain. Padahal sosok lain yang dihadirkan dalam puisi itu bukan sesuatu yang
konkret secara fisik, yakni dengan pengenalan panca indera. Penyair merasakan
kehadiran sesuatu dalam hatinya, sesuatu menurut pengenalan hatinya sebagai
cahaya. Kita tidak pernah tahu, apakah cahaya yang dikenali hati itu memang
cahaya dalam substansi yang sebenarnya. Jika memahami lebih dalam, apa pun yang
dikenali oleh hati bukan keadaan yang secara <i>an sich</i> seperti itu. Di titik tertentu misalnya, seseorang dalam
kepungan kesunyian, misalnya pada waktu salat malam. Dalam posisi itu dia
memejamkan mata dan didapatinya pandang yang sangat luas. Waktu seolah
berhenti, dan seseorang sampai pada kulminasi kesunyian di mana tidak
didengarnya suara, bahkan detak jantungnya sendiri. Padang luas yang dilihat
itu tentu tidak eksis dalam dunia nyata, meski mungkin ia pernah melaluinya
atau mengangankan tempat seperti itu. Bentuk-bentuk yang dikenali manusia dalam
keadaan seperti itu adalah pengenalan imajinatif. Ia bisa jadi mirip dengan
fakta yang ditemui dalam dunia nyata, tapi tidak secara persis, bahkan
sebenarnya tidak mungkin sama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Fakta imajinatif seperti itulah yang sebenarnya
dihadapi oleh penyair, meski mungkin yang terekam dalam kata-kata tidak sama
persis dengan yang dialaminya. Bisa jadi ia lebih dari itu, tapi bahasa hanya
mampu merekam dan mengabarkannya sejauh “ana nur, ada cahaya, menyala di dalam
dada.” Puisi ini, sebagaimana umumnya puisi tidak memiliki awalan, ia langsung
masuk ke dalam keadaan yang dihadapi penyairnya, ia jatuh ke dalam perenungan,
“ada cahaya” katanya. Jika ini dijadikan sebuah awal, maka baris sesudahnya
hanya menjelaskan hubungan kausal di sana, yakni “terasa sayat ayatayat saat
risau dan galau menjadi pisau.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penyair ketika sampai perenungan terdalamnya memahami
bahwa ada kekuatan lain yang dikenalinya sebagai cahaya. Pengenalan ini bisa
jadi hanya penggambaran terdekat saja, yakni bukan sebagaimana nur yang bisa
dicapai oleh panca indera. Nur atau bentuk yang disaksikan oleh mata batin
penyair sebenarnya mungkin sulit untuk digambarkan. Diksi “dada” adalah simbol
dari hati, yakni dengan hati itulah penyair menyaksikan, bukan dengan panca
inderanya. Dalam momen kesunyian, lewat tengah malam, penyair menemukan
kesejatian. Subyek-subyek yang bergerak dalam dirinya melakukan pengenalan, nur
itu adalah nur ilahiah. Berbeda dengan Pablo Neruda ketika berhadapan dengan
keadaan yang sama, subyek-subyek dalam dirinya mengenali keadaan tersebut
sebagai kesadaran insaniah, kesadaran di titik sunyi yang lumrah. DAM mengambil
sudut pandang lain, seolah ia berkata, ini nur kesejatian, cahaya petunjuk yang
menerangi hati insan. Peraturan sadar dan keyakinan yang dimilikinya
menyelaraskan hal itu dengan ayat-ayat yang dipercayainya berasal dari Tuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kesadaran telah sampai puncaknya, penyair meraba
dirinya sendiri. Saat itulah muncul perasaan risau dan galau. Simbol pisau yang
hadir untuk mengambil sifat tajam dan kemampuannya dalam memotong sesuatu.
Perasaan itu berkat dorongan ayat tadi menghasilkan sayatan layaknya pisau.
Yang kemudian mengherankan adalah ketika sayatan itu justru menjadi candu. Dan
itu menunjukkan, pisau yang dihadirkan penyair bukan sebagai wakil dari
kepedihan atau kengerian. Pisau itu semata mengambil sifat tajamnya saja. Hal
itu dikatakan penyair, “o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau
hatiku.” Efek dari candu tadi menghadirkan atau mengantarkan penyair pada
ekstase, “biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kau
dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">serasa
aku terbang melayang di cerlang cahayamu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">menarikan
jemari melati putih<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">o,
putikkan lagi kelopak bunga hatiku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di bait ke dua ini, penyair benar-benar telah
menggerakkan “nur” yang dipahaminya tadi
sebagai subyek secara utuh. Subyek yang aktif sebagai sosok orang kedua tunggal
yang disebutnya “kau.” Degradasi makna atas subyek atau pergerakan posisi
subyek memang sudah terjadi di bait awal, tetapi penegasannya dimulai di bait
ke dua ini. Hal itu menunjukkan, awal yang dimulai dalam bait pertama itu tidak
diam atau ia bukan merupakan titik statis. Sehinga dikatakan, “kau dan aku
bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung.” Diksi-diksi yang familiar
dalam baris ini berbelok jauh dari pemaknaan familiarnya. “Bercumbu” seperti
yang dipahami cenderung jatuh pada makna tabu, yakni makna erotiknya. Padahal
bercumbu dalam definisi bahasa diartikan sebagai bersenda gurau dalam
kemesraan. Cumbu itu sendiri sebenarnya identik dengan rayuan atau kata-kata
manis untuk membujuk yang justru menjauh dari makna erotiknya. Dan pada puisi
ini, pengertian itu berbelok lagi menjadi komunikasi dekat aku lirik dengan
sosok yang disebutnya kau. Begitu dekatnya maka dikatakan “bercumbu.” Jika
dikaitkan dengan kode bahasa yang ada pada bait awal tadi, prosesi komunikasi itu
adalah lambang dari peribadatan yang dilakukan oleh aku lirik. Maka hal itu
dikatakan “di atas permadani bermotif lampu gantung.” Ini adalah penggambaran
dari prosesi ibadah tadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dengan mudah dapat dipahami, jika “bercumbu” hendak
dilarikan pada makna erotiknya, maka kasur atau ranjang akan dipilih penyair
sebagai latar. Tetapi di sini tidak. Penyair memilih “permadani” sebagai
penguat pemaknaan tadi. “Bercumbu” telah berbelok dari pengertian itu, ia
bahkan terbebas dari kekangan rumah bahasanya. Hal itu yang kemudian dikuatkan
penyair dengan, “serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu.” Komunikasi
yang terjalin, yang dikiaskan dengan bercumbu itu bahkan tidak dalam bentuk
kata secara konkret. Ia pengertian bahasa secara hakiki, bahasa yang tidak memiliki
tubuh kata-kata. Efek dari prosesi tadi disebut “terbang melayang di cerlang
cahayamu” karena memang bahasa yang muncul tidak dalam bentuk kata-kata.
Penyair telah sampai pada ekstase perenungannya sehingga ia terlarut dan
membahasakan perasaannya. Seperti yang dijelaskan, “menarikan jemari melati
putih.” Ini hanya bentuk lain dari peribadatan tadi, bisa jadi ia adalah dzikir
yang terwujud dalam gerak jemarinya, bisa juga ia adalah kiasan dari perasaan
penyair dalam prosesi itu yang hendak diwujudkan dalam bentuk bahasa. Dalam hal
ini “melati putih” sebagai simbol kesucian, atau keindahan yang suci untuk
menggambarkannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tetapi ketika membaca “o, putikkan lagi kelopak
bunga hatiku” membuat pemaknaan awal lebih kuat, yakni aku lirik di sana
melakukan prosesi ibadah lain dengan tarian jemarinya sehingga hal itu membuat
hatinya semakin berbunga, bergairah, bahagia. Dan ini tentu saja menguatkan
tafsiran pada baris dan bait sebelumnya. Bahwa penyair tidak masuk dalam
kesunyian itu tanpa upaya, ia bergerak dan melakukan prosesi peribadatan. Maka
cahaya yang disebutnya itu adalah gambaran dari kebahagiaan yang didapatkannya
ketika sampai pada perenungan terdalamnya atas kesejatian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">usai
sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dalam
gelap melindap cahayamu merayap. hangat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mengusap
debudebu di hati merindu: hanya cahaya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">semata
cahaya!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Puisi
ini sebenarnya memiliki kerangka waktu yang sangat lebar meski hanya berisi
tiga bait. Ia tetaplah puisi meski meminjam kerangka waktu prosa, karena di sini
bukan alur yang menjelaskan perbuatan tokoh seperti dalam prosa. Kerangka waktu
yang dimiliki puisi adalah gerak yang didorong oleh pemaknaan, yakni sebagai
penjelasan atas momen yang dihadapi subyek. Jika dua baris awal pada bait
pertama adalah pembukaan, baris selanjutnya dan bait ke dua adalah penjabaran
ide. Sedangkan pada bait ke tiga ini menjadi penutup sekaligus penguat
pemaknaan. Di sini dikatakan, “usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas
ranjang malam” untuk menjelaskan selesainya prosesi tadi, bukan efek yang
dirasakan penyair. Dan diksi “ranjang” di sini terikat maknanya dengan “malam”
karena ia kata majemuk. Berbeda tujuan dengan kehendak ide yang diwakili oleh
“permadani” tadi. Artinya, ranjang malam di sini tidak terkait dengan konotasi erotiknya,
seperti kata majemuk pisah ranjang misalnya. Ia hendak mewakili sifat dari
malam, yakni waktu malam. Atau ranjang di sini bukan sebagai ranjang secara
definitif, karena itu jelas berkontradiksi dengan ide pokok dalam puisi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hal itulah yang dikuatkan penyair dengan penjelasan,
“dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat / mengusap debudebu di hati
merindu: hanya cahaya / semata cahaya! //.” Karena diksi “bercumbu,” dan
“pergumulan” itu hanya kiasan dari prosesi yang dilakukan penyair untuk mendekat
pada sosok yang dikenalinya sebagai cahaya. Sehingga kerinduan muncul, dan hal
itu dikuatkan dengan repetisi, “hanya cahaya / semata cahaya!” Terang sudah,
strategi retoris yang dimunculkan DAM adalah dengan melepaskan kata dari rumah
bahasanya. Ia bukan dalam bentuk radikal sebagaimana Sutardji, kata masih dalam
konteksnya: memberikan pengertian, tapi ia berbelok pemaknaannya. Diksi yang
dipilihnya familiar dengan konotasi tertentu yang berkembang dalam pemahaman
khalayak. Namun itu yang dirombaknya. DAM seolah menyentil pembaca dengan kesan
familiar itu, namun menghendaki pemaknaan yang berbeda. Dan ini pula yang saya
istilahkan dengan keusilan yang positif itu. Penyair, meski dalam tema religi
tetap memunculkan ciri khasnya. Ia berdiri sendiri meski gaya sederhana yang
diusungnya dibawa juga oleh Sapardi. Perbedaan tampak jelas ketika sampai pada
strategi retoris yang dimiliki kedua penyair itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Puisi
“Ana Nur 00:50” ini menunjukkan perenungan yang disertai oleh upaya tertentu
dalam menghasilkan ekstase bagi penyairnya. Di era Chairil, banyak penyair yang
meniru gaya nglambrang-nya untuk mendapatkan ekstase tersebut dalam mencipta
puisi. Cara seperti itu dikritik oleh Rendra dalam kumpulan esai
“Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an” yang dieditori oleh Budayawan Dwi Klik
Santosa. Dalam buku itu Rendra menyebut, “Di antara para pengarang, apalagi di
antara para pengarang muda, ada istilah “mencari inspirasi”. Dalam kenyataannya
yang dimaksud dengan istilah ini ialah: mereka ngeluyur malam-malam, duduk
lama-lama di kedai kopi dan menghabiskan waktunya dengan obrolan-obrolan
kosong, ngelayap sepanjang daerah-daerah mesum, dengan pakaian kotor duduk di
teras toko di waktu sudah jauh malam, bergerombol dan ngobrol-ngobrol sambil
bersandar pada terali jembatan, serta bermacam-macam perbuatan yang aneh-aneh
lagi. Kebiasaaan semacam itu akan berkembang dengan subur sebagai warisan dari
angkatan ’45, terutama Chairil Anwar.” Upaya yang dilakukann oleh DAM adalah
melakukan prosesi tadi, ia bersunyi diri dan melakukan pergumulan batin untuk
sampai pada perenungan terdalamnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kita tahu, banyak cara dilakukan penyair dari
masa-ke masa untuk menghasilkan perenungan semacam ini. Pablo dengan puisi “Oh
Bumi, Tunggulah Kami” tadi juga merupakan perenungan terdalamnya tentang
kesejatian hidup, tapi tidak ada prosesi di sana. Dari bentuk teksnya, ia
adalah perenungan alami yang bisa dilakukan oleh setiap orang, perenungan yang
tanpa upaya. Tentunya gambaran itu berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh
pujangga kuno kita yang terlebih dahulu melakukan ritual yang bahkan lebih
sulit. Manusia tidak pernah berhenti mencari kebenaran, sekalipun dia tahu ada
hal-hal yang berada di luar kemampuan pemahamannya. Spekulasi, ragu-ragu,
menolak sekaligus membenarkan adalah sifat dasar manusia. Saya tidak hendak
membeda-bedakan penyair dengan paham tertentu, contoh yang saya bawa untuk
memperlihatkan perbedaan sudut pandang saja demi memperkaya pemaknaan puisi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kesaksian
Fenomena Faktual<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di bagian lain, penyair Dimas Arika Mihardja juga
mengusung tema-tema sosial dalam puisinya. Suara yang diperdengarkan memang
bukan hujatan dan makian kasar, tetapi esensi yang hendak diungkapkan dalam
puisinya menunjukkan ada kepekaan terhadap fenomena faktual di sekitarnya.
Seperti yang terbaca dalam puisi LUMPUR LAPINDO BRANTAS, TUBA DI DANAU TOBA,
MENCARI INDONESIA, KENDURI AIR MATA (hal: 139 dan 199), PILKADA DAN PIL KOPLO,
SERATUS HARI KEMATIAN PUISI.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sesuai dengan amanat dan tujuan sastra, seperti yang
ditegaskan Plato dalam Republik, yang mana tujuan sastra itu demi mengangkat
harkat kemanusiaan dengan nilai agungnya, DAM menyuarakan ketimpangan yang
hadir di sekitarnya. Ketika mencermati sajak-sajak DAM yang bertemakan
sosial-politik, terlihat DAM berada di tengah konflik yang berlangsung. “Di tengah”
ini adalah posisi sebenarnya bagi seorang penyair. Sebagai corong kemanusiaan,
penyair bukan bagian dari sistem politik. Ia adalah sistem lain yang bergerak
sendiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Politik muncul saat manusia membentuk koloni dan
menghendaki sistem untuk mengatur kebutuhan mereka. Politik bisa disamakan
dengan kepentingan untuk mengatur, menguasai, dan memerintah. Siapa pun yang
terjun di dalamnya tidak akan bisa terlepas dari kepentingan ini. Ironisnya,
pihak yang seharusnya terwakili dengan sistem tersebut justru seringkali
menjadi penonton saja. Mereka ini seringkali disebut sebagai rakyat. Selama
rakyat masih menjadi rakyat biasa, maka ia hanya berperan dalam membangun
sistem ini, tapi bukan penggerak sistem tersebut secara aktif. Karena tidak
mungkin semua orang memberikan perintah dan kebijakan, maka sistem itu
menghendaki kepemimpinan. Di sinilah dualisme itu berawal. Kepentingan bersama
ini menjadi kepentingan kelompok atau pribadi, seseorang dengan kapasitas yang
dimilikinya berusaha untuk merebut, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan.
Rakyat yang seharusnya menjadi tujuan dari terbentuknya sistem ini justru
seringkali menjadi korban kepentingan politik. Dan penyair adalah corong untuk
menyuarakan ketimpangan itu. Penyair, sebagaimana rakyat, juga tidak bergerak
di dalam sistem itu. Bahkan ia ada di belakang pembangun sistem (baca: rakyat)
tadi, penyair bergerak sejauh ia mampu membangkitkan pembangun sistem untuk
berpikir dan merenung kemudian melahirkan tindakan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Komunikasi yang diwujudkan berjalan secara tidak
langsung, pembaca harus merenung dan memahami maksud penyair, baru memberikan
pertimbangan. Renungan itu bersifat stimulus, gerak selanjutnya adalah respon
terhadapnya. Banyak penyair yang dengan tegas mengambil jalan terang, sehingga
lahirlah pamflet, balada, puisi orasi, puisi untuk menggerakkan massa. Tapi
banyak juga yang tetap menyuarakannya dengan komunikasi puitikal. Substansi
yang dikehendaki sama, namun gaya dan cara penyampaiannya berlainan. Puisi
terang tidak lantas menjadikannya pro rakyat atau pro kemanusiaan. Saat kita
menyebut rakyat, ia bisa menjadi sangat absurd. Tangan-tangan politik yang
bergerak tak kasat mata membuat posisi rakyat terbelah. Ketika ada pihak yang
berteriak-teriak pro atas kebijakan, ada pihak lain yang berteriak kontra
atasnya. Massa bukan jaminan untuk menentukan pihak mana yang benar dan pihak
mana yang salah. Di sinilah penyair itu harus bijak dan mengambil posisi yang
tepat, yakni di tengah tadi. Tolok ukurnya tentu berpulang pada pertimbangan
nurani. Benar dan salah diukur dari pertimbangan dialektis yang mewakili
kepentingan bersama tadi, bukan sekedar posisi pro dan kontra, bukan
berdasarkan jumlah massa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti yang saya katakan sebelumnya, sebagian puisi
yang termuat dalam buku ini didedikasikan untuk satu atau beberapa orang. Hal
itu tentu saja terkait dengan pemikiran penyair lain, atau fenomena yang
bersifat umum dan disadari oleh orang banyak. Seperti yang terbaca pada puisi
pendek di bagian agak akhir antologi berikut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">KENDURI
AIR MATA<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">:
agus r sarjono<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">duduk
merapat membincang negeri<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">pertiwi
diaduk perasaan perasaan sendiri<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">nyeri
enggan berbagi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Agustus,
2010 <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada halaman 139 memang ada puisi berjudul sama.
“Kenduri Air Mata,” tapi tanpa sub judul. Tema kedua puisi juga sama, yakni
sosial-politik. Puisi berjudul “Kenduri Air Mata” yang saya tampilkan di atas
itu tertera pada halam 199 dengan sub judul : agus r sarjono. Menarik saat
membaca puisi pendek itu karena banyak hal yang bersembunyi dalam diksi
sederhananya. “Kenduri” secara definitif adalah ritual yang dilakukan
sekelompok orang dengan diisi doa dan diikuti acara makan bersama. Atau bisa
disebut, kenduri adalah perjamuan makan. Pengertian umum ini berbelok ketika
kata “kenduri” menerangkan kata “air mata.” Seolah air mata itu adalah hewan
ternak yang digunakan dalam selamatan, ia adalah barang kenduri. Dari sini
terdapat gambaran bahwa ada pengepungan kedukaan oleh beberapa orang, kenduri
di sana sebagai kiasan besarnya duka tadi, sebuah tragedi terjadi sehingga
dilakukan kenduri. Makna kenduri berbelok dan disempitkan, sehingga terlepas
dari pemaknaan umumnya: ritual yang dilakukan untuk berbagai kepentingan. Ia
menyempit semata untuk mewakili kedukaan berjamaah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada sub judul tertera nama Agus R Sarjono, seorang
penyair, cerpenis, esais, editor yang cukup familiar dalam dunia sastra
Indonesia. Bahkan pada tahun 1994 antologi puisi berjudul “Kenduri Air Mata”
dibukukan olehnya. Dari sini dapat ditarik pemahaman, bahwa puisi ini terkait
dengan puisi Agus R Sarjono dalam antologinya itu. Atau dengan kata lain, DAM
memang sengaja menyenggol Agus R Sarjono dengan puisi ini, karena ada
kesepahaman dalam ide pokoknya. Dengan begitu, puisi “Kenduri Air Mata” ini
termasuk dalam istilah saya, puisi dengan fungsi komunikasi puitikal tingkat ke
dua. Secara langsung atau tidak, pembaca menyadari ada keterkaitan ide antara
penyair dengan nama yang dituju oleh puisinya. DAM dan nama yang dituju
puisinya terikat dalam satu wilayah perenungan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada dasarnya, penyair memiliki banyak tujuan ketika
menyebut atau menempatkan nama seseorang sebagai sub judul. Hal itu secara luas
memang tidak menunjukkan pola tertentu. Misalnya Chairil menempatkan nama Sri
Ajati dalam puisinya “Senja di Pelabuhan Kecil” yang jelas terbaca sebagai
wakil dari tema cinta. Tapi ketika DAM menyebut nama Agus R Sarjono, dengan
jelas terbaca tema sosial-politik yang sedang diangkatnya melalui tubuh puisi.
Keterkaitan wacana yang saya maksud di atas itu bukan mengenai pola tertentu,
tapi mengenai sudut pandang. Dalam puisi ini, keseragaman pandangan itu diawali
oleh kedekatakan dua orang penyair, hal itu dicatatkan DAM, “duduk merapat
membincang negeri.” Dari kalimat sederhana ini ada beberapa hal pokok yang
hendak ditekankan, diksi “duduk merapat” menunjukkan adanya kedekatan sekaligus
keseragaman pandangan mengenai ide pokok yang sedang dibicarakan dalam puisi.
Ia sekaligus menjadi latar pembicaraan, yakni dalam proses pembicaraan itu
dalam keadaan duduk berdekatan. “merapat” di sana memunculkan gambaran yang
berbeda dibanding diksi lain, misalnya berdekatan, berdampingan, berjajar.
Diksi merapat itu lebih menggambarkan upaya untuk menjadi dekat, erat, lengkap.
Seperti kalimat, “perahu itu merapat ke dermaga,” ada gerak yang terbaca di
sana yang tidak sama dengan diksi dekat atau bersanding. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“merapat” yang dikehendaki oleh puisi ini bukan
hanya dari segi fisik, tapi juga batin. Dua orang yang dikatakan “duduk
merapat” itu memiliki pandangan yang sama mengenai perkara yang berkaitan
dengan “negeri.” Kalimat ini memang dalam bentuk padat karena ia dalam struktur
puisi pendek. Padahal teks lanjutannya bisa jadi sangat panjang. Seandainya
kalimat-kalimat yang disembunyikan itu ditulis kurang lebih akan terbaca, “dua
sahabat karib di suatu pertemuan, duduk berdekatan. Mereka berdua memiliki keseragaman
pandangan mengenai fenomena yang terjadi di negeri mereka, yakni indonesia.
Permasalahan yang cenderung berputar-putar dan tidak pernah selesai dengan
tuntas sehingga memunculkan kedukaan bersama.” Kalimat-kalimat sebagai teks
lanjutan itu tentu tidak mungkin dimunculkan seluruhnya, karena struktur puisi
pendek yang menghendaki efesiensi maksimal. Dalam puisi pendek, kata menolak
kata lain yang tidak diperlukan. Prinsip ini berbeda dari puisi panjang, dimana
satu kata dengan kata lain saling tarik-menarik karena tuntutan pemaknaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Misalnya diksi “membincang” itu bahkan menolak
afiksasi seperti akhiran “–kan” atau sisipan “–per,” karena kata dalam puisi
ini menghendaki pemadatan secara maksimal. Sehingga ia menolak kata bahkan
imbuhan yang mungkin melengkapinya. Efesiensi secara maksimal ini sering
disalah-gunakan oleh penyair sehingga membuang hampir semua kode bahasa dalam
puisinya. Seperti puisi Sutardji yang berjudul “Luka” yang hanya berisi
anomatope sebagai tubuh puisi, yakni “ha ha”. Atau bahkan ada penyair
kontemporer yang mencoba membuat puisi tunggal, yang hanya mempunyai satu kata
sebagai wakil judul sekaligus tubuh puisi. Saya kira puisi seperti itu hanyalah
upaya kenyentrikan yang berlebihan. Dilihat dari logika pemaknaan, hal itu nonsense
sifatnya. Puisi seperti itu dengan sendirinya jatuh sebagai puisi gelap yang
minim kode bahasa. Puisi gagal dalam menjembatani terpahaminya ide pokok kepada
pembaca melalui pemaknaan yang logis. Sepadat apa pun, sebuah puisi tentu
terikat pada hal-hal pokok yang tidak logis jika ditabrak dengan licentia
poetica. Hal-hal pokok itu adalah apa pun yang terkait dengan kode bahasa, apa
pun yang menjadi petunjuk dalam pemaknaannya sesuai konvensi yang berlaku. Penyimpangan hanya mungkin dilakukan
sejauh itu untuk memberikan kesegaran dan kebaruan, bukan menghilangkan dengan
radikal seluruh kode bahasa yang ada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti yang ditunjukkan oleh diksi “membincang”
ini, dalam konteks bahasa formal hal itu tentu tidak dibenarkan karena
mengandung ambiguitas, sehingga menyalahi tujuan komunikasi formal. Tetapi
dalam bingkai puisi, justru yang ambigu, yang taksa, yang melahirkan banyak
pemaknaanlah yang dikejar. Padahal tanpa tambahan afiksasi tadi makna
kesalingan bercakap-cakap telah dimengerti. Bukan karena kode bahasa
“membincang” itu, tapi karena teks lanjutan yang tersimpan di dalamnya. Teks
lanjutan itu atau makna atas teks lanjutan itu muncul karena dorongan ide pokok
dalam puisi, yang jika tidak ada justru tidak logis dilihat dari pemaknaannya.
Artinya, teks lanjutan tadi memang tidak eksis dalam bentuk fisik, tapi ia
mengeram di dalamnya karena kebutuhan pemaknaan logis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Begitu juga dengan diksi “negeri,” seolah kata itu
adalah plat merah pada kendaraan bermotor. Dengan cepat dapat dipahami, ia
hendak mewakili permasalahan negara yang didiami oleh kedua penyair. Padahal
menurut kode bahasa, secara definitif “negeri” itu bersifat umum dan bisa
berarti negeri manapun. Ia dekat dengan bahasa melayu, nagari yang berarti
wilayah, tanah, distrik, pemerintah, dsb. Tetapi negeri adalah kata konkret,
dengan jelas ia menggambarkan keterkaitan dengan teks lain yang tidak
disebutkan dalam puisi. Sesuai dengan ide pokok puisi, diksi “negeri” itu tidak
menghendaki substansi kenegeriannya, tapi permasalahan yang ada dalam negeri
tersebut. Pemaknaan seperti itu muncul ketika kata “negeri” berkaitan dengan
judulnya, yaitu “Kenduri Air Mata.” Dengan adanya permasalahan itulah dikatakan
ada kenduri di sana, yakni beramai-ramai menyantap kedukaan yang diwakili oleh
air mata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam baris selanjutnya penyair berkata, “pertiwi
diaduk perasaan perasaan sendiri.” Baris ini menguatkan pemaknaan sebelumnya.
Diksi “pertiwi” juga merupakan kata plat merah. Dengan cepat dapat dipahami ia
hendak mewakili definisi sebuah negara kepulauan yang disebut indonesia,
meskipun secara harafiah ia diartikan sebagai tanah, bumi, tanah tumpah
darah. Atau jika mencermati lebih dalam
dari studi filologinya, “pertiwi” dari bahasa sanskerta pṛthivī, yang merupakan
dewi dalam agama Hindu, atau Ibu Bumi. Dalam sebutan lain, Dhra, Dharti,
Dhrthri, yang berarti “memegang semuanya.” Pengertian seperti ini tidak berlaku
sepenuhnya dalam puisi, sebagian sifat memang diambil, tapi makna kata
“pertiwi” telah berbelok sesuai kehendak kata konkret darinya. Kehadiran kata
pertiwi dalam baris ke dua menguatkan pemaknaan negeri tadi. Artinya kedua
orang yang bersembunyi dalam kalimat pengganti subyek “perasaan sendiri” itu
sedang diamuk kecamuk perasaan yang beraneka bentuk, untuk itulah dikatakan
“diaduk.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ketika pembacaan sampai pada baris ke tiga, “nyeri
enggan berbagi,” menghadirkan akhir perbincangan yang cukup mengejutkan.
Substansi perbincangan itu memang tidak disebutkan, tapi teks lanjutan yang
tersimpan jelas terbaca. Seperti halnya melongok ke luar jendela. Puisi ini
kecil seperti ukuran jendela itu, tapi darinya terlihat gambaran yang luas.
Dari jendela itu mungkin akan terlihat langit yang jauh, ladang luas yang
gersang, bocah kurus yang sedang bersedih duduk di bawah pohon berdaun ranggas.
Dari jendela yang kecil itu terbaca kesedihan yang luas dan dalam. Namun kenapa
dikatakan, “nyeri enggan berbagi?” Kembali seperti melihat jendela tadi, kita
tak dapat berteriak pada gembala kurus yang sedang bersedih di bawah pohon yang
meranggas daunnya. Ia terlalu jauh. Kita tak bisa mengingatkannya ada badai
besar yang sedang mengejarnya. Kita merasakan nyeri atas itu, padahal tangan
kanan kita tengah memeluk anak dan tangan kiri kita sedang menggandeng istri.
Kita tak bisa mengabarkan badai itu, karena kita pun sedang diserangnya.
Begitulah puisi ini hendak mengabarkan kepedihan yang tak terkata. Penyair
bahkan enggan membagi nyeri yang dirasakannya. Ia menelan sendiri pahit
kenyataan itu, kengerian itu, kenyerian itu, karena berteriak pun percuma.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi “Kenduri Air Mata” ini, sesuai istilah saya
adalah bentuk komunikasi puitikal tingkat ke dua. Pertama kali ia melesat
menuju nama yang menjadi tujuan puisi, yaitu Agus R Sarjono yang juga seorang
penyair, cerpenis, esais, editor. Kemudian ia mengarah pada pembaca, yang menghubungkan
keterkaitan dua penyair dari segi ide pokoknya. Dalam struktur pendeknya, puisi
ini melakukan efesiensi maksimal sehingga membuang kata bahkan afiksasi yang
tidak diperlukan. Tetapi kata-kata yang ditolak dari segi fisik itu muncul
dalam bentuk teks lanjutan bersebab kaitan logis pemaknaan. Yang terbaca
darinya adalah gambaran kedukaan untuk mewakili fenomena sosial-politik yang
terjadi. Substansi permasalahan itu sengaja disimpan, yang tergambar darinya
adalah duka tak terkata. Ia ada dan tinggal dalam perenungan-perenungan
penyairnya, yang bahkan enggan untuk dibaginya. Meskipun sebenarnya hal itu
telah sampai dalam pemahaman tanpa diucapkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penutup<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Saya
kira kesimpulan secara garis besar yang bisa diambil dari antologi “Sajak Emas”
adalah mengenai kesaksian penyairnya dalam menjalani kehidupan. Puisi-puisi
yang dihadirkan dalam antologi tersebut adalah upaya rekam-jejak. Karena
satu-satunya yang dimiliki oleh manusia itu sebenarnya adalah masa lalu,
seperti yang saya katakan sebelumnya. Maka dari itu penyair menyimpan kesaksian
itu dalam puisinya yang merupakan tempat perenungan kembali. Ada beberapa hal
yang akan luput dalam pembacaan heuristik karena strategi retoris yang
diterapkan penyair dalam puisinya. Pembaca mungkin akan terkecoh oleh kesederhanaan
diksi sehingga muncul anggapan yang familiar, biasa, jauh dari kesan eksentrik.
Padahal jika masuk pada tahap pembacaan hermeneutik, dalam diksi-diksi
sederhana itu sebenarnya terkandung perangkap estetik. Setiap penyair memiliki
cara yang khas untuk menyihir pembaca, termasuk upaya defamiliarisasi teks.
Dalam kesederhanaan atau kefamiliaran diksi yang diusung oleh DAM ada beberapa
hal yang sebenarnya keluar dari bentuk familiar, seperti upaya DAM dalam
merombak pemaknaan. Penyair memang tidak hendak membebaskan kata sebagaimana
Sutardji, tetapi ia membelokkan pemaknaan kata. Diksi yang umumnya dipahami
sebagai konotasi tertentu dibengkokkan. Sehingga yang muncul adalah makna baru
yang bersumber dari sebagaian sifat definisi lama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Perlu
dicatat, dalam prakteknya hanya ada dua jenis puisi jika dilihat dari
penyampaiannya, yakni puisi meja dan puisi panggung. Puisi dengan diksi
sederhana, dengan rima akhir yang disertai repetisi akan lebih mudah diterima
audiens, tetapi kurang menghanyutkan dalam pembacaan hermeneutik. Maka dari itu
puisi humor, puisi mbeling, puisi balada dengan tubuh panjang lebih bisa
menghibur dibanding puisi yang memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam
pengucapan. Sebaliknya puisi dengan diksi-diksi tidak familiar, yang fokus utamanya
aspek semantik atau penampilan visual yang eksentrik cenderung lebih sulit
diterima pemahaman audiens. Puisi menjadi asing dan sulit dicerna dalam momen
cepat, apalagi di atas panggung puisi bukan dibaca oleh penikmat tapi didengar.
Maka puisi absurd, puisi prismatis, puisi gelap, puisi pendek, lebih cocok
untuk direnungkan dan diamati kata-per-kata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Melihat
fakta tersebut, seluruh aspek dalam puisi seperti rima akhir, repetisi, kata
kongkret yang klise dan berlebihan tidak bisa dikatakan melemahkan puisi saat
menimbang ruang penyampaiannya. Saya kira fakta tersebut yang juga mempengaruhi
puisi DAM. Di satu sisi puisinya bercirikan diksi sederhana, dengan pola
repetisi dan penggunaan rima akhir yang sama atau mirip. Begitu juga dengan
kata-kata kloningan berdasarkan kemiripan fonem. Di sisi lain DAM tetap
memperhatikan hisapan pemaknaan dalam ruang dan waktu penikmatan yang berbeda.
Maka dari itu penyair mengatakan hendak menggulirkan konsepsi estetis yang
disebutnya sebagai “saksi yang sexy.” Puisi menurut penyair bukan sekedar indah
dari bentuk fisik atau luarnya, tapi juga memperhatikan bentuk dalaman yakni
maknanya. Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun, konsep-konsep yang ditemukan
oleh DAM diramu sedemikian rupa demi memunculkan puisi yang mewakili dua ruang
pembacaan sekaligus: meja dan panggung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Lalu
apakah konsepsi estetis yang hendak digulirkannya dalam “Sajak Emas” adalah
sebuah wacana yang bersifat fenomenal, monumental, spektakuler, best seller?
Lebih awal DAM telah menggaris-bawahi dalam pengantarnya dengan sebuah fakta di
lapangan, sebuah bentuk kesadaran atas pengalamannya sesudah sekian lama
malang-melintang di dunia perpuisian Indonesia, yang dikatakannya, “Saya amat
tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat ‘proyek rugi’
secara finasial, tetapi ‘proyek besar’ bagi kemanusiaan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kajitow
El-kayeni<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Redaktur
BPSM<o:p></o:p></span></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-20951100178093908012014-02-02T16:57:00.001-08:002014-02-02T16:57:17.353-08:00ANALISIS ATAS ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><u>Esais
Suko Rahadi</u><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ANALISIS
STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">PADAMU JUA<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Habis kikis<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Segala cintaku hilang terbang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pulang kembali aku padamu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti dahulu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kaulah kandil kemerlap<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pelita jendela di malam gelap<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Melambai pulang perlahan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sabar, setia selalu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Satu kekasihku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku manusia<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Rindu rasa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">rindu rupa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di mana engkau<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Rupa tiada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">suara sayup<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hanya kata merangkai hati<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau cemburu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau ganas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mangsa aku dalam cakarmu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bertukar tangkap dengan lepas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Nanar aku, gila sasar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sayang berulang padamu jua<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau pelik menarik ingin<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Serupa dara di balik tirai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kasihmu sunyi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Menunggu seorang diri<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Lalu waktu-bukan giliranku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mati hari-bukan kawanku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">(NS, 1959:5)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sajak ini merupakan
monolog si aku dengan kekasihnya. PARAFRASEnya adalah sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Segala cinta si aku
(kepada kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang
sebagai halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya
yang lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata
"pulang" (bait 1 br 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari
pengembaraan mencari cinta yang lain. Padahal di rumah kekasih lamanya tetap
menunggunya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kekasih yang lama itu
sesungguhnya sangat menarik bagaikan lilin yang menyala gemerlapan, dapat
menerangi hati si aku, seperti halnya pelita di jendela memberi penerangan
penerangan di malam yang gelap, juga sebagai tanda bahwa di rumahnya ada
penerangan. Dengan kesabaran dan kesetiaan ia memanggil si aku. Si aku pun
pulang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">..........<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">.........<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Secara semiotik, secara
sistem ketandaan, hubungan antara aku dengan engkau dalam sajak ini digambarkan
sebagai hubungan antara kekasih, antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tandatanda hubungan
itu berupa katakata yang mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf
kecil), cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku,
rindu rasa, rindu rupa, dll. Sebab itu, secara struktural, ketika si aku
mempunyai kekasih baru, maka "si dara di balik tirai" itu cemburu dan
ganas (bait 5) dan sebagai seekor singa memangsa si aku dengan cakarnya untuk
permainan. Maksudnya, supaya si aku hanya menyintai dirinya saja. Dengan
demikian, cinta si aku kepada kekasih barunya "habis kikis" (bait 1)
dan si aku kembali kepadanya seperti semula. Tentu saja si aku marah dan
jengkel "nanar aku gila sasar." Walau demikian, si aku kembali juga
cintanya kepada kekasihnya yang serupa dara di balik tirai itu (bait 6) yang
masih menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">......<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">......<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">nyontek.com<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">***** </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><u>Kajitow
Elkayeni</u><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> </span><span style="font-family: Times New Roman, serif;"><span style="line-height: 18.399999618530273px;"><b>ANALISIS ATAS ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK AMIR HAMZAH</b></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times New Roman, serif;"><span style="line-height: 18.399999618530273px;"><b><br /></b></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Menarik sekali saat
membaca teks ke dua dari teks pertama puisi Amir Hamzah. Teks ke dua itu adalah
analisis esais suko rahadi yang menggunakan dasar premis pertama: pemaknaan
secara umum. Dengan peremis ini sebuah puisi dicarikan jalan paling terang
dalam pemaknaannya. Sehingga siapa pun bisa mengambil rujukan secara logis
kepadanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penafsiran atas sebuah
puisi tidaklah menghentikan munculnya penafsiran-penafsiran lain. bahkan dari
satu penafsiran bisa jadi mendukung penafsiran sesudahnya. Seperti yang telah
disebutkan oleh esais suko rahadi di atas, secara struktural dan semiotis puisi
Padamu Jua ini memberikan sebuah arah pemaknaan secara jelas. Teks puisi itu
telah melahirkan teks pemaknaan pertama dengan semantik struktural, yang
kemudian dari analisis itu melahirkan teks pemaknaan ke dua (analisis kedua
atas analisis pertama) yang sedang saya upayakan ini. teks pemaknaan pertama
berdasarkan pada kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda)
selazimnya, kode-kode bahasa itu mengayunkan dirinya pada sebuah pemahaman yang
umum dan mudah ditangkap dengan logis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti yang saya
katakan tadi, seluruh bangunan pemaknaan secara struktural dan semiotis di atas
itu bertumpu pada premis awal yaitu; pemaknaan secara umum; monolog aku lirik
terhadap seseorang yang dianggapnya kekasih. Kode-kode bahasa itu pun terayun
pada arah yang dituju sesuai premis awal ini. "Segala cinta si aku (kepada
kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang sebagai
halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya yang
lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata
"pulang" (bait 1 br 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari
pengembaraan mencari cinta yang lain. Padahal di rumah kekasih lamanya tetap
menunggunya." <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Begitu juga dengan
pemaknaan berikutnya, sistem tersebut menggiring pembacaan atas teks puisi amir
hamzah ini. "Secara semiotik, secara sistem ketandaan, hubungan antara aku
dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan antara kekasih,
antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tandatanda hubungan itu berupa katakata yang
mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf kecil), cintaku, padamu,
kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa,
dll"<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Analisis berdasarkan
premis awal ini akan saya kembangkan menjadi analisis kedua. Dengan kata lain,
analisis yang di dasarkan atas analisis pertama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Setelah memahami
analisis pertama, kita akan memindahkan premis awal tadi pada premis ke dua:
kekasih yang sedang dibicarakan pada puisi itu adalah perwakilan dari sesuatu
yang agung. Analisis awal tentu akan mencegahnya dengan beberapa alasan
penulisan kata ganti pesona orang ke dua tunggal diawali dengan huruf kecil. Sesuai
kaidah nama yang mewakili Tuhan harus dikapitalkan. Tetapi ketika kita
menggunakan licentia poetika di sini, dimana penyair telah menerabas aturan itu,
bisakah kekasih yang dikehendaki amir hamzah itu adalah perwakilan dari sosok
agung bernama Tuhan? Jika bisa, apa buktinya? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau pelik menarik ingin<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Serupa dara di balik tirai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dari metafora di atas
terdpat dua asumsi. Aku lirik sedang menyerupakan kau lirik dengan “dara” yang berarti seorang perempuan, ini asumsi
pertama. Nsmun ini tidak logis karena kekasih itu adalah seorang perempuan
(manusia) juga, maka penggambaran ini terlalu berlebihan bahkan boros. Bisa
jadi memang begitu karena amir hamzah terpeleset atau menghendaki pemaknaan
lain secara pribadi. Asumsi ke dua, metafor itu sebagai lambang dari sosok yang
agung tadi. Aku lirik sedang membayangkannya sebagai seorang “dara” yang
malu-malu di balik tirai. Mengintai dengan penuh cinta kasih serta memendam
kerinduan yang mendalam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Begitulah premis ke dua
ini bertumpu pada premis pertama, bukan untuk mencari pembenaran tetapi untuk
meluaskan pandangan terhadap puisi padamu jua amir hamzah ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Setelah sampai pada
pemahaman ini, analisis berlanjut dan keluar dari bingkai teks. Yakni dasar
ulasan ditumpukan pada diri penyairnya. Karena penyair adalah seorang muslim,
maka penafsiran ini disesuaikan terminologi keislaman. Bukan untuk memihak,
tetapi demi menyorot kehendak penyair yang seorang muslim itu terhadap puisinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Habis kikis<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Segala cintaku hilang terbang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pulang kembali aku padamu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti dahulu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku lirik di tengah
kesadaran puncaknya memahami bahwa cinta kepada selain Tuhan akan musnah. Perjalanan
hidup mengajarkan kepada aku lirik untuk kehilangan apa pun yang dicintainya di
dunia. Waktu mengikis kesejatian cinta dengan ajal. Waktu membuat setiap
manusia harus melepaskan kekasihnya betapapun dia mencintainya. Kesadaran akan
hal inilah yang membuat aku lirik meratapinya, sesudah “terkikis” dan “hilang
terbang” itu dia sadar hanya ada satu cinta sejati yaitu cinta pertamanya. Cinta
yang tidak mengenal waktu. Cinta yang kekal tak berkesudahan. “Seperti dahulu,”
katanya. Dulu sebelum ada jagad raya maksudnya, Dulu saat hanya ada ruh dan
dunia belum tercipta dalam alam musyahadah. Dulu saat Tuhan berseru,
"Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" “<i>Bala
syahidnaa,</i> (iya benar, kami telah angkat saksi: atas itu)” jawab para ruh
dengan takzim.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kaulah kandil kemerlap<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pelita jendela di malam gelap<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Melambai pulang perlahan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sabar, setia selalu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam pandangan aku
lirik, Tuhan diumpamakan pelita. Sebuah lampu yang terang sehingga dikatakannya
kemerlap. Kemudian aku lirik menyederhankan perumpamaan itu dengan pemahaman
manusia, kandil kemerlap itu seolah pelita jendela yang memberikan suluh di
malam gelap. Di sini terjadi perubahan perumpamaan. Awalnya aku lirik
mengumpakan Tuhan seperti “kandil kemerlap” dalam Quran disebut “<i>kamisykatin huwa mishbah</i>...” (seperti
misykah, di dalam misykah itu ada sebuah lampu) Ini mengindikasikan pemaknaan
tentang sebuah suluh yang bercahaya terang bernderang. Tetapi kemudian
perumpamaan ini diserupakan dengan logika umum. Sehingga terbangun dalam
imajinasi seolah pelita jendela di malam gelap. Pelita sebagaimana umumnya
pelita yang dikenali, kecil mungkin cahayanya, begoyang mungkin nyalanya karena
tiupan angin. Yang dikehendaki penyair di sini pengumpamaan logis, sekaligus
sebagai isyarat bahwa yang hendak ditunjuk itu manfaat pelita tadi, bukan
ukurannya. Seperti itulah Tuhan dalam pandangan penyair. Tuhan yang menerangi
dalam kegelapan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Satu kekasihku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku manusia<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Rindu rasa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">rindu rupa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Baris pertama dalam
bait itu memiliki dua penafsiran. Penafsiran pertama, Satu kekasihku (keksihku hanya
satu) Aku manusia... Penafsiran ke dua, Satu kekasihku (ada satu hal wahai
kekasihku) Aku manusia... Opsi pertama lemah, karena tidak sebangun dengan
baris selanjutnya. Artinya baris pertama menjadi terpotong dari pemahaman baris
ke dua. Maka pilihan yang tersisa adalah penafsiran ke dua “Satu (hal)
kekasihku, aku (ini) manusia (yang) rindu rasa, rindu rupa.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di mana engkau<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Rupa tiada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">suara sayup<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hanya kata merangkai hati<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bait ini menunjukkan
sifat yang dimiliki kekasih “aku lirik” itu. Kekasih yang tak pernah
dijumpainya muka bertemu muka. “Rupa tiada,” kata aku lirik. Maksudnya Dia ada
tapi tak pernah disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sedangkan “suara
sayup” dengan huruf kecil menunjukkan sambungan baris sebelumnya yang sengaja
dipotong untuk memberikan penekanan. Makna “suara sayup” ini bukan dari arti
semiotis tapi menurut pemahaman aku lirik saat berkomunikasi kepada kekasihnya
yang agung itu dengan hatinya. Maka baris selanjutnya disebutkan, “Hanya kata
merangkai hati” demi menguatkan pemahaman “suara sayup” tadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau cemburu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau ganas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mangsa aku dalam cakarmu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bertukar tangkap dengan lepas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kemudian aku lirik
menggambarkan besarnya kecintaan yang dimiliki Tuhan. Ini lebih dalam memahami
hakikat sinta yang pernah dilalui penyairnya. Cinta terhebat yang dipenuhi rasa
cemburu. Aku lirik sedang melakukan penyerahan yang sempurna kepada kekasihnya.
Dalam kecemburuan itu aku lirik menganggap Tuhan itu pencemburu dan ganas. Ungkapan
“Mangsa aku dalam cakarmu” merupakan simbol dari penyerahan yang sempurna itu.
Apa pun hasilnya, cinta yang besarlah yang mendasarinya. Mangsa aku, katanya. Tidak
ada lagi rasa takut di sana padahal sudah digambarkan sebelumnya begitu
menyeramkan, “Mangsa aku dalam cakarmu.” Sedangkan “Bertukar tangkap dengan lepas”
adalah sebuah kiasan dari upaya aku lirik untuk mendapatkan cinta itu. Apa yang
diharapkannya bertukar menjadi sebuah pelepasan. Tuhan yang dikejarnya tetaplah
menjadi sebuah misteri tak terpecahkan. Ini mengakibatkan aku lirik semakin memburunya.
Hal itu semakin membuatnya menggila.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Nanar aku, gila sasar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sayang berulang padamu jua<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Engkau pelik menarik ingin<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Serupa dara di balik tirai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Cinta buta yang
sedemikian hebat sehingga mengakibatkan fatalitas. Kemanapun dia pergi rasa
sayang berulang pada kekasihnya. Setiap detik yang berlalu hanya dipnuhi rasa
rindu, engkau pelik menarik ingin, katanya. Rindu itu sedemikian hebat sehingga
kemisteriusan Tuhan terus menarik keinginannya untuk mendekat. Serupa keinginan
melihat “dara” di balik tirai. Dara yang pemalu dan misterius. Ini hanya
penggambaran atas rindu aku lirik. Bukan berarti menyerupakan secara langsung
antara Tuhan dengan gambaran seorang dara di balik tirai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kasihmu sunyi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Menunggu seorang diri<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Lalu waktu-bukan giliranku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mata hari-bukan kawanku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di tengah kegilaannya
itu aku lirik akhirnya memahami bahwa rasa kasih yang dikehendaki Tuhan itu
kasih yang sunyi. Sendiri dalam kerahasiaan. Tanpa ingin tercampuri pengakuan
apalagi percampuran cinta pada yang lain. Sunyi yang dipahaminya atas kasih
Tuhan itu juga menyebabkan aku lirik terdampar dalam kesunyiannya. Saat yang
dinantinya untuk dapat bertemu dengan kekasihnya tidak juga datang, kematian
itu tidak juga hadir menjemputnya. Padahal dengan getir dia berkata lirih,
“Lalu waktu-bukan giliranku.” Lalu di sini bermakna lewat –waktu yang terlewat,
aku lirik dalam kegelisahannya terus berupaya mencari dan menunggu sehingga dia
soliter dengan dirinya saja, seperti kata Sartre. Dia merasakan kesunyian yang
sangat, sendiri saja di dunia ini. Di baris terakhir dia berkata lirih, “Mata
hari-bukan kawanku.” Aku lirik menjadi merasa soliter sehingga apa pun tidak
bisa menemaninya mengusir kerinduan. Ungkapan bahwa “Matahari-bukan kawanku”
berarti apa pun sudah tidak menarik baginya selain ingin bertemu kekasihnya
itu. Dia merasa sunyi karena kasih Tuhan yang diyakininya juga sebentuk
kesunyian. “Kasihmu sunyi,” katanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi ini sebuah
keradikalan berpikir, sebuah sudut pandang berani dalam menyikapi hubungan
vertikal antara hamba dengan Tuhan. Seorang Amir Hamzah menganggap cinta Tuhan
itu cinta yang dipenuhi kecemburuan, cinta yang tidak boleh dicampuri cinta
lain. Sehinga ia menganggapnya sebagai sesuatu yang buas, yang mencabik-cabik
dengan cakarnya. Meskipun begitu, cinta yang agung itu lebih indah baginya dari
apa pun. Sehinga muncul penyerahan, “Mangsa aku dalam cakarmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sejauh apa pun puisi
ini bergerak, sudut pandang yang terciota tadi hanyalah anggapan penyair kepada
Tuhan. Bukan memaknai tuhan secara hakiki. Ini hubungan personal yang tak
terjangkau oleh hukum mana pun. Sama halnya ketika Nietsze berteriak, “Tuhan
telah mati,” itu hanya dalam pandangan penyair. Kemuakan Nietsze atas kehidupan
yang dipenuhi kepalsuan membuatnya berteriak demikian. Ia seolah hendak
menggugat Tuhan, padahal bukan Tuhan yang diserangnya. Tapi tuhan-tuhan kecil
yang berjalan di muka bumi, organisasi-organisasi keagamaan yang membawa nama
Tuhan untuk menghisap darah pengikutnya, seolah vampir yang “menghantu-hantu”
sampai ke gubuk kecil tempat nenek uzur tinggal. Inilah yang banyak membuat
pikiran radikal muncul yang kemudian membuat mereka enggan mengakui keberadaan
Tuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apa yang sedang
diratapi oleh Amir Hamzah ini bisa juga dimisalkan Chairil saat berhadapan
dengan perasaan aneh yang tak dimengertinya. Sebuah ungkapan dari pemahamannya
atas eksistensi Tuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di Masjid<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kuseru saja Dia<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">sehingga datang juga<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kamipun bermuka-muka<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Segala daya memadamkannya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ini ruang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">gelanggang kami berperang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Binasa membinasa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">satu menista lain gila<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seperti Amir Hamzah,
Cahiril pun memiliki sudut pandang yang radikal. Tuhan itu seperti teman
sepermainan, atau seperti seorang musuh. “Ini ruang / gelanggang kami
berperang,” katanya. Sebuah kebenggalan yang didasari gejolak tak menentu dalam
hatinya, seperti yang disebutnya, “Kamipun bermuka-muka / seterusnya ia
bernyala-nyala dalam dada.” Ini sebenarnya bukan sebuah pembangkangan, hanya
sebuah ungkapan untuk menunjukkan bagaimana sudut pandanganya terhadap Tuhan.
Begitu dekat, karib, dan seperti teman sepermainan yang sedang bergurau. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Begitulah penyair itu
memiliki ruang sunyi mereka. Sebuah daerah personal yang tak tersentuh hukum
manapun. Tuhan tetaplah sebagaimana Dia. Tapi penyair mengambil sudut pandang
berbeda dari keumuman untuk menunjukkan: defini apa pun tentang Tuhan tidak
bisa mengungkap hakikat dari Tuhan yang sebenarnya. Dia tetap misterius dan
sunyi. Seperti kata Amir Hamzah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di mana engkau<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Rupa tiada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">suara sayup<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hanya kata merangkai hati<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">*) tulisan ini dikerjakan dalam tempo cepat, harap
maklum atas segala kekurangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kajitow<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Esais adalah temannya mas suko rahadi yang suka
udud.<o:p></o:p></span></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-80894236086743978182014-02-02T16:53:00.003-08:002014-02-02T16:53:33.543-08:00POTRET DUNIA IDEAL DALAM TUBUH SOSIAL ABIMANYU ANAK REMBULAN<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Judul :
Abimanyu Anak Rembulan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Penulis :
Dwi Klik Santosa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Penerbit : Jagad Pustaka Publishing, Tangerang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Format : Novel Grafis<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Tebal Halaman : 210, Full Colour<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Apa
yang bisa dipetik oleh seseorang saat membaca kisah pewayangan? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Sebagaimana yang telah dipahami, wayang
mengandung nilai-nilai filosofis yang cenderung berat untuk dibawa dalam
kehidupan sehari-hari dalam wilayah kajian yang santai. Bahkan bisa jadi intrik
politik yang mewarnai kisah pewayangan menampakkan sudut hidup pada gambaran
sedihnya, ruah darah-airmatanya, getir epos purba kemanusiaan yang melulu mempertontonkan
perebutan kekuasaan. Yang kesemuanya itu membuatnya tidak mudah untuk sekedar
dibicarakan tanpa menyentuh ruang-ruang kontemplatif yang sarat makna di
dalamnya. Wayang dengan dunianya yang utuh dan rumit merupakan gambaran dari
kehidupan yang tak jauh-jauh dari dunia nyata kita dari zaman ke zaman. Baik
yang dicatat oleh kitab suci samawi sejak Habil mengepruk kepala saudaranya
sendiri, perjalanan hidup nabi dan orang-rang suci. Juga kisah Yunani mengenai
perebutan kekuasaan dewa-dewa mereka sampai pada perang Troya. Termasuk yang
tercatat oleh sejarah modern berkenaan dengan munculnya dua blok kuat di dunia
yang menghadapkan manusia pada dua wajah kepentingan antara kapitalis dan
sosialis, lahirnya diktator-diktator bengis dengan ragam latar belakang dan
agama (juga yang tak beragama). Manusia dikatakan hendak menuju pendewasaan
yang semata hanya menjelma fatamorgana, gambaran dari dunia ideal yang masih
menjadi mimpi. Parade kesedihan dan panen air mata terus terjadi di negara maju
ataupun miskin, di setiap petak kehidupan di manapun manusia bercokol
pergulatan manusia dengan kemanusiaannya sendiri selalu berkelanjutan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Wayang
dan daya pikatnya yang telah ditempa oleh perjalanan waktu membuatnya memiliki
dimensi berlapis yang juga tak mudah dinilai dari satu sisi saja. Sebagian
orang mulai keluar dari pakem nilai luhur yang dikandung cerita pewayangan dan
memandangnya sebagai drama abadi perseteruan antara dua kubu besar atau acap
disebut pandangan kontramitos. Dalam pandangan mereka tidak ada yang perlu diistimewakan
dalam epos tua tersebut karena intrik politiklah yang bermain dalam keruhnya
fragmen-fragmen mengharubiru di dalamnya. Pahlawan-pahlawan yang muncul
berbarengan dengan pihak antagonis merupakan simbol abadi yang terus berganti
wajah dari masa ke masa. Seperti kelindan siang dan malam, tanpa Kurawa pihak Pandawa
hanya sekumpulan ksatria tanpa tujuan. Heroisme mati dengan sendirinya tanpa
perimbangan munculnya tirani yang menyebabkan para pahlawan tadi muncul karena
keadaan. Dengan kata lain kejadian-kejadian yang dikatakan “agung” itu hanya
potongan kisah manusia dengan kemanusiaannya yang tak harus dikultuskan
sedemikian rupa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Tapi sebagian yang lain masih memegang teguh
amanat luhur itu dalam konteks aslinya, yakni: nilai-nilai filosofis yang
dituangkan kembali sesuai pakem yang ada. Wayang adalah sebuah perbandingan
laku hidup manusia bukan hanya sebuah mitos yang berisi kisah-kisah heroik
perlawanan protagonis dengan antagonis. Di dalam tokoh-tokoh wayang itu
terkandung hubungan sebab-akibat di mana tidak putus perkara jika hanya
menunjuk kisah klasik: sudah sewajarnya lakon itu menjadi pemenang dan pihak
lain bernama musuh dikalahkan.
Sosok-sosok ksatria tidak kebetulan saja mendapatkan tempat sebagai pihak yang
baik tetapi telah melalui sekian keterluntaan, penganiayaan, ketidak-adilan
dalam hidupnya. Mereka tidak saja dibabtis oleh keadaan untuk muncul dengan
tiba-tiba guna memerangi kejahatan, namun keterkaitan setiap fragmen tadi
membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di sana sesuai kehendak logis. Para ksatria
itu memiliki sifat dan sudut pandang yang memihak pada kebenaran umum,
sebaliknya pihak musuh dengan kepentingan sepihak mengatas-namakan kebenaran
juga tapi kebenaran subyektif sifatnya dan itu juga telah membentuk pihak musuh
sesuai karakternya. Nilai-nilai filosofis inilah yang membuat kisah pewayangan
menjadi buah manis yang bisa dipetik setiap pembaca. Dalam kehidupan
sehari-hari, laku kehidupan yang tercermin dalam dunia wayang itu adalah
gambaran dunia ideal yang diimpikan manusia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Sebenarnya
bisa saja dikatakan keterpihakan sudut pandang dalam kisah pewayangan seolah
menjauh dari objektivitasnya terhadap suatu permasalahan. Di mana hakikatnya
manusia itu sebenarnya memiliki hak dan kepentingan yang sama meski menempuhnya
dengan jalur yang berbeda. Apa yang dikatakan baik pada tokoh-tokoh kesatria
itu tentu memiliki sisi buruk, dan sebaliknya apa yang buruk terhadap
tokoh-tokoh jahat tersebut juga memiliki sisi baik. Di dunia nyata
kepentingan-kepentingan itulah yang sebenarnya bermain bukan pada kubu benar
dan salah yang kabur sifatnya. Seperti bercermin dalam konteks politik kubu
Kapitalis-Sosialis, atau yang lebih dekat dengan kita yaitu Orde Lama dengan
Soekarno-nya dan Orde Baru dengan Soeharto-nya. Tidak bisa dikatakan satu sisi
benar atau salah karena pada prinsipnya yang bermain adalah kepentingan itu sendiri.
Tetapi jika dikembalikan pada dunia nyata juga, ketika dunia ideal yang
dituntut manusia tadi menghendaki sebuah paradigma bahwa penyimpangan dalam
laku hidup dengan mengatasnamakan kebenaran sepihak yang subyektif sifatnya
adalah musuh manusia seluruhnya. Dan pihak yang berlaku demikian dikategorikan
sebagai musuh kemanusiaan maka keterpihakan semacam itu menjadi wajar dan
perlu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Sisi
lain juga telah diambil oleh penulis buku ini, Dwi Klik Santosa, dalam
menuturkan kembali kisah pewayangan itu dengan cara yang lebih ringan. “Novel
Grafis Abimanyu Anak Rembulan” ini sengaja mengambil sebagian kisah dari epos
besar Mahabharata. Bisa dikatakan dalam novel ini ada semacam perpaduan dari
nilai luhur kemanusiaan yang dikandung wayang dan pandangan tentang dramatisasi
perseteruan dua kubu besar tadi. Ringan, jika mencermati olah kata yang
digunakannya. Ringan, dari cara penulis mendekatkan pembaca pada satu tokoh
muda bernama Abimanyu. Ringan, ketika pembaca memahami tentang “dongeng” yang
sedang divisualisasikan melalui gambar-gambar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Dramatisasi perseteruan itu terlihat, begitu
pembaca sadar pada ajang pembagian kekuasaan kerajaan Astina melalui meja judi
yang berakhir dengan pertumpahan darah. Namun nilai luhur itu pun tampil di
benak pembaca ketika “melihat” ruang haru pertemuan sebuah keluarga.
Diceritakan dalam Bab Sumitra dimana dia harus bertemu Arjuna (ayahnya) di
medan pertempuran manakala saudaranya yang bernama Abimanyu hendak menggorok
lehernya. Begitu juga nilai-nilai agung yang dimiliki oleh manusia-manusia
utama seperti Bima, Begawan Abiyaksa, Kresna dan lain sebagainya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Suasana
perang antara kebajikan dan kejahatan menjadi tidak penting lagi saat penulis
memotret suasana haru pertemuan keluarga Arjuna. Betapa keadaan hampir saja
membuat ikatan keluarga diakhiri banjir darah, dan di tempat yang tak
seharusnya (peperangan) itulah mereka saling menemukan kepingan kehangatan
keluarga yang nyaris berakhir tragis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> “Akulah
Arjuna, ayahmu…”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Sumitra
menatap Arjuna dengan mata berkaca. Betapa tak bisa ia sembunyikan lagi
perasaannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> “Ayah…”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Tangis
sumitra meledak lagi. Dengan sesenggukan ia lekas berlutut, ingin mencium kaki
Arjuna.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> “Bangunlah,
anakku. Seorang ksatria harus senantiasa kuat berdiri, walau bagaimana pun
keadaannya,” kata Arjuna (Abimanyu Anak Rembulan, hal: 203. Jagad pustaka,
2010.)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Meskipun suasana haru itu juga dengan cepat berubah
menjadi getir, saat ingat sebelumnya pada Bab Jaka Pengalasan yang menyebutkan
liku perjalanan hidup Abimanyu kecil yang terlunta. Berkat tipu daya seorang raksasi
(dan juga sedikit campur tangan kesalah-pahaman) Abimanyu kecil bersama ibunya
memilih menyingkir ke hutan. Getir itu pun terasa lebih menyayat manakala
ditarik dari sudut pandang Semboto (saudara tiri Abimanyu) dalam posisinya yang
sebenarnya sejajar dengan Abimanyu sebagai anak Arjuna. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Di titik ini kita mungkin akan setuju dengan pandangan
kaum <i>poststruktualis</i> yang memandang
teks tidaklah menghadirkan tapi membangun kenyataan. Kode-kode bahasa yang <i>sign oriented</i> (terarah ke tanda-tanda)
itu menghendaki hukum kausal di mana sebuah epik mengharuskan dua posisi jelas
yang saling berkontradiksi. Dunia ideal tadi menempatkan sosok Semboto berada
pada pihak yang menuntut haknya dengan jalur lain dan ini menyebabkannya
hubungan sebab-akibat yang menjadikannya sebagai pihak lawan. Semboto dengan
hak yang diyakininya sebagai anak Arjuna memiliki wewenang untuk
memperjuangkannya, seperti Habil yang mengepruk kepala saudaranya, semisal
Stallin yang menggadang-gadang rakyat dalam pemerintahan komunisnya. Tapi dunia
ideal tadi membentuk paradigmanya sendiri, untuk itulah manusia membuat hukum
dan peraturan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US">Dalam cerita wayang yang lebih lengkap banyak
memuat kisah-kisah yang sebenarnya tidak memiliki keterpihakan tokoh pada kubu
tertentu secara langsung. Seperti posisi Begawan Durna yang menjadi guru kedua
pihak antara Pandawa dan Kurawa, jika pun Durna terlihat memihak Kurawa itu
dikarenakan penempatan logis saja berdasarkan keberadaan Aswatama (anak Durna)
di kubu Kurawa. Tokoh-tokoh kunci berada di pihak Pandawa seperti Semar,
Kresna, Begawan abiyasa, dan lain sebagainya, posisi Durna yang dekat dengan Kurawa
adalah sebagai wujud keseimbangan alam pewayangan itu sendiri. Ada juga kisah
ratu Banowati yang terpenjara dalam tubuhnya sendiri tanpa bisa mengingkari
gelora cintanya pada Arjuna padahal dia adalah seorang ratu kerajaan Astina. Kisah-kisah
semacam ini menghadirkan ambivalensi</span>,<span lang="EN-US"> yang berujung pada mempertanyakan hakikat cinta dan kehidupan yang sering
dikredokan banyak orang itu. Di dalam novel ini, Dwi Klik Santosa memilih
Abimanyu untuk mewakili potret dunia ideal yang ingin ditunjukkannya dengan
penuturan yang ringan untuk kembali menyegarkan dunia dongeng yang terdesak
oleh membanjirnya dongeng dari luar dan makin membuat warisan budaya ini terhimpit
di rumahnya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US"> Novel
grafis ini memang sengaja dipasarkan kepada teman-teman terdekat penulis yang
kebanyakan adalah para penulis independen dan pelaku budaya. Sebuah bahan
penting sebagai pembentuk karakter bangsa yang menempuh jalur indie dalam
pemasarannya. Kenyataan seperti ini seolah sebuah ketukan di pintu rumah bangsa
kita: di mana potret dunia ideal pewayangan itu semakin tersingkir dari
kehidupan berbangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Kajitow Elkayeni<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span lang="EN-US">Esais, lahir di Grobogan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-85267442921738896692014-02-02T16:51:00.003-08:002014-02-02T16:51:58.040-08:00Imajinasi Liar Pram<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Butuh sepuluh jam jam lebih untuk menuntaskan novel
Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Dialog-dialog cepat sering membuat pembacaan
harus diulang kembali. Dan begitulah, dalam proses yang lambat novel tersebut
akhirnya selesai juga. Sebelumnya, biasanya karya Pram atau roman yang lain
hanya saya baca sekilas dan melompat-lompat. Saya merasa telah menguasai pola
pikirnya dan bisa menyimpulkan plot cerita. Kebanyakan roman yang saya baca
sejak kecil cenderung linier dengan akhir yang terduga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tapi ternyata saya salah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pram memiliki keliaran yang tidak dapat saya pahami
dengan cara baca melompat-lompat. Di setiap bab selalu ada kejutan yang melawan
pemahaman saya. Dengan semena-mena Pram membuang mitos keris Empu Gandring,
menempatkannya hanya sebagai penjahat yang bersiasat untuk merebut Tumapel. Ia
begitu menguasai istilah-istilah Hinduisme, bahkan melesakkan pula di dalamnya
istilah kejawen yang sebelumnya tidak saya ketahui. Pram dengan keluasan
pemahamannya membuat tragedi Tumapel itu hanya sepiring makanan di hadapannya.
Maka dengan leluasa membuat penggambaran aktor dengan begitu detail. Mencari
jalan paling radikal untuk meloloskan imajinasinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tumapel di tangan Pram berubah menjadi muram dan
berkecamuk. Segalanya begitu penuh teka-teki dan siasat. Semua tokoh cerita
memiliki peranan membangun dan mengaitkan, bahkan Oti si budak perempuan
dilibatkan untuk merampungkan cerita. Sementara Kebo Ijo, Yang Suci, Empu
Gandring, sempurna dijadikan kambing hitam atas perbudakan dan kematian Akuwu
Tunggul Ametung. Penjahat membunuh penjahat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Menilik gaya bahasa, tentulah roman yang
diselesaikan tahun 1976 itu memiliki jarak dengan pemahaman saya. Tapi sejak
awal saya memang telah mengabaikan bahasa yang tidak lazim dan janggal. Bab
demi bab terus terlewati dengan kecemasan. Bagaimana Sang Dewi
Kebijaksanaan--Ken Dedes--di akhir cerita tidak benar-benar menikmati
kemenangannya. Sang Garuda yang dielu-elukan sebagai titisan Brahma, Ken Arok,
adalah satu-satunya pahlawan. Ia bersama Ken Umang (yang digambarkan sebagai
pasukan wanita bercawat) adalah aktor sesungguhnya yang menikmati kemenangan
tersebut. Sedang Ken Dedes adalah bidak yang hanya digunakan sebagai lambang,
dan tentu saja anak tangga yang menaikkan derajat, untuk mengukuhkan kasta
sudra yang mengalir dalam darah Ken Arok sebagai Akuwu di Tumapel.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Arok yang tak memiliki asal-usul jelas itu memiliki
kecakapan dan kecerdasan luar biasa. Usia dua puluh tahun telah menjadi Wasi,
menguasai bahasa sansekerta lebih baik dari gurunya, Lohgawe. Hal itulah yang
membuat Dedes terpikat. Arok, betapa dia adalah titisan Brahma.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pram, menurut hemat saya memasukkan perselisihan
kasta juga sekte keagamaan. Ia menarik rentang yang jauh sejak Airlangga
berkuasa. Ia sebagai narator awalnya menggambarkan kesalahan Airlangga yang
telah menganaktirikan penganut Syiwa dan mengagungkan penganut Wisynu. Tapi Di
akhir cerita, melalui mulut Ken Arok, Pram kembali mengangkatnya. Betapapun,
Airlanggalah yang menghapuskan perbudakan. Langkah sama yang ditempuh oleh Ken
Arok. Ia mendapatkan simpati yang demikian besar dari rakyat dan pejuangnya,
sehingga Prameswari yang dijabat oleh Ken Dedes hanya sampai pada puncak
kejatuhan Tumapel. Selepas itu Ken Aroklah yang memegang kendali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Proses penaklukan yang begitu cepat, bahkan dalam
tempo dua tahun (dalam edisi sejarah) Ken Arok mampu menumbangkan Kediri. Dalam
bingkai penceritaan Pram, dalang yang memberi kekuatan pada Ken Arok adalah para
brahmana. Di samping rakyat dan bekas budak. Maka gelombang yang demikian besar
menyapu Tumapel dalam sehari.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Perselisihan itu didamaikan dengan naiknya Ken Arok
sebagai Akuwu. Semua sekte dan kasta kembali rukun. Arok penganut Syiwa, guru
pertamanya, Tantripala penganut Budha. Sedangkan Ken Umang, istrinya, juga dua
pasang orang tua angkatnya Penganut Wisynu. Dalam diri Ken Arok semua itu
disatukan. Menjadikannya begitu kuat dan tak terlawan. Para Brahmana dengan
sendirinya kembali memiliki peranan penting, setelah sekian lama disingkirkan
dan dibatasi oleh Tunggul Ametung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sejarah tentu mengekang seorang Pram untuk menjebol
seluruh pakem yang ada. Ia membuang yang menurutnya tidak perlu dan bersifat
mitos. Yang disuguhkan dalam novel setebal empat ratus halaman lebih itu adalah
intrik perebutan kekuasaan. Setiap tokoh cerita memiliki siasat mereka sendiri,
untuk berkuasa dalam wilayah dan ruang lingkup mereka sendiri. Jadilah ia novel
yang membingungkan sekaligus mencengangkan. Manusia-manusia dengan gambaran
fisik dan watak yang jelas, membuat saya terhanyut selama sepuluh jam lamanya
ke pusaran masa lalu. Masa terjauh sebelum lahirnya kerajaan kokoh bernama
Majapahit. Di akhir pembacaan, saya tidak berani menyimpulkan, yang liar
sebenarnya imajinasi Pram atau imajinasi saya sebagai pembaca?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-3653028517115352582012-05-05T07:00:00.000-07:002012-05-05T07:00:28.514-07:00DUNIA OH DUNIA<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Puisi adalah sebuah dunia unik yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dengan begitu bahasa di sini hanya berfungsi sebagai alat penyampaian maksud, sehingga makna yang digunakan dalam puisi adalah makna metaforikal bukan makna literal. Dalam dunia batin seorang penyair ada ruang sunyi khusus yang membuatnya melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda: dunia dan segala yang ada padanya. Manakala kita sadar akan hal ini, maka patutlah kepenyairan itu akan mengerucut dan menyentuh langit yang dijunjung sekaligus yang ditujunya. Termasuk sastra itu sendiri, yang mana tujuannya adalah demi mengangkat kemanusiaan dengan nilai-nilai agung. Ini esensi dari sastra seperti yang didengungkan oleh Rendra itu. Tidak disangkal, telihat di sekitar kita banyak penyair dan sastrawan yang lupa pada esensi tadi dan sibuk mengejar estetika. Banyak manusia-manusia yang dianugrahi ruang khusus tadi menjadi buta arah sehingga disebut oleh Rendra mencipatakan karya yang "Kering." Manusia pada umumnya memang memiliki ruang sunyi ini, bisa dikatakan ia adalah bentuk dari nurani. Tapi khusus pada penyair, ia telah memaksimalkannya sehingga ia menyublim pada puisinya dengan mengambil gambaran dari dunia yang retak itu. Puisi tidak saja isyarat yang terlahir dari perenungan, namun telah melewati berbagai pertimbangan dan memiliki konvensi tersendiri. Maka dari itu, siapa pun dia, apa pun profesinya sebenarnya boleh ambil bagian, dan dengan begitu ia juga menjadi penyair dengan sendirinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Yang kemudian menjadi luput adalah kecenderungan untuk mengejar estetika tapi lupa pada esensinya. Keindahan karya sastra memang serupa apel dari sorga yang hendak diraih oleh berjuta sastrawan dan (meminjam istilah Penyair Imron Tohari) penikmat baca. Dengan itu kita hendak menggaris lurus politik selera dan konvensi dalam bersastra. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah estetika bukan satu-satunya apel ranum yang hendak kita lumat dengan pemahaman. Lebih jauh sebelumnya kita mesti mengukur esensi di dalamnya. Kenapa begitu? Penyair dan umumnya sastrawan adalah manusia-manusia khusus yang memiliki anugerah ruang sunyi tadi. Jika esensi ini sampai terlepas maka lesatan dari ruang sunyi tadi akan menjadi karya yang kering seperti maksud Rendra di atas itu. Kering dari ruh yang membuatnya subur dan menumbuhkan berjuta-juta inspirasi bagi orang lain. Kering dari semangat luhur mengangkat kemanusiaan yang sejak awal hendak dikejar oleh orang-orang terdahulu sebelum masehi itu. Seperti yang digariskan oleh Plato atau Aristoteles mengenai tujuan sastra ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Maka saat berhadapan dengan puisi pertanyaan pertama yang saya ajukan pada diri saya sendiri adalah mengenai esensi tersebut. Sebuah puisi yang paling cengeng sekalipun adalah sebuah lesatan pandangan batin yang dengannya kata-kata membangun dirinya menjadi sebentuk kode-kode bahasa yang <i>sign oriented</i> (terarah ke tanda-tanda). Apakah kata-kata itu kait-mengait dengan sendirinya sehingga tiba-tiba muncul dengan ajaib menjadi sesuatu yang agung? Saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu karena puisi bukan bintang jatuh yang semata-mata mengandalkan <i>bim salabim</i> atau <i>kun fa yakun</i>. Tanpa adanya latar belakang dan ruh yang menyeret huruf-huruf berjajar sedemikian rupa itu akan memunculkan sesuatu yang kering dan kosong. Bagaimana bisa mengatakan hal yang tak bernyawa seperti itu indah ketika kita sadar ia hanyalah sebentuk kode-kode bahasa yang terlahir karena proses kloning kata: yakni kata itu mengait dengan kata yang lain dan melupakan tujuan yang menyebabkannya ada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Tanpa ruh dalam tubuh bahasa, mustahil kata-kata itu memunculkan hisapan. Sebagaimana kita sulit menerima jika Tuhan tidak mengambil tempat padahal mustahil Tuhan memerlukan sesuatu selain dirinya. Jalan damainya adalah: Tuhan meliputi segala sesuatu sebagaimana ruh dalam tubuh bahasa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Pemandangan Yang Jauh<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">oleh Eimond Esya pada 08 Agustus 2011 jam 22:53<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Seperti pemandangan yang jauh,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Yang bukan dari dunia ini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Aku percaya darah dan waktu mengalir di tempat yang sama<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dan seperti pemandangan yang jauh,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Mata dan tanganku melihat dunia ini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Tidak sebagaimana kau melihatnya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Mata dan tanganku melihatnya dan telah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">menerima hadiah-hadiahnya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sebagai serangan-serangan yang kejam<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menerima dirimu, O, kukatakan padamu,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Alangkah sedihnya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Seperti tak ada yang benar-benar pernah kumiliki<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Seperti tak satu keindahan pun,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Tak satu sukacita pun<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kaki-kakiku lemah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Darahku merupakan penakut yang berputar kembali<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Merupakan lingkaran pertanyaan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kenapa kita dikirim ke sini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menempuh jalan yang salah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Lemparan ketiadaan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">dan dunia yang terbelah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sebagaimana umumnya penyair yang lain yang menunjukkan ekspresi jiwanya, puisi di atas itu mencerminkan gejolak sama yang sedang dirasakan penyairnya. Gejolak itu membuatnya gelisah dan menumpahkannya melalui medium bahasa. Ia melihat dunia sebagai pemandangan yang jauh, dunia yang tiba-tiba menjadi asing baginya. Dunia yang dirasakannya terbelah, penyair berdiri dalam ruangan sunyinya dan mengembalikan dunia yang terbelah itu ke dalam puisi. Puisi Penyair Eimond ini sebenarnya juga terrefleksi dalam karya-karya penyair yang lain saat meraba dirinya sendiri, saat ia mempertanyakan kemanusiaannya sendiri, saat ia terdampar dalam ruang sunyinya seorang diri, saat ia bernyanyi lirih dengan suara batin tergagap, saat ia menertawakan kesedihan, saat ia memandang dunia yang tiba-tiba menjadi asing. Sebagaimana menengok Pablo Neruda yang tidak yakin dengan keberadaan Tuhan tapi meratap dengan penuh duka:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Oh Bumi, Tunggulah Kami<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kembalikan aku, oh matahari<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Pada nasibku yang liar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Hujan hutan purba<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">yang jatuh dari langit<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kebasahan pada tepian sungai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Aroma pohonan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Angin yang berdegup bagai hati<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Mendentumi gelisah tanpa istirah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Puncak-puncak jati.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">menara-menara kesunyian yang mawar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">dari kekhusukan akar-akarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Aku ingin kembali jadi yang belum kualami<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">di antara segala yang alami<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">tak masalah; aku bisa hidup atau tak<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">batu sejati yang dibawakan laluan sungai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dalam pemahaman sufistik, mati bukanlah suatu hal yang mengerikan. Ia hanya pintu menuju. Dari laut pulang kembali ke muara. Menuju itu adalah proses untuk mengada dari ada. Entah dengan bentuk seperti apa tapi kematian menjadi bergerak, kematian tidak berhenti. Hidup di sini menjadi asing sebenarnya. Dalam arti ketidakkekalan dalam hidup ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Sartre memaknainya untuk <i>soliter</i> (sunyi) sehingga manusia itu terkutuk untuk bebas. Ini nilai eksistensi menurut Sartre yang lebih penting dari esensi, karena eksistensi lebih dulu ada. Pemikiran semacam ini seharusnya pula yang membuat manusia penyembah logika seperti Pablo mengikutinya. Tapi ternyata tidak. Meski keyakinan Pablo berbeda dengan pemahaman sufistik dan umumnya keyakinan agama di muka bumi, tapi kematian itu ditangkapnya dengan arah yang sama: bahwa kematian itu tidak berhenti, tapi proses menuju.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sebagai pusat tata surya, matahari dipercaya sebagai pemberi kehidupan. Tanpanya kehidupan tidak akan bertahan lama. Bumi akan membeku jika setahun saja matahari pensiun. Matahari yang oleh orang-orang mesir kuno itu disembah dengan sebutan Ra, menjadi pusat kesadaran Pablo Neruda sebagai pusat untuk menerima rintihannya sebagai manusia. Matahari dijadikan simbol sebagai wajah Tuhan bagi yang beragama. Pablo tidaklah sedang menyembah matahari itu, namun kesadaran akan mati yang tidak berhenti tapi merupakan proses menuju itu diberitakannya di sini. "Kembalikan aku oh, matahari," katanya. Kembali ke mana? Ke muasal sebelum mengada dalam bentuk manusia tentunya. Kepada alam itu sendiri menjadi partikel yang entah bagaimana prosesnya menjadi sel hidup. Itulah nasib yang liar. Sebuah perjalanan tak tentu arah, ketika segalanya baru saja berawal seperti hujan hutan purba. Sewaktu bumi masih begitu remaja. Sewaktu kata purba belum ditemukan karena ia dalam kepurbaan itu. Hujan hutan purba adalah simbol permulaan dari kehidupan. Di sini dikatakan purba, karena kata itu telah dikenal. Dan Pablo ingin naik kembali ke sana dengan membalikkannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Hujan di suatu hutan purba adalah awal dalam keyakinan Pablo. Pada awal itulah akhir akan kembali bergerak ke sana. Ini menarik sekali karena secara naluri tanpa kehadiran Tuhan pun manusia memiliki kesadaran akan mati itu. Bahwa ia adalah rangkaian proses. Dan ini sebenarnya sebentuk pertanyaan atas awal itu sendiri. Apakah proses berputar ini sudah ada dan akan terus seperti demikian? Ini pertanyaan sama yang dicari jawabannya oleh ilmuwan. Tapi ilmu pengetahuan buntu dan tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses menuju ini berawal. Namun ada indikasi segala sesuatu yang eksis pasti ada yang memulai. Dalam puisi ini jawaban itu memang tidak ditemukan. Tapi pertanyaan yang sama mengeram di sana. Di tengah kepasrahannya itu Pablo merindukan sesuatu yang tidak didapatnya. Kedamaian tentu saja sebuah utopia yang menarik. Namun sejak manusia bercokol di muka bumi ini, adakah kedamian itu benar-benar terwujud? Tanpa disadarinya, Pablo sedang merasakan sebuah hisapan yang jauh melampaui kekuatannya. Ia menjadi kerdil dan mengakui keberadaan sesuatu yang tak tersentuh nalar, dimana hidup yang tidak mampu diteorikan oleh jutaan ilmuwan itu membuatnya gelagapan mempertanyakannya. Hidup yang mustahil ada dengan sendirinya itu memunculkan serangkaian pertanyaan yang tak habis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sesuatu yang entah bagaimana bermula dan berakhir menjadikannya terlihat begitu rapuh. Dan saat itulah kita juga mesti bertanya bukankah kekuatan maha yang menghisap itu merupakan cerminan dari adanya Tuhan? Kekuatan itu pula yang membuat Derrek Walcot dengan rindu lautnya meraba dirinya sendiri:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Rindu Laut<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">dalam telinga rumah ini,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Memukau cermin-cermin<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Hingga pantulannya kekurangan intisari<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Yang terdengar bagai gemeretak tanah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> di bawah kincir angin,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">menjadi sebuah pemberhentian mati;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Ketiadaan yang menjadi tuli;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sebuah hembusan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menuruni pegunungan,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Membuat isyarat-isyarat aneh<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Mendorong pensil ini<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menembusi kehampaan yang tebal kini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">melipati cucian-cucian apak<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Tepat setelah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dalam puisi ini, Derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. Begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. Benda-benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. Ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. Padahal tidak ada apa-apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. Dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. Kita tidak sedang membicarakan Tuhan di sini. Tapi sunyi itu seolah Tuhan yang bergerak tanpa gerakan, yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. Sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. Ini inti sunyi itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. Atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok Tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. Yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyair Eimon Esya, Pablo neruda, begitu juga dengan penyair-penyair yang lain, yang membuat kita mempertanyakan hal yang sama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dari sanalah menurut saya esensi bersastra itu berangkat. Mungkin ia naik ke atas dan menggugat kekuatan maha yang kita kenal dengan Tuhan. Mungkin juga ia meluncur ke bawah dan mempertanyakan kemanusian yang sebenarnya hendak diangkat oleh sastra dengan nilai agungnya itu. Maka tak heran jika Rendra menolak bantuan sembilan milliar pertahun dari Amerika karena ia merasa dibeli(?). Ketika ingat hal itu, apa yang saya nyatakan di atas tadi masih perlu dipertanyakan lagi: akankan esensi yang berangkat dari perabaan penyair atau sastrawan tadi benar-benar meruncing yang menyentuh langit yang dijunjung sekaligus ditujunya? Sekali lagi dengan rendah hati Rendra menolak bantuan tersebut dan dialihkan pada orang lain. Tapi apakah orang-orang atau kelompok yang menerima uang ini akan dikatakan tidak beresensi lagi jika hal itu bermanfaat (meski mungkin hanya untuk golongan dan orang terdekat)?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Saya tidak tahu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sikap yang saya ambil adalah ikut bernyanyi sedih seperti Penyair Eimond termasuk juga yang lain, saya ikut menertawakan kesedihan yang terjadi di dunia sastra dengan nyanyian sedih itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">"Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Lemparan ketiadaan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">dan dunia yang terbelah"<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">*) Puisi-puisi diambil dari Facebook dan Horison atas terjemahan Agus R. sarjono dan Nikmah Sarjono<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dunia oh dunia, hiks dan haha<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kajitow</span></div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-29360596970057149902012-05-05T06:51:00.000-07:002012-05-10T07:40:20.205-07:00SISTEMASI PEMAKNAAN DALAM PUISI<br />
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: left; white-space: pre-wrap;">
<strong>Pendahuluan</strong><br />
<span style="background-color: white;">Sejak lama kritik sastra hendak mencari jalan yang paling mungkin mendekatkan pada penafsiran yang tepat, jelas dan efesien. Kegiatan kritik sastra yang tercatat pertama kali dilakukan oleh Xenophanes dan Heraclitus yang mengecam Homerus dan Hesiodes (± 500 SM). Hal itu dilakukan karena Homerus dan Hesiodes gemar menceritakan kisah bohong dan tidak senonoh terhadap Dewa-Dewi mereka. Akibatnya Homerus dan Hesiodes dicekal kemudian dilarang mengikuti Olimpiade di Athena. Ini kritik yang mengarah pada penciptanya secara langsung. Kemudian Plato (450 SM) muncul dengan Republic memberikan dasar-dasar orientasi kritik berdasarkan karya. Disusul kemudian oleh banyak pemikiran-pemikiran lain, sehingga akhirnya Post-strukturalisme (1960) memperaktekkan kritik yang mengarah pada pembaca. Dengan dekonstruksi Derrida, mereka membongkar teks kemudian membuat pemaknaan baru atasnya. Saya tidak ingin berpanjang-panjang dalam menyorot perbedaan pandangan strukturalisme dan post-strukturalisme. Yang jelas kedua aliran itu menyumbangkan pemikiran penting dalam hal kebahasaan. Begitu banyak jenis kritik sastra berdasarkan perbedaan sudut pandangnya, terlebih jika itu diambil dari berbagai pendapat kritikus sastra seperti M. H. Abrams, Rene Wellek, Jan van Luxemburg (dkk), Raman Selden, Edward W. Said. Juga termasuk pendapat Rachmat Djoko Pradopo yang membaginya hanya menjadi dua jenis: kritik sastrawan (umum) dan akademik.</span><br />
<span style="background-color: white;">Dua jenis kritik seperti yang telah dipisahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo itu tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kritik sastrawan cederung bersifat ekspresif, praktis, nyaman untuk dibaca, tetapi terkadang tidak memiliki dasar pijakan yang jelas jika merunut kode bahasa yang ada. Subyektifitas yang terkadang tidak berakar. Sedangkan kritik akademik terlalu panjang dan bertele-tele. Tanda-tanda terkecil diperhitungkan dengan teliti sehingga terkadang lupa pada substansi yang dibicarakan. Dan bentuk seperti ini tidak nyaman untuk dibaca. Tidak logis menurut saya jika memperhitungkan fonem dan jumlah huruf konsonan atau vokal dalam karya sastra hanya demi memunculkan penafsiran. Kemudian teks disulap menjadi sesuatu yang sakral dan terperhitungkan huruf-perhurufnya. Bukankah hasil akhir dari penafsrian adalah menyingkap makna? Teori, metodologi, aplikasi apa pun sah digunakan sejauh itu berkepentingan dengan pemaknaan. Tapi bukan berarti ia harus dengan langkah tidak logis, yang jika tanpa itu bisa dihasilkan pemaknaan yang sama.</span><br />
<span style="background-color: white;">Seperti yang telah dimaklumi, bahasa adalah sistem tanda. Premis ini telah lama dilontarkan oleh Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce dan dikembangkan oleh Roland Barthes dalam semiologinya dengan lebih menyorot pada makna konotasi. Kita tahu bahasa bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, yang bergerak dengan sendirinya, yang berdefinisi dengan sendirinya. Bahasa ada karena ia tuntutan dari komunikasi, ia alat untuk mencapai maksud penggunanya. Maka yang nyata di sini adalah kehendak penggunanya yang menjadi penggerak utama dari kata-kata. Ia memang tidak terwujud dalam bentuk konkret, tapi berkat dirinyalah bahasa ada. Setelah semiotika muncul, tidak ada yang sakral pada teks sastra. Semua yang ada di dalamnya adalah kode bahasa yang </span><em style="background-color: white;">sign oriented</em><span style="background-color: white;"> (terarah ke tanda-tanda), semua bisa ditafsirkan sesuai kode bahasa tersebut.</span><br />
<span style="background-color: white;">Di sini saya sedikit berseberangan dengan pemikiran Heidegger (filsuf yang menulis buku monumental Being and Time) soal bahasa, seperti yang dijelaskan oleh F.Budi Hardiman dalam bukunya mengenai pokok pikiran Heidegger, “Bahasa adalah rumah Ada (</span><em style="background-color: white;">das Haus des Seins</em><span style="background-color: white;">), dan manusia bermukim di dalam bahasa.” Pernyataan itu keliru ketika menimbang bahasa bersifat aksidensi. Eksistensi suatu entitas lebih dulu ada dari esensinya (seperti maksud Sartre), baru kemudian dilakukan pengenalan dari entitas itu. Di sinilah kemunculan bahasa dimulai. Ia bukan substansi mutlak atau sebagai entitas murni, karena peran bahasa untuk memberikan identitas, kemudian untuk menyampaikan maksud penggunanya. Manusia tidak hidup dalam bahasa, tapi bahasa yang hidup dalam diri manusia. Bahasa bukan rumah bagi yang ada, tapi yang ada adalah rumah bagi bahasa. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya yang ada. Sebagaimana kita menunjuk nama kuning yang tidak akan ada tanpa wujud warnanya (kuning).</span><br />
<strong style="background-color: white;">Jalan Simpang Pemaknaan</strong><br />
<span style="background-color: white;">Ketika bahasa digunakan dalam sistem komunikasi berbeda dari fungsi awalnya, katakanlah sastra, sistem yang dimasuki bahasa ini mengakibatkan jalan simpang pemaknaan. Penafsiran makna terjebak dalam labirin-labirin ambiguitas. Meskipun begitu, tidak ada yang sakral atau transenden di sini saat pembacaan terfokus pada makna, bukan pada sistem-sistem pembentuknya saja, termasuk struktur dasar seperti fonem atau jumlah huruf konsonan dan vokalnya.</span><br />
<span style="background-color: white;">Pada awalnya, bahasa bukan sesuatu yang rumit, ia hanya jalan untuk menyampaikan maksud. Tetapi pembagian komponen, pengkelasan bentuk-bentuk yang muncul darinya, membuat kajian bahasa begitu pelik dan seolah berputar-putar. Konvensi yang berusaha ditetapkan tidak kokoh dan terus mengalami perkembangan seiring pergerakan dari bahasa itu sendiri. Hal itu dipersulit dengan munculnya istilah-istilah yang berjejalan. Yang marak berkembangan dalam penafsiran terhadap bahasa dalam sistem khusus ini kemudian hanya intuisi. Kode bahasa yang ada dalam sistem tersebut menghasilkan pemaknaan yang ambigu. Tetapi seseorang harus memilih satu jalur pemaknaan di antara beberapa lainnya, dengan pertimbangan logis berdasarkan kode bahasa.</span><br />
<span style="background-color: white;">Menyoal puisi, yang perlu digaris-bawahi adalah prihal petanda yang ada dalam tanda-tanda linguistik. Pananda dalam bentuk fisiknya juga penting untuk memisahkan kandungan petandanya masing-masing. Hal itu sekaligus untuk mewujudkan korelasi pemaknaan. Tapi persoalan inti yang muncul dalam penafsiran adalah petanda tersebut, ia acap kali memunculkan perbedaan sudut pandang yang besar karena tidak dicermati sistem di dalamnya. Dalam kajian makna metaforikal, saya sudah membahas ruang lingkup petanda ini. Tapi di sini yang hendak saya sorot adalah jalur-jalur pemaknaannya, yakni pemaknaan puisi secara utuh. Banyak orang hanya sekedar memanjakan intuisi, menurut saya begini, menurut saya begitu, tapi tidak menyertakan bukti konkret atasnya. Ini adalah bentuk subyektifitas yang tidak berakar. Penghisapan makna yang hanya didasarkan pada poin tertentu tanpa menimbang kode-kode bahasa yang ada dalam puisi. Dan ini bukan pemaknaan menyeluruh. Di sinilah sistem tanda dilupakan. Yang ada hanya penilaian intuitif tanpa dasar pijakan jelas.</span><br />
<span style="background-color: white;">Ulasan puisi kemudian hanya sekedar menjadi media orasi subyektifitas, media penumpahan wawasan penafsirnya, media penjejalan diktum-diktum disiplin ilmu lain. Jalur-jalur petanda dalam sistem tanda tadi diabaikan. Pemaknan menjadi kabur dan menjauh dari substansinya, pokok yang muncul bersebab kode bahasa tidak ditafsirkan. Lalu logika dipersalahkan. Puisi kemudian diagungkan dan dikatakan bukan wilayah logika lagi. Sebagai mahluk berpikir, tindakan seperti ini jelas tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Bukankah puisi adalah sebuah sistem komunikasi juga? Bukankah bahasa yang digunakan puisi itu adalah sistem tanda juga? Keterlacuran dalam penafsiran puisi sering muncul karena pengaruh intertekstualitas yang berlebihan, penjejalan diktum filsafat yang kebablasan, penyeretan pandangan psikologi yang kejauhan, pengaruh ilusi </span><em style="background-color: white;">how to make it strange </em><span style="background-color: white;">yang over. Padahal makna yang bersumber dari kode bahasa tadi malah diabaikan, atau hanya sebagian saja yang diambil sebagai rujukan. Yang banyak berjejal di dalamnya adalah, menurut saya begini, menurut saya begitu. Subyektifitas yang tidak memiliki dasar pijakan.</span><br />
<span style="background-color: white;">Di zaman postmodernisme yang tengah merayakan perbedaan atau heterogenitas ini tentu hendak membebaskan segala bentuk penafsiran. Penafsiran pada dasarnya adalah olah subyektifitas, siapapun memahami ini. Karena tidak ada yang benar-benar obyektif apalagi mutlak dalam sastra. Tetapi subyektifitas yang berakar tentu berbeda dari bias pemaksaan intuisi. Setelah lahirnya semiotika, kajian struktural, stilistika, tidak ada yang sakral pada puisi, apalagi mewah dalam arti transenden dan tidak tersentuh pemaknaan logis. Semua kandungan dalam puisi adalah bentuk dari sistem tanda, meskipun mungkin dalam satu penanda terkandung beberapa petanda, tapi ia bukan barang hidup yang bergerak dengan sendirinya. Banyaknya petanda yang muncul itu harus dikaitkan dengan jalur pemaknaan yang terbangun dalam puisi. Makna satu tanda adalah pancaran dari satu titik dengan berbagai jalur yang dimilikinya. Di sini, jalur paling logis menggugurkan jalur lain yang tidak terbangun secara utuh.</span><br />
<span style="background-color: white;">Ketika dikembalikan pada kehendak awal, karena yang nyata dalam bahasa kehendak penggunanya, hanya ada dua kemungkinan keterlacuran pemaknaan: 1. Penyair tidak mengarah pada maksud yang spesifik, sehingga ambiguitas pemaknaan tidak memiliki jalur yang selesai. Misalnya ia hendak bermaksud begini, tapi tidak menyertakan kode bahasa yang cukup. 2. Penafsir terlalu memanjakan intuisinya dan mengabaikan kode bahasa. Dalam tubuh puisi terkadang ada gen bebas, ia meloncat sehingga tidak sejalur dengan arah pemaknaan yang terbangun. Hal ini dimungkinkan karena ada dua sebab lagi: a) petanda yang terkandung dalam penanda tidak berkorelasi dengan petanda pada tanda lain. b) penafsir tidak memahami jalur pemaknaan dalam puisi karena ada beberapa petanda dalam satu penanda sehingga membelokkan pembacaan. Jika sebuah puisi tidak memiliki cukup kode bahasa yang melengkapi pemaknaan, di sana ada kesalahan pembentukan. Puisi seperti itu sudah bukan dalam struktur bahasa yang diciptakan untuk berkomunikasi. Ia lempung meleleh yang tidak memiliki bentuk jelas sebagai keramik.</span><br />
<span style="background-color: white;">Pada dasarnya sistem pemaknaan dalam puisi memiliki bagian yang berkaitan. Ia adalah bangunan makna yang saling menguatkan. Ia adalah jalur utama meski di tengah jalan mungkin ada persimpangan. Penyimpangan ini muncul karena banyaknya referen yang ditunjukkan oleh simbol dalam puisi. Ketika puisi menghadirkan beberapa jalur penyimpangan seperti ini, maka jalur terkuat adalah jalur yang paling logis karena ia didukung oleh kode bahasa terbanyak. Misalnya di awal penafsiran ada beberapa jalur yang cenderung mengarah pada makna tertentu, tapi di tengah jalan ada kode bahasa yang membuatnya berbelok, sehingga jalur itu terputus dan pemaknaan tidak selesai. Jika memang tidak ada jalur pemaknaan lain (yang didukung oleh bangunan pemaknaan), maka puisi seperti itu telah gagal memberikan petunjuk penafsiran atas dirinya. Puisi gelap (hermetis) yang tidak jelas hendak mengarah ke mana. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya penafsiran tidak bisa dipaksakan. Karena hal itu hanya akan mengungkap sebagian makna, bukan keseluruhannya. Segala upaya intuitif hanya akan menuju pada aporia (yunani: tidak ada jalan keluar) karena puisi telah meloncat dari jalur pemaknaannya.</span><br />
<strong style="background-color: white;">Sistem Pemaknaan Logis</strong><br />
<span style="background-color: white;">Dalam apresiasi terbatas (kritik umum) yang hanya mengungkapkan poin-poin penting, hal itu mungkin masih bisa diterima. Penafsiran singkat seperti itu mempertimbangkan waktu dan keadaan. Meskipun dalam keterbatasan itu tetap ada sistem-sistem pemaknaan walau sederhana. Penafsiran atas puisi harus dibedakan dari komentar singkat, meskipun komentar atas puisi adalah sebagian dari apresiasi meski tidak terbangun sempurna. Puisi memiliki struktur, penafsiran atas puisi—yang paling terbatas sekalipun—harus tetap memperhatikan sistem-sistem pemaknaan. Jika ulasan itu ingin disebut sebagai penafsiran logis. Bagaimanapun, sebuah puisi memang cenderung melahirkan penafsiran yang berbeda. Itu sifat alami yang tidak bisa disatukan dalam pandangan universal. Kemunculan perbedaan tafsiran itu bisa disebabkan oleh banyak hal, tetapi yang menjadi pokok persoalan adalah, jika penafsiran yang ada tidak sesuai jalur pemaknaannya. Jalur yang dibentuk oleh sistem makna berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa.</span><br />
<span style="background-color: white;">Sistem pemaknaan yang saya maksudkan itu bukan sebagai sistem yang terstruktur </span><em style="background-color: white;">step by step</em><span style="background-color: white;">, bukan sistem jadi yang bersifat </span><em style="background-color: white;">ready for use</em><span style="background-color: white;">, tapi ia merupakan unsur-unsur yang berkaitan dalam pemaknaan puisi. Baik dari segi bentuk teks atau yang berkaitan dengan panafsirnya. Dalam prakteknya, unsur-unsur itu tersimpan di berbagai aplikasi kritik sastra yang digunakan. Secara garis besar bisa diwujudkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:</span><br />
<span style="background-color: white;">1. Proses Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik</span><br />
<span style="background-color: white;">Meminjam istilah Riffattere, pemaknaan terhadap karya sastra biasanya melewati dua tahap pembacaan, heuristik dan hermeneutik. Hasil pembacaan heuristik adalah penafsiran secara kasar berdasarkan makna harafiah dan strategi retoris yang muncul di permukaan. Penafsiran dalam bentuk ini adalah pemaknaan yang mendasar dan apa adanya. Tapi proses ini menjadi kerangka pembacaan yang lebih mendalam, yakni hermeneutik. Ketika puisi dibaca secara detail, jalur-jalur pemaknaan mulai terlihat berdasarkan kode bahasa. Dalam pembacaan hermeneutik inilah penafsiran yang sesungguhnya dilakukan. Meskipun bisa jadi dalam proses pembacaan ini akan muncul kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain. dengan sendirinya penciptaan teks ke dua (penafsiran) akan menempuh satu jalan keluar sebagai penyelesaian.</span><br />
<span style="background-color: white;">2. Analisa Struktur Metaforikal</span><br />
<span style="background-color: white;">Seperti yang pernah saya bicarakan sebelumnya (pada logika dalam puisi, 1 dan 2), metafor memiliki struktur pembentuk, juga keterkaitan tertentu. Struktur itu (dari segi fisik) adalah, pengias, subyek yang dikiaskan, kerja kias. Ketiga unsur itu harus memiliki keseimbangan bentuk. Misalnya pengiasnya atau subyek yang dikiaskan tidak sebangun, maka akan terjadi kepincangan logika. Seperti sosok maskulin dikiaskan dengan bunga yang identik dengan keindahan dan kelembutan, kecuali penggambaran itu sebagai kata majemuk yang mewakili keumuman, seperti bunga bangsa. Tetapi jika bunga dipaksakan sebagai kiasan dari sosok maskulin, maka antara pengias dan subyek yang dikiaskan tidak memiliki keseimbangan pengimajian. Dari segi intrinsiknya, metafor bertumpu pada, keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi, fungsi metafor tersebut: dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya, keselarasan dengan metafor lain.</span><br />
<span style="background-color: white;">Sebuah puisi yang gagal membentuk makna metaforikal karena unsur-unsur pembentuknya tidak seimbang cenderung membuat pemaknaan dipaksakan, karena hanya memperturutkan intuisi penafsir dibandingkan kode bahasa yang ada. Hal ini membuat pemaknaan menjadi kabur dan semata menjadi ajang orasi subyektifitas yang tidak berakar. Jika pembacaan terhenti di tengah jalan hanya karena ada satu struktur metaforikal yang gagal, maka pemaknaan akan ditarik keluar berdasarkan kesimpulan dari kode bahasa mayoritas. Analisa yang tepat pada struktur metaforikal ini akan memperjelas jalur pemaknaan. Sebuah metafor adalah sebuah sistem tanda, meski di dalamnya terkandung banyak petanda. Keseimbangan dan kesebangunan dari metafor itu dengan sendirinya akan mengarah pada pemaknaan yang paling kuat berdasarkan kode bahasa.</span><br />
<span style="background-color: white;">3. Sinkronisasi Petanda</span><br />
<span style="background-color: white;">Jika dalam satu penanda ada beberapa petanda, seperti keumuman metafor, maka perlu disinkronkan petanda itu dengan ide pokok dalam puisi, sehingga muncul satu petanda yang tersinkronisasi. Baru kemudian dihubungkan dengan petanda dalam penanda di tanda lain. Sinkronisasi petanda ini dimaksukan untuk memunculkan kesebangunan wacana. Puisi sesuai sifatnya yang ambigu memang memunculkan beberapa penafsiran, hal ini karena sistem makna metaforikal yang terlepas dari rumah bahasanya menghendaki makna baru. Seperti yang dimaksudkan Riffattere mengenai ketidak-langsungan ekspresi: perusakan arti (distorting of meaning, penggantian arti (displacing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning). Dengan sinkronisasi ini penafsiran akan berjalan maksimal, meskipun tidak tertutup kemungkinan, tetap akan ada beberapa penafsiran jika ambiguitas itu tetap terbangun berdasarkan kode bahasa sampai akhir pembacaan puisi. Di sinilah sebenarnya peran intuisi penafsir yang sesungguhnya. Ia bekerja sesudah jalur-jalur pemaknaan menampakkan dirinya. Bukan sejak awal menciptakan jalur sendiri tanpa memperhatikan seluruh kode bahasa.</span><br />
<span style="background-color: white;">4. Memilih Jalur Pemaknaan yang Terbentuk Dalam Proses Pembacaan</span><br />
<span style="background-color: white;">Selepas sinkronisasi tadi, pembacaan akan dihadapkan pada kemunculan jalur-jalur pemaknaan. Di dalam puisi ada beberapa jalur pemaknaan sesuai dengan petanda yang terbaca di setiap penanda dalam tanda linguistik. Kemungkinan itu muncul karena efek ambiguitas didukung oleh kode bahasa yang sama-sama kuat. Bagaimanapun, pada akhirnya hanya akan ada satu pemaknaan, jalur-jalur tersebut akan tereliminasi oleh jalur pemaknaan terkuat. Jalur pemaknaan terlogis berdasarkan petunjuk yang digelar dalam puisi. Subyektifitas memang mungkin menjadi pilihan di sini, tetapi pilihan itu berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa. Bukan pilihan bebas tanpa pertanggung-jawaban logis.</span><br />
<span style="background-color: white;">5. Data-data Intertekstualitas yang Mendukung (tapi bukan berlebihan)</span><br />
<span style="background-color: white;">Data-data yang mendukung ini adalah selama data-data itu membangun pemaknaan sesuai jalurnya. Jika data yang dimasukkan dari luar kajian terlalu banyak, maka pemaknaan akan melebar dari substansi kebahasaan. Padahal puisi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi, bahasa yang digunakan puisi bukan bahasa bercabang dan berbelit-belit. Ia adalah bahasa praktis yang memungkinkan penafsiran terwujud melalui struktur pembentuknya. Sedangkan bahasa adalah sistem tanda. Kepentingan puisi pada bahasa, sejauh itu memungkinkannya memberikan pengertian dalam jalur yang jelas. Bahasa jika diseret dalam kajian berat, misalnya filsafat bahasa, cenderung berputar-putar dan membutuhkan koneksitas yang sangat lebar. Kajian-kajian di dalamnya tidak memiliki kesimpulan yang selesai. Ia bukan konvensi bulat sebagaimana konvensi yang digunakan dalam bahasa praktis. Tapi di dalamnya merupakan kumpulan premis-premis yang terus diuji sepanjang masa. Padahal di sisi lain, bahasa secara praktis telah ada dan disepakati. Koreksi-koreksi di dalam bahasa secara mendalam untuk menghadirkan konvensi baru yang lebih kuat dari sebelumnya. Dan hal itu tentu membutuhkan ruangan lain, bukan dalam proses kritik sastra.</span><br />
<span style="background-color: white;">6. Obyektifitas yang Didasarkan Pada Kode Bahasa</span><br />
<span style="background-color: white;">Tidak ada pemaknaan yang benar-benar obyektif, tetapi ada perbedaan besar ketika pembacaan atas makna puisi didasarkan pada kode bahasa yang ada. Bukan hanya didasarkan pada intuisi penafsir. Sesuai sifat alaminya, intuisi berjalan sendiri dan tidak selalu seiring dengan jalur pemaknaan. Hakikatnya penafsir bebas berinterpretasi dan tidak harus sama dengan gagasan penyair. Boleh jadi penyair tidak memberikan kode bahasa yang cukup lengkap. Ia hendak menceritakan sesuatu, tapi tidak didukung oleh petunjuk yang ada dalam puisinya. Di sinilah tarik-menarik itu, penyair sebisa mungkin menghadirkan kode bahasa yang membangun penafsiran. Karena puisi tercipta sebagai bentuk komunikasi. Sedangkan penafsir sedapat mungkin mengikuti petunjuk melalui kode bahasa yang diberikan penyair agar tercipta keterkaitan pemaknaan.</span><br />
<span style="background-color: white;">Seorang penyair memang tidak harus memahami teori-teori terkait setudi keilmuan. Upaya yang mesti dilakukan penyair adalah sejauh itu berkaitan dengan penciptaan karya. Di sini hal-hal pokok itu terkandung dalam konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi budaya. Lebih jauh dari itu merupakan bonus, tapi bukan keharusan yang mesti dikejar dan dikuasai. Puisi dari segi proses penciptaan tidak bisa diukur apalagi dituntun. Ia menyoal pengasahan skill yang berkaitan dengan perasaan penyair. Setiap orang tentu memiliki karakteristik berbeda, begitu juga jalur-jalur penuangan ide ke dalam medium bahasa. Sebaliknya, seorang kritikus tidak harus pandai membuat puisi hanya untuk membongkar dan memahami puisi. Wilayah-wilayah tersebut bisa jadi dikuasai sekaligus oleh seseorang, namun bukan keharusan untuk bisa begitu.</span><br />
<span style="background-color: white;">7. Fokus Pada Ide Pokok dan Mengabaikan Kode Bahasa yang Mandul</span><br />
<span style="background-color: white;">Seorang penafsir adalah pencipta teks ke dua sesudah puisi ada sebagai teks pertama. Di sini terdapat ikatan yang kuat antara teks pertama dan teks ke dua. Maka sebagaimana puisi diciptakan, seorang penafsir harus memperhatikan ide pokok dalam puisi. Ia bukan hanya topik pembicaraan, tapi ia merupakan sulur-sulur tempat kode bahasa bergelayutan. Puisi selalu membuka ruang-ruang pemaknaan baru, itu adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Tetapi keruangan pemaknaan itu tetap harus berdasar pada kode bahasa yang muncul. Sesuai dengan bentuknya, puisi adalah bangunan sistem tanda. Maka pemaknaan mengikut pada sistem tersebut agar ia membentuk opini yang terbangun, berdasar, dan tidak ngawur.</span><br />
<strong style="background-color: white;">Kesimpulan</strong><br />
<span style="background-color: white;">Puisi bukanlah teks sakral yang ada begitu saja atau turun dari langit dengan segala keagungannya. Teks itu semata teks yang merupakan sistem tanda, darinya memancar jalur-jalur pemaknaan. Yang dikatakan agung pada puisi adalah kandungan isinya, maksud penyair yang tersimpan dalam balutan diksi dan gaya bahasa. Nilai itu dilihat dari sugesti yang mengarahkan pembaca pada hal-hal baik untuk mengikutinya. Dengan sendirinya, puisi dan umumnya karya sastra hendak mengangkat harkat kemanusiaan dengan pengajaran moral yang lebih tinggi. Permasalahannya, puisi menggunakan makna metaforikal dalam menyampaikan maksud. Sistem kebahasaan yang dimilikinya menghadirkan jeda dalam pemahaman. Pembaca tidak menangkap maksud di dalamnya secara langsung, ia terlebih dahulu harus mencari ide pokok (mirip dengan hipogram versi Riffattere) yang tersembunyi dalam kiasan.</span><br />
<span style="background-color: white;">Selaras dengan premis Rachmat Djoko Pradopo yang membagi jenis kritik sastra menjadi dua bagian: kritik umum dan akademik, menghadirkan fakta di lapangan yang membuat dua bentuk itu memiliki perbedaan besar dalam penyajian. Kritik umum lebih bersifat praktis dan hendak mengungkap kelebihan-kelebihan karya sastra. Jenis ini langsung masuk ke dalam pembahasan dan membuang kajian-kajian yang dirasa bertele-tele dan tidak perlu. Bentuk ini memang lebih nyaman untuk dibaca, tetapi banyak apresiasi dalam bentuk ini yang cenderung memanjakan subyektifitas dan meninggalkan pijakan dasar pemaknaan. Dalam ruang dan situasi terbatas, poin-poin penting yang diangkat dalam bentuk praktis tersebut memang lebih pas. Namun bukan berarti ia benar-benar berlepas diri dari dasar-dasar penafsiran sesuai kode bahasa yang ada. Pemaknaan yang tidak berakar justru akan membuat jurang perbedaan dalam penafsiran semakin menjauh.</span><br />
<span style="background-color: white;">Melihat kecenderungan dalam kritik sastra, yakni menimbang pendekatan yang efesien dan terarah, pemaknaan terhadap karya sastra (khususnya puisi) harus berjalan pada sistem-sistem tertentu. Hal ini bukan untuk memutlakkan, karena memang tidak ada yang mutlak di sana, tapi demi menghasilkan pembacaan terarah sesuai petunjuknya. Bukan interpretasi yang melenceng dari pokok yang dibicarakan. Subyektifitas yang ada kemudian adalah soal pengambilan sudut pandang, tetapi jalur-jalur pemaknaan yang ditempuh sesuai dengan tanda-tanda linguistik yang terbaca. Jalur-jalur itu selalu sama dan tersistemasi. Karena setiap kata dalam puisi membentuk jaringan pemaknaan antar bagian (hubungan paradigmatik), yang kemudian hal itu akan membentuk struktur makna lebih luas (hubungan sintagmatik). Pembacaan yang baik hendaknya melalui atau menggunakan sistem-sistem pemaknaan, di antaranya: proses pembacaan heuristik dan hermeneutik, analisa struktur metaforikal, sinkronisasi petanda, memilih jalur pemaknaan logis yang terbentuk, data-data intertekstualitas yang mendukung tapi tidak berlebihan, obyektifitas yang didasarkan pada kode bahasa, fokus pada ide pokok dan mengabaikan kode bahasa yang mandul.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: left; white-space: pre-wrap;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: left; white-space: pre-wrap;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: left; white-space: pre-wrap;">
<strong>Kajitow El-kayeni</strong></div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-26939347873447157992012-03-23T00:43:00.000-07:002012-03-23T00:43:09.468-07:00MEMBACA PUISI PUTIH: Engkaulah Lelakiku!Kehidupan adalah sebuah misteri besar, tentu saja. Tapi kehidupan adalah juga pilihan mengenai bagaimana menyikapi hidup itu sendiri. Orang-orang di seluruh penjuru dunia berramai-ramai menyanyikan dunia dengan berbagai cara. Ada yang penuh suka cita, karena mungkin ia sedang bahagia seperti Sapardi Djoko Damono dengan “Aku Ingin”-nya itu. Ada yang penuh canda tawa, karena mungkin ia menangkap kesan humor atau ejekan di sana seperti Remy Silado dengan puisi mbelingnya. Ada yang murung, karena mungkin sedang patah hati seperti Chairil Anwar dengan “Senja di Pelabuhan Kecil”-nya. Ada yang penuh kesedihan, karena mungkin ia mengalami hambatan seperti Dorothea Rosa Herliany dengan puisi feminisnya. Ada yang penuh hikmat, karena mungkin sedang khusuk dalam suasana penghambaan seperti Dimas Arika Miharja dengan “Membaca Pesan Langit”-nya. Ada yang memberontak dengan keras, karena mungkin merasakan ketidakadilan seperti Redra dengan puisi baladanya. Berbagai cara dilakukan manusia untuk merayakan kehidupan. Meskipun pada akhirnya, warna yang beraneka ragam itu akan kembali pada warna dasar: hitam dan putih.<br />
<br />
Setiap penyair boleh dan bisa berpindah gaya atau warna, bahkan seringkali setiap penyair bereksperimen untuk menghasilkan temuan dalam puisi. Meskipun pada dasarnya setiap orang memiliki gaya masing-masing yang khas. Hal itu dipengaruhi oleh watak, latar belakang, pengalaman empiris, keluasan ilmu pengetahuan. Di sinilah kesan unik itu berada. Penyair dengan gayanya yang khas akan tampil unik dan sendiri. Wujud dari ke-khas-an itu berhubungan pula dengan kreatifitas mencipta dan menemu. Penyair adalah penemu dan pembaharu bahasa. Kebaruan ini bukan karena ia telah menciptakan bahasa baru, karena bahasa yang dipakai oleh kita sekarang ini juga telah dipakai oleh orang-orang sebelum kita. Kebaruan itu sebenarnya terwujud dengan memunculkan kesan tidak familiar dalam bentuk dan pengucapan. Bisa dengan memotong kata, menggabungnya, atau merubah letak sintaksisnya.<br />
<br />
Menarik sekali saat membaca ragam puisi di BPSM ini, begitu banyaknya puisi sehingga sulit memberikan apresiasi memadai untuk setiap puisi yang muncul. Bukan karena puisi-puisi itu tidak bagus, tapi karena keterbatasan waktu untuk menguraikannya satu-persatu. Satu puisi saja sebenarnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membongkarnya dengan detail. Maka bagi saya pribadi, yang membuat puisi terapresiasi atau tidak adalah karena faktor jodoh saja. Meskipun itu juga dipengaruhi oleh keunikan karya tersebut sehingga memunculkan rangsangan untuk membacanya secara teliti.<br />
<br />
Seperti puisi Penyair Nabila Dewi Gayatri yang berjudul “Engkaulah Lelakiku!” Puisi ini memiliki cara penyajian yang unik, karena penyair memilih salah satu warna dari dua warna dasar yakni putih.<br />
<br />
<br />
<br />
Engkaulah Lelakiku!<br />
Oleh: Nabila Dewi Gayatri<br />
<br />
<br />
engkaulah sang gagah perkasa, adam<br />
memadatkan rindu hawa mencengkeram tulang rusuk sebelah<br />
merumahkan angin mengkidungkan kekal asmara<br />
melangitkan wujud kasih mengimani nafas, bersetia!<br />
<br />
penampakanmu laksana butiran gerimis memistis kalis kehidupan<br />
menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan<br />
kau benamkan dahsyat cinta di segala cuaca sang maha<br />
di angkasa, halilintar menahan gelegar mengamini doa<br />
<br />
aku sendiri seperti puisi yang belum jadi bersidekap sunyi<br />
merayapi bayangmu mengendus jejakmu aku tak mampu<br />
hingga menggemuruh rasa melompati kepala hendak memenggalku<br />
singup kalbu menggaungkan gelap kedalaman, melipat sekarat!<br />
<br />
oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan<br />
rebahlah keakuan, kucumbu mesra taqdir keikhlasan<br />
<br />
engkaulah lelakiku yang sempurna menjadikan manusiaku sabar<br />
bumi tak bermakna tanpamu, dan untuk apa langit di hiasi<br />
bekas silamu panas meleburku, di debur maqam cintamu<br />
mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah<br />
<br />
Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!<br />
<br />
<br />
<br />
Dalam istilah saya, ini puisi putih. Puisi yang selaras dengan pandangan umum mengenai sesuatu yang bisa dikatakan mitos meskipun ada kaitannya dengan religi. Kenapa saya menganggapnya mitos? Karena ketika saya bergerak keluar dan menanggalkan baju yang saya kenakan, maka puisi ini hanya semata mitos bagi saya. Sebagaimana saya membaca puisi yang membawa dewa-dewa Yunani, atau mitos-mitos yang ada dalam agama dan kelompok masyarakat lain. Dapat dianalogikan, di tangan kanan saya ada puisi putih, puisi religi, puisi dengan corak tradisi, puisi yang selaras dengan mitos. Sementara di tangan kiri saya ada puisi hitam atau nyaris hitam, puisi yang menggugat Tuhan, puisi perlawanan, puisi yang kontra mitos. Puisi putih seperti ini memiliki sedikit resiko pertentangan, meskipun juga memiliki banyak saingan sehingga tidak bisa tampil unik. Satu-satunya upaya yang bisa membuat puisi putih terasa segar dan unik adalah dengan memberikan kebaruan padanya. <br />
<br />
Adam yang melatari puisi ini saya pandang sebagai Adam mitos. Karena Adam di sana tidak saja mewakili terminologi keislaman. Bahkan Adam itu sendiri merupakan pokok seluruh mitos yang ada di dunia ini. Adam itu juga mewakili seluruh kaum laki-laki, sebagaimana dimaklumi definisinya dalam kamus. Memang adam yang dikehendaki dalam puisi ini bukanlah Nabi Adam. Maka dari itu penyair menulis adam dengan huruf kecil. Ia bukan saja sosok berbeda dari Nabi Adam, bahkan ia bukanlah sebuah nama manusia. Adam yang disebut dalam puisi ini adalah adam sebagai kata benda yang berarti laki-laki. Meskipun, seperti yang saya katakan di atas, adam kata benda itu terbayangi oleh sosok Adam mitos tadi. Maka Adam mitos itu juga yang melatari puisi ini. Artinya sosok laki-laki yang dikehendaki penyairnya itu diserupakan dengan sifat-sifat Nabi Adam sebagai laki-laki pertama.<br />
<br />
<br />
engkaulah sang gagah perkasa, adam<br />
memadatkan rindu hawa mencengkeram tulang rusuk sebelah<br />
merumahkan angin mengkidungkan kekal asmara<br />
melangitkan wujud kasih mengimani nafas, bersetia!<br />
<br />
penampakanmu laksana butiran gerimis memistis kalis kehidupan<br />
menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan<br />
kau benamkan dahsyat cinta di segala cuaca sang maha<br />
di angkasa, halilintar menahan gelegar mengamini doa<br />
<br />
<br />
Aku lirik dalam puisi ini sedang mengungkapkan kekaguman terhadap sosok adam yang ditemui dalam hidupnya. Tidak jelas dikatakan laki-laki itu siapa. Tapi melihat keumuman yang dikehendaki penyair dengan menuliskan adam tanpa huruf kapital di awalnya, menunjukkan laki-laki itu tidak berhenti pada satu sosok. Laki-laki yang diwakili dengan kata adam itu adalah banyak laki-laki yang berhubungan dekat dengan penyair. Tidak tertutup kemungkinan, adam itu sebagai wakil dari seluruh laki-laki ideal yang dikagumi oleh “aku lirik.” Maka dari itulah aku lirik berkata, “engkaulah sang gagah perkasa, adam.” Ini sifat umum laki-laki, sifat maskulin. Meskipun ada laki-laki yang gerak-geriknya seperti perempuan. Tapi tidak masalah karena gagah perkasa yang dikehendaki itu adalah sifat, bukan sebagai tolok ukur kemaskulinan dengan berotot, kuat, gentle, dan sebagainya. Gagah perkasa itu lebih dekat kepada sifat kesatria seperti mengayomi, melindungi, mengasihi, menghormati, dan seterusnya. Sosok ideal yang demikian istimewa itu memang tidak semua golongan laki-laki. Karena seperti kita tahu, banyak laki-laki yang lupa kelaki-lakiannya. Sehingga bertindak arogan dan semena-mena terhadap wanita, yang jelas lebih lemah secara fisik maupun mental dari laki-laki.<br />
<br />
Sifat gagah perkasa tadi membuat perempuan normal manapun akan mabuk kepayang, meskipun kata “memadatkan” di sana lebih dekat kepada makna padat yaitu penuh berjejal-jejal. Tetapi “memadatkan” itu bisa juga berarti membuat madat, yakni mabuk kepayang itu sendiri. Keduanya bermakna sama dan itu terserah pemilihan makna yang mana. Kekaguman aku lirik atas sifat gagah perkasa tadi terus belanjut sehingga dikatakan “merumahkan angin,” yakni membuat keinginan liar menjadi tentram. Angin seperti diketahui selalu bergerak, karena jika berhenti itu bukan angin tapi udara. Maka udara yang bergerak atau angin ini adalah lambang bagi gejolak keinginan liar itu dan di sini dikatakan merumahkan angin, yakni gejolak itu menjadi tentram, tenang, seolah berada di rumah sendiri. Dalam keluarga normal yang bahagia, rumah adalah gambaran dari kebahagiaan. Maka ada istilah rumahku istanaku, karena rumah adalah tempat paling aman dan nyaman. Selain gejolak liar menjadi tentram, kegagahan dan dan keperkasaan tadi membuat perempuan mana pun akan “mengkidungkan kekal asmara.” Artinya karena bahagia, setiap saat yang dirasakan adalah gairah cinta. Sedangkan “melangitkan wujud kasih” berarti membuat rasa kasih sayang menjadi keagungan. Karena langit adalah simbol dari ketinggian dan keagungan. Begitu juga dengan “mengimani nafas,” yakni meyakini seolah-olah seperti keyakinan akan nafas terhadap kehidupan. Tanpa nafas bagimana manusia bisa hidup. Keyakinan seperti itulah untuk menggambarkan “bersetia.” Yakni bersikap setia dengan penuh keyakinan. Bisa jadi kalimat “melangitkan wujud kasih mengimani nafas,” itu sebagai gambaran dari “bersetia” ini. Namun kedua cara pemaknaan tadi juga berujung sama, maka tidak ada masalah di sana.<br />
<br />
Keberadaan sosok adam tadi diibaratkan aku lirik seperti gerimis yang menyucikan atau membersihkan kehidupan. Proses pembersihan tadi dikatakan sebagai sesuatu yang gaib yakni berbau mistik karena di luar penalaran manusia. Artinya kehadiran laki-laki bagi aku lirik menghadirkan makna yang begitu besar, sehingga dikatakan berbau gaib karena tak terjangkau nalar. Demikian pula “menghujani alam raya mengisyaratkan pemberkatan,” kekaguman yang luar biasa tadi membuat sosok adam begitu hebat dan penting sehingga ia seolah “menghujani” yakni memberi hujan sebagai simbol kesejahteraan, sedang “mengisyaratkan pemberkataan” bermakna mendapatkan kedamaian. <br />
<br />
Karena terberkati itu mendatangkan rasa damai pada pihak yang diberkati. Begitulah aku lirik itu mengagumi sosok adam dalam puisi ini, sehingga sampai akhir bait kedua, aku lirik menggambarkan besarnya cinta yang diberikan adam itu sehingga sanggup bertahan di segala cuacaa rtinta dalam segala dinamika kehidupan. Bahkan halilintar yang biasanya menakutkan itu dipandang sebagai pengamin doa mereka berdua. “Menahan gelegar” di sana hanya sebagai kiasan dari anggapan aku lirik terhadap kekuatan cinta adam tadi. Sehingga halilintar yang tidak mungkin bisa ditahan itu seolah menahan gunturnya demi memngamini doa.<br />
<br />
<br />
aku sendiri seperti puisi yang belum jadi bersidekap sunyi<br />
merayapi bayangmu mengendus jejakmu aku tak mampu<br />
hingga menggemuruh rasa melompati kepala hendak memenggalku<br />
singup kalbu menggaungkan gelap kedalaman, melipat sekarat!<br />
<br />
oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan<br />
rebahlah keakuan, kucumbu mesra taqdir keikhlasan<br />
<br />
<br />
Selanjutnya aku lirik membaca dirinya sendiri. “aku sendiri,” katanya. Maksudnya mengenai diriku sendiri adalah “seperti puisi yang belum jadi.” Dari sini terkandung maksud aku lirik menganggap dirinya selembar kehidupan yang mirip puisi terpenggal. Di mana dalam dirinya ada hal-hal yang belum selesai atau belum lengkap, sesuatu yang belum lengkap itu menghendaki kelengkapan, maka ia mengejarnya dengan “mengendus jejakmu.” Sayangnya aku lirik tidak mampu. Ketidakmampuan itu tentu saja membuatnya risau hingga dikatakan “menggemuruh” karena tuntutan kelengkapan tadi tidak bisa diwujudkannya. Kerisauan yang sedemikian besar terkadang harus dibayar dengan “melompati kepala.” Bisa jadi kepala di sini lambang dari logika. Karena itulah dikatakan rasa atau kerisauan yang menggemuruh tadi seolah hendak memenggal kepalanya. Artinya membuatnya melangkahi akal sehat atau logika tadi. Hal itu membuat hatinya mengalami keremangan. “Singup” itu kemungkinan bahasa Jawa yang berarti keadaan yang remang atau agak gelap. Keadaan remang tadi bahkan berlanjut menjadi gelap sepenuhnya, seperti yang dikatakan penyairnya, “menggaungkan gelap kedalaman.” Hingga diakhiri, “melipat sekarat” yang kurang lebih berarti sebuah gambaran dari kematian.<br />
<br />
Ada dua kemungkinan di bait ke tiga ini, (1) penyair sedang menceritakan kesedihan karena seseorang yang disebut sebagai adam itu telah meninggal. Oleh karena itu “aku lirik” tak mampu mengendus jejaknya, karena adam telah berbeda dunia. Kemungkinan lain, (2) aku lirik hanya berretorika. Adam di sana belum benar-benar mati. Ia hanya menggambarakan sebuah upaya untuk memahami tentang wujud adam yang begitu berarti baginya. Sehingga tanpa adam aku lirik seperti puisi yang belum jadi, yakni tidak lengkap. Namun kemungkinan pertama lebih kuat karena didukung oleh bait selanjutnya, “oh, dekat kubur gerakmu sabitkan nyala ketabahan.” Dalam sebuah ziarah mungkin, aku lirik yang tadinya mengalami kerisauan hebat, atu kesedihan yang sangat menjadi tabah karena ingat perjuangan sosok adam semasa hidup. “sabit” di sini kemungkinan di ambil dari bahasa arab, Tsabit yang artinya tetap. Karena jika dimaknai sabit sebagai alat pemotong rumput maknanya tidak berkesinambungan. Jadi sabit disini adalah tetapnya ketabahan aku lirik dalam ziarah itu, akibat ia ingat dengan “gerak” adam semasa hidup. Sehingga akibat ingat bahwa adam yang tadinya hidup sekarang mati itu membuat keakuannya lenyap. Ia menjadi sadar bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Sesudah tabah itulah aku lirik menjadi ikhlas. Hal itu dengan indah dikatakan “kucumbu mesra.” Seseorang yang sedang bercumbu tentu menikmati cumbuan itu. Maka dapat diartikan, rasa ikhlas itu benar-benar dirasakan oleh aku lirik karena kesedihan tadi telah berganti dengan penerimaan atas takdir Tuhan.<br />
<br />
<br />
engkaulah lelakiku yang sempurna menjadikan manusiaku sabar<br />
bumi tak bermakna tanpamu, dan untuk apa langit di hiasi<br />
bekas silamu panas meleburku, di debur maqam cintamu<br />
mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah<br />
<br />
Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!<br />
<br />
<br />
Sebagaimana sudah jamak diketahui, tidak ada manusia yang sempurna. Kalimat, “engkaulah lelakiku yang sempurna” hanyalah hiperbola untuk menggambarkan kekaguman berlebih aku lirik terhadap adam. Atau bisa jadi “sempurna” itu untuk menerangkan kalimat sesudahnya yakni “menjadikan manusiaku sabar.” Kenapa agak ganjil rasanya kalimat “menjadikan manusiaku” ini? Kalimat ini hanya sekedar retorika, aku lirik jelas adalah seorang manusia. Dengan menjelaskan kemanusiaan itulah aku lirik ingin menekankan hal-hal mendasar pada diri manusia yakni nafsu. Sisi manusia yang cenderung gegabah dan tergesa-gesa ini menjadi sabar akibat peranan adam yang dikatakannya sempurna itu. “dan untuk apa langit di hiasi,” agaknya penyair salah menuliskan kalimat “di hiasi” itu yang seharusnya “dihiasi.” Demikianlah aku lirik itu terus memuja sosok adam yang ideal menurutnya, adam yang sempurna, adam yang sesuai dengan keinginannya. Karena sosok adam yang dibicarakan dalam puisi ini tidak hendak ditujukan pada seseorang yang khusus, maka wajar jika ada ungkapan, “mengingatmu, adalah dzikir menghirup segar udara baitullah.” Ini biasanya dikhususkan bagi para suami. Setiap pelayanan istri terhadap suami adalah ibadah. Sebagaimana yang telah terkabar dalam hadist masyhur yang bermakna kurang lebih, seandainya umat islam boleh melakukan syirik, maka setiap istri itu harus menyembah suaminya sendiri seperti shalat lima waktu. Tentunya hadist seperti ini bermakna metaforis, artinya tekandung anjuran agar setiap istri itu bisa melayani suaminya dengan baik. <br />
<br />
Begitulah aku lirik menganggap adam itu sebagai sosok yang istimewa, sehingga dalam baris terakhir dia berseru, “Ya 'Azza Wa Jalla tikamlah ruh pusar nistaku!” Sebuah keyakinan untuk berlaku lebih baik. Baris terakhir ini adalah bentuk doa. Maka seruan “Ya 'Azza Wa Jalla” itu dalam konteks bahasa Arab disebut jumlah du-‘aiyah. “Ya” dikenal sebagai ya nida, yakni ya yang berfungsi untuk menyeru. Hampir sama dengan “wahai” dalam bahasa Indonesia. Ya ‘Azza Wa Jalla bermakna, wahai (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Doa yang diserukan oleh aku lirik ini sebagai efek kesadaran karena kehadiran sosok yang istimewa seperti adam tadi dalam kehidupan aku lirik. <br />
<br />
Puisi “Engkaulah Lelakiku!” ini juga merupakan perayaan atas dunia. Terlihat jelas warna yang dipilih penyairnya adalah putih. Sosok adam yang begitu istimewa bagi aku lirik itu merupakan refleksi juga dari sosok Adam mitos, yang menjadi bapak bagi seluruh manusia. Ada yang khas atau unik dalam puisi ini, seperti pilihan diksi dan perlambangan yang sudah dibicarakan di atas. Namun tidak ada kebaruan lain yang disuguhkan, misalnya dalam hal sudut pandang. Karena kebaruan yang bisa dicapai oleh puisi putih hanya berkisar pada diksi dan perlambangan, bisa juga penyair memasukkan suasana berbeda. Tentunya hal demikian berbeda dengan puisi yang berada dalam arah berlawanan, yakni puisi hitam atau nyaris hitam. Jika puisi putih yang disajikan Penyair Nabila Dewi Gayatri selaras dengan pandangan umum atau mitos yang ada, puisi hitam ingin mendobrak itu. Jika satu religius, satunya anti Tuhan atau menggugat Tuhan. Jika satu pro mitos, satunya kontra mitos. Keduanya sama-sama mengisi dalam rentang keseimbangan. Seolah Tuhan itu menjuntaikan Tangan-Nya (boleh dibaca sesuai keyakinan masing-masing) ke dunia ini dan memberikan pilihan seluas-luasnya pada manusia untuk memilih. Pilihan apa pun akan memiliki resiko masing-masing. Membuat puisi putih tentu saja boleh, tapi tidak semua hal bisa diwarnai putih. Terlebih puisi putih cenderung tidak bisa tampil unik karena hanya memuji dan menyanjung. Tugas penyair adalah menyuarakan gemuruh yang ada dalam dunia batinnya, dengan warna apa pun yang dipilihnya itu memang bebas. Namun sebagai corong kemanusiaan, hendaknya penyair tidak boleh berhenti hanya pada tahap bersolek saja.<br />
<br />
<br />
<br />
*****<br />
<br />
<br />
Kajitow El-kayeni<br />
EsaisSastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-58657575811913496522012-03-22T21:57:00.001-07:002012-03-22T22:00:19.700-07:00NASKAH DRAMA: KI ANGENG SELO DAN PETIRKI AGENG SELO DAN PETIR<br />
<br />
<br />
ADEGAN I<br />
<br />
(Narasi sebelum drama dimulai) Dusun Selo yang unik dengan kesederhanaannya. Tempat yang dulu hanyalah tanah gersang yang dihuni beberapa kepala keluarga kini telah berubah menjadi ramai. Semua itu berkat pengaruh Ki Ageng Selo yang memiliki kesaktian tinggi. Tersebutlah beberapa muridnya menjadi ksatria yang disegani, termasuk Mas Karebet atau Joko Tingkir. Sebagai seorang guru ilmu kanuragan dan kebatinan yang sakti mandra guna, Ki Ageng tidaklah ingin melebih-lebihkan kemampuannya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, cicit Prabu Brawijaya itu lebih tampak sebagai petani biasa yang tekun menggarap sawahnya. Begitulah kerendahan hati Ki Ageng Selo. Pengaruhnya yang kuat tidak membuatnya lupa diri dan jumawa.<br />
Seperti kebiasaannya setiap hari, Ki Ageng tetap pergi ke sawah meski cuaca sedang tidak bersahabat. Selama berhari-hari hujan terus saja turun diiringi petir dan guruh yang menggila. Aneh sekali prilaku petir itu, biasanya kejadian petir menyambar hanya terjadi sekali pada pohon yang tinggi. Itu pun jarang sekali terjadi. Tapi kali ini tidak hanya di sawah, rumah-rumah penduduk pun ada yang tersambar. <br />
<br />
(efek lampu yang menyorot seorang aktor maju ke tengah panggung dan memakai atribut petani lengkap dengan cangkul)<br />
<br />
(efek petir dan suara guntur)<br />
<br />
Ki Ageng Selo: (Terhenyak dan berhenti mencangkul, tiba-tiba petir dengan cepat menyambarnya.) <br />
<br />
(narasi) Orang orang di dusun berhamburan keluar rumah begitu suara gelegar itu berhenti. Mereka segera tahu jika petir itu menyambar seorang yang paling disegani di dusun Selo. Ki Ageng Selo, tokoh sakti yang sendirian di tengah amukan hujan guntur. Tapi bukan Ki Ageng Selo jika hangus tersambar petir. Bahkan di tengah sawah itu dia sedang bergulat mencengkeram petir yang bergerak-gerak menyambar-nyambar dengan hebat. Pakaiannya compang-camping tersengat petir itu. Capingnya telah terpelanting jauh dari kepalanya. Tanah sawah yang menopang tubuhnya membentuk kawah lebar. Pohon-pohon di pematang besar tersibak daunnya. Begitu juga dengan angin yang berkesiur menderu di areal persawahan.<br />
(efek suara petir dan guntur)<br />
<br />
Ki Ageng Selo: “La haula wala quwwata illa billah... apa maumu wahai petir? Kenapa kau membuat desa ini kacau!?” (terus mencengkeram petir yang bergolak tak menentu itu. Mantra terus dirapalnya untuk melemahkan petir tersebut.) <br />
<br />
(Setelah seluruh daya terkuras, petir itu menjelma seorang kakek tua dengan sorot mata menyala-nyala. Ki Ageng Selo tidak terpengaruh dengan jelmaan itu. Pandangannya menerobos tubuh tua yang sedang dicekal lehernya itu.)<br />
<br />
Petir: “Aku diperintah untuk demikian. Bukan urusanmu menanyakannya!” (dengan suara serak dan berat)<br />
<br />
Ki Ageng Selo: “Jumawa!” (pandangan melotot, roman merah)<br />
<br />
Petir: “Memang apa yang bisa kau lakukan, ha!? Manusia hanya mementingkan dirinya dan tidak mau ingat pada nikmat Tuhannya.” (diam sejenak)<br />
<br />
Ki Ageng Selo: “Ada manusia baik dan ada yang jahat. Tidak berarti yang baik harus ikut dihukum bersama yang jahat.”<br />
<br />
Petir: “Terserah.”<br />
<br />
Ki Ageng Selo: (tampak sedang berpikir) “Baiklah, akan kuserahkan kau ke Demak Bintoro untuk diadili.”<br />
<br />
Petir: “Apa!? <br />
<br />
Ki Ageng Selo: “Iya, Demak Bintoro.” (tersenyum mengejek petir)<br />
<br />
Petir: (tertawa keras) “Bukankah engkau menaruh dendam pada mereka?”<br />
<br />
Ki Ageng Selo: “Kau akan segera tahu. Kehadiranmu adalah tanda yang sudah lama aku tunggu.”<br />
<br />
Petir: (diam dan memandang Ki Ageng Selo dengan pandangan mata menyala. )<br />
<br />
<br />
Adegan II<br />
<br />
<br />
(lampu menyala muncul ki ageng selo, dan beberapa orang dari kesultanan Demak Bintoro)<br />
<br />
Prajurit 1: “Kau siapa? Mahluk apa in-ni?” (suaranya gemetar dan ketakutan melihat petir yang telah menjelma menjadi sosok tua yang aneh)<br />
<br />
Ki Ageng Selo: “Aku Ki Ngabdurahman dari Selo.” (diam sejenak dan menoleh ke arah sosok tua jelmaan petir) “Ini jelmaan petir yang aku tangkap karena mengacau di dusun Selo.<br />
<br />
Prajurit 1: “Kau!?” (mencoba berpikir keras) “Kau yang dulu membunuh banteng dalam pendaftaran prajurit itu ya?” (ketakutan.) <br />
<br />
Ki ageng Selo: “Iya.”<br />
<br />
Prajurit 1: “Apa kau ingin mengacau di sini?” (panik dan menggenggam erat-erat tombaknya.)<br />
<br />
Ki ageng Selo: “Tidak. Sampaikan pada Sultan, Petir ini aku persembahkan sebagai tawanan.”<br />
(beberapa prajurit berbisik-bisik. Prajurit 1 masuk ke dalam kerajaan.)<br />
<br />
<br />
Adegan III<br />
<br />
<br />
(lampu kembali menyala, beberapa orang muncul)<br />
<br />
Prajurit 1: “Hamba ingin melapor Paduka.”<br />
<br />
Sultan Demak: “Ada apa prajurit?”<br />
<br />
Prajurit 1: “Di luar ada Ki Ngabdurahman dari Selo. Datang ke Demak untuk mempersembahkan mahluk yang dikatakannya jelmaan dari petir.”<br />
<br />
Sultan Demak: (kaget, dia berdiri dari kursi singgasananya. Bergumam) “Inikah pertanda dari permulaan munculnya trah Brawijaya itu? Inikah tanda akan segera berdiri Kerajaan Mataram baru?” <br />
<br />
Penasehat 1: “Jangan Takut Kanjeng Sultan. Sebaiknya beliau disambut dengan baik sebagai tamu Sultan. Jika memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa maka itulah yang akan terjadi kelak.”<br />
<br />
Sultan Demak: (merenung sejenak. Kemudian menghadap pada penasehat.) “Apakah semua ini akan berakhir sekarang Sunan? Apakah kerajaanku ini akan hancur?”<br />
<br />
Penasehat 1: “Tidak Sultan, Ki Ageng Selo hanya membawa bibit Keprabon. Keturunannya kelak yang akan menjadi penguasa tanah jawa.”<br />
<br />
Sultan Demak: (kembali duduk di kursi singgasana. Wajahnya lesu.) “Baiklah, kita akan menyambutnya.”<br />
<br />
<br />
Adegan IV<br />
<br />
<br />
(lampu menyala. Beberapa orang keluar ruangan menemui ki ageng selo)<br />
<br />
Ki ageng Selo: “Maafkan saya Sultan, ini saya bawa tawanan yang mengacau di dusun hamba.”<br />
<br />
Sultan Demak: (tersenyum getir, merasa bersalah dan malu melihat kesaktian ki ageng selo.) “Saya meminta maaf pada Ki Ageng karena dulu pernah menolakmu menjadi prajurit di Demak Bintoro. Semoga ini tidak menumbuhkan dendam di antara kita.”<br />
<br />
Ki ageng Selo: “Hamba bukan pendedam Kanjeng, beginilah mungkin kehendak Gusti Allah. Hamba bahagia menjadi seorang petani.”<br />
<br />
Sultan Demak: “Baiklah, saya akan mengurung petir ini agar tidak mengganggu rakyat.” (diam sejenak, menoleh ke belakang.) “Prajurit, cari orang untuk menggambar wujud petir ini, lalu ukirlah di pintu masuk Masjid Agung untuk mengenang jasa Ki Ageng Selo.”<br />
<br />
(petir itu berubah-ubah wujud. Semua orang keheranan. Masuklah nenek tua membawa air dalam kendi dan menyiramkan ke sosok yang berubah-ubah bentuk itu. Kerangkeng meledak. Sosok petir dan nenek tua lenyap.)<br />
<br />
(lampu padam)<br />
<br />
Selesai.Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-10924215457863969412012-01-02T10:49:00.000-08:002014-02-02T17:07:24.981-08:00LOGIKA DALAM PUISI I<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="line-height: 18px;"><br />
</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Adalah sebuah rahasia besar mengenai bagaimana manusia itu menghisap bahasa ke dalam dirinya. Bahasa tidak saja sebagai wujud hubungan kausal atas interjeksi, tidak sekedar pendefinisian sesuatu sekaligus pembedaan atasnya. Tetapi bahasa yang mengeram dalam tubuh manusia itu bergerak seiring pergerakan imajinasinya. Sesuai teori interjeksi, ketika manusia mendapatkan pengaruh internal berupa rasa lapar misalnya, ia akan berkata, “Aku lapar.” Ketika ada pengaruh eksternal seperti dipukul, manusia akan berteriak, “Aw!” atau “Ouch!” Bahasa yang dikenali bergerak karena pengaruh dari dalam dan luar diri manusia ini sebenarnya bisa bergerak sendiri. Pengaruh rangsangan itu mungkin tetap ada sebagaimana wejangan ayah saya Loektamadji A. Poerwaka, bahwa bahasa itu aksidensi bukan substansi. Tetapi pengaruh rangsangan itu lebih bersifat menyublim dan bersatu dengan bahasa itu sendiri. Ia tidak menunggu rangsangan tapi bergerak seiring rangsangan itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Saya tidak hendak mengatakan bahwa bahasa bersifat aktif dan bergerak sendiri sebagaimana keyakinan Hudan Hidayat, namun lebih kepada bahasa di sini memiliki gerakan yang unik. Ia tidak saja mempecundangi logika yang mengekangnya, ia bahkan berkelit dari kejaran logika ketika ia telah menubuh pada konvensi lain. Peranan bahasa di sini menjadi bolak-balik. Sekali waktu ia patuh pada konvensi baru yang disetubuhinya itu, sehingga ia mempecundangi logika. Kali lain dia bergerak dinamis bersama logika dan tak terkekang oleh konvensi itu. Konvensi yang disetubuhi bahasa itu adalah konvensi sastra ketika bahasa dijadikannya media, seperti puisi misalnya. Di dalam puisi, bahasa akan mengucur bersama rangsangan internal yaitu ide.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Banyak orang berkeyakinan jika puisi tidak mungkin terkejar oleh logika bahasa, karena bahasa telah berkelit di sini. Ia bersembunyi di dalam sistem lain yang unik dan otonom. Kenapa bahasa bisa menjadi begitu radikal seolah kacang yang lupa pada kulitnya? Itu karena sistem baru tadi menghendaki gerakan bebas bahasa, sistem itu membiarkan bahasa menari seliar imajinasi yang menyeruak dari dunia ide tadi. Sistem itu dikenal dengan sistem metaforikal. Sistem pemaknaan bahasa secara khusus ketika bahasa dijadikan media oleh puisi. Puisi memang memiliki sistem komunikasi berbeda dibanding komunikasi formal. Meskipun puisi memakai bahasa sebagai struktur dasarnya, tetapi puisi membelokkan sebagian kaidah bahasa itu sehingga dari pembengkokan tadi muncul nilai estetis. Yang kerap kali muncul (sejauh yang dapat saya lacak) adalah anggapan bahwa puisi tidak memakai aturan logis karena ia menggunakan bahasa dengan makna metaforikal bukan bahasa dengan makna literal. Artinya bahasa memang media yang digunakan oleh puisi, tetapi puisi memiliki sistem sendiri yang berbeda dari aturan logis bahasa (logika bahasa). Bahasa terlahir akibat keterusikan seseorang atas sistem fisiologisnya, sehingga awal kata yang terlahir adalah reaksi atas diri yang terusik baik dari dalam atau luar diri (teori interjeksi). Sementara Ernst Cassirer (1874-1945) menambahkan, bahasa adalah upaya manusia dalam mengenali benda-benda di dunia dengan prinsip identitas dan/atau perbedaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Saya sadar puisi menggunakan bahasa sebagai media, bukan sebagai upaya representasi atas dunia sebagaimana kehendak bahasa. Puisi adalah upaya kongkretisasi imajinasi estetis, dalam hal ini ia menggunakan benda-benda dalam puisi hanya sebagai simbolisasi. Sedangkan bahasa adalah perwujudan dari interjeksi dan pengenalan benda-benda untuk klasifikasi. Yang menjadi permasalahan adalah, jika logika tidak digunakan sebagai dasar pertimbangan bahasa yang digunakan puisi, lalu dengan apa kita bisa mengukur satu kesatuan metafor dalam satu puisi (atau klausa) itu lebih baik dari kesatuan metafor pada puisi lain? Harus ada standar yang memungkinkannya menjadi tolok ukur penggunaan sistem kebahasaan dalam puisi. Karena tanpa peran logika, berarti puisi tidak memiliki ukuran penalaran dan berarti puisi tidak bisa dipelajari karena ia sebuah sistem yang ngawur. Dan kalau begitu seluruh konvensi yang melahirkan teori-teori itu tidak berakar dan sulit dicarikan titik temu. Dengan sendirinya segala rumusan mengenai puisi runtuh dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan dalam bingkai commonsense.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Maka dari itu logika harus ada dalam puisi. Karena dengannya kita mengambil tolok ukur untuk menilai satu puisi lebih baik daripada puisi lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Logika yang merupakan salah satu ilmu dalam filsafat menghendaki proses serta bermuara pada pertimbangan dialektis setiap kali berhadapan dengan permasalahan, sehingga darinya didapati sebuah solusi. Meskipun logika memang bukan hanya milik filsafat saja, ia juga dimiliki disiplin ilmu lain seperti matematika. Logika tidak mengenal salah dan benar, tapi keakuratan dari segi penalaran. Tolok ukur logika didasarkan pada pembenaran paradigmatik (pembenaran yang diterima oleh orang banyak). Sebuah tesis dikombatkan dengan antitesis sehingga terlahir sintesis. Pembenaran itu bukan untuk menilai salah dan benar, karena filsafat hanya mengenal sesat pikir. Artinya pembenaran yang menjauh dari pembenaran paradigmatik dikatakan sesat pikir atau tidak rasional. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi dengan sistem komunikasi uniknya juga memiliki sistem logika sendiri. Logika di sini harus mengikuti proses tertentu karena puisi memiliki sistem kebahasaan berbeda dari komunikasi formal. Sistem itu adalah pemaknaan dari segi metaforikalnya. Mustahil puisi tidak memiliki tolok ukur logis, karena sebagai salah satu unsur sastra, puisi harus memiliki dasar pijakan kemudian diberikan nilai kepadanya. Nilai ini tentu bukan dari segi ukuran, seperti misalnya seseorang yang bersedih, berapa derajat ukuran sedihnya? Seseorang yang sedang bahagia, berapa banyak satuan bahagianya? Itu jelas tidak mungkin karena apa yang bisa dianalisa hanya terkait hal kongkret yang bersifat mungkin, sesuatu yang abstrak tentu hanya bisa dibandingkan untuk memperoleh ukuran titik puncak. Seumpama penyair Chairil Anwar sedang bersedih di “Senja Pelabuhan Kecil,” bagaimana jika dibandingkan dengan kesedihan Pablo Neruda dengan puisi “Malam ini, Dapat Kutulis...” Perbandingan itu untuk mengambil daya hisap yang diciptakan kedua puisi berdasarkan keberhasilan membentuk citraan juga unsur-unsur lainnya. Bukan dari besar ukuran kesedihan yang dirasakan oleh kedua penyairnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Untuk itulah puisi harus memiliki sistem logika sendiri, tanpa dasar pijakan itu puisi tidak memiliki integritas. Ia hanya akan menjadi bunga kata-kata milik pemabuk dan pengigau yang tidak memiliki ukuran dalam penilaian. Maka logika yang telah mengikuti sistem komunikasi unik dalam puisi terlebih dahulu harus mengelompokkan bagian-bagian yang menyusun tubuh puisi. Karena struktur metaforikal dalam pemahaman mentah memang tidak terjangkau logika. Seperti ketika menanyakan kadar nilai estetis, kadar tingkatan imanjinasi, kadar perasaan, kadar kedalaman kontemplasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Unsur puisi yang sejati atau unsur yang pertama (1) adalah tema, ia tidak dalam bentuk kongkret tapi membutuhkan unsur kongkret untuk mewujudkannya. Ia adalah hal abstrak yang bersembunyi dalam tubuh kongkret yakni bentuk teksnya. Dari tema inilah segala hal berpusat kepadanya. Unsur yang ke dua (2) adalah sistem unik tadi. Puisi menggunakan sarana pengkiasan untuk menyampaikan maksud. Di samping juga perlambangan untuk menyembunyikan subyek yang dikehendaki. Dengan bahasa populer, puisi mengatakan ini tapi menghendaki itu. Kadar kiasan ini pun berbeda-beda dan perlu dibagi terlebih dahulu. Karena dasar pijakan pemaknaan harus terbaca dari tubuh puisi secara utuh. Dari kecenderungan, kadar kiasan pada puisi itu ada yang sedikit, yaitu pada puisi terang atau diafan. Ada yang kadarnya menengah yaitu puisi realis pada umumnya. Ada yang tinggi yaitu pada puisi absurd, abstrak dan surealis. Bentuk kiasan secara mentah tidak bisa dirunut dengan logika, karena ia hanya bayangan dari maksud yang sebenarnya. Struktur pengkiasan ini harus dipisahkan karena terlebih dahulu sebelum logika masuk dan berfungsi sebagai tolok ukur penilain puisi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam hal ini saya akan fokus pada puisi realis. Ketika seseorang menunjuk sesuatu sebagai kiasan, struktur tubuh kiasan itu harus koheren dan seimbang. Artinya dalam kesatuan struktur sitaksis dan semantiknya, subyek yang mengkiaskan harus memiliki kesamaan jalur dalam pemaknaan yakni seimbang tadi. Bisa dicontohkan seperti kalimat (1), “Seekor burung terbang ke langit. Meski sayapnya patah ia terus meluncur ke langit.” Seekor burung terbang ke langit adalah struktur tubuh bayangan atau pengkias, di sini ia terdiri struktur subyek, predikat dan keterangan. Keadaan burung (yang patah sayapnya) di sini sebenarnya tidak bisa diukur atau tidak bisa dihakimi dengan logika karena ia hanyalah refleksi atau bayangan. Burung itu tidak kongkret meskipun bisa jadi diambil dari proses mimesis yakni meniru burung yang ada. Dalam kalimat itu, burung hanya bayangan dari subyek sebenarnya yakni tubuh pokok (yang dikiaskan). Kiasan itu digunakan sebagai sistem komunikasi unik karena ia berbeda dari keumuman komunikasi yang bersifat formal. Logika harus menyederhanakan kiasan tadi seperti proses matematis sebelum menghasilkan pemahaman, yaitu dengan merujuk pada keadaan subyek sebagai tubuh pokok (dalam puisi utuh). Ketika pembacaan sampai pada kalimat “Meski sayapnya patah ia terus meluncur ke langit,” struktur pengkiasan tidak ada kesinambungan semantik menurut ukuran logis. Burung yang sudah patah sayapnya bagaimana bisa terbang? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Makna metaforis memang tidak mengacu pada logika, tetapi unsur-unsur pembentuknya adalah juga bahasa yang sama, bahasa yang dimengerti oleh manusia. Dengan begitu unsur-unsur pembentuk metafor tersebut juga dikenai hukum bahasa, yaitu logika bahasa. Kita sebut bagian metafor itu sebagai tubuh bayangan sedang tubuh pokok (subyek yang sebenarnya) itu adalah hal logis entah hadir atau tidak di dalam teks. Jadi yang dikehendaki logika dalam puisi adalah keseimbangan pengimajian dalam struktur metafor. Misalnya dalam contoh pertama tadi, “Seekor burung terbang ke langit. Meski sayapnya patah ia tetap meluncur ke langit,” dalam struktur metafor ini, kalimat “seekor burung” menjadi subyek pengkias, sedangkan subyek yang dikiaskan bersembunyi dalam “seekor burung.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Contoh ke dua (2), “Rembulan pecah di pelataran. Menyentuh tanah dan pepohonan.” Struktur tubuh bayangannya terdiri dari subyek, predikat, dan keterangan. Subyek pengkias dan yang dikiaskan menjadi satu dalam wujud “Rembulan.” Kerja kiasnya yaitu “pecah di pelataran.” Dalam bentuk pemahaman denotatif, rembulan pecah di pelataran itu mustahil diterima nalar. Namun ketika struktur metaforikal tadi dibagi menjadi unsur subyek pengkias, obyek yang dikiaskan, kerja kiasan, hal itu akan bisa dirunut term logikanya. Kata “pecah” dalam kalimat itu bermakna konotatif, ia menjadi logis saat dikembalikan pada pemaknaan lazim, yakni pecah itu bukan pada wujud rembulan sebagai batu. Tapi pecah itu merujuk pada sebagian dari bulan yaitu cahayanya. Maka pecah di sini berarti cahayanya yang melimpah. Bisa juga diartikan cahayanya terang sehingga dikatakan pecah seperti benda yang pecah dan berhamburan. Makna konotatif telah melepaskan pemahaman atas kata menurut keumuman. Makna denotatif bisa disebut sebagai rumah bahasa, sedangkan makna konotatif adalah makna yang telah lepas dari rumah bahasa tadi karena kepentingan kalimat. Dengan kepentingan itu, makna yang dimiliki oleh bentuk konotatif sejalan dengan struktur semantik kalimat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di sini saya ingin menyangkal Roland Barthes (1951-1980) yang meyakini bahwa makna konotatif yang disebutnya sebagai operasi ideologi adalah upaya untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif (menindas). Merujuk pada teori awal penemuan bahasa, makna denotatif adalah makna asli, sedang makna konotatif adalah makna penyimpangan sesudah bahasa memberikan pengertian atas sesuatu. Sangat tidak logis jika makna konotatif dijadikan dasar pertimbangan penelaahan sistem tanda. Padahal dia sendiri mengakui makna denotatif adalah makna primer dan makna konotatif adalah sistem siginifikasi tingkat ke dua. Dengan begitu acuan makna konotatif semestinya merujuk pada makna denotatif sebagai makna primer demi pembacaan sistem tanda secara luas. Meskipun keduanya memiliki wilayah pemaknaan masing-masing. Sebagaimana yang diyakininya makna konotatif dengan sebutan “mitos” yang memiliki sistem petanda dan penanda di dalamnya. Makna konotatif yang diyakininya itu hanya berlaku pada interaksi antara teks bersama pengalaman personal-kultural penggunanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Makna denotatif yang dianggapnya tidak penting itu, tidak serta-merta membuat sistem signifikasi kedua (konotatif) tadi bisa berdiri sendiri. Bahkan saya meyakini dari makna denotatif itulah rujukan dalam memaknai pemaknaan lain meskipun itu secara tidak langsung. Konotasi versi Barthes sangat terbatas atau tertutup sehingga tidak bisa digunakan dalam pemaknaan lain. Konotasi Barthes hanya berhubungan dengan kasus tertentu dan tidak bisa dikembangkan dalam kasus lain. Dan penyempitan ini menurut saya adalah tindakan percuma. Dalam makna metaforikal ini juga merupakan pemaknaan tingkat ke dua setelah makna denotasi, tetapi ia tidak berlepas tangan dan berdiri sendiri. Justru dengan membandingkan atau mengembalikan pada makna asli tadi sebuah rumusan logis bisa didapatkan. Makna metaforikal sejajar dengan makna konotasi versi Barthes yang tertutup itu. Tetapi di sini, makna metaforikal terdiri dari kalimat sempurna, bukan dua kata benda seperti “kambing hitam” menurut konotasi Barthes. Atau jikapun Barthes menunjuk kata “pecah” dalam contoh (2) itu sebagai konotasi versinya, maka tidak diperlukan pengalaman personal-kultural seperti yang dikehendaki dalam konotasi “kambing hitam”-nya itu. Dan makna konotasi (dari pembedahan struktur metaforikal) tadi jelas berbeda dari konotasi tertutupnya itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Logika dalam puisi mengarah pada keseimbangan struktur metaforikalnya. Contoh awal (1) itu bisa dikatakan metafornya (secara global) tidak logis karena struktur penyusunnya tidak seimbang dilihat dari bingkai commonsense. Dengan kata lain ia meloncat dari jalur pemaknaan dalam kalimat. Contoh yang ke dua (2) itu bisa dikatakan logis dengan cara melepaskan struktur makna kerja kiasnya merujuk pada kepentingan kalimat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p><br />
</o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p><br />
</o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">****<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kajitow<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Filsuf<o:p></o:p></span></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-42054628460548959812011-12-28T11:23:00.001-08:002012-03-22T21:50:54.154-07:00WATAK ALAMI SASTRAWAN<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 24pt; line-height: 115%;">WATAK ALAMI SASTRAWAN<o:p></o:p></span></u></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><br />
<div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada dasarnya kesusastraan memang tidak dapat terlepas dari kegiatan studi sastra. Karena karya sastra dapat dipahami dengan benar melalui studi sastra, baik yang formal maupun nonformal. Seperti yang telah dipahami sastra menyangkut kreatifitas penciptaan dengan segala bentuk estetikanya. Sedangkan studi sastra lebih mengarah pada metode ilmiahnya atau keilmuannya. Dalam studi sastra dikenal beberapa bagian yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan, yaitu: (1) studi penciptaan, (2) studi kekaryaan, (3) studi penikmatan, (4) studi pendukung, (5) studi keilmuan. Ia merupakan satu kesatuan, setiap bagian itu akan kait-mengait dengan lainnya. Artinya perbedaan bagian-bagian tersebut hanya terletak pada fokus pembicaraannya saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kemudian untuk memahami karya sastra dilakukanlah kegiatan kritik sastra yang bertujuan menafsirkan sekaligus menilai karya sastra itu sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kegiatan kritik sastra tercatat oleh sejarah pertama kali dilakukan oleh bangsa Yunani ketika Xenophanes dan Heraclitus mengecam Homerus dan Hesiodes (± 500 SM). Hal itu dilakukan karena Homerus dan Hesiodes gemar menceritakan kisah bohong dan tidak senonoh terhadap Dewa-Dewi mereka. Akibatnya Homerus dan Hesiodes dicekal kemudian dilarang mengikuti Olimpiade di Athena. Kritik yang terjadi untuk pertama kali itu disebut Plato (427-347 SM) sebagai pertentangan purba antara puisi dan filsafat. Sesudah itu Plato membuat tolok ukur dengan buku Republic. Pokok pikiran Plato tersebut menghendaki karya sastra yang baik hendaklah mengandung tiga syarat yaitu: memberikan ajaran moral yang lebih tinggi, memberikan kenikmatan, memberikan ketepatan dan wujud pengungkapannya. Retorika “kuno” Plato itu menempatkan estetika dari karya sastra di bawah pengawasan moral penikmatnya. Jika sebuah karya sastra yang semata mengeksplorasi aspek estetis tapi kurang, apalagi sampai berlawanan dengan segi moral, maka menurut Plato karya itu tidak sempurna atau memiliki cacat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dalam pandangan kritik Mitepoik/Arketipe, keberadaan mitos di suatu daerah akan berbeda di daerah lain. Mitos itu sendiri kemudian hanya dipandang sebagai dongeng tentang keinsanan purba (arketipe) bukan sesuatu yang sakral. Sebagaimana pendapat seorang pakar ilmu pengetahuan di bidang Antropologi bernama Claude Levi-strauss yang kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes (meskipun kemudian Roland Barthes juga yang lain beralih pada Ferdinand de Saussure karena pandangan Claude mengenai topik sastra tadi dinilai masih bersifat umum). Sejalan dengan itu, dulu ketika orang Yunani meyakini keberadaan Dewa-Dewi mereka, bisa jadi Xenophanes dan Heraclitus dianggap sebagai pahlawan karena telah mengecam sesuatu yang dianggap salah terhadap Homerus dan Hesiodes. Fakta yang mereka yakini para Dewa-Dewi itu suci dan mulia. Tetapi setelah beberapa ribu tahun kemudian kepahlawanan Xenophanes dan Heraclitus itu patut dipertanyakan saat keberadaan Zeus dipertanyakan pula oleh logika modern. Atau bolehlah di masa itu juga, tentu mitos mengenai Dewa-Dewi mereka itu akan berbeda menurut anggapan masyarakat di luar Yunani. Sejalan dengan pandangan kritik Mitepoik tadi bahwasanya mitos di satu daerah memiliki nilai berbeda bagi daerah lain, meskipun mungkin memiliki kesamaan motif. Dan untuk itulah mitos kehilangan kesakralannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Seperti yang dicatat oleh sejarah, banyak kritikus baru bermunculan setelah Plato melucurkan tiga syarat utama sebuah karya sastra dengan Repulic tadi. Meskipun ada sebagian yang menyanggah sebagian pendapatnya seperti halnya Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato sendiri, tapi praktik kritik sastra (yang bersifat umum) di lapangan tetap mengacu pada pandangan Plato tersebut. Padahal apa yang telah dilakukan oleh Homerus dan Hesiodes itu terus bermunculan sepanjang zaman karena hal itu merupakan watak alami sastrawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dari situlah terdapat gambaran jelas bahwa kreatifitas Homerus dan Hesiodes tidak dapat sepenuhnya disalahkan, sebagaimana novel yang dikecam banyak orang berjudul Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdie yang dinilai telah merendahkan agama islam. Atau cerpen Langit Tak Lagi Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dibela mati-matian oleh HB Jassin. Begitu juga tudingan Penyair Taufik Ismail terhadap Hudan Hidayat cs, yang memberikan julukan kepadanya SMS (Sastrawan Mazhab Selangkangan). Mengingat terus berulangnya kejadian seperti Homerus dan Hesiodes itu, sebenarnya eksplorasi estetika oleh seorang sastrawan memang perlu dipisahkan dari pengawasan moral penikmatnya, atau minimal diberikan ruangan khusus. Sastra harus benar-benar berbicara mengenai dirinya. Fakta yang ditunjukkan oleh sejarah tadi menjadi parodi getir ketika seseorang yang terjun total dalam bersastra umumnya dalam dunia seni malah dikriminalkan sedemikian rupa. Meskipun kita juga sadar pentingnya pengawasan moral karena tujuan sastra adalah hendak memanusiakan manusia. Moral adalah salah satu barometer untuk mengukur kemanusiaan itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jika sastrawan diberikan ruang kebebasan sebebas-bebasnya, permasalahan yang muncul kemudian adalah pada perbedaan pemahaman antara sastrawan dengan pembaca yang bersifat umum. Hal itu akan meruncing dan menjadikan karya sastra kontradiktif sehingga menimbulkan pro dan kontra yang bahkan berujung pada pergolakan sosial di tengah masyarakat. Dari satu sisi, sastrawan hendak mengusung estetika dengan segala kreatifitasnya. Di sisi lain, pembaca dengan penghakiman moralnya akan menolak karya tersebut, bahkan seperti terrekam oleh sejarah sampai ada aksi pembakaran buku dan penghujatan terhadap sastrawan. Sudah dimaklumi bahwa sastrawan tidak mungkin lepas dari penikmat karyanya karena seperti keterangan dalam studi sastra tadi ada studi penciptaan (pencipta), studi penikmatan (pembaca), dan studi pendukung (media) tidak dapat dipisahkan. Karya sastra hanya akan menjadi sampah kalau tidak ada yang membaca dan mempelajarinya. Maka dari itulah karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dan melupakan pembacanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Plato dan teori kunonya boleh jadi telah terkubur sekian ribu tahun, tetapi nilai-nilai yang diajukannya itu tetap dipakai. Meski seperti yang saya katakan tadi teori Plato telah disanggah atau justru dilengkapi oleh pendapat banyak kritikus sastra sesudahnya. Inilah dinamika sastra yang rumit dan terus ada karena sastrawan dengan watak alaminya akan cenderung “memberontak,” sedangkan pembaca dengan penghakiman moralnya akan terus “mengeksekusi.” Pertarungan purba antara estetika yang dikehendaki sastrawan dengan moral pembaca mungkin bisa dicarikan jalan tengah, dengan cara memberikan ruang khusus bagi karya sastra bersifat kontroversial atau kontradiktif. Karya tadi tetap beredar dengan ketentuan khusus dan dalam kalangan khusus demi menghindari kesalahpahaman, apalagi terjadinya konflik dalam skala besar. Di sinilah letak peranan kritikus sastra atau instansi tertentu katakanlah pemerintah sebagai “tangan kuat,” yang bisa menjadi penengah untuk memberikan batas dari gambaran kepantasan bagi pembaca. Dengan begitu pembaca dari berbagai latar belakang itu diberikan arahan mengenai karya sastra yang tidak bertentangan dengan pengahakiman moral pembaca. Dengan catatan tidak melarang beredarnya buku tersebut meski ada batas dan ketentuan kusus yang diberikan padanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Saat itulah karya sastra mendapatkan kebebasannya untuk berekspresi. Dan kebebasan untuk berekspresi itu adalah kiblat bagi setiap sastrawan untuk berkarya secara maksimal. Sementara di sisi lain pembaca yang tidak sepaham dapat memproteksi diri dan keluarganya dengan tenang.<o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Mendewasakan pembaca agar sepaham dengan sastrawan mengenai kebebasan dalam berkarya jelas tidak mungkin. Latar belakang dan ruang lingkup mereka jelas berlainan. Bagaimana bisa menyeragamkan dua hal yang bertolak belakang? Sedangkan di antara kritikus sastra sendiri yang berperan sebagai “hakim kesusastraan” terdapat perbedaan prinsip yang besar, yang bahkan memicu terjadinya perselisihan dan konflik. Padahal mereka berada dalam satu dunia yang sama. Apalagi menyamakan pandangan antara sastrawan dan umumnya pembaca yang berasal dari berbagai latar belakang? Seperti yang telah dicatat oleh sejarah, banyak aliran kritik sastra yang dilawan oleh aliran lainnya. Mimesis Plato disanggah oleh muridnya sendiri yaitu Aristoteles. Kritik Impresionistik (kritik Estetis) dilawan oleh New Critisicm (1930-1950), yang kemudian New Criticism sendiri dilawan pula oleh kaum Poststruktualis dari Universitas Yale, Amerika Serikat (1960) yang mengusung teori Dekonstruksi Teks. Di antara pertentangan tadi ada juga yang melahirkan konflik, seperti Kritik Formalis di Rusia (1915-1930) dilarang oleh aliran Marxis yang dipelopori oleh Joseph Stalin (diktator Rusia). Dan tak perlu jauh-jauh, di Nusantara saja sejarah telah mencatat mengenai pertentangan Lekra dan Manikebu, juga perselisihan lain sesudahnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jika sastrawan memiliki watak alami dengan “memberontak,” pembaca “mengeksekusi,” maka kritikus sastra memiliki watak alami “melahirkan teori.” Yang disayangkan adalah tidak banyak yang benar-benar menyadari bahwa hakikat kritik sastra itu memang menuju pada aporia (bahasa Yunani: tidak ada jalan keluar), segala sesuatu bertumpu pada subyektifitas meskipun membawa dalil obyektifitas. Karena memang tidak ada yang mutlak dalam sastra, sehingga sudah semestinya dapat ditempuh jalan tengah yang baik, dewasa, serta bertanggung-jawab.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kajitow<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dia yang seringkali berdiri di antara dua kubu</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div></div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-76467194921925601062011-12-28T10:42:00.000-08:002011-12-28T10:43:54.993-08:00BAHASA PUISI BAHASA MISTERI<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 20pt; line-height: 115%;">BAHASA PUISI BAHASA MISTERI<o:p></o:p></span></u></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Saat kita membalik-balik kitab suci dan merenungi baris-baris indahnya, kita seolah sedang berhadapan dengan sebuah pertanyaan; kenapa Tuhan menyimpan misteri makna dalam kata-kata itu? Bisa saja Tuhan menyebutkan sesuatu dengan jelas tanpa perlu kata-kata sulit dan tidak familiar, bisa saja Tuhan membagi-bagi hukum-Nya itu sebagaimana undang-undang manusia (yang terperinci dan jelas), bisa saja Tuhan memudahkan bahasa kitab suci-Nya bagi seluruh manusia yang berpendidikan atau bukan. Tapi sekali lagi Tuhan seolah-olah sedang bermain-main dengan misteri-Nya. Dengan kata lain, Tuhan sedang mengajari kita sebuah keindahan permainan misteri bahasa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> “Dan janganlah kalian berdua mendekati Pohon ini..”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Pohon apakah yang diharamkan kepada Adam dan Hawa di tempat yang tidak ada keharaman sedikit pun itu? Kenapa ada batasan, padahal surga adalah tempat kenikmatan yang seharusnya memang tidak ada pelarangan di sana. Misteri itu tidak saja berhenti pada Pohon yang dikehendaki di sana, tapi juga pelarangan untuk mendekatinya. Kita berramai-ramai menamakan pohon itu Khuldi, padahal yang memberikan nama tersebut adalah iblis saat membujuk keduanya. Pohon apa pun itu tetaplah menjadi sesuatu yang misterius sebagaimana perintah menjauhinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Saya tidak berani menyamakan kitab suci dengan puisi, meskipun telah sama kita ketahui bahasa puitis kitab suci. Dengan logika sederhana saja dapat kita pisahkan keduanya, karena kitab suci adalah kalam Tuhan yang sempurna dalam segala hal. Apa yang termaktub di sana itu melewati segala zaman dan logika. Namun di sini saya ingin memandang kata-kata pada keduanya sama; rangkaian huruf-huruf yang tersusun dan memainkan misteri indahnya.<o:p></o:p></span><br />
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Tidak bisa kita pungkiri bahwa puisi memang memiliki berbagai wajah. Ada yang berbahasa terang dan jelas, ada yang rapat tersembunyi. Yang terang dan jelas bukan berarti tidak menyembunyikan misteri, yang rapat tersembunyi itu bukan berarti tidak bisa dimengerti. Keduanya memiliki ruang berbeda tapi memiliki kandungan misteri yang sama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Menarik saat saya membaca dua buah puisi (yang menurut saya) bertema sama. Bukan tentang gelap dan terangnya yang hendak saya tunjukkan di sini, tapi kesamaan misteri yang tersimpan padanya lah yang membuat saya mengutipnya. Dan saya rasa misteri itu memang ada dalam setiap puisi; sebuah dimensi baru yang dibuat oleh seorang penyair; hamparan dimensi bahasa yang berasal dari gejolak dalam dirinya. Di mana kita tidak bisa main tunjuk begini dan begitu, melainkan hanya bisa meraba dan merasakan tekstur bahasanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Semenanjung<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Oleh: Seamus Heaney<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Manakala tak ada yang bisa kau ucapkan, berkendaralah santai<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada suatu hari menyusur semenanjung.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langit menjulang di atas galangan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Terhampar tak berbatas hingga kau tak bakal sampai.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Namun lintasi saja, meski tak bakal kau temu selain bentangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada senja, cakrawala turun mereguk pantai dan bukit,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ladang usai terbajak melulur dinding terlabur kapur<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dan kaupun kembali dalam gelap. Kini kenangkan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Bibir pantai-pantai yang kilau dan bayang pohonan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Bergoyang, di mana hempasan ombak tercabik menjadi serpihan kain<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Burung bangau mencangkung di atas kaki-kaki mereka<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pulau-pulau mengayuh diri ke dalam kabut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dan kembalilah pulang, masih tanpa sesuatu terucap<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kecuali bahwa kini dapat kau maknai seluruh panorama<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dengan begitu: benda-benda dijumpa bersih dalam rupa sempurna<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Air dan tanah begitu lengkap.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Terlihat jelas Seamus menampakkan gambaran “semenanjung” dengan apa adanya dalam puisinya. Tapi bukan berarti hanya berhenti di situ saja apa yang hendak dikejar barisan kata-kata tersebut. Nyatalah Seamus sedang bermain-main dengan misteri “semenanjung” yang digambarkannya dengan jelas itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Kita adalah sosok yang telah terlewati di masa lalu. Bila sedetik sebelum detik ini adalah masa lalu, maka setiap kita adalah bangkai masa lalu yang berjalan. Tanpa masa lalu seseorang itu tidak ada artinya. Tanpa kenangan, tidak beda antara kita dengan mahluk yang tidak berpikir. Apa yang sedang ditunjukkan Seamus sebenarnya tidak jauh-jauh dari; bahwa itu berpulang kepada dirinya. Memang siapa pun bisa menjadi sosok “kau” di sana, tapi tidak menutup kemungkinan itu hanyalah pantulan sosok pada cermin saja. Seamus masa kini sedang menengok dirinya di masa lalu, manakala dia sedang melihat atau sedang membayangkan “semenanjung.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Kenangan itu terayun dan membawa kembali apa yang telah terlewati sebelumnya. Memberikan sebuah dorongan dari dalam bilik jiwa untuk menumpahkan kata-kata. Apa yang mendorong seseorang untuk membahasakan perasaannya itu sebenarnya tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa. Kata-kata yang terlahir darinya hanyalah serupa hasil ledakan, bukan muasal mesiu dan percikan zarah apinya. Saat kita membaca sebuah puisi, sebenarnya kita sedang memasuki dimensi baru bernama bahasa. Bukan menjumpai benda-benda sebagaimana ia adanya. Dari dimensi inilah seorang pembaca mendaur-ulang informasi. Selanjutnya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pembuat dimensi tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Begitulah Seamus dengan gambaran jelasnya, berbeda dengan Derek yang bersembunyi dalam bayangan puisinya. Derek menyimpan misteri puisinya dengan rapat dalam barisan kata-kata. Dia membuat rindu lautnya itu menari dan hidup.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Rindu Laut </span><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Oleh: Derek walcott<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; tab-stops: 59.25pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">dalam telinga rumah ini,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Memukau cermin-cermin<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hingga pantulannya kekurangan intisari<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Yang terdengar bagai gemeretak tanah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> di bawah kincir angin,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">menjadi sebuah pemberhentian mati;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ketiadaan yang menjadi tuli;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebuah hembusan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menuruni pegunungan,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Membuat isyarat-isyarat aneh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mendorong pensil ini<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menembusi kehampaan yang tebal kini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">melipati cucian-cucian apak<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tepat setelah<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.</span><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 12.5pt; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-line-height-alt: 10.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Padahal sebenarnya kedua puisi di atas itu sama-sama menggambarkan sebuah lukisan masa lalu, sebuah peristiwa yang seolah-olah kembali hidup dan nyata di masa kini. Hanya saja Seamus lebih senang membiarkan gambaran “semenanjungnya” nyata tapi diam, sedangkan Derek membuat “rindu lautnya” itu hidup dan bergerak. Sebenarnya bukan pada “semenanjung” atau “laut” itu pokok yang hendak dipanjat oleh keduanya, melainkan dua hal itu hanyalah pintu masuk dari rumah di mana sebuah misteri tinggal di dalamnya. <o:p></o:p></span><br />
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Misteri apa yang tersimpan dari resah-muram yang dibawa oleh dua puisi di atas itu?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Kita tidak pernah benar-benar bisa menebak apa yang disimpan di dalamnya, karena pada prinsipnya kita hanya membaca jejak yang terrekam dalam sebuah puisi, kita masuk ke dalam sebuah dunia yang dibentuk oleh penyair. Bukan menjadi sosok yang merasakan dan mengalaminya. Tapi setidaknya dari dunia itu kita bisa tahu bahwa kenangan telah menyeret seseorang untuk kembali hidup dan menghidupkan masa lalunya. Itulah yang sedang ditunjukkan kedua puisi di atas itu. Sebuah perjalanan antar dimensi yang membuat seseorang terlempar pada sudut kesadaran tentang keberadaan benda-benda di sekitarnya. Hidup yang misterius dan dipenuhi keresahan telah mengajarkan seseorang seperti Seamus dan Derek untuk meraba dirinya sendiri. Meledakkan dorongan-dorongan dari dasar jiwanya menjadi sebentuk bahasa, yang mengantarkan orang lain untuk ikut merasakan apa yang mereka berdua rasakan ketika berhadapan dengan masa lalu mereka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Resah-muram itu seperti panggilan sesuatu yang seolah-olah jauh tak terbahasakan. Atau sebaliknya ada yang begitu dekat dan terus memburu, namun mungkin untuk kembali hilang bersama ketidakperdulian kita atas raungan hati kita sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Berramai-ramai orang di luar sana hendak melogikakan misteri bahasa ini. Mencatat gejala dan merumuskannya menjadi berbagai teori. Mungkin dari struktur, kita bisa mengangguk setuju, tetapi jika itu berhubungan dengan “mengejar kemutlakan” maka sungguh sia-sia upaya menegakkan benang basah itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menurut saya di sinilah keindahan misteri bahasa. Tidak ada kemutlakan yang membuatnya terbatasi. Kita bebas menafsiri semampu dan semau kita, namun misteri di dalamnya tetaplah sebuah misteri indah yang tak benar-benar mampu ditakwilkan. Dan itu akan semakin menarik saat ia tetap menjadi sebuah misteri yang mengundang “tualang.” Misteri makna yang dikemas rapi dalam barisan kata-kata, sebagaimana permainan bahasa cantik Tuhan dalam kitab suci, “dan janganlah kalian berdua mendekati Pohon ini..”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">******<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">*) Sajak-sajak di atas diterjemahkan oleh: Agus R. Sarjono & Nikmah Sarjono<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kajitow elkayeni<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Filsuf, tinggal di kota kecil bernama Purwodadi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> <o:p></o:p></span></div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-65334102636810991582011-12-28T10:39:00.000-08:002011-12-28T10:39:03.282-08:00ANTITESIS BAGI KREDO SUTARDJI<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ANTITESIS BAGI KREDO SUTARDJI<o:p></o:p></span></u></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">PESAN TAK TERDUGA<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">oleh Kurniawan Yunianto pada 7 Desember 2011 pukul 11:27<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang mesti kau sampaikan <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">telah berada di berandaku semalaman <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">satu kali suaranya mengetuk <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">nyaris tanpa bunyi <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tapi meledak di dalam diri<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">entahlah, bagian mana yang kini cedera<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang jelas bukan telinga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">hanya saja, pagi, saat pintu kubuka<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang menggigil, yang membeku, yang kosong <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">adalah dada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">semalam kau cuma bilang aku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">perbincanganpun jadi lebam biru<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">langit tibatiba kelabu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu gerimis, lalu tangis<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu cemas begitu menguras<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">sementara sarapanku mengeras<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">aku masih berpikir, tentang cara mengunyahnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">agar terbakar tuntas<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dulu pernah, angin subuh begitu riuh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tapi dinginnya tak sesunyi api<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi ini seperti antitesis bagi kredo Sutardji. Betapa satu kata memiliki makna yang dalam bagi aku dan kau lirik di sana. “Kata-kata tidaklah mengantarkan pada pengertian,” katanya, padahal kredo Sutardji itu bertentangan dengan prinsip semiotika dimana bahasa yang bersifat aksidensi terikat kuat pada benda sebagai subtansinya. Dengan kata lain, kata itu terrefleksi dari keberadaan benda sebenarnya. Seperti warna kuning secara ansich terlepas dari namanya yaitu kuning, ia berdiri sendiri, tetapi kata kuning terikat oleh warna kuning. Bolehlah kita berandai kata yang dikehendaki Sutardji itu adalah Firman sebagaimana keterangan di Injil. Yakni kata itu adalah refleksi dari Tuhan itu sendiri. Sehingga kata itu bebas dan menentukan dirinya sendiri. Dalam ranah keislaman dikenal kata yang bermakna sama dengan, "pada mulanya adalah kata," yaitu "<i>kun</i>." Dari sana terwujudlah di alam azali semesta yang terkira luasnya ini, meski belum terwujud dalam alam musyahadah. <i>Kun</i> itu seperti cetak biru, dari firman tersebut tumbuhlah bentuk-bentuk fisik. Kata itu memang menjadi awal segala sesuatu. Tetapi kata itu sendiri difirmankan oleh Tuhan. Berarti kata tidak akan pernah ada jika tidak difirmankan. Dengan sendirinya kata atau firman itu terkait erat dengan Tuhan itu sendiri, sehingga kata tentu memiliki tujuan yakni pengertian. Karena ia ada untuk memberikan pengertian atas zat subtansinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang mesti kau sampaikan <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">telah berada di berandaku semalaman <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">satu kali suaranya mengetuk <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">nyaris tanpa bunyi <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tapi meledak di dalam diri<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bait awal puisi ini begitu memukau bagi saya. Bukan karena saya mengerti dengan jelas, tapi justru karena saya membebaskan imanjinasi berenang dalam lautan ketaksaan saat membacanya. Seperti dulu pernah saya tulis dalam esai: Bahasa Puisi Bahasa Misteri, bahwasanya ada bagian dalam puisi itu yang justru sangat menarik saat ia dibiarkan memancarkan misteri untuk terus dipahami. Sebagaimana firman Tuhan dalam Quran kepada Adam-Hawa, "Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini." Nama pohon itu saja tidak disebut kecuali hanya dengan isyarat "ini." Apalagi mencari tahu, kenapa Tuhan memberikan pelarangan di tempat yang seharusnya tidak ada keharaman? Surga adalah tempat yang tidak mempunyai hukum pengharaman, semua halal, sah, dan sempurna. Tapi kenapa masih ada pelarangan? Begitulah Tuhan "bermain" dengan bahasa, dengan ketaksaannya. Karena sebenarnya bukan pada bentuk luar itu tujuan dari perintah dan larangan. Bukan pada bentuk fisiknya, bukan dalam bentuk tekstualnya, bukan dari arti kata yang terbaca darinya. Yang paling penting bagi Tuhan adalah ketaatan Adam dan Hawa untuk mematuhi-Nya. Sama halnya dengan terwujudnya kita, kepentingan Tuhan hanya satu, Dia ingin dikenali maka diciptakannya makhluk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jika memandang kata yang memiliki kebebasan pemaknaan di sini, mungkin kredo Sutardji tadi bisa dibenarkan dalam pemahaman: "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas." Tetapi sebenarnya ada perbedaan besar antara kredo Sutardji dengan premis saya ini. Kata yang bebas di sini bukan pada diri kata itu sendiri, tapi kata itu bebas dari segi pemaknaannya yang kontinyu. Kata itu tetap sebagaimana ia, tetapi pembacalah yang membebaskan imajinasinya untuk menggerakkan kata sehingga ia melahirkan pemaknaan lain. Misalnya pada, "yang mesti kau sampaikan / telah berada di berandaku semalaman." Apa yang telah disampaikan kau lirik kepada aku lirik di sana? Rujukan paling dekat yang bisa diambil adalah pada bait ke tiga:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">semalam kau cuma bilang aku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">perbincanganpun jadi lebam biru<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">langit tibatiba kelabu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu gerimis, lalu tangis<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">lalu cemas begitu menguras<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Maka saya menyebutnya pangkal, karena memang pada perkataan "aku" oleh kau lirik itulah seluruh cabang puisi ini berpangkal. Namun tidak habis di sana saja, apa pun yang disampaikan oleh kau lirik itu tidak berhenti pada premis saya mengenai bait ketiga tadi, justru ia bergerak terus dan menghasilkan pemaknaan lain. Secara logis dapat dipahami, bukan kata itu yang hadir di beranda rumah aku lirik, tetapi itu sebenarnya adalah gambaran dari pemahaman aku lirik terhadap apa yang disampaikan kau lirik dengan perkatannya yang hanya satu kata yaitu "aku." Jadi yang menggerakkan kata "aku" itu sebenarnya aku lirik. Ia membaca kata "aku" secara mendalam sehingga digambarkan akibat yang ditimbulkan kata itu pada dirinya (aku lirik): perbincanganpun jadi lebam biru / langit tibatiba kelabu / lalu gerimis, lalu tangis / lalu cemas begitu menguras. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bisa jadi prosesi perbincangan itu memang terjadi, tapi bagi saya itu tidak penting. Karena sebagaimana yang pernah saya katakan, tulisan itu tidak menghadirkan kenyataan, tapi ia membangun kenyataan dalam pikiran pembacanya. Artinya tidak ada fakta di sana, karena fakta itu telah berubah menjadi fiksi yang ada dalam benak pembaca. Maka kata "aku" yang diucapkan kau lirik itu mungkin sebagai penyebab seluruh kejadian, tetapi pada diri aku liriklah kedalaman pemahaman itu terjadi. Sehingga dapat dipahami di sini, "kata memiliki kebebasannya, tapi kebebasan itu dalam hal pemaknaan kepadanya yang bersifat kontinyu. Ia bergerak dan melahirkan pemaknaan lain secara berkesinambungan seiring bergeraknya imajinasi pembaca." Dan ini tentunya jelas telah membedakan dengan kredo Sutardji bahwa kata tidaklah mengantarkan pada pengertian tadi. Bahkan kata yang dimaksudkan oleh puisi ini menjadi antitesis bagi kredo Sutardji. Kata itu mengantarkan pada pengertian, bahkan pengertian itu tidak terbatas melainkan kontinyu seiring kebebasan imajinasi pembacanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">entahlah, bagian mana yang kini cedera<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang jelas bukan telinga<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">hanya saja, pagi, saat pintu kubuka<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang menggigil, yang membeku, yang kosong <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">adalah dada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di sini aku lirik terkesima dengan pemahamannya sendiri atas perkataan kau lirik, atau mungkin justru ia terheran-heran dari ketidak-pahamannya atas perkataan kau lirik tadi. ketidak-pahaman itu melahirkan sesuatu yang kosong di dalam hatinya, kosong dari pemahaman yang sebenarnya. Kosong itu sendiri bergerak dan menuntut pemenuhan sehingga ia terus mencari pemahaman atas perkataan kau lirik. Terlihat aku lirik menjadi begitu kerdil saat menghadapi ketidak-pahamannnya sendiri. Itu digambarkan dengan: ia menggigil, membeku dan kosong. Yang kemudian dijelaskan dengan bait ke tiga yang telah dibongkar sebelumnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kemudian hal itu terus menyeret aku lirik pada permenungannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">sementara sarapanku mengeras<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">aku masih berpikir, tentang cara mengunyahnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">agar terbakar tuntas<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jika empat bait yang saya sebutkan di atas itu referen dan koheren dengan jelas pada tema puisi. Bait terakhir justru terpelecat dari kesebangunan tadi. Saya tidak mengartikan ini sebagai sesuatu yang melebar, tetapi saya menganggapnya sebagai anomali pemaknaan. Dan ini bukan berkonotasi buruk, tetapi bagi saya penyimpangan ini sejalan dengan premis: "kata memiliki kebebasannya, tapi kebebasan itu dalam hal pemaknaan kepadanya yang bersifat kontinyu. Ia bergerak dan melahirkan pemaknaan lain secara berkesinambungan seiring pergerakan imajinasi pembacanya."<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dulu pernah, angin subuh begitu riuh<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tapi dinginnya tak sesunyi api<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Meskipun sah saja jika ini diartikan sebagai pelebaran, puisi melebar dari tema yang diusungnya. Namun misalkan ditautkan dua baris ini dengan seluruh proses yang dibicarakan dalam puisi, sebenarnya dua baris ini masih sebangun karena berfungsi juga sebagai latar, maka dari itu dikatakan oleh penyair, "dulu pernah, angin subuh begitu riuh." Dulu katanya, dan ini bermakna puisi kembali bergerak ke awal lagi. Ia kembali membicarakan sosok kau lirik. Bisa juga dikatakan, puisi bergerak dan membicarakan keheranan aku lirik atas perkataan kau lirik. Maka bagi saya itu bukan masalah. Sebagaimana saya memaknai puisi Chairil: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">MALAM DI PEGUNUNGAN <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin, <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jadi pucat rumah dan kaku pohonan? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sekilas, seolah baris terakhir itu melompat dari bingkai puisi, ia bergerak melebar dari tema yang diusungnya, tapi itu seolah. Sebenarnya baris terakhir itulah ruh dalam tubuh puisi Chairil. Ia merangkum bagian sebelumnya sehingga didapati: suasana yang dibentuk Chairil itu bermuara pada keheranannya, "Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!" Siapa bocah cilik itu? Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan pada puisi Penyair KY, apa yang sebenarnya hadir di beranda rumah aku lirik itu? Ia menjadi ruh dalam tubuh puisi. Ia yang mengantarkan pembaca untuk memahami atas apa yang sebenarnya tak benar-benar bisa dipahami, karena terus bergerak dan melahirkan pemahaman baru atas dirinya. Meskipun bisa ditunjuk, bocah cilik di sana adalah pembacaan Chairil atas dirinya. Gambaran mengenai kehidupan yang telah dijalaninya. Betapa selama itu dia sibuk mengejar bayangannya sendiri, kehidupan yang misterius mengantarkannya pada pencarian akan sesuatu yang entah, seperti sifat bayangan itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi Penyair KY ini pun begitu. Kau lirik yang hanya bisa berucap kata "aku" itu tiba-tiba menghadirkan sesuatu yang sakral bagi aku lirik, sesuatu yang membuatnya menggigil, membeku, dan kosong. Bagi aku lirik, kata "aku" itu sama sakralnya dengan kata "kun" dalam Quran, sebagaimana "kata" yang disebutkan dalam Injil sebagai "Firman."<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kajitow</span><span style="line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-52806945211161427262011-12-25T03:45:00.000-08:002011-12-25T03:50:54.942-08:00SAJAK-SAJAK EMAS 1: SAPARDI DJOKO DAMONO<span style="background-color: white; color: grey; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px; text-align: left;"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Sesuai judul esai ini, Sajak-Sajak Emas saya maksudkan sebagai perwakilan dari karya para penyair besar yang telah dikenal khalayak. Karya mereka adalah curahan batin, atau hasil renungan yang sangat berharga sehingga saya serupakan dengan emas. Tetapi saya tidak hendak menunjuk karya gemilang tersebut sebagai kanon sastra, yaitu karya yang mendapatkan posisi agung sehingga tidak tergoyahkan lagi (canonized). Karena saya sadar sepenuhnya sastra dengan dinamikanya terus berkembang. Apa yang gemilang di masa lalu boleh jadi akan terlahir karya lain yang tak kalah gemilang seiring perkembangan jaman.</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pemilihan Sapardi Djoko Damono sebagai wakil penyair besar Indonesia yang saya angkat di sini bukan sebagai penunjuk tingkatan atau pengkelasan sebagaimana yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Hal itu lebih dikarenakan kekaguman saya terhadap karyanya secara pribadi. Lebih jauh, karya-karya gemilang yang saya angkat dalam serial esai Sajak-Sajak Emas ini dimaksudkan sebagai cerminan bagi para pencinta sastra, kususnya para penyair itu sendiri dalam menggeluti dunianya. Perbandingan semacam ini penting, tidak saja sebagai tolok ukur tapi juga sebagai petunjuk arah bagi siapa pun mengenai pencapaian dalam pergulatan seorang penyair dengan bahasa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apakah pencapaian dalam sastra itu benar-benar ada?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Secara teoritis hal itu nisbi sifatnya. Tetapi dalam pola perbadingan, ada perbedaan besar antara orang yang baru memulai menulis puisi dengan mereka yang telah lama menggelutinya. Itu dikarenakan proses pematangan yang dilalui oleh penyair tadi. Skill mereka telah terasah dengan baik sehingga meski mencipta puisi secara spontan pun jauh lebih baik dari pemula. Puncak tertinggi dalam kepenyairan tentu tidak ada. Hanya saja secara konvensi harus ditunjuk salah satu atau beberapa yang mewakili pencapaian itu. Misalnya ada anggapan Chairil berada di puncak pencapaian, hal itu sah-sah saja. Meskipun itu tidak menutup kemungkinan ada anggapan yang berbeda. Misalnya menunjuk Sutardji dengan keradikalannya, itu pun terserah asal bisa dipertanggungjawabkan. Hal demikian bukan dikarenakan satu lebih unggul dari yang lain, tetapi lebih kepada membuat barometer perbandingan dan wujud perwakilan sebagaimana seorang juri yang harus memilih satu di antara beberapa pilihan yang sama bagusnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sapardi Djoko Damono adalah salah satu penyair angkatan 66 menurut H.B Jassin. Sejak remaja telah dikenal kepiawaiannya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya menampakkan diksi-diksi sederhana namun tidak mudah menggali maknanya. Puisi yang dibentuk oleh salah satu penyair besar Indonesia ini cenderung menyimpan maksud di balik pilihan kata yang mungkin terlihat sederhana. Seringkali yang muncul dalam puisinya adalah sebentuk ironi. Sebuah teguran mengenai sesuatu yang disampaikan dengan cara tidak langsung. Baik dari segi gaya maupun maksudnya. Selain puisi, Sapardi juga menulis esai dan karya terjemahan. Puisi-puisi yang saya baca ini hanya sebagian kecil saja dan tidak dimaksudkan untuk mencari pola-pola tertentu dalam kepenyairannya. Tidak juga diulas dengan gamblang dengan mendasarkan pada teori pembedahan karya sastra. Sebuah sudut pandang atau sebuah upaya untuk ikut merayakan dinamika sastra di Indonesia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pokok Kayu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“suara angin di rumpun bambu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dan suara kapak di pokok kayu,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">adakah bedanya, Saudaraku?”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang sedang mengerami telur-telurnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">di kusut rambut Nuh yang sangat purba<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi ini Penyair sedang bermain ironi. Dimana di situ digambarkan sebuah peristiwa yang memunculkan kesan getir. Pada bait pertama itu ada dua sosok yang sedang bercakap-cakap. Seseorang atau sesuatu yang bersembunyi pada posisi orang ketiga sedang bertanya pada seseorang yang disebutnya Saudaraku. Pembicaraan mereka sangat aneh karena mempertanyakan perbedaan suara dari derit rumpun bambu akibat dorongan angin dan suara kapak yang menebang pokok kayu. Dari situ sebenarnya Penyair sedang memberikan gambaran dari dua hal yang kontras. Keduanya sama-sama merupakan bentuk suara, tapi yang satu alami dan satunya buatan. Yang membuat pertanyaan itu aneh adalah, kenapa dua hal yang berbeda itu masih juga dipertanyakan perbedaannya?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di sini Penyair mengajak pembaca untuk melihat lebih jauh tentang ulah perbuatan tangan manusia. Banyak orang mempunyai gambaran ideal mengenai sebuah dunia yang hendak dibentuknya. Ironis sekali ketika dunia ideal itu harus mengorbankan dunia sebenarnya demi memperoleh sesuatu yang menurutnya keharusan. Populasi yang terus berkembang mengharuskan manusia membuka lahan-lahan baru, membuat bangunan-bangunan baru, membentuk wajah dunia yang baru. Padahal dunia ideal yang hendak dibentuknya itu mengorbankan dunia yang sesungguhnya, dunia alami yang telah memberikan kehidupan kepadanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Suara derit bambu mewakili dunia alami sebagaimana dia adanya, suara kapak adalah gambaran dari kerakusan manusia demi mewujudkan dunia ideal yang menurutnya lebih baik itu. Padahal tanpa disadarinya perbuatan itu justru membuatnya kehilangan dua dunia tadi. Dunia ideal menjadi tidak terwujud karena rusaknya dunia yang sebenarnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Yang lebih mengejutkan lagi ketika sampai pada bait ke dua. Percakapan dua orang tentang perbedaan tadi membuat seekor burung Tempua marah dan menghardik mereka berdua. Jangankan perusakan hutan (dengan gambaran semiotis suara kapak tadi) membicarakan tentang hal itu saja sudah membuat seekor burung marah. Kenapa burung itu marah? Personifikasi itu bisa dimaknai, omong kosong kedua manusia itu sudah tidak ada gunanya lagi karena burung Tempua itu harus mengerami telurnya di rambut Nuh yang sangat purba. Nuh di sini bisa berarti apa saja, tetapi makna yang dekat bisa kita lihat dari kaitan suara bambu dan kapak tadi dengan menganggapnya Nabi Nuh sebagai sindiran rusaknya alam. Begitu parahnya perusakan hutan sehingga tidak ada lagi daun-daun pohon untuk digunakannya sebagai sarang, burung Tempua itu terpaksa menggunakan rambut Nuh sebagai sarangnya. Ini pun mengandung kesan paradoks juga saat kita ingat Nabi Nuh membuat kapal dari pokok kayu untuk menyelamatkan umatnya dari bencana air bah, tetapi penebangan hutan juga merupakan sebab datangnya banjir bandang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi lain Sapardi memperlihatkan kegelisahan yang biasanya juga dirasakan setiap manusia. Dalam batinnya ada sesuatu yang seolah-olah terus-menerus mengintainya. Perasaan seperti itu sering kali diungkapkan oleh penyair lain manakala mendapati kekosongan mengenai pencariannya akan hakikat hidup. Sesuatu yang seolah terus mengejar dan mendampingi tapi tak dapat dimengerti. Dalam sebuah sonet yang tidak lagi berbentuk sonet sebagaimana lazimnya, Sapardi meraba dirinya sendiri, dia mempertanyakan mengenai eksistensinya hidup di dunia ini. Sebuah ekspresi dunia batin Penyair akibat desakan perasaan asing yang tidak dikenalnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sonnet: x<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa menggores di langit biru<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa meretas di awan lalu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa mengkristal di kabut itu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa menggertap di bunga layu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa cerna di warna ungu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa bernafas di detak waktu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa berkelebat setiap kubuka pintu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa mencair di bawah pandanganku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa terucap di celah kata-kataku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa tiba menjemput berburu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siap atiba-tiba menyibak cadarku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Siapa meledak dalam diriku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">: siapa aku<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sesuai judulnya, Sonet: x adalah puisi sejenis sonet yang terdiri atas empat belas larik. Biasanya sonet itu juga memiliki ciri khas pembaitan 4433, tapi dalam puisi ini (juga seperti puisi-puisi angkatan Pujangga Baru dan sesudahnya) kebiasaan membaitkan sonet seperti itu sudah ditinggalkan. Bentuk sonet hanya dikenali dari jumlah larik dan judulnya saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sonet: x merupakan gambaran dari ekspresi diri Penyair. Sama halnya Chairil saat meraung membabi-buta dengan puisinya berjudul Aku itu. Perbedaannya dalam Sonet: x, Sapardi mewakili umumnya manusia ketika dihadapkan pada perasaan sunyi itu, bukan hanya mewakili dirinya sendiri. Seolah ada sesuatu yang terus memburunya tapi tidak dimengertinya. Penyair-penyair lain yang tidak mengakui keberadaan Tuhan ketika dihadapkan pada ruang sunyi yang sama akan melihatnya sebagai raungan jiwa belaka. Seperti Pablo Neruda misalnya saat berteriak dalam puisi Oh Bumi, Tunggulah Kami, "Kembalikan aku oh, matahari / Pada nasibku yang liar." Tetapi sebagai manusia beragama, pertanyaan Sapardi mengenai sesuatu yang tidak dimengertinya itu adalah merupakan pengenalan terhadap adanya kekuatan maha yang seolah berhadapan dengannya, yang seolah mengiringinya di mana pun dia berada.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi ini merupakan pengakuan yang jujur selaku manusia, bahwa ada kekuatan lain yang tak kasat mata, yang memberikan kode-kode batin kepada manusia mengenai eksistensinya. Apa pun bisa berada di balik sesuatu yang misterius itu, dan bukan tidak mungkin sebagai manusia beragama, sesuatu yang misterius itu adalah wujud dari keberadaan Tuhan. Dalam ruang sunyi itu Tuhan seolah menampakkan wujudnya melalui kegelisahan manusia saat meraba dirinya sendiri, sebagaimana di akhir baris puisi, Sapardi dengan gemetar berkata dalam batinnya “: siapa aku,” itu karena ia kebingungan mengenali eksistensi kekuatan maha yang terbaca dari kegelisahannya itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada puisi lain ada romantisme yang dibentuk dengan begitu bagus. Sebuah pengungkapan perasaan yang sesuai dengan cita rasa puisi. Yakni memanjakan pembaca dari diksi yang digelarnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">AKU INGIN<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku ingin mencintaimu dengan sederhana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dengan kata yang tak sempat diucapkan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kayu kepada api yang menjadikannya abu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku ingin mencintaimu dengan sederhana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dengan isyarat yang tak sempat disampaikan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">awan kepada hujan yang menjadikannya tiada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi yang melegenda ini terlihat jelas puisi dengan pilihan kata yang terlihat tidak rumit tersebut akan membuat pembaca terhanyut pada gambaran dari sebuah keinginan untuk mencintai seseorang dengan sederhana. Tetapi kesederhanan yang tergambar di sana mengandung arti yang jauh lebih dalam. Aku lirik sebenarnya sedang menunjukkan ketidaksederhanaan dari perasaan cintanya kepada kamu lirik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada bait pertama aku lirik mengumpamakan pengungkapan perasaan cinta itu dengan peristiwa biasa yaitu api yang sedang membakar kayu. Dalam pandangan aku lirik, hubungan kayu dan api itu adalah hubungan yang saling terkait. Api harus membakar kayu agar dia terwujud, tetapi dari gambaran tersebut terlihat pemandangan getir dimana satu pihak harus mengorbankan dirinya. Aku lirik menyamakan ketulusannya sebagaimana kayu yang rela menjadi abu akibat terbakar oleh api. Anehnya pada gambaran singkat antara kayu dan api itu penyair mengatakan “dengan kata yang tidak sempat diucapkan...” ini memberikan kesimpulan ketulusan yang dimiliki oleh aku lirik itu bahkan masih dipendamnya layaknya kayu yang tak sempat mengucapkan kata kepada api yang menjadikannya abu. Atau bisa juga diartikan itu merupakan sebuah gambaran dari ketulusan cinta yang mungkin tak perlu disampaikan dengan kata-kata tapi terlihat nyata dari pengorbanannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada bait kedua, aku lirik lebih jauh memberikan gambaran mengenai besarnya perasaan yang dimilikinya kepada kamu lirik di sana. Ketulusan yang dimilikinya adalah sebentuk pengabdian. Pada bait kedua ini aku lirik memberikan pengandaian tentang perasaan cinta yang begitu besar tapi tidak sempat menyampaikan isyarat mengenai perasaan itu kepada kekasihnya. Seumpama isyarat awan kepada hujan yang justru akan membuatnya tiada. Bisa juga diartikan sebuah kesungguhan untuk mencintai dengan tulus tanpa perduli hasil yang akan diterimanya, bahkan yang terburuk sekalipun seperti kehilangan kehidupannya sendiri. Kedua gambaran itu sebenarnya memiliki keterkaitan yaitu pada nilai pengorbanannya. Bait ke dua itu semacam repetisi untuk menguatkan pengakuan aku lirik bahwa cinta sederhana yang dimilikinya itu sebenarnya adalah cinta yang luar biasa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi lain Sapardi sedang bermain teka-teki. Seperti pada puisi Sapardi pada umumnya, diperlukan jalan memutar yang jauh untuk menemukan petunjuk dari maksud puisinya. Jalan lingkar itu menjadi sulit disaat pembaca terjebak kesederhanaan bahasa puisinya. Dalam sekali baca mungkin tidak tersirat apa pun di dalamnya, tetapi ketika dicermati akan terdapat kejelasan dari gambaran bahasa yang sederhana itu. Bahwasanya ada hal yang luar biasa dalam kesederhanaan tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Puisi ini memiliki jangkauan yang sangat luas. Kode-kode bahasa yang ditunjukkan Sapardi dalam puisinya ini bersifat umum. Tetapi ada beberapa hal yang tampaknya sengaja diperlihatkan sebagai petunjuk. Aku lirik di sana sedang melakukan perjalanan ke barat di waktu pagi hari. Barat itu bisa mewakili Barat sebagai sebutan dunia yang maju yaitu dunia Barat seperti yang dikenal. Meskipun tidak tertutup kemungkinan, barat yang ditunjukkan itu hanya sebagai hubungan logis terciptanya bayang-bayang panjang sementara matahari ada di belakangnya. Artinya pemilihan arah dan momen itu tidak berarti lebih dari sekedar gambaran peristiwa dan penyair menghendaki pemaknaan lain di balik gambaran tersebut. Misalnya pergi ke barat itu seperti gambaran Tong Sam Cong yang mengambil kitab suci kebijaksanaan ke barat. Dengan kata lain, barat di sana hanya sekedar menjadi salah satu arah mata angin. Tetapi misalnya di balik si aku lirik sedang berjalan ke timur di waktu sore hari hasilnya akan sama (bayangan tetap akan ada di depan aku lirik, sementara matahari ada di belakangnya) dan itu tidak membenarkan dugaan tadi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Maka dengan sendirinya penyair memang sengaja menunjukkan jejak-jejak dari arah pemaknaan yang dikehendakinya. Barat sebagai arah yang dituju itu adalah lambang dari negara Barat yang lebih maju. Aku lirik sedang berkiblat kepada Barat sehingga muncullah keinginan yang diumpamakan bayang-bayang yang memanjang itu. Sebuah cita-cita yang didorong oleh semangat untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan membentuk pemaknaan seperti demikian akan terdapat kesimpulan, siapa sebenarnya yang dikehendaki oleh Sapardi dengan aku lirik itu? Berjalan ke barat di waktu pagi hari adalah gambaran mengenai Bangsa kita ini, dimana untuk ukuran negara, Indonesia belum lama meraih kemerdekaannya. Waktu pagi hari sengaja dipilih untuk menunjukkan hal tersebut. Di usia muda itu negara yang sedang berkiblat ke Barat memerlukan keharmonisan agar cita-cita bersamanya bisa dicapai. Perselisihan yang tidak perlu harus dihilangkan. Tidak penting siapa yang telah menciptakan bayang-bayang, dengan maksud siapa yang menumbuhkan cita-cita. Tidak penting siapa yang berjalan di depan, dengan arti siapa yang memimpin Bangsa ini. Yang paling perlu diciptakan adalah keselarasan dalam melangkah dengan pandangan yang bening dan tetap wasapada guna meraih impian bersama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Begitulah ironi-ironi yang sering kali dimainkan oleh Sapardi. Banyak puisinya yang bahkan sangat sulit ditembus, karena begitu dalam makna yang dikehendakinya namun hal itu justru tersimpan dalam gaya bahasa yang sederhana dan nyaris tak terduga arahnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">KAMI BERTIGA<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">dalam kamar ini kami bertiga:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">aku, pisau dan kata --<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">tak peduli darahku atau darah kata<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam puisi yang tidak cukup panjang ini ada yang menggiring penglihatan mengenai tujuan perumpamaan dengan benda-benda tersebut, yaitu keberadaan Aku, Pisau, dan Kata. Ketiganya disejajarkan dalam satu barisan. Aku, Pisau, dan Kata diserupakan mahluk hidup yang memiliki kehendak. Dalam dunia nyata ketiganya jelas tidak memiliki kaitan kusus. Tetapi ketika ditarik ke dalam puisi ini, ketiganya memiliki kaitan yang erat. Satu dengan lainnya saling memberikan fungsi untuk melengkapi makna yang tersimpan di dalamnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ada sisi sunyi di sana ketika aku lirik yang sebenarnya hanya sendirian saja seolah mendapati kawan dalam kesendiriannya. Pisau boleh jadi memang ada di sana, atau bisa juga tidak. Atau awalnya mungkin ada, tetapi kemudian pisau itu berubah fungsi hanya menjadi pisau maknawi ketika kita mengaitkannya dengan “kata” seperti dalam baris akhir, “tak perduli darahku atau darah kata.” Pisau itu hanya diambil sifatnya sebagai sesuatu yang tajam dan mampu memutuskan benda lain seperti tali misalnya. Perasaan sunyi itulah yang telah menyeret aku lirik untuk menghidupkan benda-benda di sekitarnya (jika benda-benda itu benar-benar ada di sana). Bahkan bisa jadi pisau itu tidak benar-benar ada di sana. Pisau hanya gambaran dari keinginan untuk menciptakan sesuatu dalam bentuk kata dan mengambilnya dari imajinasi penyair. Pisau itu adalah pisau maknawi tadi yang sengaja diangkat ke dalam puisi untuk mewakili sesuatu yang tajam dan mampu menggoreskan luka atau untuk memutuskan sesuatu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Aku lirik di tengah kesunyiannya sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Ia hendak menciptakan "Kata," tapi kata yang dimaksudnya tidak kunjung keluar. Dengan perumpamaan pisau tadi muncullah hubungan trinitas, yang wujud sebenarnya hanya aku, kata terlahir dari aku, pisau diambil dari imajinasi aku. Dan ketiganya menuju satu arah yang sama yaitu lahirnya "Kata" tadi. Jika demikian, lalu siapakah yang bersembunyi di balik aku lirik itu? Begitu diketahui inti dari puisi ini adalah berkaitan dengan lahirnya "Kata," maka besar kemungkinan aku lirik di sana adalah gambaran dari jiwa seorang penyair atau siapa pun yang terbiasa menyusun kata demi mendapatkan nilai estetis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebuah keinginan yang besar dimiliki Penyair untuk melahirkan kata sehingga digambarkan, “pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya.” Ini hanya simbolisasi saja, bukan berarti aku lirik sedang frustasi dan hendak melukai dirinya dengan pisau tadi jika tidak berhasil melahirkan kata. Tetapi itu adalah sebuah simbol dimana seorang penyair harus berjuang sedemikian keras demi terlahirnya karya yang bermakna, dia harus menjiwai setiap kata yang terlahir darinya, kata yang diperamnya sedemikian rupa setelah berlelah-lelah bergelut dengan bahasa harus masak dan mengenyangkan. Sedemikian keras keinginan aku lirik itu sehingga dia menempuh jalur perenungan mendalam seperti yang digambarkannya, “tak peduli darahku atau darah kata.” Ia juga mengandung gambaran, seorang penyair sejati itu yang benar-benar total dalam kepenyairannya. Sebuah laku bersastra yang disertai esensi di dalamnya. Bukan sekedar pamer kawanan atau unjuk kebolehan di atas panggung. Yang terpenting bagi seorang penyair adalah bagaimana hidup dan menghidupkan "Kata" yang terlahir dari kebeningan jiwanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">MATA PISAU<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">mata pisau itu tak berkejap menatapmu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">kau yang baru saja mengasahnya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">berfikir: ia tajam untuk mengiris apel<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang tersedia di atas meja<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">sehabis makan malam;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Peristiwa yang seharusnya biasa itu telah diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan sisi ngeri. Pisau yang tergeletak di atas meja makan seolah memiliki jalan pikiran. Di sini penyair telah bergerak ke sisi lain, ke arah benda-benda selain dirinya. Benda-benda-benda itu menjadi bergerak dan memiliki kehendak. Jika ditarik dari logika berpikir umum itu jelas tidak mungkin. Tetapi dalam dunia puisi, penyair bisa bergerak atau menjadikan apa pun bergerak dalam puisinya. Di ruang imajinasinya sana benda-benda itu sengaja digerakkan untuk sebuah simbol dari maksud penyair. Dia bisa mewakili orang pertama, kedua, atau orang ketiga baik dalam bentuk tunggal atau jamak. Seperti dalam puisi ini Penyair seolah hanya menjadi narator saja dan menceritakan prihal sosok "Kau" dan "Pisau." Padahal tidak dipungkiri Penyair itu sendirilah yang berdiri di balik semua benda tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan "kau" yang dikehendakinya itu terayun kembali kepada diri Penyair bukan sebagai pencitraan orang kedua tunggal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bisa juga dipandang, kau itu memang sebagai orang kedua tunggal yang sengaja ditunjuk sebagai wakil dari pembaca. Dalam hal ini Penyair mengajak pembaca untuk melihat sesuatu dari sudut pandangnya. Seperti dalam puisi Kami Bertiga tadi, pisau di sini sebagai simbol berdasarkan sifat yang dimiliknya. Dalam perpindahan posisi ini pembaca diantar ke suatu permisalan mengenai pemahaman kita terhadap hukum kausal. Pisau sebagai simbol dari sesuatu yang sebenarnya ada dalam kendali kita dan ini bisa berarti apa saja. “kau yang baru saja mengasahnya.” Boleh jadi pisau ini wakil dari para buruh yang digerakkan oleh para borjuis untuk menghasilkan uang. Bisa juga pisau ini mewakili serdadu atau rakyat yang didoktrin untuk membunuh dan mengingkari rasa bersalah akibat pembunuhan yang dilakukannya. Bahkan bisa juga pisau ini adalah wakil dari anak-anak kita yang telah kita didik sedemikian rupa sebagaimana kehendak kita.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pisau di sini memang bisa berarti apa pun dan siapa pun. Tetapi yang jelas dalam perpindahan posisi ini pembaca dapat melihat dirinya menjadi pihak lain. Adakalanya anomali-anomali itu terjadi dan merubah keadaan menjadi berbeda dari keinginan kita. Buruh bisa memberontak pada majikannya, serdadu atau rakyat bisa membangkang pada pimpinannya, anak-anak bisa membantah orang tuanya. Maka menjadi sesuatu yang memiliki wewenang untuk memimpin terhadap sesuatu yang lain itu tidak serta merta bisa berbuat sewenang-wenang. Betapa ngerinya pisau yang tergeletak di meja makan itu tiba-tiba saja berbalik arah dan menggorok leher tuannya. Dan itu tentunya bukan tanpa alasan. Bisa jadi sang tuan lalai menyimpannya pada tempat yang seharusnya sehingga terbawa ke tempat tidur dan menggorok lehernya sendiri. Dengan analogi ini, terang saja buruh memberontak jika majikannya tindak memberikan haknya, serdadu atau rakyat membangkang dan melawan pimpinannya jika hak mereka tidak diberikan, anak-nak bisa juga membantah dan memusuhi orang tuanya saat mereka mengalami penindasan yang tidak semestinya. Hal ini digambarkan Penyair, “ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">TENTANG MATAHARI<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Matahari yang di atas kepalamu itu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">waktu kau kecil, adalah bola lampu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">adalah jam weker yang berdering<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">yang dituding anak kecil itu sambil berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">"Ini matahari! Ini matahari!"<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Matahari itu? Ia memang di atas sana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">supaya selamanya kau menghela<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">bayang-bayanganmu itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ini bukan mengenai peristiwa biasa yaitu matahari hanya sebagai matahari biasa. Artinya matahari yang disebut berulang kali dengan beberapa penjelasan berbeda itu mewakili sesuatu yang bukan sebagai matahari. Tidak jauh beda dengan Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari, matahari di sana menjadi simbol dari eksistensi sesuatu yang tidak benar-benar bisa dipahami keberadaannya. Sekali lagi penyair mendaulat kau lirik sebagai wakil dari pembaca. Artinya pembaca diajak melihat dari posisi tertentu, sementara penyair hanya menjadi narator saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Matahari yang di atas kepalamu itu<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil,”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Diceritakan kau lirik sewaktu kecil pernah memiliki balonan gas yang terlepas ke udara. Rasa sedih digambarkan dengan peristiwa itu, yakni sesuatu yang disimbolkan matahari telah mewakili rasa sedih tersebut. Tapi di waktu lain matahari itu dikesankan sebagai sesuatu yang sangat berguna seperti ketika membaca surat. Juga dikesakan sebagai sesuatu yang menyebalkan dimana saat-saat indah penuh romantisme dirusak oleh dering weker. Masih ditambah lagi matahari itu adalah sesuatu yang salah diduga layaknya anak kecil yang tidak benar-benar tahu perbedaan matahari dan bulan. Pertanyaannya adalah, apakah yang sebenarnya bersembunyi di balik simbol matahari itu?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ia bisa saja kembali ke bentuk aslinya yaitu sebagai matahari sebagaimana ia adalah salah satu benda langit, bisa juga tidak jika dikehendaki arah pemaknaan lain. Kita anggap saja dulu matahari yang dimaksud dalam puisi ini memang matahari yang sebenarnya. Betapa kita sebagai manusia sering tidak sadar akan manfaat yang besar telah diberikan oleh matahari. Tapi ketika siang hari yang terik sering juga kita mengeluhkannya, menyebutnya sebagai sesuatu yang menyebalkan, menganggap Tuhan telah salah menciptakan bola gas itu sehingga merugikan kita pada saat tertentu. Rasa syukur menjadi hilang begitu hakikat dari anugrah keberadaan matahari itu tertutup dari pandangan batin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tetapi ketika kita berpikir seperti itu, puisi ini hanya akan berhenti sampai di situ saja. Banyak pertanyaan lain yang tidak terjawab, seperti yang tersimpan dalam baris akhir puisi “supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu itu.” Apa maksud bayang-bayanganmu di sana? Dengan demikian matahari yang dikehendaki dalam puisi ini meruang lebih luas dari pengertian pertama tadi. Ia merupakan simbol dari keberadaan zat yang sulit di defenisikan. Yang terkadang mengandung kesedihan karena kita tak dapat menggapainya seperti gambaran balonan gas yang terlepas dari tangan seorang kanak, yang terkadang membuat kita menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting sebagaimana kesan dari penyerupaan terhadap lampu itu, yang terkadang menyebalkan karena kita harus memenuhi tuntutannya di saat kita sedang sibuk dengan pasangan semisal jam weker, yang terkadang salah kita tunjuk karena kemisteriusannya sebagaimana anak kecil yang salah mengenali sesuatu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Matahari di sana bisa jadi adalah perwakilan dari sesuatu yang memiliki kekuasaan. Dia memang di atas sana, di atas segala sesuatu dengan kekuasaannya. Dia mewakili sesuatu yang menjadi inti dari pergerakan sebagaimana maksud Aristoteles dengan Theosnya itu. Tapi dia bukanlah seperti yang banyak diduga oleh orang dengan berbagai gambaran tadi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Matahari itu? Ia memang di atas sana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">supaya selamanya kau menghela<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">bayang-bayanganmu itu.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jika diayunkan lebih jauh, mungkinkah matahari itu adalah perwakilan dari Tuhan? Jika iya, lalu apa makna: "supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu?" Sampai di sini saya sendiri terpaku cukup lama dan terkejut manakala sadar ternyata saya telah terjebak ke dalam pikiran saya sendiri. Persis seperti satire yang terkandung dalam kalimat, supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu sendiri. Bayang-bayang di sini merupakan pencitraan pikiran dan cita-cita manusia. Dengan pikiran itulah kita memahami banyak hal demi kebaikan kita hidup di dunia. Pikiran-pikiran itu tercipta karena keadaan, seperti halnya bayangan yang ada karena dua faktor, benda yang memancarkan sinar dan benda yang menghalangi sinar itu menembus dirinya. Benda itu tidak bisa dipisahkan dari bayangannya meskipun dia juga tidak bisa menciptakan bayangan tadi tanpa adanya benda lain yang memancarkan sinar. Tetapi karena pikiran kita itu juga yang terkadang menjebak kita pada pemahaman yang keliru mengenai hakikat sesuatu. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan tanda tanya pada kalimat "Matahari itu?" Di baris ke sepuluh sebagai kesimpulan dari sering salahnya kita memahami sesuatu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Di sini matahari dijadikan lambang dari sesuatu yang secara hakiki menciptakan bayangan tapi dia di atas sana sedangkan bayangan itu melekat pada kita. Dengan kata lain, segala pikiran dan cita-cita kita sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita. Matahari tetaplah matahari, sedikitpun kita tidak akan bisa mengaturnya, ini maksud dari “Ia memang di atas sana.” Dan bayangan itu terkait erat dengan kita maka bayangan itulah yang bisa kita hela. Artinya Tuhan yang sering kita pahami dengan keliru itu tetaplah Tuhan sebagaimana Dia, sedangkan pikiran dan cita-cita yang telah diberikan Tuhan kepada kita merupakan anugrah sekaligus kutukan agar kita bisa menggunakannya dengan bijak.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-85324041930601036552011-12-04T08:22:00.000-08:002011-12-04T08:22:44.841-08:00RUH DALAM TUBUH BAHASA<div style="text-align: center;"> <b><u><span lang="EN-US" style="font-size: 24.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">RUH DALAM TUBUH BAHASA</span></u></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"><o:p><br />
</o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><b><span lang="EN-US">Bab 1. Pengantar </span><o:p></o:p></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b> </b>Segala pujian yang terindah dan teragung untuk Tuhan Yang Maha Esa, berkat karunianya kepada manusia berupa pikiran sehingga segala ajaran-Nya bisa dipahami, segala pengenalan terhadapnya bisa dipelajari. Teriring segala bentuk syukur sebanyak bilangan yang diketahui-Nya, penulis panjatkan kepada-Nya pula yang telah mengajarkan bahasa kepada manusia sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan, juga sebagai sarana untuk mempelajari dan mengajarkan temuan-temuan dalam kehidupan, baik yang berupa ilmu mekanis maupun yang hanya dari segi teoritis. Termasuk di dalamnya ilmu linguistik itu sendiri.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Pada pengantar ini penulis terlebih dahulu akan membicarakan bahasa secara umum agar dipahami secara luas bahwa dalam sastra tidak ada yang mutlak. Apa yang dipegang oleh seluruh kritikus dunia baik sejak jaman kuno sampai kritikus paling akhir hanyalah sebentuk konvensi belaka. Mengingat dalam sastra selalu terbuka ruang perbedaan pandangan yang lebar. Dan seperti dimaklumi pembicaraan dalam sastra akan menuju pada aporia (yunani: ketiadaan jalan keluar). Tetapi demi untuk mempelajari sastra maka dari sekian perbedaan tadi memang haruslah dititik-beratkan pada sebagian atau salah satu pandangan atau aliran pemikiran agar terfokus pada arah yang sama tanpa harus membuang pandangan yang lain. Artinya penulis akan cenderung memihak salah satu aliran pemikiran dalam kritik sastra meskipun tetap akan memberikan contoh pemikiran yang lain sebagai pelengkap.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"> Bahasa memang bukanlah sesuatu yang bersifat substansial. Tetapi bahasa ada karena tuntutan keadaan baik dari segi tanda yang dimaksud Ferdinand </span>d<span lang="EN-US">e</span> S<span lang="EN-US">ausure, juga sebagai refleksi dari suatu benda atau zat yang dimaksud. Suatu benda secara <i>ansich</i> tetaplah memiliki nilai dan karakternya sendiri, tanpa balutan bahasa pun benda tadi tetap eksis dengan dirinya sendiri. Namun bahasa itu kemudian muncul dan menjadi bagian dari benda tadi. Seperti halnya menyebut “Tuhan,” tanpa disebut Tuhan pun Dia tetaplah menjadi sesembahan sesuai sifat dan kemampuan “mencipta” yang dimiliki-Nya. Kata “Tuhan” itu adalah aksidensial sifatnya, ia ada karena keberadaan suatu zat yang memiliki sifat dan kemampuan ketuhanan, seperti mencipta tadi. Tapi sekali lagi, sebutan Tuhan itu merupakan tuntutan dari sifat suatu zat yang dengan sendirinya melekat padanya. Jadi urutan bahasa dalam hal ini sesudah suatu zat dikenali dengan karakter dan sifatnya. Tanpa kehadiran bahasa, zat tadi tetap ada. Sesudah zat tadi ada dan dikenali maka bahasa pun muncul sebagai tanda yang terrefleksi langsung karena keadaan benda tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"> Bisa juga kita menunjuk benda yang dapat diindera seperti sekuntum bunga. Bunga ini kita sebut sebagai zat subtansial pertama. Dari wujud bunga itu dikenalilah ia dengan sarana penginderaan dari bentuk, warna, bau dan juga teksturnya. Bunga tidak membutuhkan nama “bunga” pada dirinya, kata itu melekat sebagai tanda untuk membedakannya dari benda-benda lain yang mungkin serupa atau berlainan bentuk juga sifatnya. Tanda ini baru awal fungsi bahasa pada bunga yakni: untuk mengenalinya dengan karakter tersendiri. Sesudah fase awal (semiotika) ini bahasa bergerak ke arah komunikasi bukan semata sebagai tanda, dimana bunga tadi tidak lagi disebut hanya untuk membedakannya dengan benda lain seperti, batu</span>,<span lang="EN-US"> atau air, namun “bunga” beralih fungsi dari aksidensial menjadi subtansial sifatnya. Saat menyebut kata “bunga” dengan sendirinya kata itu merujuk pada bunga yang sebenarnya secara konotatif. Tetapi dalam hal tertentu (sesuai fungsinya) kata bunga itu tidak pasti harus kembali secara utuh kepada zat subtansial pertama (bunga asli). Saat kita menunjuk kata “bunga” sebagai subtansial kedua, ia memanglah hanya kata untuk menggantikan benda yang dikenali sebagai zat subtansial pertama, namun kata ini bisa bergeser pemaknaan dalam bahasa saat ia berhadapan dengan kata yang lain (tanda untuk benda-benda lain). </span>Misalnya kita sebut “bunga-api,” frasa bunga di sini sudah bergeser dari pemahaman terhadap benda bernama bunga yang sebenarnya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"> Bunga sebagai subtansial pertama tidak membutuhkan kata “bunga” sebagai subtansial ke dua. Sedangkan kata “bunga” sebagai subtansial ke dua berhubungan erat dengan zat bunga sebagai subtansial pertama. Karena keberadaan kata bunga disebabkan oleh zat yang dinamakan bunga tadi. Bisa jadi kata “bunga” tetap tidak bisa dikatakan sebagai benda yang bersifat subtansi dikarenakan ia tidak akan pernah ada seandainya zat bunga tidak ada. Tetapi bagi manusia beragama semua benda yang ada ini karena ia diadakan oleh zat yang disebut Tuhan. Maka benda-benda itu pun tidak layak dikatakan subtansial sifatnya karena tanpa ada penggerak pertama (</span>T<span lang="EN-US">heos ala </span>A<span lang="EN-US">ristoteles) benda-benda tersebut juga tidak pernah ada. Dengan sendirinya bunga yang disebut sebagai subtansial pertama tadi sebenarnya juga benda substansial kedua.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"> Bisa juga bahasa dijadikan merdeka dan terlepas dari teori subtansi </span>berbasis ketuhanan <span lang="EN-US">tadi. Karena bahasa memang bukan hanya miliki kaum beragama saja. Artinya saat kita memandang bahasa sebagai fungsi tanda benda yang sebenarnya</span> seperti yang dimaksudkan oleh Ferdinand de Sausure maka bahasa itu muncul sebagai sebentuk sistem tunggal antara tanda, penanda dan petanda. Artinya sistem ini tidak bisa diwakili oleh kemunculan salah satu dari ketiganya. Boleh dikatakan warna kuning tetaplah ada meskipun ia tidak dikenali sebagai si “kuning,” akan tetapi keberadaan kuning sebagai <i>signify</i> mutlak ada bersama warna kuning itu sendiri sebagai signifiernya. Saat berada dalam wilayah semiotik semacam ini mungkin keberadaan bahasa seperti dianak-tirikan oleh benda sebagai <i>signifier-</i>nya. Dengan kata lain ia tidaklah menjadi lebih penting daripada eksistensi benda yang sebenarnya. Karena tanpa ada benda tadi bahasa sebagai wakilnya juga tidak akan pernah ada.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Namun boleh jadi saat kita melangkah meninggalkan sistem kaku Ferdinand de-Sausure dengan semiotikanya dan masuk ke dalam wilayah komunikasi yang lebih rumit dari sekedar petanda dan penandanya akan terdapat sedikit ruang bebas bagi bahasa sehingga ia terlepas dari kemutlakan adanya benda selaku <i>signifier</i>-nya. Hal itu terjadi saat kita menggunakan ruang imajinasi dan memberikan nama kepada sesuatu yang tidak benar-benar nyata ada. Dalam imajinasi kita itu misalnya kita bayangkan suatu zat yang belum pernah disebutkan oleh mahluk manapun sehingga ia unik dan berbeda dari apa pun. Suatu zat yang tak terjelaskan ciri-cirinya oleh ilmu pengetahuan manusia, yang hidup hanya dalam imajinasi kita saja. Misalkan kita beri nama sesuatu tadi dengan sebutan Gust, padahal Gust tadi tidak memberikan pengertian selain keberadaannya yang tidak dapat dikenali oleh ilmu pengetahuan tadi. Kita berikan pula padanya sebuah wujud yang tidak mengandung energi positif atau negatif, ia tidak membutuhkan ruang untuk bertempat selain dalam imajinasi kita, ia tidak memiliki warna dan bentuk sebagaimana yang dikenali dari benda lain. Ia ada di batas ketiadaan benda-benda lain. Jika pun Gust memiliki kehendak dan kepentingan maka kehendak dan kepentingannya pun berbeda dari seluruh benda-benda yang ada.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">Saat kita memberikannya nama dengan sebutan Gust, maka sesuatu yang sebenarnya tidak berwujud tadi hanya punya nama saja tapi tidak memiliki zat dalam bentuk yang nyata. Ketika sampai di titik inilah keberadaan bahasa menjadi merdeka dan berdiri sendiri dengan dirinya tanpa membutuhkan keberadaan benda yang sebenarnya. Meskipun begitu Gust tadi tidak bisa terlepas dari hukum bahasa dimana ia haruslah memiliki ciri untuk dikenali. Dengan demikian sebuah komunikasi bisa terwujud. Tanpa itu tujuan komunikasi akan gagal dicapai dan bahasa yang terlahir tanpa ciri-ciri tadi akan hampa nilai sekaligus hampa wujud. Ciri yang melekat pada Gust yang nir wujud tadi sebenarnya bisa kita ambil dari ketiadaan pengenalan terhadapnya. Artinya Gust tadi memiliki ciri yang belum pernah dikenali oleh pengetahuan manusia, tapi ia ada dalam imajinasi kita. Maka unik dan belum pernah dikenali tadi adalah ciri yang dimiliki Gust tersebut.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Mungkin kita bisa memberikan kepada Gust tadi sebuah tempat kusus dalam sistem semiotika, tetapi kesulitannya adalah ketika kita menanyakan fungsinya. Dalam dunia nyata benda-benda yang dapat diindera itu memiliki sistem tanda untuk mewujudkan tujuan komunikasi yakni memberikan pemahaman. Ketika Gust yang ada tapi tidak dapat dikenali tadi kita sebut sebagai kandidat bahasa yang terlepas dari wujud benda yang sebenarnya maka ia harus memiliki fungsi dalam komunikasi, ia harus memberikan pemahaman akan keberadaannya. Satu-satunya ciri yang dimiliki oleh Gust tadi hanya perbedaannya terhadap sesuatu yang dapat dikenali selain dirinya. Ia tunggal dan berdiri sendiri dengan keunikannya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Mungkinkah sesuatu seperti Gust ini ada dan ia memiliki ciri-ciri bahasa yaitu memberikan pemahaman dengan keunikannya?</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Satu-satunya yang membuat Gust tadi gagal menjadi kandidat bahasa adalah sistem konvensi bahasa yang membutuhkan bentuk kongkrit benda untuk dikenali dalam logika. Sebagaimana kita menunjuk atom itu terbagi menjadi proton dan neutron. Padahal dulu saat ilmu pengetahuan belum sampai ke sana keberadaan atom beserta bagiannya tadi juga tidak dikenali padahal ia sudah ada sebelum dikenali. Dalam posisi ini bukankah ketiadaan pengenalan terhadap Gust tadi adalah bukti keberadaannya? Namun ketika Gust sudah dapat dikenali dengan cara berlogika seperti ini (yakni ia ada karena ketiadan pengenalan terhadapnya) maka ia akan berubah kembali menjadi tiada dengan sendirinya karena seharusnya dia tidak dapat dikenali. Dan di sinilah yang menyebabkan Gust tadi gagal menjadi kandidat bahasa karena ia justru menjadi tiada saat dikenali keberadaanya. Saat ia ada tanpa pengenalan terhadapnya, Gust bisa dikatakan suatu bentuk bahasa yang ada tanpa membutuhkan benda kongkrit atas keberadaannya. Namun ketika ia dikenali dengan cara begitu maka dia menjadi gugur dengan sendirinya karena ia telah dapat dikenali. Seperti kosong kembali ke kosong. Sesuatu selain kosong adalah ciri-ciri keberadaannya, jika ia bisa dikenali maka tidak layak disebut kosong. Padahal dengan sendirinya kosong tadi seharusnya menolak apa pun yang menjadi isi dalam dirinya termasuk pengenalan terhadapnya: sesuatu selain kosong adalah ciri-ciri keberadaannya. Maka kosong tadi pun gugur dan tidak bisa dikatakan kosong dari pengenalan karena sudah dapat dikenali.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Bahasa sebagai suatu sistem yang unik sebenarnya terus-menerus membuka dirinya untuk dipahami dengan segala keluasannya. Ia tidaklah berhenti pada suatu sistem seperti semiotika misalnya. Tetapi kita harus membuat sebuah kesimpulan dari keluasan bahasa tadi agar bisa mempelajarinya. Tanpa adanya konvensi dalam bahasa maka tidak satupun yang bisa kita pegang darinya. Tetapi meskipun bahasa bersifat aksidensi ia memiliki ruh dalam tubuhnya. Misalnya saya munculkan sesuatu seperti Gust tadi, maka semiotika bisa dikatakan gagal karena ia tidak bisa menjelaskan keberadaan Gust serta fungsinya padahal ia ada. Dan Gust tadi juga memiliki sifat-sifat bahasa. Namun kembali pada konvensi bahasa, maka Gust tadi harus dihilangkan demi mencapai sebuah kesepakatan bahwa bahasa adalah sebentuk refleksi dari benda yang sebenarnya, sebuah sistem tanda yang terkandung penanda dan petanda di dalamnya. Saat kita memilih satu sisi seperti ini, tentu bahasa akan kembali pada posisinya semula. Ruh yang dimilikinya tidak terlepas dari refleksi benda-benda yang diwakilinya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Jika bahasa sudah dilepaskan dari kepemilikan signifiernya agar bisa dikenali dengan mudah lalu apa yang menjadi ruh di dalam tubuhnya? Di sini kita telah menganggap bahasa sebagai benda (meski bukan benda yang mutlak eksistensinya) maka bahasa juga memiliki ciri-ciri mahluk yang memiliki daya hidup. Karena ruh dikenal sebagai pemberi daya hidup pada mahluk yang hidup. Apakah keberadaan ruh dalam tubuh yang sebenarnya itu logis? Dalam sejarah medis, keberadaan ruh adalah sesuatu yang misterius, meskipun begitu keberadaan ruh tidak dapat diragukan. Hal itu terbukti di saat seseorang telah divonis mati seandainya pun diberi organ baru kepadanya ia tetaplah tidak memiliki daya hidup. Sejak dulu pun kita menyebut sesuatu yang memberikan daya hidup itu dengan nama ruh. Demikianlah bahasa saat kita memandangnya sebagai benda, ruh yang dimilikinya memiliki kekuatan untuk menghisap ke arah pemaknaan layaknya ruh dalam tubuh yang memiliki daya kehidupan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Begitu luasnya ruang-lingkup bahasa sehingga penulis hanya akan memfokuskan pembicaraan pada ranah sastra dan teori-teori yang berhubungan dengannya. Nama Ruh Dalam Tubuh Bahasa sengaja dilekatkan pada buku ini agar dapat dipahami hakikat dari sastra itu sendiri yang merupakan anak bahasa, bukan dimaksudkan untuk memperluas kajian di luar sastra. Bisa juga diartikan sastra juga merupakan ruh dalam tubuh bahasa sehingga judul pada buku ini masih berkesesuaian dengan tujuannya, tetapi yang dikehendaki penulis dengan judul tersebut adalah ruh yang terkandung dalam karya sastra. Demikianlah buku ini disusun agar menerang-jelaskan posisi bahasa supaya bisa dipahami berikut dengan cabang-cabang linguistik yang ada padanya. Di dalam buku ini terkandung beberapa bagian diantaranya: Susastra, Teori Kritik Sastra, dan Jejak Sastra. Susastra akan dibagi dalam tiga bahasan pokok yakni: puisi, prosa, dan drama. Sementara teori kritik sastra akan memuat berbagai teori kritik sastra guna menggali ruh yang ada dalam tubuh bahasa(baca: sastra) tadi. Sedangkan Jejak Sastra akan mengulas sejarah sastra yang berhasil diungkap baik di luar maupun yang ada di dalam negeri.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Penulis sadar sepenuhnya bahwa sastra adalah sesuatu yang sangat misterius sehingga baru sedikit yang terkuak dari masa lalu, di samping ia terus berkembang seiring perkembangan jaman. Oleh karena itu apa yang tertulis dalam buku ini masih jauh untuk dikatakan lengkap dan sempurna. Segala kritik dan saran atas buku ini akan sangat membantu dalam proses kelengkapannya. Tak lupa ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jakarta</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kajitow Elkayeni</div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-31633529200976562602011-12-04T01:01:00.000-08:002011-12-05T09:36:10.246-08:00LICENTIA POETICA: JALAN BELAH DUA<div style="background-color: white; color: #333333; text-align: center;"><div style="text-align: justify;"></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 18px;"><br />
</span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">LICENTIA POETICA: JALAN BELAH DUA<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Seringkali licentia poetika dijadikan tembok sakral yang tidak boleh ditembus oleh pihak mana pun. Sama halnya keyakinan ilmuwan yang dulu meyakini atom adalah bagian terkecil yang tak terbagi lagi. Dan keyakinan itu ternyata salah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sebuah kalimat keramat yang seolah menjelma Tembok Raksasa Cina sudah sejak lama menghadirkan pro dan kontra. Kalimat yang dianggap transenden sehingga menutup kemungkinan adanya gugatan. Kalimat yang terrefleksi dari hak prerogatif sastrawan (khususnya penyair) yang menjadikannya imun terhadap tuntutan apa pun. Kalimat itu adalah Licentia Poetika.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dulu, sejak pertama kali mendengar istilah tersebut, saya pribadi tidak berkehendak menelusuri jejak-jejak historisnya. Saya juga tidak tertarik untuk menelaah definisi lengkapnya. Saya abai karena saya sadar pada licentia poetika terdapat ruang abu-abu yang saling tarik-menarik. Tetapi (meski bisa disebut terlambat) fenomena-fenomena yang berkembang dalam ranah sastra mengantarkan saya pada ketiadaan pilihan kecuali untuk mempelajarinya lebih lanjut meski tidak secara mendalam. Bersebab, tarik-menarik yang ditimbulkan licentia poetika ini menjadi kian rancu dan salah kaprah jika tidak segera dibatasi pemahamannya. Dari pihak sastrawan, atau sebut saja penyair sebagai penemu dan pembaharu bahasa, licentia poetika merupakan alat untuk menggali temuan-temuan bahasa. Ia merupakan timba untuk menarik sebanyak mungkin kebaruan agar bahasa terhindar dari stagnasi. Tetapi di pihak lain ada golongan yang bertugas mencatat dan mengkiblatkan bahasa sebagai tolok ukur atau tempat rujukan. Kedua pihak ini seringkali menemukan jalan buntu ketika berupaya mencari kesepahaman.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Apa hakikat sebenarnya dari licentia poetika itu?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Berbagai pendapat muncul dari pakar bahasa. Mereka mencoba menafsiri dari kecenderungan yang mendinamika dalam ranah sastra. Meskipun di luar itu sebenarnya masih terbuka ruang lebar untuk mendefinisikannya kembali dari sifat dan keumumannya untuk menggenapkan pendapat tadi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Begitu bebasnya licentia poetika bergerak sehingga tanpa batasan apa pun yang menghalanginya. Setelah menembus dinding konvensi sastra, licentia poetika menerabas pula konvensi bahasa (kaidah bahasa). Hal ini sangat kontras dan tentu saja memunculkan pertanyaan, apakah tidak ada jalan damai dari jalan belah dua tadi? Jika memang tidak ada, mungkinkah jalan belah dua tadi berjalan beriringan? Yakni sebuah wilayah yang memungkinkan bagi keduanya saling mengisi? Dua hal bertentangan jelas tidak dapat didamaikan, namun dari titik tengah kedua hal tadi bisa saling menunjang dan melengkapi. Misalnya seperti atas dan bawah, keduanya saling terkait pada peristiwa jatuh atau naik. Timur dan barat, keduanya saling terhubung pada pergerakan horizontal. Hitam dan putih, keduanya saling mengisi dalam kadar kohesi sehingga muncullah warna lain di pertengahannya. begitulah seterusnya, dua hal bertentangan jelas tidak mungkin disatukan namun bisa saling terhubung dan menunjang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dalam hal kebebasan sastrawan untuk menyimpang (licentia poetika) dan pembakuan bahasa oleh pihak lain (pemerintah, pendidikan formal-nonformal, pihak ketiga), lebih jauh bisa disimpulkan sebagai berikut: sastrawan dengan licentia poetikanya sebenarnya berada selangkah di depan pengkiblatan bahasa. Kemudian gejala yang ditimbulkannya itu dicatat dan dipelajari yang mungkin bisa dirumuskan kebakuan darinya. Seperti dimaklumi bahasa terus mengalami pergerakan, dan pengkiblatan bukan dimaksudkan sebagai pembatas karena itu mustahil dan tak mungkin berhasil. Sesuai sifat alaminya manusia selalu menuntut kebaruan, termasuk dalam bahasa. Tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang kekal dengan kebakuan sejak pertama kali muncul.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sebagai contoh bisa kita tunjuk Bahasa Indonesia. Dalam sejarah pergerakan bahasa nasional itu selalu ada kebaruan. Misalnya dulu dalam bahasa indonesia kata plastik tidak ada, setelah ditemukan plastik kata itu muncul dari hasil serapan kata plastic yang kemudian diikuti kata turunan misalnya bedah plastik, dan sebagainya. Atau dalam contoh Bahasa Arab, kata misykah dulu tidak ada sebelum Quran turun, karena ia bukanlah dari Bahasa Arab. Tetapi kemudian kata misykahdisebutkan dalam Al-quran hasil dari serapan bahasa Persia (Prancis?). Begitu juga bahasa-bahasa lain yang terus bergerak seiring pergerakan manusia itu sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tetapi kemudian timbul pertanyaan, jika bahasa terus bergerak, atau jika sastrawan bebas bergerak dengan licentia poetikanya, lalu apa gunanya pembakuan bahasa dilakukan? Ini adalah hubungan aksi-reaksi. Pergerakan bahasa akan tetap berlanjut, tugas pencatatan dan pembakuan juga akan terus bergerak mengikutinya. Di sini yang menjadi permasalahan bukan pihak mana yang salah, tetapi sejauh mana kedua pergerakan itu bisa dipertanggung-jawabkan secara logis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sastrawan tentu akan terus meramu dan menemukan kebaruan. Sejauh langkah mereka itu memiliki dasar, hal itu masih bisa dimaklumi sebagai ruang kebebasan. Misalnya dalam puisi berjenis sonet, sejak awal sonet terus mengalami perubahan. Sonet diyakini berkembang pada abad ke-11 kemudian memperoleh bentuknya yang sempurna pada abad ke-13. Dikenallah sonet Petrarcha (Italia), Elizabeth (Shakespeare), dan seterusnya. Tetapi hal itu pun terus bergerak dan berubah. Seperti dikenal di Indonesia sonet di masa pujangga baru (Chairil) sudah mulai bergeser dari sonet barat misalnya pada puisi Chairil berjudul "Kepada Pelukis Affandi" yang memiliki urutan pembaitan terbalik 4-4-3-3. Hal itu terus bergerak dan berubah seperti pada angkatan 66, Sapardi Djoko Damono dengan sonet yang hanya terdiri dari satu bait saja dengan pola repetisi, seperti Sonet: x.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Contoh lain misalnya penggunaan tanda baca (kaidah bahasa). Sejak Bahasa Indonesia muncul seiring pergerakan kemerdekaannya, pengidentifikasian dan pembakuan terhadapnya terus dilakukan. Dulu dikenal ejaan lama, kemudian digantikan ejaan baru yang disempurnakan (EYD), dan itu terus disempurnakan dengan memasukkan bahasa serapan dan temuan-temuan baru dalam bahasa. Tanda baca dalam EYD disepakati untuk menunjukkan struktur suatu tulisan, artinya agar tulisan itu menjadi lebih mudah dan lebih jelas dipahami. Setiap tanda baca itu memiliki fungsi serta tujuan. Jika sastrawan menghilangkan tanda baca ini, rujukan paling logis mengenai perbuatan itu adalah mereka mengembalikannya pada bentuk asli bahasa sebelum diberi tanda baca. Seperti tanda hubung (-) tanda ini ada dengan tujuan untuk menghubungkan penggalan kata, kata ulang, rentang nilai. Tanpa tanda itu, kata atau kalimat masih bisa dikenali dan dipahami meski muncul kesulitan karena penghilangannya. Dan jika penghilngan tanda baca semacam ini demi untuk mendapatkan nilai estetis tertentu masih bisa dilacak dan dimaklumi yang kemudian bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Dalam hal ini sastrawan mendapatkan kebebasannya dengan mengembalikan bahasa ke bentuk aslinya demi nilai estetis. Pergerakan semacam ini masih bisa dipetakan serta dimaklumi secara logis, meskipun pihak pembakuan bahasa tidak akan menyetujuinya karena tujuan pengkiblatan bahasa menerang-jelaskannya demi tolok ukur pembelajaran.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tetapi yang kemudian menjadi rancu adalah jika keleluasaan ini bergerak terlalu jauh. Misalnya seorang penyair seperti Sutardji yang menggoyang seluruh konvensi keumuman bersastra dengan mengembalikan konsep berpuisi pada mantra. Tindakan "menyeberang" semacam ini sebenarnya masih bisa dimaklumi sebagai licentia poetika asalkan masih bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Namun jika kata yang disebutnya tidak mengantarkan pengertian itu kemudian dilepaskan sebebas-bebasnya, lalu untuk apa puisi dibuat? Bukankah karya satra, bahkan gejala bahasa dalam karya sastra itu untuk dimengerti, lalu dikaji, dan bukan mustahil kelak dibakukan. Jika kata sudah tidak mengantarkan pengertian maka hal itu sudah tidak logis dan merupakan licentia poetika yang kebablasan. Untuk pergerakan semacam ini, terang saja tidak akan mendapatkan pemakluman dari pihak pembakuan bahasa, karena hal itu tidak logis dan tidak berdasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konvensi sastra masih berkemungkinan untuk berubah seperti sonet yang saya sebut di atas tadi, begitu juga dengan pengkapitalan huruf di awal baris puisi. Tetapi konvensi bahasa cenderung memiliki aturan yang ketat karena ia bertanggung-jawab secara logis atas eksistensi bahasa. Jika sebuah karya sastra bergerak bebas menerabas konvensi bersastra, besar kemungkinan itu demi kebaruan. Tetapi jika karya sastra menjebol konvensi bahasa, sangat sulit dipertanggung-jawabkan secara logis jika alasanya licentia poetika.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Di sinilah jalan belah dua dari licentia poetika itu, ia memiliki ruang gerak sejauh itu bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional. Ketika seseorang melampau batas ini, maka tindakannya itu bukan lagi dalam kategori licentia poetika berdasar. Dan di era yang sudah semaju ini (pengkerdilan bahasa nasional di tengah arus globalisasi), saya rasa tidak bijak jika kita mengorbankan bahasa hanya demi sebuah gejala yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara logis. Saya tahu dalam ilmu-pasti saja tidak ada hal yang logis, sebagaimana satu tambah satu sama-dengan dua yang secara logis hal itu sebenarnya mustahil karena kita tahu satu kuadrat tidak mungkin dua, atau tidak mungkin mencari akar angka dua. Tetapi sebuah konvensi harus ditentukan demi terwujudnya titik temu dalam pembelajaran. Perdebatan seperti itu tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak diakhiri dengan kesepakatan: satu tambah satu (harus) sama-dengan dua. Begitulah konvensi dalam bahasa juga ditempuh demi eksistensi bahasa itu sendiri<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">****<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kajitow<o:p></o:p></span></div><br />
<br />
</div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-52824305726282346252011-12-04T00:23:00.000-08:002014-02-02T17:16:21.894-08:00SASTRA DAN KEHIDUPAN<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">LALU KUCIUMKAN KEYAKINAN PADA GENGGAMAN TANGAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">oleh Kurniawan Yunianto pada 03 September 2011 jam 16:27<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">jangan terlalu lama di luar sana <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">anginnya mengandung sekian megabyte<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">file aplikasi yang belum dimandikan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">tak baik untuk kesehatan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">sebentar sayang aku mau ke belakang <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">begitu kau bilang lalu melangkah lurus ke depan <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">menuju pintu alumunium bertuliskan toilet <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">yang dapat dengan jelas kubaca <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">tanpa kacamata <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">lalu segala yang cair kau keluarkan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">termasuk lendir di hidung <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">akibat sambal yang terlalu lezat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">dan kau tak harus memotretnya sebelum disiram<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">apa sayang <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">iya iya sekian kilobyte sisa makan siang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">memang mesti dibuang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">di sana kau melepas beban<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">di sini aku menunggumu pulang <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">*****<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Ada hal yang luar biasa dari puisi ini saat kita merenungi kata "di sana" dan "di sini" itu. Meminjam istilah Bung Huhi apa yang ada di dalamnya adalah sebuah kejadian lintas melintasi medium, dalam bentuk teks terlihat jelas ada dua hal yang memiliki dua peranan berbeda, yakni aku dan kau yang kebetulan juga berada di ruang yang berlainan pula (merujuk pada puisi sebagai bentuk teks). Tapi kemudian dengan cepat terserap dalam pemahaman jika si aku lirik berada di sininya sedang si kamu lirik berada di sananya, lalu bagaimana si aku lirik mengetahui gerak si kamu lirik? Atau dengan kata lain, dengan cara apa si aku lirik membahasakan gerak si kamu lirik? Maka jalan tengahnya saya kira ya pada lintas melintasi medium tadi, atau bisa juga dikatakan ia (si aku lirik) telah keluar dari "batas" yang digembar-gemborkan oleh tuan Faruk dalam diskusi sastranya itu. Jika melihat puisi kawan KY ini, bukankah batas yang dikatakan tuan Faruk dalam diskusinya itu telah terlampauinya. Kata telah bergerak menjauh dari batas yang biasanya mengekangnya. Untuk lebih jelasnya menyitir pendapat Tuan Faruk; "Yang saya maksud dengan setiap karya sastra terbatas adalah: (1) ia dinyatakan dalam bahasa tertentu, yang berlaku dalam ruang dan waktu tertentu, (2) ia punya awal dan akhir yang ,merentang dalam ruang dan durasi tertentu, dan ditentukan pada momen tertentu, (3) ia mengkonstruksi sebuah dunia yang di dalamnya terdapat kesinambungan antara satu hal dengan hal lainnya. Yang saya maksud dengan hidup tidak terbatas adalah bahwa ia ada melampaui tiga (3) batas yang membatasi karya sastra itu."<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Saat kita kembalikan tiga (3) hal itu pada puisi di atas, maka jelas terlihat ruang dan waktu telah diterabas oleh penyairnya. Saya sadar puisi di atas dinyatakan dalam bahasa tertentu memang, tapi saat kita sedikit melebarkan pemahaman terhadap batas kedua sebagaimana yang dimaksud Tuan Faruk ini, bukankah kode-kode bahasa yang dituturkan oleh penyairnya itu telah membombardir ruang dan waktu tertentu yang dikehendaki oleh Tuan Faruk tadi. Ia memang dalam konteks Bahasa Indonesia lengkap dengan logika bahasanya, tapi term logika bahasa yang mengehendaki si aku lirik harus dalam posisi maha tahu akan keadaan si kamu lirik telah dilangkahi. Bisakah itu berlaku dalam dunia puisi umumnya sastra dimana biasanya logika bahasa dijadikan rujukan dan konvensi dalam bersastra? Kenapa tidak. Dalam bahasa, segalanya mungkin. Lalu kenapa logika bahasa tidak bisa? Dalam puisi ini posisi si aku lirik yang berada di sininya sedangkan si kamu lirik ada di sananya telah menunjukkan kebisaan tersebut. Apa mungkin dalam keadaan berlainan ruang dan waktu itu membuat si aku lirik tahu sekian kilobyte sisa makan siang akan dibuang oleh si aku lirik? Belum lagi bagaimana si aku lirik mengukur persekian byte sisa makan siang si kamu lirik padahal sedikitpun dia seharusnya tidak berada dalam ruang dan waktu yang sama? Belum lagi bukankah byte itu untuk menentukan ukuran file bukan sisa makan siang? Belum lagi bukankah belum tentu si kamu lirik makan siang lalu membuangnya? Segalanya masih dalam batas mungkin. Dan hanya itu yang mampu dicapai oleh nalar kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Di sinilah saya sendiri tercengang persis ketika mengetik paragraf ketiga ini. Dan lebih tercengang lagi saat saya sadar telah mendapatkan jawaban dari sekian pertanyaan itu ternyata sudah ada di atas, entah disadari atau tidak oleh penulisnya jika tulisannya berkesesuaian dengan pertanyaan saya, bahwa si aku lirik telah "melintasi medium" ruang dan waktu sebagaimana yang dikehendaki oleh logika bahasa. Dan untuk inilah seringkali saya tidak setuju jika puisi semata-mata diukur dengan logika bahasa. Kenapa begitu? Departemen entah apa itu namanya--pusat bahasa--memang bertugas mencatat dan membuat batasan-batasan sebagai kiblat berbahasa. Tapi puisi sebagai anak bahasa selalu berada selangkah di depan pemahaman terhadapnya. Seperti kata Sutardji, kenapa dulu sungai disebut sungai? Apakah orang-orang dari Pusba mampu menjawabnya? Saya tidak yakin. Karena jawaban dari pertanyaan seperti itu memerlukan studi filologi yang panjang dan melelahkan. Belum lagi bukan makna harafiahnya yang dikehendaki Sutardji dari pertanyaannya tadi. Maka dapat disimpulkan, bahwasanya sastra dan hidup itu sendiri sama-sama tak terbatas. Karena jika kita menunjuk bahasa maka sebenarnya kita sedang berhadapan dengan semiotika seperti maksud De-sausure itu. Dan seperti kita tahu bahasa itu aksidensi bukan substansi. Artinya saat kita menunjuk bahasa sebenarnya kita sedang menunjuk pada wakil dari benda yang sebenarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Lebih daripada itu bisa jadi sastra jauh lebih tak terbatas dibanding hidup itu sendiri. Apa buktinya? Hidup jelas berakhir dengan kematian. Meskipun ada orang yang meyakini hidup itu tak berawal dan tak berakhir. Kata siapa hidup tidak berawal dan tidak berakhir? Apa buktinya? Ilmuwan saja kelabakan membuat satu sel hidup dari protein padahal seperti diyakini dari proteinlah sebuah sel menyusun dirinya sehingga ada. Teori Big Bang atau Teori Gas itu belum memberikan jawaban dari pertanyaan sederhana, bagaimana hidup itu ada? Ruang hampa ini menunjukkan bahwa ada yang memulai kehidupan sehingga hidup itu ada, sehingga ia (meminjam istilah Sutardji) meloncat dari kekosongan. Sedangkan sastra seperti kita tahu baru sedikit yang bisa dikuak dari masa lalu dengan Ginokritik (atau apa itu istilahnya?). Hal ini dengan sendirinya menghadirkan pemahaman, sastra merupakan misteri yang sangat besar sehingga mustahil bisa dipahami seluruhnya. Hidup berbatas dengan kematian, itu jelas. Ke mana sesudah mati itu? Orang berkeyakinan segalanya berputar dari kosong kembali ke kosong. Jasad hidup itu akan kembali ke tanah dan melanjutkan perjalanannya untuk kembali hidup dan mati lagi. Lalu bagaimana menghidupkan orang mati sebelum ia menjadi tanah dan berputar kembali menjadi sel hidup dalam sperma? Dalam fisika dikenal dengan reaksi dapat balik, yaitu sebuah proses dimana suatu kejadian dapat dibalik urutannya. Ilmuwan meyakini mereka bisa membuat bensin dari asap kendaraan dalam waktu singkat (tanpa perlu menunggu jutaan tahun menjadi jasad renik terlebih dahulu) berdasarkan teori tersebut. Coba sekarang balikkan posisi mati tadi menjadi hidup tanpa melalui proses menjadi tanah. Siapa yang bisa meniupkan ruh ke dalam jasad mati tadi? Atau dengan logika medisnya, seseorang yang telah divonis mati dapatkah dihidupkan dengan memberikan organ baru kepadanya? Saya yakin seluruh dokter di seluruh jagad ini akan angkat tangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sedangkan sastra seperti yang kita tahu terus bergerak dan tak terbatas oleh ruang dan waktu. Bahkan jika ada alien datang ke bumi dan mempelajari sastra kita, maka ia menjadi semakin tak terpetakan lagi. Alien? Apa mungkin ada kehidupan lain selain di bumi ini? Mungkin saja. Akan sangat mubazir jagat luas ini jika hanya punya satu planet yang bisa didiami oleh mahluk hidup. Ini fakta pertama, yang ke dua seperti yang ditunjukkan oleh puisi di atas itu, bahwasanya ruang dan waktu telah diabaikan dan itu menjadi mungkin saat kita memindahkan logika bahasa dari tempurung kepala kita. Banyak hal yang tidak mampu dijawab logika, bahkan dalam ilmu pasti sekalipun para matematikawan tidak benar-benar sepakat jika satu tambah satu sama dengan dua. Belum lagi menyoal hidup, belum lagi jika membahas Tuhan. Lalu kemudian dengan apa kita meraba sebuah karya sastra jika logika bahasa sebagai tolok ukurnya telah kita tanggalkan? Tentunya dengan imajinasi. Mungkin saja si aku lirik itu telah melintasi medium seperti yang kita bicarakan tadi. Ia telah memindahkan dunia nyata ke dalam dunia baru yang dibentuknya dalam puisi. Dunia bahasa itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">jangan terlalu lama di luar sana<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">anginnya mengandung sekian megabyte<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">file aplikasi yang belum dimandikan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">tak baik untuk kesehatan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Munculnya istilah kilobyte, megabyte, file dan sebagainya itu untuk petunjuk arah bahwa apa yang diceritakan dalam puisi telah berpindah ruang dan waktunya. Karena ruang dan waktu itu sendiri sebenarnya tidak ada. Okelah saat kita menunjuk awal kata, huruf atau bait dari puisi merupakan awalan sedangkan akhir kata atau baitnya adalah akhiran. Lalu bagaimana saat saya membacanya dengan bolak-balik demi mendapatkan pemahaman? Di mana awal dan akhirnya?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Inilah yang membuat para akademisi itu gagal saat mereka sibuk dengan perkara sepele dan lupa pada tujuan bersastra serta makna yang dikandungnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Puisi yang baru saja saya baca di atas itu datar memang, nyaris tidak menampakkan kehendak ayunan pemaknaan. Lihatlah kata yang dipilih penyair mungkin (maaf) terlihat jorok.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">lalu segala yang cair kau keluarkan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">termasuk lendir di hidung<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">akibat sambal yang terlalu lezat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">dan kau tak harus memotretnya sebelum disiram<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">apa sayang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">iya iya sekian kilobyte sisa makan siang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">memang mesti dibuang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Bahkan saat kita membaca dengan cepat akan tersirat sebuah gambaran biasa tentang sesuatu yang mungkin sekali lagi (maaf) tidak layak disastrakan. Lalu apakah yang dikatakan jorok itu tidak layak disastrakan? Apakah yang terlihat datar dan biasa itu tidak mengandung nilai kontemplatif? Sejujurnya saat kita terbiasa membaca sebuah karya yang memanjakan pembaca dengan diksi-diksi aduhai dan mendayu-dayunya, saat itulah ruang kosong muncul dalam benak kita, apakah puisi itu hanya diwakili ketaksaan kalimat saja? Artinya kita memendekkan jalur yang ditempuh penyair dengan langkah memutarnya itu menjadi sebentuk pemahaman yang singkat dan padat. Bukankah dalam puisi Penyair KY ini juga terdapat ruang yang sama untuk melakukannya? Bahkan sejujurnya beberapa penafsiran terus bertarung-tarung dalam mata batin saya mengenai puisi di atas itu. Terlepas dari kehendak penyair dan sebab terciptanya puisi ini, sebuah pertanyaan terus menengeram dan saya ragu-ragu memilih jawaban. apa yang sebenarnya dikehendaki oleh puisi ini?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Dan sayangnya sampai sekarang saya belum menentukan pilihan jawaban mana yang cocok dengan logika bahasa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kajitow<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Esais<o:p></o:p></span></div>
Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5208452713081999505.post-42559424276847560972011-12-03T23:20:00.000-08:002011-12-04T02:15:47.184-08:00MEMBACA FENOMENA PUISI KACANGAN<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">MEMBACA FENOMENA PUISI KACANGAN<o:p></o:p></span></u></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></u></b><br />
<b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></u></b><br />
<b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></u></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></u></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><u><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></u></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Apakah Puisi Kacangan itu?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Kacangan dari kata dasar kacang, kita tahu itu. Tapi apakah secara semiotis kacangan memiliki arti hampir sama dengan kacang? Jika kemudian dia dihubungkan dengan puisi, apa maksudnya?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Tidak perlu mengusut lebih jauh dari arti kacangan, karena yang saya kehendaki dari istilah kacangan itu adalah sesuatu yang tidak memiliki arti lebih dari camilan. Seperti halnya telah dimaklumi dari kacang, ia tidaklah mengenyangkan bila dibandingkan dengan nasi, mie, atau roti. Meskipun bisa saja jika mengkonsumsinya dalam jumlah banyak akan sama mengenyangkan, tapi itu tidak wajar dilihat dari kebiasaan umum. Puisi Kacangan memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dari kacangan yang saya maksudkan tadi. Puisi Kacangan tidaklah memberikan nilai secara “kenyang,” ia ada hanya sebagai bukti sejarah bahwa ada puisi-puisi gagal tersebut dalam dunia literasi. Ia juga sebagai pembanding adanya puisi yang lebih berhasil dari puisi yang kacangan tadi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Banyak orang mendakwa dirinya sebagai seorang penyair dalam arti telah sejajar dengan orang-orang yang benar-benar bergelut dengan bahasa sehingga mampu memunculkan ekspresi dunia batinnya secara total. Sebut saja Chairil, Sutardji, Rendra, Amir Hamzah, Sapardi, Gunawan Mohamad, dan sebagainya. Namun dunia batin yang mereka cuatkan tidak diolah dengan serius dan dengan sepenuh hati sehingga yang muncul adalah sesuatu yang patah, sesuatu yang kehilangan gravitasi, sesuatu yang kering, sesuatu yang terpelecat dari tujuannya, sesuatu yang gagal terlahir sempurna, sesuatu yang tidak mengenyangkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Seseorang, misalnya ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang berlebihan kemudian ia menulis puisi. Atau seseorang pekerja yang sibuk dan mencari pelarian dunia baru dengan menulis puisi. Seseorang yang menulis hanya karena hobi, sebagai upaya terapi, atau sekedar ingin disebut penyair. Mereka tidaklah mungkin sejajar dengan Sang Binatang Jalang yang hidup semata demi dan untuk puisi, Sutardji dengan Kapaknya yang meradang-menerjang tanpa perduli kecenderungan umum berpuisi, Sang Burung Merak Rendra yang kokoh berpegang pada esensi bersastranya sehingga membencongkan semua penyair yang suka “bersolek,” atau penyair lain yang sungguh-sungguh berjibaku menangis dan meratap dalam dunia yang mereka cintai. Kedua golongan tadi tidak mungkin menghasilkan karya sastra yang sama bobotnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Banyak orang berkumpul siang-malam menggelar simposium, seminar, diskusi, pertemuan-pertemuan yang mengatasnamakan sastra. Mereka bernyanyi, tertawa, menangis, terharu, lalu masing-masing pulang dengan sebuah ilusi kesastrawanan semu. Apa yang mereka hasilkan tidak benar-benar mereka hayati. Dari kriteria estetis, indah mungkin karya yang terlahir dari hingar-bingar kesastrawanan semu tadi, tapi tidak mengandung nilai yang mengenyangkan. Kering dan tidak memiliki gravitasi yang bersifat monumental.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Tidak disalahkan jika beberapa orang bertemu lalu memperbincangkan sastra. Tapi bukan berarti dengan berkumpul, makan, minum, tertawa, berfoto ria itu sudah menjadikan mereka sastrawan yang pantas menepuk dada, “kamilah sastrawan termutakhir.” Pertemuan-pertemuan semacam itu sekedar studi banding dan merupakan perekat komunitas besar sesama pecinta sastra, yang kemudian melahirkan dorongan untuk berbuat atau menciptakan sesuatu. Tapi banyak yang salah menilai jika dari pertemuan semacam itu seorang sastrawan sejati akan terlahir. Mungkin pertemuan-pertemuan tersebut memang bisa melahirkan sastrawan, tapi sastrawan palsu yang muncul dari gemerlap pameran penjualan buku dan perasaan wah terhadap diri sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Seorang ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang berlebih, atau seorang pekerja yang sibuk menghendaki dunia baru sebagai pelarian, seorang yang hobi menulis, seorang yang menjadikan menulis sebagai terapi tidaklah mungkin melahirkan sesuatu yang benar-benar bergizi dan mengenyangkan jika mereka tidak total bergelut dalam karyanya. Sastra bukan sekedar tulisan, bukan sekedar pamer komunitas, bukan sekedar kasih unjuk ekspresi seni di You-Tube. Tetapi ia merupakan dunia tersendiri yang diperjuangkan oleh para penghuninya dengan bersusah payah berjibaku secara total.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Seperti diketahui, tujuan sastra itu sendiri demi mengangkat harkat kemanusiaan dengan nilai agungnya. Beberapa orang yang bertemu dan membincangkan sastra tidak akan sampai pada esensi ini karena laku bersastra adalah merupakan perenungan yang mendalam mengenai kehidupan. Hal itu mustahil didapatkan secara instan, bahkan esensi bersastra ini pun tidak terdapat di bangku pendidikan sastra formal. Apatah lagi sekedar menulis sesuatu yang “kacangan” kemudian merasa wah dan menganggap diri sebagai sastrawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Setiap orang berhak menjadi sastrawan, bahkan HB. Jassin sang Paus Sastra Indonesia sekalipun tidak berhak membabtis seseorang menjadi sastrawan atau menolaknya. Karena sastrawan terlahir dengan sendirinya. Seorang sastrawan dikenali dari karyanya, dalam hal ini pemerhati sastra katakanlah kritikus sastra melakukan kajian mengenai karya satra dan laku bersastra dari sastrawan kemudian memberikan penilaian terhadapnya. Di sinilah peran seorang seperti HB. Jassin itu, meskipun kelahiran seorang sastrawan tadi sebenarnya muncul dengan sendirinya baru kemudian dicatat oleh sejarah literasi melalui karyanya. Artinya kemunculan karya itu di dasari oleh laku bersastra dengan segenap esensinya tanpa ada seorang pun yang berhak membabtis atau menolaknya menjadi sastrawan. Ini adalah fungsi-fungsi yang sebenarnya berjalan dengan alami. Sebuah karya sastra memerlukan pembanding sehingga bisa dinyatakan berhasil atau gagal sesuai perbandingan tadi. Di sini seorang kritikus sastra mengambil peranan penting dalam menghakimi karya sastra sehingga layak dikonsumsi khalayak karena ia bergizi dan mengenyangkan. Baru bisa dikatakan pencipta karya satra tadi adalah seorang sastrawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada dasarnya setiap orang yang menulis karya sastra bisa disebut sebagai sastrawan. Hal itu tidak menyalahi definisi sastrawan secara bahasa. Tetapi kecenderungan mengklaim secara bahasa tadi akan memunculkan praduga yang dangkal mengenai hakikat sebenarnya dari gelar sastrawan. Seorang satrawan tidak membutuhkan gelar bagi dirinya untuk disebut sastrawan, tapi posisi tersebut diberikan sebagai penghargaan atas totalitasnya dalam berkarya. Hal ini sama halnya dengan seorang muslim yang bershalawat untuk Nabinya, padahal Nabi tadi tidak butuh dimohonkan keampunan atas dosa-dosanya karena telah diampuni semua perbuatan yang telah dan akan dilakukannya. Begitu juga dengan umat kristiani yang memuji Yesus Kristus sedemikian tingginya padahal Yesus sendiri tidak perlu dipuji karena dengan sendirinya sudah agung. Tetapi hal itu tetap dilakukan karena pentingnya posisi tadi. Shalawat yang dibacakan seorang muslim akan kembali pada dirinya, pujian yang ditunjukkan oleh umat kristiani akan berpulang pada diri mereka juga. Dalam bershalawat itu timbul hubungan kausal, dalam pujian itu memunculkan cinta kasih.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Begitulah gelar sastrawan diberikan kepada pemiliknya. Bukan karena pemiliknya ingin disebut demikian tapi karena keharusan pemposisian di samping sebagai hubungan kausal. Seperti keharusan aksidensi nama terhadap benda substansialnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Maka seorang sastrawan sejati itu tidak saja menulis, tapi benar-benar menjiwai apa yang ditulisnya. Jika seseorang yang memiliki waktu luang atau yang sibuk bekerja butuh pelarian dengan membuat Puisi Kacangan kemudian menyebut dirinya penyair, itu sudah menyalahi kewenangan. Dia bisa disebut begitu jika sudah bersungguh-sungguh bergelut dalam dunia barunya tersebut. Tentu saja hal itu bisa dilihat dari hasil ciptaannya. Sesuatu yang bergizi dan mengenyangkan akan tumbuh dari kesungguhan menanamnya. Maka dari itu laku bersastra ini mutlak dilakukan sesorang sebelum mengklaim dirinya sebagai seorang sastrawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hal ini adalah sebuah dorongan bagi siapa pun untuk tidak setengah-setengah dalam bersastra. Dibutuhkan totalitas dan penjiwaan dalam berkarya. Secara bahasa, setiap orang sah untuk disebut sastrawan, setiap orang berhak disebut penyair, tetapi sebutan semacam ini akan melukai sastrawan yang sebenarnya: sastrawan sejati yang telah besusah payah bergelut dengan bahasa. Lalu bagaimana bisa dikatakan seseorang total dalam berkarya? Apakah jika sebuah karya yang dikatakan kacangan tadi tidak layak ditulis dan dipublikasikan? Segala sesuatu membutuhkan proses. Tidak ada yang salah jika menulis sesuatu yang cengeng atau kacangan dan mempublikasikannya. Tidak ada yang salah dengan menyebut diri penyair atau sastrawan meski tidak memiliki esensi dalam laku sastranya. Semua itu wajar dan bahkan harus dilakukan sebagai langkah awal menapak dalam dunia sastra. Yang disayangkan adalah kecenderungan mengklaim tadi membutakan padangan dari makna hakiki dari gelar sastrawan tadi. Seseorang berhenti hanya pada tahap awal ini dan malas untuk melangkah lebih jauh. Yang akhirnya menjamurlah Puisi-Puisi Kacangan yang terlahir prematur, kering, patah, dan tidak mengenyangkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jika praduga dangkal terhadap definisi sastrawan ini terus digaungkan di jejaring sosial, koran, majalah sastra, simposium, seminar, diskusi sastra, pertemuan hihi dan haha, agaknya saya memang harus setuju dengan ucapan Saut Situmorang, “So much for Indonesian literrary criticism!”</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"><br />
</span></div><div style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;">****</span></div><div style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"><br />
</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"><br />
</span><br />
<br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;">Kajitow Elkayeni</span><br />
<class="apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"> <span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;"><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px; line-height: 18px;">Dia yang berseru seperti pendahulunya, “Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang tiada beriak!”</span></class="apple-style-span"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>Sastra Hatihttp://www.blogger.com/profile/17731604061789244967noreply@blogger.com6