museum

Sabtu, 05 Mei 2012

DUNIA OH DUNIA






Puisi adalah sebuah dunia unik yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dengan begitu bahasa di sini hanya berfungsi sebagai alat penyampaian maksud, sehingga makna yang digunakan dalam puisi adalah makna metaforikal bukan makna literal. Dalam dunia batin seorang penyair ada ruang sunyi khusus yang membuatnya melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda: dunia dan segala yang ada padanya. Manakala kita sadar akan hal ini, maka patutlah kepenyairan itu akan mengerucut dan menyentuh langit yang dijunjung sekaligus yang ditujunya. Termasuk sastra itu sendiri, yang mana tujuannya adalah demi mengangkat kemanusiaan dengan nilai-nilai agung. Ini esensi dari sastra seperti yang didengungkan oleh Rendra itu. Tidak disangkal, telihat di sekitar kita banyak penyair dan sastrawan yang lupa pada esensi tadi dan sibuk mengejar estetika. Banyak manusia-manusia yang dianugrahi ruang khusus tadi menjadi buta arah sehingga disebut oleh Rendra mencipatakan karya yang "Kering." Manusia pada umumnya memang memiliki ruang sunyi ini, bisa dikatakan ia adalah bentuk dari nurani. Tapi khusus pada penyair, ia telah memaksimalkannya sehingga ia menyublim pada puisinya dengan mengambil gambaran dari dunia yang retak itu. Puisi tidak saja isyarat yang terlahir dari perenungan, namun telah melewati berbagai pertimbangan dan memiliki konvensi tersendiri. Maka dari itu, siapa pun dia, apa pun profesinya sebenarnya boleh ambil bagian, dan dengan begitu ia juga menjadi penyair dengan sendirinya.

Yang kemudian menjadi luput adalah kecenderungan untuk mengejar estetika tapi lupa pada esensinya. Keindahan karya sastra memang serupa apel dari sorga yang hendak diraih oleh berjuta sastrawan dan (meminjam istilah Penyair Imron Tohari) penikmat baca. Dengan itu kita hendak menggaris lurus politik selera dan konvensi dalam bersastra. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah estetika bukan satu-satunya apel ranum yang hendak kita lumat dengan pemahaman. Lebih jauh sebelumnya kita mesti mengukur esensi di dalamnya. Kenapa begitu? Penyair dan umumnya sastrawan adalah manusia-manusia khusus yang memiliki anugerah ruang sunyi tadi. Jika esensi ini sampai terlepas maka lesatan dari ruang sunyi tadi akan menjadi karya yang kering seperti maksud Rendra di atas itu. Kering dari ruh yang membuatnya subur dan menumbuhkan berjuta-juta inspirasi bagi orang lain. Kering dari semangat luhur mengangkat kemanusiaan yang sejak awal hendak dikejar oleh orang-orang terdahulu sebelum masehi itu. Seperti yang digariskan oleh Plato atau Aristoteles mengenai tujuan sastra ini.

Maka saat berhadapan dengan puisi pertanyaan pertama yang saya ajukan pada diri saya sendiri adalah mengenai esensi tersebut. Sebuah puisi yang paling cengeng sekalipun adalah sebuah lesatan pandangan batin yang dengannya kata-kata membangun dirinya menjadi sebentuk kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda). Apakah kata-kata itu kait-mengait dengan sendirinya sehingga tiba-tiba muncul dengan ajaib menjadi sesuatu yang agung? Saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu karena puisi bukan bintang jatuh yang semata-mata mengandalkan bim salabim atau kun fa yakun. Tanpa adanya latar belakang dan ruh yang menyeret huruf-huruf berjajar sedemikian rupa itu akan memunculkan sesuatu yang kering dan kosong. Bagaimana bisa mengatakan hal yang tak bernyawa seperti itu indah ketika kita sadar ia hanyalah sebentuk kode-kode bahasa yang terlahir karena proses kloning kata: yakni kata itu mengait dengan kata yang lain dan melupakan tujuan yang menyebabkannya ada.

Tanpa ruh dalam tubuh bahasa, mustahil kata-kata itu memunculkan hisapan. Sebagaimana kita sulit menerima jika Tuhan tidak mengambil tempat padahal mustahil Tuhan memerlukan sesuatu selain dirinya. Jalan damainya adalah: Tuhan meliputi segala sesuatu sebagaimana ruh dalam tubuh bahasa.


Pemandangan Yang Jauh
oleh Eimond Esya pada 08 Agustus 2011 jam 22:53

Seperti pemandangan yang jauh,
Yang bukan dari dunia ini
Aku percaya darah dan waktu mengalir di tempat yang sama

Dan seperti pemandangan yang jauh,
Mata dan tanganku melihat dunia ini
Tidak sebagaimana kau melihatnya
Mata dan tanganku melihatnya dan telah
menerima hadiah-hadiahnya
Sebagai serangan-serangan yang kejam
Menerima dirimu, O, kukatakan padamu,
Alangkah sedihnya

Seperti tak ada yang benar-benar pernah kumiliki
Seperti tak satu keindahan pun,
Tak satu sukacita pun

Kaki-kakiku lemah
Darahku merupakan penakut yang berputar kembali

Merupakan lingkaran pertanyaan

Kenapa kita dikirim ke sini
Menempuh jalan yang salah

Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah


Sebagaimana umumnya penyair yang lain yang menunjukkan ekspresi jiwanya, puisi di atas itu mencerminkan gejolak sama yang sedang dirasakan penyairnya. Gejolak itu membuatnya gelisah dan menumpahkannya melalui medium bahasa. Ia melihat dunia sebagai pemandangan yang jauh, dunia yang tiba-tiba menjadi asing baginya. Dunia yang dirasakannya terbelah, penyair berdiri dalam ruangan sunyinya dan mengembalikan dunia yang terbelah itu ke dalam puisi. Puisi Penyair Eimond ini sebenarnya juga terrefleksi dalam karya-karya penyair yang lain saat meraba dirinya sendiri, saat ia mempertanyakan kemanusiaannya sendiri, saat ia terdampar dalam ruang sunyinya seorang diri, saat ia bernyanyi lirih dengan suara batin tergagap, saat ia menertawakan kesedihan, saat ia memandang dunia yang tiba-tiba menjadi asing. Sebagaimana menengok Pablo Neruda yang tidak yakin dengan keberadaan Tuhan tapi meratap dengan penuh duka:

Oh Bumi, Tunggulah Kami

Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.

Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.


Dalam pemahaman sufistik, mati bukanlah suatu hal yang mengerikan. Ia hanya pintu menuju. Dari laut pulang kembali ke muara. Menuju itu adalah proses untuk mengada dari ada. Entah dengan bentuk seperti apa tapi kematian menjadi bergerak, kematian tidak berhenti. Hidup di sini menjadi asing sebenarnya. Dalam arti ketidakkekalan dalam hidup ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Sartre memaknainya untuk soliter (sunyi) sehingga manusia itu terkutuk untuk bebas. Ini nilai eksistensi menurut Sartre yang lebih penting dari esensi, karena eksistensi lebih dulu ada. Pemikiran semacam ini seharusnya pula yang membuat manusia penyembah logika seperti Pablo mengikutinya. Tapi ternyata tidak. Meski keyakinan Pablo berbeda dengan pemahaman sufistik dan umumnya keyakinan agama di muka bumi, tapi kematian itu ditangkapnya dengan arah yang sama: bahwa kematian itu tidak berhenti, tapi proses menuju.

Sebagai pusat tata surya, matahari dipercaya sebagai pemberi kehidupan. Tanpanya kehidupan tidak akan bertahan lama. Bumi akan membeku jika setahun saja matahari pensiun. Matahari yang oleh orang-orang mesir kuno itu disembah dengan sebutan Ra, menjadi pusat kesadaran Pablo Neruda sebagai pusat untuk menerima rintihannya sebagai manusia. Matahari dijadikan simbol sebagai wajah Tuhan bagi yang beragama. Pablo tidaklah sedang menyembah matahari itu, namun kesadaran akan mati yang tidak berhenti tapi merupakan proses menuju itu diberitakannya di sini. "Kembalikan aku oh, matahari," katanya. Kembali ke mana? Ke muasal sebelum mengada dalam bentuk manusia tentunya. Kepada alam itu sendiri menjadi partikel yang entah bagaimana prosesnya menjadi sel hidup. Itulah nasib yang liar. Sebuah perjalanan tak tentu arah, ketika segalanya baru saja berawal seperti hujan hutan purba. Sewaktu bumi masih begitu remaja. Sewaktu kata purba belum ditemukan karena ia dalam kepurbaan itu. Hujan hutan purba adalah simbol permulaan dari kehidupan. Di sini dikatakan purba, karena kata itu telah dikenal. Dan Pablo ingin naik kembali ke sana dengan membalikkannya.

Hujan di suatu hutan purba adalah awal dalam keyakinan Pablo. Pada awal itulah akhir akan kembali bergerak ke sana. Ini menarik sekali karena secara naluri tanpa kehadiran Tuhan pun manusia memiliki kesadaran akan mati itu. Bahwa ia adalah rangkaian proses. Dan ini sebenarnya sebentuk pertanyaan atas awal itu sendiri. Apakah proses berputar ini sudah ada dan akan terus seperti demikian? Ini pertanyaan sama yang dicari jawabannya oleh ilmuwan. Tapi ilmu pengetahuan buntu dan tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses menuju ini berawal. Namun ada indikasi segala sesuatu yang eksis pasti ada yang memulai. Dalam puisi ini jawaban itu memang tidak ditemukan. Tapi pertanyaan yang sama mengeram di sana. Di tengah kepasrahannya itu Pablo merindukan sesuatu yang tidak didapatnya. Kedamaian tentu saja sebuah utopia yang menarik. Namun sejak manusia bercokol di muka bumi ini, adakah kedamian itu benar-benar terwujud? Tanpa disadarinya, Pablo sedang merasakan sebuah hisapan yang jauh melampaui kekuatannya. Ia menjadi kerdil dan mengakui keberadaan sesuatu yang tak tersentuh nalar, dimana hidup yang tidak mampu diteorikan oleh jutaan ilmuwan itu membuatnya gelagapan mempertanyakannya. Hidup yang mustahil ada dengan sendirinya itu memunculkan serangkaian pertanyaan yang tak habis.

Sesuatu yang entah bagaimana bermula dan berakhir menjadikannya terlihat begitu rapuh. Dan saat itulah kita juga mesti bertanya bukankah kekuatan maha yang menghisap itu merupakan cerminan dari adanya Tuhan? Kekuatan itu pula yang membuat Derrek Walcot dengan rindu lautnya meraba dirinya sendiri:


Rindu Laut

Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.


Dalam puisi ini, Derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. Begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. Benda-benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. Ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. Padahal tidak ada apa-apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. Dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. Kita tidak sedang membicarakan Tuhan di sini. Tapi sunyi itu seolah Tuhan yang bergerak tanpa gerakan, yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. Sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. Ini inti sunyi itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. Atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok Tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. Yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyair Eimon Esya, Pablo neruda, begitu juga dengan penyair-penyair yang lain, yang membuat kita mempertanyakan hal yang sama.

Dari sanalah menurut saya esensi bersastra itu berangkat. Mungkin ia naik ke atas dan menggugat kekuatan maha yang kita kenal dengan Tuhan. Mungkin juga ia meluncur ke bawah dan mempertanyakan kemanusian yang sebenarnya hendak diangkat oleh sastra dengan nilai agungnya itu. Maka tak heran jika Rendra menolak bantuan sembilan milliar pertahun dari Amerika karena ia merasa dibeli(?). Ketika ingat hal itu, apa yang saya nyatakan di atas tadi masih perlu dipertanyakan lagi: akankan esensi yang berangkat dari perabaan penyair atau sastrawan tadi benar-benar meruncing yang menyentuh langit yang dijunjung sekaligus ditujunya? Sekali lagi dengan rendah hati Rendra menolak bantuan tersebut dan dialihkan pada orang lain. Tapi apakah orang-orang atau kelompok yang menerima uang ini akan dikatakan tidak beresensi lagi jika hal itu bermanfaat (meski mungkin hanya untuk golongan dan orang terdekat)?

Saya tidak tahu.

Sikap yang saya ambil adalah ikut bernyanyi sedih seperti Penyair Eimond termasuk juga yang lain, saya ikut menertawakan kesedihan yang terjadi di dunia sastra dengan nyanyian sedih itu.

"Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah"







*) Puisi-puisi diambil dari Facebook dan Horison atas terjemahan Agus R. sarjono dan Nikmah Sarjono

***





Dunia oh dunia, hiks dan haha

Kajitow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar