Tajuk Populer

museum

Selasa, 20 Mei 2014

MENGHIDUPKAN KEBUDAYAAN MATI




Kebudayaan seringkali diartikan sebagai  sesuatu yang telah terjadi, selesai, dan bahkan mati. Jika demikian halnya, maka museum tak lebih hanyalah sebuah kuburan. Ia hanyalah kebudayaan yang mati.

Tetapi anggapan umum ini tentunya keliru, ketika memahami kebudayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bersatunya manusia dengan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan. Ia bagai garam dalam masakan, meresap secara berimbang. Maka sebagai rumah peradaban, keberadaan museum seharusnya juga tak terpisahkan. Manusia yang membangun dan mendiaminya sebagai tempat untuk berlindung dari mudah lapuknya ingatan. Dalam Culture-determinism, yang digagas oleh Bronislaw Malinowski disebutkan bahwa, segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan mereka sendiri. Maka dengan demikian, masyarakatlah yang harus bergerak dan berbenah, jika kebudayaan lampau mulai terancam oleh alienasi.

Ironisnya, tempat penting yang diniatkan sebagai sumber informasi bagi pendidikan dan seni ini kurang mendapatkan perhatian. Jarak ini tercipta karena banyak hal, di antaranya kurangnya rasa memiliki. Museum dijadikan liyan, bukan bagian yang membentuk diri subyek. Ketika sampai pada kenyataan ini, keadaan harus segera dikembalikan sebagaimana mestinya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang, namun dengan pemahaman dan orientasi perbaikan yang benar, hal itu bisa diwujudkan.

Dalam sebuah dialog yang diadakan di Museum Nasional dengan pembicara Edi Haryono, Mohamad Sobari (tidak hadir) dan dimoderatori oleh Dwi Klik Santosa, sempat digulirkan sebuah pembahasan dengan tema, Bagaimana mencintai museum kita? Sebagai pembicara, Edi Haryono memberikan tiga jawaban, yaitu: Pertama: memanfaatkan rasa ingin tahu yang dimiliki semua orang, dari kanak-kanak hingga kakek-nenek. Kedua: menyadari kebutuhan menempa diri, sebagai bekal pokok dalam persaingan hidup. Ketiga: merenung, sebagai proses melahirkan perkembangan hidup yang terhindar dari mekanisme pasar.

Selaras dengan tujuan itu, jika mengingat kesimpulan J.J Hoenigman, menyoal kebudayaan, semestinya ada tiga hal yang saling berkaitan, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Dari tiga poin yang diajukan oleh Hoenigman ini, problem kurang perhatian yang dialami museum itu bisa dicarikan jalan keluar sesuai ruang-lingkupnya. Hal itu bisa dipahami sebagai berikut:

Pertama soal Gagasan, ia meliputi kumpulan ide, nilai-nilai, peraturan, norma. Sesuatu yang tinggal dalam ingatan kolektif masyarakat. Dari hal abstrak ini akan terlahir suatu rumusan dalam bentuk tulisan, maka kebudayaan dalam bentuk ide tadi akan terlahir sebagai sebuah informasi yang baru dan lebih kokoh. Ingatan, cara terkuno dalam menyimpan kebudayaan dalam bentuk ide, sering kali membelokkan beberapa hal. Ia tercampuri oleh desakan simpanan data yang lain sehingga terkadang bias. Manusia menempuh beberapa cara agar nilai-nilai itu, praturan itu, kumpulan ide itu, tidak terkikis oleh waktu. Di antaranya adalah dengan tulisan tadi, atau cara yang lebih tua yaitu dengan menuturkannya secara turun temurun secara lisan.

Dongeng disinyalir sebagai salah satu cara efektif untuk merawat ingatan kolektif itu. Dengan cara didongengkan, sebuah nilai-nilai luhur hasil rumusan orang-orang terdahulu bisa diajarkan pada orang kemudian. Masa lalu itu akan terjaga dengan baik. Untuk beberapa hal, ia memang dilambungkan, dilebihkan, dibesar-besarkan, sesuai logika dongeng. Tetapi kebaikan nilai-nilai itu mengendap dan tetap.

Untuk menghidupkan kembali museum bisa dilakukan dari tataran ide ini. Kebudayaan mati harus dihidupkan kembali dengan cara dibarukan lagi. Para kreator dimunculkan, rumusan pembelajaran dihadirkan. Ide-ide segar yang memuat cerita-cerita bernilai pengajaran kebudayaan lampau harus ditumbuhkan dan ditularkan pada generasi penerus. Kelak, merekalah yang akan memunculkan ide-ide segar serupa agar kebudayaan lampau senantiasa dekat, menyatu, dan seirama dengan kekinian serta hari esok.

Sedangkan yang ke dua aktifitas, ia mencakup tindakan, interaksi, tata kelakuan. Sesuatu yang sifatnya konkret dan bisa didokumentasikan. Ini juga menyangkut tradisi yang dilakukan secara rutin oleh masyarakat. Untuk menunjang berlangsungnya tradisi ini, kreatifitas sangat dibutuhkan. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu membentuk pola dan dengan sendirinya akan membentuk tradisi. Namun, tradisi ini juga terdesak kebiasaan-kebiasaan baru, yang kebanyakan belum teruji. Asimilasi budaya membutuhkan waktu dan proses alami. Dalam alam informasi serba cepat, banyak yang mengalami kejutan kebudayaan sehingga teralienasi dari kebudayaannya sendiri.

Orang-orang harus dibangunkan dari keterlenaan, dari pengaruh budaya serba instan dengan menghadirkan karya cipta. Secara nyata dan hadir, mereka bisa ikut berpartisipasi, menyokong, menguatkan. Dalam kebersamaan itu, pemberdayaan secara konkret kebudayaan mati menemu bentuknya. Ia akan hidup bersama gerak-cipta para pelakunya.

Saya kira tidak perlu bicara muluk-muluk soal pencerahan universal. Sebuah karya nyata sesederhana apa pun bentuknya adalah sumbangan besar bagi kebudayaan. Hal-hal besar harus dimulai dengan yang kecil juga, dari yang paling sederhana, diri sendiri misalnya. Di masa lalu, Borobudur, Prambanan, Cetho, situs Majapahit, bolehlah menjadi kebanggaan, tapi kemegahan itu tidak boleh berhenti di sana. Kreator harus kembali dimunculkan, kemegahan baru harus kembali dilahirkan.

Kemudian yang terakhir dalam konsep itu adalah artefak, ia adalah wujud kebudayaan secara fisik. Artefak adalah kebudayaan mati yang sebenarnya. Ia obyek yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ada peranan subyek. Museum berada dalam wilayah ini. Ia tempat untuk melindungi budaya material itu dari kerusakan dan tindakan ilegal.

Dua konsep sebelumnya tidak akan lengkap tanpa ada dukungan dari museum selaku rumah pradaban. Museum memang perlu untuk dipercantik dari segi fisik, menempatkan benda-benda bersejarah dalam tempat yang terlindungi, bukan dibiarkan terserak di tempat terbuka layaknya barang tak berharga. Membuat suasana nyaman, indah, menyenangkan. Tapi yang lebih penting dari itu, menghidupkan jiwa militan bagi para pengurusnya.

Dalam gerusan modernitas dan cara pandang yang melampaui kenyataan (hiperrealitas), barangkali museum dan instansi bagian data lain bukanlah sebuah tempat ideal yang bisa dibandingkan secara prestise dengan kemegahan bank, istana negara, gedung-gedung pemerintahan yang canggih, perniagaan besar yang mewah. Keminderan semacam ini harus dihilangkan. Museum adalah tempat terhormat yang melampaui batas materiil dan nilai visual yang dangkal. Pengurus dan pegawainya adalah orang-orang penting yang berjiwa patriot, yang berkerja dengan berlandaskan kecintaan luar biasa.

Kritikan terhadap museum bukan hal baru. Banyak orang yang dengan mudah menyalahkan. Kritikan semacam itu memang penting, ia bentuk lain dari perhatian yang nantinya menguatkan, memperbaiki, menjaga. Tapi juga harus jujur diakui, dibutuhkan orang-orang ulet, berdedikasi dan tanpa pamrih untuk melakukannya. Di banyak museum, kesederhanaan pengurusnya membuktikan hal itu. Bahkan ada beberapa yang rela berkorban secara pribadi baik moril maupun materiil atas nama kecintaan pada rumah peradaban tersebut. Menjadikan diri bagian darinya, menyatu lahir-batin.


Mengingat hal itu, patut direnungkan kembali hakikat kecintaan itu. Jika seluruh elemen dari konsep tadi, mulai dari tataran ide, aktifitas, artefak, dapat dibangun lagi, kebudayaan mati akan hidup kembali. Dan ini membutuhkan suara bulat dari seluruh elemen bangsa untuk bersatu, berbudaya dengan segenap rasa cinta.



Kajitow Elkayeni

Senin, 19 Mei 2014

MUSEUM DAN KITA








Bung Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani menegaskan pentingnya kaitan masa lalu dan kekinian. Disebutkan bahwa mitos sekalipun memiliki andil yang sangat penting dalam membentuk jiwa sebuah bangsa. Ini menarik, mengingat mitos itu adalah bagian dari peradaban masa lalu. Sebuah pesan yang dikemas rapi dengan rangkaian cerita yang, kadang tidak masuk akal. Karena melompati batas nalar itulah sebuah mitos selalu berada selangkah di depan kekinian. Di Yunani dulu, dari fantasi itulah orang-orang mulai berpikir dan membentuk peradaban.

Ia memang berasal dari masa lalu, tapi ia selalu mendahului pemahaman kekinian.

Museum hakikatnya juga memiliki peran yang sama, ia menyimpan pesan-pesan masa lalu itu melalui bukti kongkret berupa kebudayaan material. Bahkan, dengan sendirinya, mitos dan unsur-unsur pelengkap kebudayaan lainnya turut serta di dalamnya. Kebudayaan material itu tentu saja mendatangkan berbagai tafsir ketika ia dikaitkan dengan mitos. Tetapi selalu ada jalur logika sejarah untuk membatasinya.

Seperti yang dikatakan Bung Hatta tadi, bahwa Yunani memulai peradaban dari lompatan fantasi, yang dipinjamnya dari istilah Windelband. “Filosofi sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu keadaan atau hal yang nyata”. Maka sudah barang tentu negara-negara maju juga memiliki kaitan erat dengan kebudayaan lampau. Eropa dan Amerika masa kini adalah bentuk baru dari Romawi Kuno. Sedangkan Romawi sendiri mengambil contoh dari Yunani Kuno. Berbekal budaya masa lalu itu, mereka memiliki modal yang lebih unggul. Maka dengan tambahan kerja keras dan iklim perpolitikan yang kondusif, jadilah mereka yang terdepan dalam soal kemajuan.

Ada dorongan dari dalam yang menumbuhkan semangat dan kebanggaan untuk berkarya cipta. Kebudayaan masa lalu itu menjadi roh dari tubuh-tubuh budaya kemudian. Dari sanalah kemudian dikenal sebuah pemahaman yang disebut Modernisme. Manusia tak pernah cukup untuk membentuk sebuah dunia ideal dan mereka terus bergerak dengan berbagai cara. Memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliknya untuk maju dan gemilang.

Meskipun kemudian muncul pula kajian Postmodernisme di belakangnya. Kemajuan yang dimotori oleh paham modernisme itu mengalami kebuntuan. Manusia modern di negara maju terjangkiti alienasi. Mereka berubah menjadi makhluk mekanis yang dipacu oleh waktu. Diktum Descartes, I think therefore I am (aku berpikir maka aku ada) ditambah dengan positivisme August Comte lambat-laun mengakibatkan ketimpangan dan manusia  terserang patologi modernisme.

Oleh sebab itu muncullah gerakan Postmodernisme, suatu kritik yang diajukan untuk mendekonstruksi keteledoran Modernisme, yang tidak lagi menggubris tradisi dan agama. Akibat kritik itu, perhatian Eropa dan Amerika berbalik. Mereka kembali menelaah pemikiran, tradisi dan kebudayaan Timur. Tujuan mereka jelas, ingin mendapatkan obat untuk membebaskan dari pengaruh buruk Modernisme. Barat yang identik dengan kemajuan mulai belajar kembali pada Timur. Taoisme, Budhisme, dan tradisi pemikiran Timur lain digali kembali.

Ini tentunya mencengangkan, sebab, dalam dunia Timur, kebudayaan dan tradisi dianggap tertinggal, tak bermutu, dan kuno. Dengan sangat terlambat bangsa Timur beramai-ramai mengejar ketinggalan dari modernitas Barat, mengejar sebuah ilusi, yang jika meminjam bahasa Lyotard disebut sebagai kematian narasi besar. Ilusi Modernisme yang telah jelas gagal dan mengalami kebuntuan. Cita-cita Modernisme yang hendak mengejar pencerahan (aufklarung) universal dengan tulang punggung pemikiran dan kemajuan teknologi mengalami ketimpangan.

Terciptalah dunia ikon, masyarakat mekanis yang melampaui kenyataan (hiperreality). Padahal pemikiran Barat terkini justru sedang mempelajari ketimuran. Sebuah ironi getir. Mengingat hal itu kita patut bersedih. Ketidak-pedulian pada kebudayaan luhur itu akibat kedunguan yang sangat. Museum sebagai sumber pengetahuan masa lalu dibiarkan sepi. Masyarakat lebih tertarik hingar-bingar modernitas. Mereka terjebak oleh keseakanan kemajuan dunia Barat. Sebuah kesemuan yang justru sudah hendak mereka ubah dan tinggalkan.

Di persimpangan inilah kita kebingungan.

Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan masa lalu. Seperti yang telah dipahami, apa yang telah melayang dan tak terpegang itu bersifat rapuh. Baik ia berupa ingatan, atau benda-benda kebudayaan material. Usia membuatnya bergeser dari satu bentuk ke bentuk yang berbeda. Istilah susut, lapuk, tua menjadi begitu akrab. Ia yang secara psikis menekan perasaan kita menjadi takut, cemas, dan mungkin ragu-ragu. Mengingat sesuatu yang mula-mula ada (being) menjadi diketahui sekedar pernah ada (known). Di sinilah waktu yang tak memiliki wujud itu terasa begitu perkasa. Pelan-pelan ia menghisap segala hal, membuatnya susut, lapuk dan tua.

Tetapi keberadaan museum tidak untuk menakut-nakuti atau mengingatkan pada ketiadaan. Justru ia ingin mengembalikan yang telah terenggut itu, yang usang dan terlupa itu, pada subyek yang memiliki kaitan dengan masa lalu. Dari sanalah pemahaman tentang jati diri itu berawal.

Yang membikin jeri hakikatnya bukan soal ketiadaan, kelapukan yang niscaya itu, melainkan hakikat ada. Dan seperti yang telah dipahami, hakikat adalah esensi, isi, muatan di dalam. Sesuatu yang tak tergeletak begitu saja, melainkan harus dicari, digali, ditemukan. Tapi agaknya memang tak banyak yang membuka diri, mengingat belenggu yang dihadapi manusia beraneka bentuk. Keseharian yang padat, tuntutan kebutuhan, kesadaran badani (mekanis), mengekang kesadaran sejati. Dalam Bhagawadgita, hal itu disebut kemelekatan. Unsur badan tebelenggu dengan perasaan jeri sehingga unsur rohani (athma) ikut terkekang. Ada tapi tak mengenali diri sendiri, diam laksana batu.

Museum awalnya dikenal sebagai kuil, dari kata mouseion (yunani). Sebagaimana kuil, ia bukan saja tempat untuk mengingat, tapi juga memuja dewa-dewi. Pengertian ini bergeser. Museum bukanlah pemberhalaan sebagaimana tuduhan yang diberikan oleh kelompok tertentu. Karena memang tidak ada yang mesti dipuja di sana. Yang didapati di sana (pada umumnya museum) adalah batu dan tengkorak berdebu, dan tentu saja bau masa lalu. Dan seperti yang dicatat oleh ensiklopedia, di Indonesia, pengertian museum berangkat dari Bataviasch Genootschap van Kusten en Wattenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia). Sebuah lembaga kebudayaan yang menjadi cikal bakal Museum Nasional seperti yang dikenal sekarang ini. Institusi tetap yang bersifat tidak mencari keuntungan serta terbuka untuk umum, sebagaimana definisi yang diberikan oleh organisasi permuseuman internasional, ICOM (International Council of Museum).

Membicarakan museum, hakikatnya adalah membicarakan kita secara menyeluruh. Manusia yang acap alpa. Dari yang rapuh dan tak terpegang itu hendak dikukuhkan dengan bukti yang tidak saja dikenali ada, tapi benar-benar ada. Museum itu diam. Ia hanya benda mati yang berjajar. Kitalah yang bergerak dan menghidupkannya.

Karena ia berhubungan dengan masa lalu, museum tidak lantas dijadikan tempat sembunyi. Seperti slogan orang malas yang gemar mengagungkan leluhurnya tanpa bisa berbuat banyak. Kebesaran masa lalu yang mengubur kreatifitas. Naif rasanya jika kebudayaan material yang berusia ratusan tahun itu mesti dibandingkan dengan bangunan modern di tempat lain. Masa lalu yang gemilang itu adalah contoh, bukan akhir pencapaian.

Agaknya, hal ini yang mungkin mendasari pemikiran atas terwujudnya museum untuk pertama kali. Kita butuh tempat untuk mengingat kembali. Sebagai perwakilan dari banyak situs bersejarah yang tak mungkin kita datangi dalam tempo satu hari. Di sana, museum itu berfungsi sebagai miniatur sekaligus penjaga. Waktu tidak mungkin ditundukkan, sebagaimana diktum Ibnu Rusyd, waktu itu hakikatnya tiada, kitalah yang sebenarnya menciptakannya, membilangkannya. Sesuatu yang tidak eksis, mustahil pula ditundukkan. Hal itu dengan ironis disebut Sapardi dalam sajaknya, “..Yang fana hanya waktu. Kita abadi.” Tanpa manusia, atau sesuatu yang memiliki kesadaran, waktu juga tidak eksis.

Di sinilah pentingnya berpegang teguh pada kebudayaan. Apa yang terlepas dari pandangan kekinian tidak serta-merta punah. Manusia memiliki cara-cara tertentu untuk memanggil ingatan. Merekam baik-baik nilai-nilai luhur pemikiran dalam bentuk kebudayaan material, tradisi, dan perayaan. Dalam hal ini, museum adalah ibu. Ia menampung yang tercecer, merawat dan menjaganya dari kerusakan. Menguatkan pemahaman bagi orang-orang yang ingin mengenali jati diri.

Sama halnya Sapardi yang hendak mengingatkan dengan ironi yang getir itu, museum hendak menunda kelapukan yang niscaya. Di sana kita bisa bercermin tentang kedirian, kelebihan dan kekurangan. Mencintai museum tidak mesti dilakukan dengan cara-cara yang lebay dan mahal. Bisa dimulai dari hal yang sederhana, misalnya dengan sesekali mengunjunginya, menjaga kedekatan agar ia tidak asing bahkan aneh dengan turut memperkenalkan pada generasi masa depan. Atau setidaknya mengingat tanggal 18 Mei, hari kelahiran manusia dan peradabannya, hari museum sedunia.




Kajitow Elkayeni

Minggu, 02 Februari 2014

BENCANA KEBUDAYAAN



Kita bisa saja membayangkan tahun 2014 adalah awal baru di tengah tidak jelasnya situasi yang mengepung kita. Selain guyuran hujan dan ancaman banjir yang merata, awal baru dalam banyak hal yang kita bayangkan itu ternyata bergerak maju. Dan kita dipaksa untuk terus menunggu. Mengumpulkan harapan seperti seorang penjudi yang menunggu dadu berhenti berputar. Tapi dadu itu jatuh di ruang hampa. Segalanya masih tetap serba mungkin. Terus bergerak dan tak tertebak.

Kondisi seperti itu kemudian dihubung-hubungkan dengan ramalan yang pada akhirnya akan memunculkan seorang Satria Piningit. Masa Kalabendu akan segera berakhir. Namun yang luput dipahami adalah berapa lama masa-masa sulit itu harus terus dihadapi. Dengan cerdik, ramalan tidak menyebut waktu secara spesifik—dan karena itulah saya tidak mempercayainya—ia tidak mengenal kontinum waktu ala Zeno, atau penisbian waktu sama sekali ala Ibnu Rusyd. Bagi ramalan, waktu ada tapi tidak bergerak sampai seluruh bukti terkumpul.

Sayangnya, jika bukti-bukti itu tidak pernah muncul. Kita tidak berhak apa-apa atasnya. Bahkan untuk sekedar kecewa.

Di tahun baru yang menyimpan bertumpuk-tumpuk harapan itu ternyata menghadirkan berbagai tragedi. Mulai bencana alam, bencana sosial, sampai pada bencana kebudayaan.

Machiavelli yang dicap sebagai manusia busuk, dewa agung para diktator itu jauh-jauh hari memberikan gambaran yang terang mengenai bagaimana power (kekuasaan) itu direbut dan dipertahankan. Bahkan di “Il Principle” itu dinyatakan lebih jauh, perbuatan immoral seperti berbuat keji, menghalalkan segala cara, berkhianat boleh dilakukan karena itu memberikan kekuatan. Dalam politik, hal itu bukan barang baru. Tetapi akan sangat mengejutkan jika hal buruk itu menjangkiti wilayah lain, yang ironisnya wilayah tersebut hendak mengangkat harkat manusia dengan kebermoralan, dengan nilai agungnya. Anak cabang kebudayaan yang bernama kesusasteraan.

Sejarah sastra kita telah mencatat beragam dinamika. Kita berhutang sangat banyak pada orang berpendirian teguh bernama HB. Jassin, yang dalam sebuah konflik berujung permintaan tanggung jawab dulu itu, lebih memilih merahasiakan nama penulis cerpen “Langit Makin Mendung.” Konflik yang berawal dari interpretasi tekstual seperti ini bisa dimaklumi. Dan Jassin paham betul, tugasnya adalah melindungi kebebasan itu. Apa pun resikonya. Maka ia membawa rahasia nama itu sampai mati.

Tetapi, jika pun Jassin masih hidup, sebuah tragedi intelektual yang baru saja menerpa dunia sastra yang dicintainya, boleh jadi tidak akan lagi dibelanya seperti dulu. Peristiwa itu adalah munculnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang disusun oleh orang-orang yang menyebut diri mereka Tim 8. Karena ini bukan lagi soal interpretasi, bukan soal klaim kebenaran, tapi pelanggaran integritas, loyalitas, intelektualitas dalam sastra. 

Kita bisa saja memaklumi jika masuknya seorang oportunis, yang bahkan belum pantas untuk disebut sastrawan itu, menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam buku tersebut karena kesalahan cetak, atau ada sabotase salah seorang juri dalam Tim 8. Tetapi sungguh memalukan ketika melihat fakta, taksonomi paling dasar itupun tidak sanggup mereka terapkan. Orang-orang dalam Tim 8 yang seharusnya lebih dari cukup keilmuannya. 

Misalnya konsep taksonomi Bloom yang membaginya dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, yang kemudian terbagi-bagi lagi dalam beberapa bagian lagi. Atau yang lebih spesifik seperti yang digagas Moody dalam model tingkatan, yaitu informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Ini belum menyoal kesuperlatifan dan keberpengaruhan yang ironisnya memang tidak memiliki batas jelas.

Jadi ini semua menyangkut ketidak-bermaknaan juga. Publik sastra dianggap seperti orang lumpuh yang lantas dengan leluasa dicekoki bubur hambar.

Sejak kritik sastra digulirkan oleh Xenophanes terhadap Hesiodes sekitar 500 SM, di masa kuno itu saja kita diajarkan soal klasifikasi, soal verifikasi, soal taksonomi dasar perihal karya sastra dan sastrawannya. Lantas setelah kelahiran “The Death of the Author” dari tangan Barthes, banyak yang salah kira bahwa sastra benar-benar dibebaskan dari klaim, dari kepemilikan. Seolah-olah pula ia menolak tolok ukur, seperti tiga orang buta yang sedang menerka bentuk gajah. Padahal sejauh apa pun sastra bergerak, ia tidak mungkin menolak konvensi, tolok ukur.

Kemudian di belakang itu hendak dimunculkan solusi naïf, bagaimana kalau buku yang cacat konsep taksonominya itu dilawan dengan buku yang lain?

Secara subyektif, orang boleh mengklaim dirinya seorang sastrawan dengan memunculkan karya kacangan paling tidak bermutu di tengah masyarakat. Ini masih di wilayah klaim. Tetapi jika orang-orang yang memahami kritik sastra (dalam Tim 8 itu) menunjuk “orang luar” sebagai seorang tokoh sastra dalam kategori superlatif, ini jelas telah membelokkan sejarah. Sebuah bencana kebudayaan yang tidak saja mengabaikan moralitas, independensi, integritas, tapi juga konsep logis taksonomi!

Padahal dari sanalah ilmu pengetahuan itu dibangun.

Kebebasan bukan soal, bagaimana menguar ketelanjangan hasrat, bagaimana menerabas konvensi, tapi bagaimana mengarahkan free-will. Determinasi yang jelas dan bertanggung-jawab itulah bentuk konkret manusia yang memiliki budi. Sebagaimana yang ditegaskan Louis Leahy dalam diktumnya, “Freedom is self-determination.” Maka tidak ada alasan “bebas” bagi buku penuh kecurangan itu dari tuntutan tanggung-jawabnya. Baik secara moral atau hukum. Karena ini menyalahi konsep, metode, tolok ukur dalam kritik sastra yang selazimnya.

Tak pelak lagi, orang-orang yang peka, cerdas dan paham peta sastra mengecam buku tersebut dengan baragam tanggapan. Ada yang menganggapnya sekedar lelucon konyol di awal tahun, seperti petualangan Don Quixote yang naif. Ada yang dengan sengit menyebutnya sebagai kado ulang tahun “orang luar” yang menjadi penaja buku tersebut. Ada yang mengambil langkah tegas dengan membuat petisi penolakan, karena ini dinilai sudah menyentuh tahap distorsi sejarah.

Sebagaimana Foucault yang menggaris-bawahi bahwa kekuasaan melahirkan legitimasi pengetahuan. Artinya, power, kekuasaan yang diteorikan oleh Machiavelli itu bisa membelokkan konsep kebenaran. Episteme yang didistribusikan oleh rezim kebenaran akan mendistorsi sejarah. Mereka yang menentukan baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, penting dan tidak penting. Agaknya hal inilah yang tengah mengguncang dunia sastra di awal tahun 2014. Ilmu pengetahun yang seharusnya tidak memihak justru hendak dibelokkan oleh orang yang memiliki power. Dari sana diskontinuitas ala Foucault itu berjalan.

Kita memang layak berkabung. Harapan di tengah ketidak-pastian bergerak makin menjauh. Bencana bertubi-tubi menimpa tanpa ampun. Keentahan menampakkan wujud dadu yang terus berputar dalam ruang hampa. Yang kita hadapi kemudian seperti rintih Chairil, “hidup hanya menunda kekalahan,” ketika menemukan silent majority, banyak yang abai atas tragedi tersebut. Mereka yang memilih abstain padahal hanya ada dua opsi, ya atau tidak.

Bencana kebudayaan ini mengorbankan banyak hal terutama harga diri sastrawan, logika taksonomi, integritas intelektual. Dan Jassin boleh jadi akan menangis, jika mengetahui hal memalukan itu justru mendapatkan persetujuan dari rumahnya. PDS. HB. Jassin, tempat yang sangat dibanggakan dan dihormati oleh sastrawan di seluruh Indonesia.



Kajitow El-kayeni

LOGIKA DALAM PUISI 2


(Makna Metaforikal Dari Segi Nilai Intrinsiknya)



Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, puisi memiliki peraturan sendiri dalam hal kebahasaan. Kata yang terbentuk dalam dunia ide tidak dapat dikendalikan. Ia memang mengait dengan sendirinya seperti cetak biru yang direspon oleh pikiran. Maka yang bisa dianalisa dari puisi adalah bentuk teks tadi. Proses sebelum menjadi puisi itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran atau sistem-sistem teori. Di sinilah kerja penyair dipertanyakan kemandiriannya. Proses dari dunia ide itu tidak bisa dituntun, jika pun ada teori-teori tertentu itu berdasarkan teks sesudah puisi berwujud. Atau teori-teori itu berdasarkan pengalaman seseorang dalam menulis puisi, padahal setiap orang memiliki pola pemikiran dan jalur-jalur perwujudan ide yang berbeda. Jauh sebelum puisi menjadi bentuk teks, ia merupakan abstraksi dunia batin yang tak terjangkau oleh bahasa dan pikiran.

Perwujudan dari bentuk ide (yang awalnya abstrak) menjadi bentuk kongkret yakni bahasa, pada dasarnya tidak terlacak baik oleh Psikoanalisa Freud sekalipun. Karena sehebat apa pun psikolog hanya membaca gejala, dalam hal ini sesudah ia berbentuk teks. Jika A.Ganjar Sudibyo dalam “PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA (SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF YANG SINGKAT)” hendak menganalisa struktur ide ini dalam bentuk abstraknya, itu adalah perbuatan sia-sia. Tetapi jika yang dianalisa dalam esai itu adalah ide sesudah ia menubuh dalam bahasa, ide yang tersimpan dalam bentuk teksnya, ide yang hendak dibongkar oleh filsuf dan psikolog (seperti yang terbaca dari catatan kaki esai tersebut), maka hal itu tentu saja bisa diperas dari sintak-semantiknya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai puisi sejatinya membicarakan puisi sesudah ia mengada. Puisi yang telah terwujud dalam bentuk teks ini awalnya mungkin hanya satu lesatan ide, kemudian ia berkembang dan mengucur melalui medium bahasa. Puisi dalam bentuk teks inilah yang mampu dijangkau oleh pikiran, yang mampu dikaitkan dengan logika. Sehingga perlu dipisahkan puisi dalam bentuk proses (ide abstrak) dan puisi dalam bentuk teks terlebih dahulu untuk membicarakan puisi.

Seperti yang telah dibicarakan pada “Logika dalam Puisi 1,” puisi yang dijadikan pembedahan adalah puisi realis yang jelas berkaitan erat dengan logika bahasa. Struktur pembentuk metafora dalam puisi adalah bahasa yang juga dimengerti oleh manusia. Bahasa di sana memang telah mengalami pergeseran pengertian. Awalnya makna yang terkandung dalam kalimat yang membentuk puisi itu denotatif, namun begitu kata yang menyusun kalimat itu bertemu dengan kata yang membelokkan makna awalnya, maka kalimat itu berubah bentuk pengertian menjadi makna konotatif. Di sini perlu digaris-bawahi, yang saya kehendaki dari makna konotatif di sini adalah makna yang terbentuk akibat kepentingan kalimat. Kata penyusun kalimat itu sebenarnya bermakna denotatif, tapi karena dia bertemu kata yang lain sehingga kata pertama tadi berbelok maknanya. Kepentingan kalimat ini memaksa makna kata awal mengikuti makna yang dikehendaki oleh kata selanjutnya. Misalnya saat mengatakan, “bulan pecah di pelataran.” Kalimat tersebut bermakna konotatif, yakni cahaya bulan melimpah di pelataran, atau bulan itu bercahaya terang sehingga membuat pelataran terang. Kata bulan bermakna denotatif sebagai benda langit, kemudian saat bertemu kata "pecah," bulan tadi bergeser pada pengertian lain, yakni yang pecah bukan bulan itu, tapi bagian dari bulan tersebut yakni cahayanya, dalam hal ini cahaya bulan dikatakan pecah karena ia menyebar seperti benda yang pecah.

Dalam contoh lain misalnya “bulan merindu.” Kalimat ini juga telah bergeser dari pemaknaan denotatif. Bulan di sini telah berubah menjadi subyek pengkias dari obyek (subyek sebenarnya) yang bersembunyi dalam diri bulan. Kerja kiasanya merindu, yang jika ditarik dari makna denotatif hal itu sulit terjadi, karena merindu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan manusia. Maka “merindu" di sana telah berubah menjadi makna konotatif. Contoh ini dalam kalimat lain bisa bergeser menjadi bentuk personifikasi lengkap. Misalnya “bulan di langit merindu gelap.” Bulan diserupakan manusia yang merindukan gelap agar bulan tadi bisa bercahaya terang. Bisa juga ditafsirkan berbeda, sesuai makna yang dikehendaki puisi dalam bentuk utuh.

Metafora adalah salah satu majas yang berfungsi untuk mengungkapkan secara langsung dengan perbandingan analogis. Metafora atau acapkali disebut metafor juga bisa dimaknai secara umum (bahasa) yakni sebagai kiasan saja. Seperti yang sudah dikenal secara luas, metafor bisa digunakan dalam ranah sastra atau dalam percakapan sehari-hari. Pada pembicaraan umum, tentu saja metafor yang digunakan juga bersifat umum, atau memiliki makna yang bisa ditangkap secara jelas. Ini adalah fungsi bahasa secara luas. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Hudan Hidayat, (yang kurang lebih berbunyi) seseorang mengatakan pada temannya dalam sebuah percakapan, “Ah, malam sudah larut kawan.” Ucapan tadi adalah sebuah kiasan dari maksud sebenarnya untuk menyudahi permbicaraan dan segera tidur. Apalagi jika itu dikuatkan dengan bahasa tubuh, seperti menggeliat atau menguap.

Begitulah manusia menggunakan metafor dalam bahasa sehari-hari. Manusia secara alami membentuk sistem bahasa seperti demikian untuk menyamarkan maksud agar terasa lebih halus. Hal ini tentu saja didasari kesadaran dan kepahaman secara kultural oleh lawan bicara. Ini yang dimaksud oleh Barthes dengan makna konotasi yang disebutnya ”Mitos” itu. Meski seperti yang dulu saya katakan, konotasi semacam itu tertutup sifatnya dan memiliki makna khusus yang sudah jelas bagai kelompok masyarakat tertentu. Dan makna semacam ini mengalami kebuntuan saat diterapkan pada metafor dalam puisi. Karena makna konotatif dalam puisi itu terbentuk berdasarkan kepentingan kalimat, kepentingan kalimat itu terkait dengan kepentingan tema. Dalam puisi, metafor menjadi majas yang memiliki kriteria berdasarkan keumumannya. Kriteria ini untuk memberikan definisi agar tidak bercampur dengan definisi majas lain. Juga demi mendapatkan fungsi yang tepat guna.

Sebuah metafor adalah tubuh bayangan. Di samping bentuk fisik yang seimbang dalam struktur kerja kiasnya, metafor juga terwujud berdasarkan kepentingan tema. Artinya ide (yang entah bagaimana bentuknya dalam dunianya sana) itu memerlukan bahasa kias untuk mewujudkan dirinya. Maka ide besar yang terbagi ke dalam sub-sub ide ini juga harus memiliki fokus pekerjaan sebagai metafor, bukan memiliki fungsi lain. Meskipun sebuah metafor itu bisa dibentuk dari majas lain. Misalnya personifikasi dijadikan metafor, "Malam ini rembulan menangis tersedu." Bentuk majasnya personifikasi tapi fungsinya sebagai metafor , jika dalam struktur puisi ia memang berfungsi sebagai metafor. Dengan begitu metafor itu sebenarnya tidak dalam bentuk berdiri sendiri saja. Bentuk-bentuk lain bisa diadopsi dan memiliki fungsi sama yaitu sebagai metafor. Sub-sub ide dalam setiap baris itu menyatu dengan ide pokok. Metafor, meskipun ia bukanlah sebentuk struktur yang solid, tapi ia memiliki fungsi yang solid yakni sebagai metafor.

Seperti yang dulu pernah saya katakan (pada Logika Dalam Puisi 1), metafor berfungsi untuk mengaburkan maksud atau untuk tidak menyederhanakan maksud. Sesuai dengan kebiasaan puisi menunjuk ini menghendaki itu. Namun satu hal yang perlu dipegang teguh oleh penyair adalah masalah fokus. Penyair harus berpusat pada ide yang hendak ditunjukkannya dalam pengkiasan itu, ide yang memunculkan metafor tadi, yang berfungsi untuk mengiaskan tubuh pokok. Dan itu yang harus difungsikan dengan benar. Jika metafor ya metafor, jika subyek itu dibentuk sebagai majas personifikasi ya harus begitu seluruhnya tubuh puisi di bangun. Puisi sesungguhnya hanyalah perwujudan sebuah ide. Hal ini kemudian terbagi menjadi sub-sub ide, baik per kalimat, per baris, per bait, hingga menjadi satu puisi yang utuh dengan satu ide besar. Fokus seorang penyair (berdasarkan kecenderungan teks) harus bertumpu pada ide atau tema tadi. Karena hal itulah yang membuat larik-larik dalam puisi koheren.

Dilihat dari bentuk fisik, metafor memiliki struktur dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan unsur-unsur tadi sangat menentukan tersampainya pesan yang disamarkan. Puisi, sejauh apa pun dia bergerak tetaplah bagian dari sastra, yang memiliki tujuan jelas hendak menyampaikan pesan dengan sistem yang unik. Maka dengan sendirinya, secara logis puisi memiliki struktur yang dapat dianalisa, kemudian diberikan penilaian berdasarkan sistem penilaian yang sudah diamini dalam konvensi. Pada awalnya, penilaian itu bisa dilakukan dengan metode perbandingan. Dua buah puisi dengan tema dan gaya yang sama disejajarkan untuk membandingkan kelebihannya. Nilai tadi tentu tidak dapat diukur berdasrkan kadarnya, tetapi dengan perbandingan tadi otomatis akan dihasilkan penilaian terhadap puisi yang berhasil. Penilaian seperti itu tentu saja mempertimbangkan unsur-unsur penilaian, juga faktor lain yang berkaitan dalam studi sastra secara luas. Dan itu tentu saja berkaitan dengan sejarah sastra, karena bahan perbandingan diambilkan dari dokumentasi karya yang dinilai berhasil berdasarkan unsur-unsur penilaian tadi.

Unsur-unsur yang dinilai pada puisi berdasarkan berbagai ukuran, tolok ukur, dan kriteria di antaranya: (1) koherensi atau keselarasan, (2) keseimbangan bentuk atau keindahan, (3) kepaduan pada tema, (4) keutuhan atau tunggal, (5) pengucapan yang khas, (6) kebaruan atau inovasi (7) efesiensi, (8) keunikan sudut pandang, (9) lapis metafisis seperti sublim, tragis, suci (10) sinar kejelasan, (11) keaslian ekspresi atau originalitas, (12) baik yakni sugesti yang mendorong untuk mengikutinya, (13) pengalaman jiwa, (14) keluasan wawasan, (15) nilai rasa, (16) sikap moral, (17) gambaran kenyataan. Nilai-nilai yang saya sebutkan ini dalam prakteknya hanya ditumpukan beberapa saja dalam sebuah apresiasi. Hal itu semata untuk menghasilkan keindahan yang terlihat jelas saat dilakukan perbandingan. Tidak tertutup kemungkinan masih banyak nilai-nilai lain, berhubung fokus kali ini mengenai metafor, maka penjabaran mengenai nilai itu ada pada kesempatan lain.

Oleh karena puisi memiliki struktur untuk dinilai, maka unsur-unsur di dalamnya bisa dipecah kemudian dilakukan penilaian. Pada pembahasan awal (Logika dalam Puisi, 1), puisi dilihat dari peranan unsurnya terbagi dua unsur yakni (1) tema dan (2) sistem uniknya. Tetapi kali ini pendekatan akan dilakukan dari sudut pandang yang lain, puisi dipandang sebagai entitas, sebuah wujud benda yakni teks. Maka dengan begitu puisi terbagi menjadi unsur luar yakni teks dan unsur dalaman (intrinsik). Unsur teks dikhususkan pada pembahasan metafora dalam puisi untuk kajian struktur metaforikal terdahulu yang membagi struktur subyek pengias, obyek yang dikiaskan, kerja kias. Metafor dilihat dari nilai intrinsiknya bertumpu pada:

1. Keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi.

Sebuah puisi adalah perwujudan ide. Maka seluruh kode bahasa yang muncul adalah bertujuan untuk menjabarkan ide tersebut. Misalnya seseorang yang tiba-tiba merasakan kerinduan pada kekasihnya, lalu ia mengiaskan rindu itu dengan kiasan “bulan di pelataran malam yang sunyi tak bertepi.” Bulan di sana mewakili kerinduan yang dialami seseorang. Begitu juga dengan keadaan yang sunyi tadi berfungsi untuk menguatkan penggambaran. Begitulah seluruh kekuatan kode bahasa itu dimunculkan demi menyampaikan pesan kepada pembaca. Puisi yang baik bukan yang gelap sepenuhnya atau yang terang sepenuhnya, tapi ia bermain di daerah antara. Bisa jadi ia mengusung diksi sederhana, tapi selalu ia memiliki jalan berputar untuk dimengerti. Bisa jadi ia rumit, tapi kerumitan itu mengarah pada pengertian. Ia tetap memberikan petunjuk kode bahasa yang bisa dikaitkan dengan kode lain yang muncul dalam puisi, sehingga lahirlah pemaknaan yang terstruktur.

“Bulan” tadi telah mewakili kerinduan, ketika seseorang ingin melebarkan lagi, misalnya menyebut “Pungguk ini meratap, namun kata tak sampai bunyi.” Kalimat ini membangun penggambaran sebelumnya sehingga ada ikatan dengan ide dalam puisi. Penggambaran ke dua sejalan dengan fungsi-fungsi yang ada. Jika satu subyek, sebut saja "kau lirik" yang dikiaskan dengan bulan, maka subyek lain katakan "aku lirik" dikiaskan dengan pungguk. Dan fungsi-fungsi ini terus berkaitan hingga baris-baris selanjutnya jika ingin disambung lagi. Puisi dengan tubuh selebar apa pun harus memiliki keterkaitan ini. Koherensi dengan ide pokok itu niscaya sifatnya. Karena ia adalah titik tolak kata menyeret kata yang lain sehingga lahirlah pemaknaan terhadapnya secara utuh.

2. Fungsi metafor tersebut, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya.

Sebuah metafor harus memiliki fungsi yang jelas, yakni metafor itu berfungsi sebagai metafor. Metafor itu tidak bercampur dengan fungsi majas lain. Boleh jadi ia memang terbentuk dari majas lain, misalnya personifikasi. Ia bisa menjadi metafora saat keperluan personifikasi tadi dibatasi oleh kepentingan metafora.  Dengan catatan fungsi personifikasi di sini tidak bertentangan dengan fungsinya sebagai metafora. Dalam puisi tertentu, sebuah personifikasi memang membentuk puisi secara menyeluruh seperti membicarakan hewan yang diserupakan dengan pekerjaan manusia. Maka fungsi personifikasi di sana secara untuh memang sebagai personifikasi. Dalam puisi tertentu yang lain, personifikasi tadi digunakan untuk melengkapi kiasan yakni dalam lingkup metafora. Ia digunakan untuk mengiaskan subyek tertentu dalam puisi. Di sinilah metafora itu dituntut untuk tetap fokus pada satu fungsi, yakni sebagai metafora saja. Jika sebuah metafor memiliki fungsi lain, maka dia tidak koheren dengan kepentingan ide dalam kalimat.

3. Keselarasan dengan metafor lain.

Satu metafor dengan sendirinya akan berkaitan dengan metafor lain. Jika satu dikiaskan sebagai bunga, subyek lain akan dikiaskan sebagai kumbang atau hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Jika ada metafor lanjutan dari pengiasan pokok ini, ia merupakan pelengkap. Artinya, satu metafor dengan metafor lain saling terkait dan menguatkan. Keselarasan ini hampir sama dengan poin pertama mengenai keterkaitan dengan ide pokok dalam puisi. Perbedaannya hanya pada fokusnya. Jika ada beberapa metafor yang melenceng jauh, maka dengan sendirinya ia tidak membangun puisi karena tidak selaras.

Sama seperti yang dibicarakan dalam pembahasan sebelumnya, unsur-unsur yang mengatur kelogisan metafor adalah kesebangunannya atau kesimbangan dalam penggambaran. Hal ini terkait dengan salah satu unsur keindahan yang mutlak dimiliki oleh puisi. Jika faktor kesebangunan ini diabaikan, maka sebuah puisi belum memiliki kekuatan maksimal. Sesuai dengan premis yang sudah umum mengenai, kebulatan, kesebangunan, efesiensi, sebuah puisi dituntut untuk indah atau memberikan kenikmatan, mengajarkan moral yang lebih tinggi, memiliki kejelasan atau ketepatan dalam wujud penyampaian. Premis yang pertama kali diluncurkan oleh Plato, yang kemudian diamini oleh filsuf-filsuf sesudahnya.


*****


*) Metafor atau metafora yang saya maksud dalam tulisan ini sekaligus dalam dua bentuk, sebagai majas dan sebagai kata benda yang berarti kiasan. Tergantung topik yang dibicarakan dalam kalimat.



Kajitow Elkayeni


Filsuf

SISI SUNYI PENYAIR




apa perbedaan puisi dan prosa? pertanyaan sederhana itu tidak lagi menjadi sederhana lagi saat berhadapan dengan prosa liris. ia tetaplah prosa tapi memiliki gaya puisi. atau sebaliknya saat sebuah puisi meminjam nafas prosa. baris baris panjang dengan bahasa terang membuatnya seolah telah melompat dari bingkai puisi yang umum dikenali. tapi apakah puisi dan prosa memang tidak lagi memiliki perbedaan? saya kira setiap karya sastra memiliki tempat tersendiri untuk dikelaskan sesuai karakternya. puisi dan prosa sebenarnya sama-sama hendak menuturkan sebuah cerita, perbedaannya tentu dilihat dari gaya penulisannya. identifikasi semacam ini penting dalam konteks bahasa. akan sangat membingungkan saat kita menunjuk sesuatu yang tidak kita ketahui nama dan jenisnya.

lalu jika batas itu telah kabur akankah puisi dan prosa bisa dibedakan lagi? sebenarnya tidak perlu membalik balik halaman pelajaran sastra untuk membedakan puisi dan prosa. sejauh apa pun sebuah puisi bergerak selama dia masih berpusar pada struktur dasarnya dengan sendirinya karya itu jatuh pada puisi. seperti mengenali gaya bahasa berdasarkan sintaksemantikanya, juga kecenderungan enjambemen yang dengannya puisi terjeda bahkan dalam imajinasi sekalipun jika sebuah karya dinafaskan prosa. sebuah prosa yang sederhana sekalipun harus memiliki beberapa ciri yang membuatnya jatuh dalam kategori prosa, seperti alur, penokohan, dan latar. juga pengindetifikasian lain yang sudah akrab dikenali. tanpa itu sebuah prosa akan gagal disebut prosa karena ia tidak memiliki ciri prosa.

kategori suatu karya sastra (juga termasuk penilaian terhadapnya) itu memang bisa juga dikatakan ia ditentukan oleh struktur verbal yang otonom dan koherensi interen yang melekat pada dirinya. sehingga bagian-bagian dari karya itu bisa dianalisa menurut keseimbangan, koherensi serta kompleksitasnya.

tetapi ada baiknya memang sedikit menengok a. teeuw yang mengembalikan ulasan terhadap karya sastra berdasarkan tiga konvensi, yakni: konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. panjang ini jika hendak mendekati sebuah karya atau melakukan pengulasan terhadapnya memakai bingkai objective criticism. di mana karya sastra itu merdeka, mandiri, serta terbebas dari pengaruh sekitarnya. tapi ada baiknya sedikit mengambil sebagian dari keyakinan a. teew tadi untuk mempertegas pengidentifikasian yang saya maksudkan. yakni meminjam istilah rene wellek (di antaranya): penilaian puisi dilihat dari, efoni, irama, gaya, citra dan metafora. sedangkan pada ragam naratif (termasuk prosa): alur, penokohan dan latar. dari sini jelas terlihat konvensi bahasa yang membedakan antara puisi dan prosa begitu juga penilaian terhadap keduanya. boleh jadi memang hak otonom sebuah karya membebaskanya untuk jatuh pada sisi tertentu sesuai keinginan penciptanya. tapi konvensi bahasa tetap mengikat agar sebuah karya mudah diidentifikasi. dalam hal ini tidak ada yang mutlak memang tapi sebuah konvensi itu sangat diperlukan demi terciptanya kesinambungan pandangan pada satu titik temu.

melihat ciri yang melekat pada tulisan kawan nu arur ini. dapat dikategorikan ia lebih dekat kepada puisi, meski sah saja jika penulisnya mengehendaki tulisan tersebut adalah prosa pada awalnya. jika pun begitu maka dengan sendirinya prosa tadi gagal dikategorikan prosa dan masuk dalam wilayah puisi. kenapa bisa begitu? jelas saja dengan mengembalikan kecenderungannya pada ciri puisi sesuai konvensi. dalam hal ini saya agak serius memposisikan sesuatu sesuai kategorinya, karena itu sangat penting untuk mengkaji sesuai karakter yang ada padanya. terlebih lagi sangat sulit menentukan nilai dari sebuah karya itu jika dalam proses indentifikasinya saja sudah menemui kebuntuan.

banyak puisi dunia yang tidak mengangkat tema-tema berat. saya juga heran kenapa kesunyian yang saya tangkap dari puisi bertema sederhana itu begitu kuat membius. seperti kata jean-paul sartre(?) manusia itu harus hidup seorang diri di alam semesta, dengan begitu ia menjadi kesepian (soliter). dalam kesunyian itulah manusia mencapai kebebasan mutlak. maka sunyi itu pula yang terangkat ke dalam puisi mereka, sunyi yang menghisap pembaca pada kesunyiannya sendiri: untuk soliter tadi. ini pula yang membedakan penyair dengan kebanyakan orang. bukan karena introvert atau tidak ya, tapi penyair selalu punya ruang sunyi di dalam hatinya untuk menangkap sudut yang berbeda terhadap apa pun yang diinderanya. seperti tahun baru misalnya, orang mungkin hanya akan menangkap gemerlap ramainya peristiwa itu. tapi penyair selalu menangkap sisi sunyi dari peristiwa tersebut. ia mengambil posisi berbeda dari kebanyakan orang, bahkan terkadang berlawanan.

puisi ini menurut saya hendak bermain di ruang yang sama: ruang sunyi tadi. di mana beranda lengang itu menjadi ajang sekaligus lawan dialektika penyair, meskipun menurut saya ada yang masih luput di sana. penyair tidak benar benar masuk pada kesunyian yang dihadapinya. boleh jadi memang kesunyian itu diseret pada pemaknaan lain. misalnya sunyi yang riang. dalam kesunyian seseorang menjadi merdeka dan dengan kebebasan itu seseorang mencapai kemutlakan seperti kata sartre tadi. tapi tidakkah kesunyian itu bertolakbelakang dengan paradigma yang dengan cepat kita tunjukkan pada orang orang di dalam penjara itu. kesunyian yang mereka hadapi tidaklah mungkin dikatakan megandung keriangan. ada kalanya memang seorang manusia itu membutuhkan suasana khusus untuk bersunyi misalnya. tapi tidaklah bisa diartikan sunyi tadi mengarah pada keriangan, karena riang itu sesuatu yang bertolak belakang dengan kesunyian dari banyak segi.

seorang penyair memang memiliki sisi sunyinya, dengan itu ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. meskipun sisi sunyi di sini dari segi sudut pandang, bukan sunyi dalam arti yang sebenarnya.

apa yang luput itu akan jelas saat dilakukan perbandingan dengan puisi yang bermain di ruangan sama itu. bukan dari segi gaya bahasa yang diusungnya tetapi lebih kepada sunyi yang hendak dimunculkan oleh kedua puisi. dari sana akan terlihat laju bandul kesunyian pada kedua puisi memiliki arah yang berbeda. penyair nu arur berdialektika dengan kesunyian yang dihadapinya: bersama beranda itu. benda benda di sekitarnya memang bergerak disebabkan kesunyian tadi. tetapi sunyi itu berhenti pada dirinya si sunyi dan tak hendak menjangkau apa yang bisa dihadirkan oleh kesunyian tadi terhadap penyairnya. dengan kata lain sunyi itu baru lapis luarnya belum sampai pada inti di dalam sunyi yang sebenarnya.


Rindu Laut     
Oleh: Derek walcott


           
Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.



dalam puisi ini derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. benda benda sama tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. padahal tidak ada apa apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. kita tidak sedang membicarakan tuhan di sini. tapi sunyi itu seolah tuhan yang bergerak tanpa gerakan. yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. ini inti sunyi yang saya maksud itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing.



****



kajitow elkayeni
esais


SINTESIS ATAS TESIS RIFFATERE: KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI



            Ancang-ancang

Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi. Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak, berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga melengkapi.

Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang tergeletak.

Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang membentuk hal itu, yakni:

1.      Penggantian arti (displacing of meaning)

Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.

2.      Penyimpangan atau perusakan arti (distorting of meaning)

Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang terwujud dalam puisi adalah  hasil dari perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu, dia tidak menyebut secara definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut Riffattere ini dikarenakan tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi dan nonsense.

3.      Penciptaan arti (creating of meaning)

Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta, seperti yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homoloque dan tipografi.

Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global. Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai kepentingan kalimat.

Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).

Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya: penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).
                                                                                                     
1.      Penggabungan Arti (consolidating of meaning)

Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti tesis Roland Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagian sifat dari makna denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna konotatif dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam komunikasi formal, makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala Barthes. Ia memiliki arti tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural penuturnya. Konotatif formal terbentuk karena pengiasan yang berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika seseorang mengatakan “kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk kambing hitam itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu secara tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul darinya. Meskipun sebenarnya ada cara lain, penggalian makna konotatif formal bisa dikembalikan pada sebagian sifat denotatifnya. Hal itu mempertimbangkan makna denotatif sebagai makna primer. Sebelum manusia mengenal makna skunder, secara logis ia menggunakan makna primer untuk berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda, keperluan retorika, maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal sastra, makna skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih tinggi dibanding makna primer.

Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah sebuah definisi bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus, meski mungkin bukan dia pelakunya. Dilihat dari segi aplikasi logisnya, kambing hitam cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini memungkinkannya untuk berdiri sebagai the other, liyan, ia adalah sosok khusus yang dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga mengandung pengertian sebagai konotasi dari warna hitam yang sering dijadikan oposit dari simbolisasi warna putih. Lalu kenapa kambing? Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda hitam? Atau ayam hitam? Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan semakin membuat kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan. Tetapi berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka pemaknaan dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya, bukan sebagai perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu juga dengan “kuda hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal ini terkait juga dengan sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan. Untuk menghasilkan pengertian secara lengkap tentu ia merujuk pada studi filologi dan kesepakatan sosial-kulturalnya, dan itu adalah langkah yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan sampel dengan ribuan variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa generasi untuk sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah kebahasaan. Dan ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk menghadirkan bukti-bukti empiris kelak.

Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di sini adalah penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang lebih lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif hanya satu bagian dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk karena penggabungan arti dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang meloncat dari kekosongan, yang ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi makna konotatif tercipta karena pembelokan dari makna denotatifnya. Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski tidak jelas lagi. Dari situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.

Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif interpretasi (interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif. Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan tanda baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang bermakna denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif karena dibelokkan oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak mungkin berdiri sendiri. Maka biasanya dalam konotasi formal (di luar puisi) makna ini terbentuk lebih dari satu kata, minimal ia adalah kata majemuk, seperti kambing hitam, panjang tangan, kuda hitam, besar mulut, lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau kalimat konotatif sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk denotatif, maka kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan kalimat saja, ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa berdiri sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya. Artinya, ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga bangsa, bunga bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat, (1) “Bunga Bank itu disiram setiap hari sehingga terlihat segar (maksudnya bunga di taman sebuah bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik peminjamnya (bunga sebagai makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh pertama terlihat janggal karena makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna denotatif.

Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu berawal. Kata secara individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu bertemu kata yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya adalah karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah) tapi ia memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan arti di sini seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak bisa mengatakan tidak ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan secangkir gula dalam air teh. Gula itu meresap sehingga tidak perlu disebutkan lagi sebagai secangkir gula dalam air teh. Namun ia juga tidak bisa disangkal jika ada di dalam teh tersebut meski dikatakan secangkir teh. Begitulah makna konotatif itu terbentuk karena peleburan makna denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya sehingga tidak terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik tolak pembelokan arti.

2.      Percabangan Arti (affiliating of meaning)

Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (distorting of meaning) mengenai ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable). Tetapi di sana tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana ambiguitas itu menghasilkan makna ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada penyimpangan arti, bukan khusus pada percabangan arti yang saya maksud. Makna ganda yang dimaksudkan Riffattere adalah hasil penyimpangan dari makna seharusnya secara definitif. Di sini, percabangan arti adalah hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud Riffattere tersebut. Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan lebih dari satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak benar-benar merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang dikiaskan tidak sejajar dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang dihasilkan bercabang pula sesuai subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini pemaknaan secara menyeluruh akan bergantung pada ide pokok atau jalur yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut. Jika dalam puisi ada kalimat konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang jelas, maka di sanalah percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah sesuai jalur yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan subyek-subyek berbeda.

Ada jenis kata yang secara definitif memang mengandung beberapa pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami melahirkan makna ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti “mampu,” dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati, kata itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata bisa dijadikan kata benda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja, misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti mampu atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti ini sebenarnya tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai satu kata tanpa kaitan dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari pengertian karena makna ganda tadi meniadakan satu dengan lainnya ketika tidak ada kepentingan kalimat. Dalam bahasa praktis, definisi harus diberikan pada kata dengan makna ganda seperti ini, tapi hal itu tidak logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata dengan makna ganda tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna saat ia berdiri sendiri.

Dalam puisi, makna ganda tersebut tidak terbentuk secara alami sebagaimana kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena kepentingan-kepentingan kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat ini bisa terjadi begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi dalam bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang berbeda.

3.      Konkretisasi Arti (concreting of meaning)

Jika kata pembentuk makna konotasi adalah kata konkret, misalnya kata salju, maka makna yang dihasilkan oleh diksi tersebut selalu membawa sifat denotatifnya secara konkret pula. Yaitu sifat-sifat yang diambil dari definisi atau kesepakatan penafsiran dari makna konotatif yang dihasilkannya seperti dingin, beku, putih, asing, ketiadaan harapan. Makna seperti ini tidak rusak, berganti, atau tercipta yang baru seperti tesis Riffattere. Tapi ia adalah makna konotatif yang bersifat opresif seperti makna denotatif. Ia bermakna tetap meski digabungkan sebagai kata majemuk atau bertemu subyek yang lain. Salju sebagai kata konkret itu selalu membawa identitasnya ke manapun ia berada.

Mungkin sekali menjadikan salju sebagai gambaran sebaliknya, misalnya dengan membelokkan sudut pandang. Tetapi puisi dengan watak yang dimilikinya memanfaatkan piranti bahasa secara maksimal. Kata bahkan tanda baca didaya-gunakan untuk mengungkapkan makna. Hal itu tidak saja dari bentuk makna konotatif atau denotatif, kata yang muncul pertama kali sebagai identifikasi entitas di dunia juga menjadi perlambangan konkret ketika difungsikan dalam komunikasi. Ia bukan sistem fisik atau mental dari kata, tapi kesan yang dimiliki kata tersebut. Ia bukan nilai arti secara deskriptif atau metaforis, namun keberhubungan sistem-sistem arti tadi. Dan kata jenis ini menjadi penggerak dari pemaknan sehingga

4.      Keberlangsungan Arti yang Terus-menerus (enduring of meaning: continually)

Pada pola-pola khusus, misalnya puisi pendek yang cenderung padat dan berkadar efesiensi maksimal, makna yang dihasilkan tidak berhenti pada kehendak penciptaan teks ke dua (penafsiran). Minimnya kode bahasa membuat pemaknaan tidak akan pernah final jika hanya didasarkan makna asli dari kode bahasa yang ada itu. Maka kata-kata yang padat itu selalu membutuhkan teks lanjutan yang tidak eksis dalam bentuk fisik dalam puisi. Ia adalah serupa bola bekel yang terus bergerak dalam mesin pengocok.

Pada puisi panjang, kode bahasa memaksa pemaknaan untuk tunduk pada jalur-jalur pemaknaan yang terbentuk. Penafsir hanya tinggal memilih satu jalur paling logis yang didukung oleh kode bahasa terbanyak. Sedangkan puisi pendek tidak memiliki hall itu. Keterkaitan penafsiran pada puisi pendek hanya bergantung pada petunjuk-petunjuk pokok. Misalnya puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya memiliki satu baris kalimat sebagai tubuh puisi, “Bulan di atas kuburan.” Pemaknaan paling mungkin atas puisi itu adalah mengaitkan judul dengan sebaris kalimat sebagai tubuh puisi. Di sini yang berkorelasi bukan makna yang secara an sich berasal dari kode bahasa, tapi kontradiksi suasana yang dibangun dalam puisi. “Malam lebaran” identik dengan luapan perasaan bahagia, malam pesta, malam kemenangan. Tetapi suasana yang dibentuk itu kontras dengan “bulan di atas kuburan” yang memunculkan susana sedih, takut, sepi, kehilangan, ketiadaaan harapan. Kontradiksi ini yang paling mungkin menghasilkan pemaknaan, tapi bukan yang paling pasti karena ketiadaan dukungan kode bahasa yang lain.

Hal demikianlah yang membuat pemaknaan dalam puisi pendek tidak pernah final. Ia terus mengalirkan pemaknaan secara berkekalan. Itu disebabkan karena beberapa hal: 1. Minimnya kode bahasa sehingga terus membuka celah-celah pemaknaan. 2. Ketergantungan pemaknaan atas masuknya data-data intertekstualitas. 3. Tidak adanya ikatan yang jelas antara satu penanda dengan penanda lain. 4. Subyektifitas penafsir tidak memiliki patokan terstruktur dalam pemaknaan.

Kesimpulan

Premis di atas itu sekilas mirip dengan tesis Riffattere, basis analisa yang sama memungkinkan premis-premis tersebut berseluk-beluk. Namun fokus pembicaraan antara dua premis itu sebenarnya tidak sama. Secara garis besar ketidaklangsungan ekspresi yang muncul dalam karya sastra, khususnya puisi memang sudah disebutkan dengan tiga premis Riffattere, hanya saja ada bagian-bagian lain yang tidak disoroti dengan detail. Artinya, premis itu tidak mengupas habis dalam setiap model yang ada. Sintesis yang dihasilkan atas pertemuan dua tesis di atas terbuka kemungkinan untuk terus berkembang. Fenomena yang terjadi dalam puisi tidak memiliki titik akhir. Selalu ada gejala-gejala baru, temuan-temuan baru yang membuat orientasi terhadap puisi mengalami pergerakan. Seperti halnya kejadian secara umum dinamika hidup di dunia ini memang tidak berhenti pada satu titik. Selalu ada kebaruan-kebaruan lain yang muncul seiring bergesernya jaman.

Fakta yang paling pokok dalam puisi adalah mengenai adanya pembelokan pemaknaan yang disebut Riffattere sebagai ketidaklangsungan ekspresi. Puisi menempuh jalur berbeda dibanding komunikasi formal, hal ini diistilahkan dengan menyebut ini menghendaki itu. Sistesis yang terwujud ini bukan berasal dari penyangkalan mutlak. Dari segi proses pengamatan dan pengambilan sudut pandang memang ada perbedaan prinsip, yakni ada perbedaan pandangan mengenai proses munculnya makna konotasi dalam puisi. Konotasi yang ada dalam puisi menurut Riffattere memerlukan peran interpretator, sebagaimana keyakinan Charles Sanders Peirce mengenai semiotika secara umum. Keberadaan makna itu tidak nyata kecuali diciptakan dengan interpretasi. Menurut saya, makna itu secara an sich sudah ada di dalamnya. Ia terbentuk sedemikian rupa karena kata berdekatan dengan kata yang lain, penanda berhubungan dengan penanda yang lain. Makna itu muncul karena kehendak kepentingan kalimat dan ide pokok dalam puisi. Peran interpretator adalah membuka selubungnya, menguak yang terpendam di dalamnya, tetapi ia telah ada dan interpretator hanya menemukan yang tergeletak di sana, bukan sedang menciptakannya dari kekosongan.

*****

Kajitow El-kayeni
Filsuf, tinggal di pinggiran Jakarta