museum

Senin, 02 Januari 2012

LOGIKA DALAM PUISI I



            Adalah  sebuah rahasia besar mengenai bagaimana manusia itu menghisap bahasa ke dalam dirinya. Bahasa tidak saja sebagai wujud hubungan kausal atas interjeksi, tidak sekedar pendefinisian sesuatu sekaligus pembedaan atasnya. Tetapi bahasa yang mengeram dalam tubuh manusia itu bergerak seiring pergerakan imajinasinya. Sesuai teori interjeksi, ketika manusia mendapatkan pengaruh internal berupa rasa lapar misalnya, ia akan berkata, “Aku lapar.” Ketika ada pengaruh eksternal seperti dipukul, manusia akan berteriak, “Aw!” atau “Ouch!” Bahasa yang dikenali bergerak karena pengaruh dari dalam dan luar diri manusia ini sebenarnya bisa bergerak sendiri. Pengaruh rangsangan itu mungkin tetap ada sebagaimana wejangan ayah saya Loektamadji A. Poerwaka, bahwa bahasa itu aksidensi bukan substansi. Tetapi pengaruh rangsangan itu lebih bersifat menyublim dan bersatu dengan bahasa itu sendiri. Ia tidak menunggu rangsangan tapi bergerak seiring rangsangan itu.

            Saya tidak hendak mengatakan bahwa bahasa bersifat aktif dan bergerak sendiri sebagaimana keyakinan Hudan Hidayat, namun lebih kepada bahasa di sini memiliki gerakan yang unik. Ia tidak saja mempecundangi logika yang mengekangnya, ia bahkan berkelit dari kejaran logika ketika ia telah menubuh pada konvensi lain. Peranan bahasa di sini menjadi bolak-balik. Sekali waktu ia patuh pada konvensi baru yang disetubuhinya itu, sehingga ia mempecundangi logika. Kali lain dia bergerak dinamis bersama logika dan tak terkekang oleh konvensi itu. Konvensi yang disetubuhi bahasa itu adalah konvensi sastra ketika bahasa dijadikannya media, seperti puisi misalnya. Di dalam puisi, bahasa akan mengucur bersama rangsangan internal yaitu ide.

            Banyak orang berkeyakinan jika puisi tidak mungkin terkejar oleh logika bahasa, karena bahasa telah berkelit di sini. Ia bersembunyi di dalam sistem lain yang unik dan otonom. Kenapa bahasa bisa menjadi begitu radikal seolah kacang yang lupa pada kulitnya? Itu karena sistem baru tadi menghendaki gerakan bebas bahasa, sistem itu membiarkan bahasa menari seliar imajinasi yang menyeruak dari dunia ide tadi. Sistem itu dikenal dengan sistem metaforikal. Sistem pemaknaan bahasa secara khusus ketika bahasa dijadikan media oleh puisi. Puisi memang memiliki sistem komunikasi berbeda dibanding komunikasi formal. Meskipun puisi memakai bahasa sebagai struktur dasarnya, tetapi puisi membelokkan sebagian kaidah bahasa itu sehingga dari pembengkokan tadi muncul nilai estetis. Yang kerap kali muncul (sejauh yang dapat saya lacak) adalah anggapan bahwa puisi tidak memakai aturan logis karena ia menggunakan bahasa dengan makna metaforikal bukan bahasa dengan makna literal. Artinya bahasa memang media yang digunakan oleh puisi, tetapi puisi memiliki sistem sendiri yang berbeda dari aturan logis bahasa (logika bahasa). Bahasa terlahir akibat keterusikan seseorang atas sistem fisiologisnya, sehingga awal kata yang terlahir adalah reaksi atas diri yang terusik baik dari dalam atau luar diri (teori interjeksi). Sementara Ernst Cassirer (1874-1945) menambahkan, bahasa adalah upaya manusia dalam mengenali benda-benda di dunia dengan prinsip identitas dan/atau perbedaan.

Saya sadar puisi menggunakan bahasa sebagai media, bukan sebagai upaya representasi atas dunia sebagaimana kehendak bahasa. Puisi adalah upaya kongkretisasi imajinasi estetis, dalam hal ini ia menggunakan benda-benda dalam puisi hanya sebagai simbolisasi. Sedangkan bahasa adalah perwujudan dari interjeksi dan pengenalan benda-benda untuk klasifikasi. Yang menjadi permasalahan adalah, jika logika tidak digunakan sebagai dasar pertimbangan bahasa yang digunakan puisi, lalu dengan apa kita bisa mengukur satu kesatuan metafor dalam satu puisi (atau klausa) itu lebih baik dari kesatuan metafor pada puisi lain? Harus ada standar yang memungkinkannya menjadi tolok ukur penggunaan sistem kebahasaan dalam puisi. Karena tanpa peran logika, berarti puisi tidak memiliki ukuran penalaran dan berarti puisi tidak bisa dipelajari karena ia sebuah sistem yang ngawur. Dan kalau begitu seluruh konvensi yang melahirkan teori-teori itu tidak berakar dan sulit dicarikan titik temu. Dengan sendirinya segala rumusan mengenai puisi runtuh dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan dalam bingkai commonsense.

Maka dari itu logika harus ada dalam puisi. Karena dengannya kita mengambil tolok ukur untuk menilai satu puisi lebih baik daripada puisi lain.

Logika yang merupakan salah satu ilmu dalam filsafat menghendaki proses serta bermuara pada pertimbangan dialektis setiap kali berhadapan dengan permasalahan, sehingga darinya didapati sebuah solusi. Meskipun logika memang bukan hanya milik filsafat saja, ia juga dimiliki disiplin ilmu lain seperti matematika. Logika tidak mengenal salah dan benar, tapi keakuratan dari segi penalaran. Tolok ukur logika didasarkan pada pembenaran paradigmatik (pembenaran yang diterima oleh orang banyak). Sebuah tesis dikombatkan dengan antitesis sehingga terlahir sintesis. Pembenaran itu bukan untuk menilai salah dan benar, karena filsafat hanya mengenal sesat pikir. Artinya pembenaran yang menjauh dari pembenaran paradigmatik dikatakan sesat pikir atau tidak rasional.

Puisi dengan sistem komunikasi uniknya juga memiliki sistem logika sendiri. Logika di sini harus mengikuti proses tertentu karena puisi memiliki sistem kebahasaan berbeda dari komunikasi formal. Sistem itu adalah pemaknaan dari segi metaforikalnya. Mustahil puisi tidak memiliki tolok ukur logis, karena sebagai salah satu unsur sastra, puisi harus memiliki dasar pijakan kemudian diberikan nilai kepadanya. Nilai ini tentu bukan dari segi ukuran, seperti misalnya seseorang yang bersedih, berapa derajat ukuran sedihnya? Seseorang yang sedang bahagia, berapa banyak satuan bahagianya? Itu jelas tidak mungkin karena apa yang bisa dianalisa hanya terkait hal kongkret yang bersifat mungkin, sesuatu yang abstrak tentu hanya bisa dibandingkan untuk memperoleh ukuran titik puncak. Seumpama penyair Chairil Anwar sedang bersedih di “Senja Pelabuhan Kecil,” bagaimana jika dibandingkan dengan kesedihan Pablo Neruda dengan puisi “Malam ini, Dapat Kutulis...” Perbandingan itu untuk mengambil daya hisap yang diciptakan kedua puisi berdasarkan keberhasilan membentuk citraan juga unsur-unsur lainnya. Bukan dari besar ukuran kesedihan yang dirasakan oleh kedua penyairnya.

Untuk itulah puisi harus memiliki sistem logika sendiri, tanpa dasar pijakan itu puisi tidak memiliki integritas. Ia hanya akan menjadi bunga kata-kata milik pemabuk dan pengigau yang tidak memiliki ukuran dalam penilaian. Maka logika yang telah mengikuti sistem komunikasi unik dalam puisi terlebih dahulu harus mengelompokkan bagian-bagian yang menyusun tubuh puisi. Karena struktur metaforikal dalam pemahaman mentah memang tidak terjangkau logika. Seperti ketika menanyakan kadar nilai estetis, kadar tingkatan imanjinasi, kadar perasaan, kadar kedalaman kontemplasi.

Unsur puisi yang sejati atau unsur yang pertama (1) adalah tema, ia tidak dalam bentuk kongkret tapi membutuhkan unsur kongkret untuk mewujudkannya. Ia adalah hal abstrak yang bersembunyi dalam tubuh kongkret yakni bentuk teksnya. Dari tema inilah segala hal berpusat kepadanya. Unsur yang ke dua (2) adalah sistem unik tadi. Puisi menggunakan sarana pengkiasan untuk menyampaikan maksud. Di samping juga perlambangan untuk menyembunyikan subyek yang dikehendaki. Dengan bahasa populer, puisi mengatakan ini tapi menghendaki itu. Kadar kiasan ini pun berbeda-beda dan perlu dibagi terlebih dahulu. Karena dasar pijakan pemaknaan harus terbaca dari tubuh puisi secara utuh. Dari kecenderungan, kadar kiasan pada puisi itu ada yang sedikit, yaitu pada puisi terang atau diafan. Ada yang kadarnya menengah yaitu puisi realis pada umumnya. Ada yang tinggi yaitu pada puisi absurd, abstrak dan surealis. Bentuk kiasan secara mentah tidak bisa dirunut dengan logika, karena ia hanya bayangan dari maksud yang sebenarnya. Struktur pengkiasan ini harus dipisahkan karena terlebih dahulu sebelum logika masuk dan berfungsi sebagai tolok ukur penilain puisi.

Dalam hal ini saya akan fokus pada puisi realis. Ketika seseorang menunjuk sesuatu sebagai kiasan, struktur tubuh kiasan itu harus koheren dan seimbang. Artinya dalam kesatuan struktur sitaksis dan semantiknya, subyek yang mengkiaskan harus memiliki kesamaan jalur dalam pemaknaan yakni seimbang tadi. Bisa dicontohkan seperti kalimat (1), “Seekor burung terbang ke langit. Meski sayapnya patah ia terus meluncur ke langit.” Seekor burung terbang ke langit adalah struktur tubuh bayangan atau pengkias, di sini ia terdiri struktur subyek, predikat dan keterangan. Keadaan burung (yang patah sayapnya) di sini sebenarnya tidak bisa diukur atau tidak bisa dihakimi dengan logika karena ia hanyalah refleksi atau bayangan. Burung itu tidak kongkret meskipun bisa jadi diambil dari proses mimesis yakni meniru burung yang ada. Dalam kalimat itu, burung hanya bayangan dari subyek sebenarnya yakni tubuh pokok (yang dikiaskan). Kiasan itu digunakan sebagai sistem komunikasi unik karena ia berbeda dari keumuman komunikasi yang bersifat formal. Logika harus menyederhanakan kiasan tadi seperti proses matematis sebelum menghasilkan pemahaman, yaitu dengan merujuk pada keadaan subyek sebagai tubuh pokok (dalam puisi utuh). Ketika pembacaan sampai pada kalimat “Meski sayapnya patah ia terus meluncur ke langit,” struktur pengkiasan tidak ada kesinambungan semantik menurut ukuran logis. Burung yang sudah patah sayapnya bagaimana bisa terbang?

Makna metaforis memang tidak mengacu pada logika, tetapi unsur-unsur pembentuknya adalah juga bahasa yang sama, bahasa yang dimengerti oleh manusia. Dengan begitu unsur-unsur pembentuk metafor tersebut juga dikenai hukum bahasa, yaitu logika bahasa. Kita sebut bagian metafor itu sebagai tubuh bayangan sedang tubuh pokok (subyek yang sebenarnya) itu adalah hal logis entah hadir atau tidak di dalam teks. Jadi yang dikehendaki logika dalam puisi adalah keseimbangan pengimajian dalam struktur metafor. Misalnya dalam contoh pertama tadi, “Seekor burung terbang ke langit. Meski sayapnya patah ia tetap meluncur ke langit,” dalam struktur metafor ini, kalimat “seekor burung” menjadi subyek pengkias, sedangkan subyek yang dikiaskan bersembunyi dalam “seekor burung.”

Contoh ke dua (2), “Rembulan pecah di pelataran. Menyentuh tanah dan pepohonan.” Struktur tubuh bayangannya terdiri dari subyek, predikat, dan keterangan. Subyek pengkias dan yang dikiaskan menjadi satu dalam wujud “Rembulan.” Kerja kiasnya yaitu “pecah di pelataran.” Dalam bentuk pemahaman denotatif, rembulan pecah di pelataran itu mustahil diterima nalar. Namun ketika struktur metaforikal tadi dibagi menjadi unsur subyek pengkias, obyek yang dikiaskan, kerja kiasan, hal itu akan bisa dirunut term logikanya. Kata “pecah” dalam kalimat itu bermakna konotatif, ia menjadi logis saat dikembalikan pada pemaknaan lazim, yakni pecah itu bukan pada wujud rembulan sebagai batu. Tapi pecah itu merujuk pada sebagian dari bulan yaitu cahayanya. Maka pecah di sini berarti cahayanya yang melimpah. Bisa juga diartikan cahayanya terang sehingga dikatakan pecah seperti benda yang pecah dan berhamburan. Makna konotatif telah melepaskan pemahaman atas kata menurut keumuman. Makna denotatif bisa disebut sebagai rumah bahasa, sedangkan makna konotatif adalah makna yang telah lepas dari rumah bahasa tadi karena kepentingan kalimat. Dengan kepentingan itu, makna yang dimiliki oleh bentuk konotatif sejalan dengan struktur semantik kalimat.

Di sini saya ingin menyangkal Roland Barthes (1951-1980) yang meyakini bahwa makna konotatif yang disebutnya sebagai operasi ideologi adalah upaya untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif (menindas). Merujuk pada teori awal penemuan bahasa, makna denotatif adalah makna asli, sedang makna konotatif adalah makna penyimpangan sesudah bahasa memberikan pengertian atas sesuatu. Sangat tidak logis jika makna konotatif dijadikan dasar pertimbangan penelaahan sistem tanda. Padahal dia sendiri mengakui makna denotatif adalah makna primer dan makna konotatif adalah sistem siginifikasi tingkat ke dua. Dengan begitu acuan makna konotatif semestinya merujuk pada makna denotatif sebagai makna primer demi pembacaan sistem tanda secara luas. Meskipun keduanya memiliki wilayah pemaknaan masing-masing. Sebagaimana yang diyakininya makna konotatif dengan sebutan “mitos” yang memiliki sistem petanda dan penanda di dalamnya. Makna konotatif yang diyakininya itu hanya berlaku  pada interaksi antara teks bersama pengalaman personal-kultural penggunanya.

Makna denotatif yang dianggapnya tidak penting itu, tidak serta-merta membuat sistem signifikasi kedua (konotatif) tadi bisa berdiri sendiri. Bahkan saya meyakini dari makna denotatif itulah rujukan dalam memaknai pemaknaan lain meskipun itu secara tidak langsung. Konotasi versi Barthes sangat terbatas atau tertutup sehingga tidak bisa digunakan dalam pemaknaan lain. Konotasi Barthes hanya berhubungan dengan kasus tertentu dan tidak bisa dikembangkan dalam kasus lain. Dan penyempitan ini menurut saya adalah tindakan percuma. Dalam makna metaforikal ini juga merupakan pemaknaan tingkat ke dua setelah makna denotasi, tetapi ia tidak berlepas tangan dan berdiri sendiri. Justru dengan membandingkan atau mengembalikan pada makna asli tadi sebuah rumusan logis bisa didapatkan. Makna metaforikal sejajar dengan makna konotasi versi Barthes yang tertutup itu. Tetapi di sini, makna metaforikal terdiri dari kalimat sempurna, bukan dua kata benda seperti “kambing hitam” menurut konotasi Barthes. Atau jikapun Barthes menunjuk kata “pecah” dalam contoh (2) itu sebagai konotasi versinya, maka tidak diperlukan pengalaman personal-kultural seperti yang dikehendaki dalam konotasi “kambing hitam”-nya itu. Dan makna konotasi (dari pembedahan struktur metaforikal) tadi jelas berbeda dari konotasi tertutupnya itu.

Logika dalam puisi mengarah pada keseimbangan struktur metaforikalnya. Contoh awal (1) itu bisa dikatakan metafornya (secara global) tidak logis karena struktur penyusunnya tidak seimbang dilihat dari bingkai commonsense. Dengan kata lain ia meloncat dari jalur pemaknaan dalam kalimat. Contoh yang ke dua (2) itu bisa dikatakan logis dengan cara melepaskan struktur makna kerja kiasnya merujuk pada kepentingan kalimat.




****


Kajitow
Filsuf